Part 26 - Ending as a New Beginning

"Cia! Bangun, Cia!" Aldrich masih berusaha memanggil dengan depresi dan panik saat Felicia tidak memberikan tanda-tanda bahwa dia mendengarnya.

Dia baru saja tiba di tempat yang diberitahu Bianca melalui panggilan ponselnya dengan panik saat dia mendengar keributan dari beberapa perempuan yang berteriak histeris. Hatinya mencelos dan kepalanya terasa kosong saat dia melihat Felicia sudah terkapar di bawah runutan anak tangga dan tidak bergerak. Aldrich tidak mengindahkan setiap orang yang ditabraknya saat sedang menghampiri Felicia yang masih tidak sadarkan diri.

Aldrich bisa melihat kumpulan perempuan yang cukup dikenalnya berdiri mematung ketakutan melihat Felicia yang tidak sadar. Tiga dari lima perempuan berwajah pucat itu cukup dikenalnya dengan baik mengingat status mereka yang pernah menjadi 'kekasih' nya. Tapi dia tidak peduli. Bahkan walaupun dia sangat paham bahwa kejadian ini terjadi akibat para perempuan itu dan dia ingin sekali mengutuk dan memaki para wanita itu, tapi untuk saat ini dia sama sekali tidak peduli.

Dia benar-benar panik karena Felicia tidak juga menunjukkan tanda-tanda kesadarannya, bahkan otaknya kehilangan kemampuan berpikir selama beberapa detik dan dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Jonathan, Andreas dan Bianca yang mengikutinya dan menghampiri Felicia juga sama paniknya.

"Drich, kita harus bawa Felicia ke rumah sakit!" kata Jonathan menyadarkannya dari rasa panik berlebihannya.

Aldrich berusaha menguasai diri, "Kita harus bawa dia ke tempat bokap gue."

"Gue ambil mobil gue ya, kalian bawa Felicia ke depan gerbang, kita ketemu disana." kata Andreas sambil berdiri sigap.

Aldrich membopong Felicia dengan Jonathan membuka jalan untuknya sementara Bianca membawakan tas Felicia.

Setelah mereka semua masuk ke mobil Andreas, tanpa berpikir panjang Aldrich berusaha menyentuh layar ponselnya dengan tangannya yang gemetar karena rasa takut. Dia hanya bisa berharap Felicia dan bayinya tidak kenapa-kenapa.

"Pa," panggil Aldrich segera setelah mendapat jawaban dari seberang, "Pa, tolong Felicia Pa!"

"Ada apa, Drich?" jawab Papa Abby masih dengan tenang walau dia tahu ada yang tidak beres saat ini.

"Felicia jatuh dari tangga di kampus." jelasnya sesingkat mungkin, "Felicia.. Felicia hamil, Pa. Aku takut dia dan bayinya kenapa-napa!"

Ada jeda beberapa saat sebelum Papanya kembali berbicara, "Ya udah kamu tenang dulu, Drich. Kamu dimana?"

Aldrich bersyukur Papanya tidak menanyakan apa-apa saat ini karena jelas sekali dia tidak akan sanggup menjelaskan apapun. Dia akan menjelaskan dan siap menerima hukuman dari Papanya, tapi nanti setelah dia yakin Felicia baik-baik saja.

"Aku lagi bawa Felicia ke tempat Papa sekarang."

"Oke, kamu nanti langsung ke UGD ya. Papa akan stand by di sana."

Aldrich mematikan sambungan ponselnya dan mengembalikan fokusnya kepada Felicia yang masih juga tidak sadar dengan wajah pucatnya seolah menahan sakit dalam tidak sadarnya. Dia benar-benar berharap tidak terjadi apapun kepada Felicia. Tidak disaat dia masih berhutang permintaan maaf dan penyesalan kepada gadis itu.

***

Felicia ditangani oleh Papa Abby dan perawat-perawat yang sudah bersiap di bagian UGD segera setelah mereka tiba di rumah sakit tempat Papa Abby bekerja. Sementara Aldrich dan teman-temannya hanya bisa menunggu di ruang tunggu. Bianca terus menerus menangis dan menyalahkan dirinya yang tidak bersikeras menemani Felicia ke tangga darurat dan membiarkan kejadian ini terjadi. Jonathan berusaha menghiburnya sementara baik Aldrich maupun Andreas hanya bisa terdiam menanti.

Hanya sekitar lima belas menit kemudian Papa Abby masuk ke ruang tunggu menghampiri Aldrich dan teman-temannya yang dengan sigap berdiri dari duduk mereka saat melihat Papa Abby.

"Nggak apa-apa," kata Papa Abby menenangkan sebelum memberikan penjelasan lanjutan, "Felicia shock karena jatuh dari tangga. Badannya lebam-lebam tapi nggak ada luka dalam yang perlu dikhawatirkan."

Aldrich dan yang lainnya menghela napas panjang tanda kelegaan mereka setelah semenjak mereka tiba di sana mereka merasa kesulitan bernapas.

"Aldrich, ikut Papa sebentar," kata Papa Abby kepada Aldrich yang diturutinya.

Mereka berjalan keluar dari ruang tunggu UGD menuju ke lorong yang lebih sepi.

"Kamu tahu dari mana kalau Felicia hamil?" tanya Papa Abby kepadanya segera setelah mereka hanya berdua.

Aldrich mengira kalau ini adalah bagian dari interogasinya atas kesalahan yang diperbuatnya, dan kini setelah dia memastikan keadaan Felicia, dia sudah bersedia menerima hukumannya.

"Felicia juga udah tahu, Pa." jawab Aldrich.

"Bukan itu maksud Papa. Kalian sudah ke dokter? Atau sudah testpack?"

"Aku nggak tahu, Pa," jawabnya lagi, "Aku belum ke dokter sama dia, tapi aku nggak tahu apa Felicia udah testpack. Kenapa memangnya, Pa? Bayinya nggak kenapa-kenapa kan?" seketika rasa takutnya kembali muncul dengan pertanyaan-pertanyaan aneh dari Papanya barusan.

"Papa rasa kalian salah paham," lanjut Papa Abby, "Felicia nggak hamil."

"Maksud Papa?" Aldrich mengerutkan alisnya bingung.

"Papa rasa Felicia juga mungkin belum melakukan cek apapun, tapi Papa yakin setelah memeriksa dia tadi, Felicia nggak hamil seperti yang kamu dan Felicia kira."

Aldrich bahkan tidak bisa menggambarkan perasaannya sendiri saat ini. Di satu sisi dia merasa sangat bodoh dengan adanya keributan besar ini untuk sesuatu yang sebenarnya tidak pernah benar-benar terjadi. Seharusnya sebelum dia merasa panik saat Felicia mengatakan padanya bahwa dia hamil, Aldrich memastikan terlebih dahulu apakah kehamilan itu benar-benar positif.

Walau mau tidak mau dia bersyukur karena Felicia tidak kehilangan bayinya, karena memang sebenarnya bayi itu tidak pernah ada. Dia lebih bersyukur mengetahui kehamilan itu belum terjadi dibandingkan membayangkan seberapa sedih gadis itu harus kehilangan bayinya akibat kejadian ini.

Namun disisi lain dia merasa sedikit kecewa mendengar bahwa ternyata bayi itu tidak benar-benar ada setelah dia mulai merasa bisa menerimanya.

Ya, Aldrich memang sudah membulatkan hatinya hari ini untuk berbicara dengan Felicia bahwa dia sudah siap untuk menerima keberadaan bayi itu. Bayi mereka. Walau hal tersebut belum berhasil terlaksana karena kejadian barusan.

Papa Abby kembali melanjutkan kata-katanya karena Aldrich belum juga menanggapi.

"Papa udah telepon Mamamu dan orangtua Felicia. Tapi Papa belum bilang apapun tentang hamilnya Felicia." jelasnya, "Papa rasa masalah ini nggak perlu dibesar-besarkan lagi, kamu bisa bilang ke mereka kalau Felicia hanya jatuh dari tangga dan kamu bawa dia kemari karena panik dan cuma kepikir rumah sakit Papa.."

Papa Abby menajamkan pandangannya untuk menatap Aldrich sebelum kembali melanjutkan, "Tapi kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kan?"

Aldrich mengangguk mantap. Dia memang sudah bertekad tanpa perlu diancam oleh Papanya, walau cara Papa Abby berbicara kepadanya tetap membuatnya terintimidasi dan menurut.

"Iya Pa, aku pasti tanggung jawab," jawab Aldrich patuh sambil menambahkan, "Secepatnya."

"Bagus," kata Papa Abby kembali berbicara dengan kalem, "Setidaknya kamu nggak kena teror Mamamu. Bisa girang dia denger kamu hamilin anak orang."

Aldrich memaksakan senyumnya mendengar kata-kata Papanya yang terdengar seperti lelucon walau itu memang benar-benar akan terjadi.

***

Aldrich memasuki ruang rawat inap VIP seperlahan mungkin supaya tidak membangunkan Felicia yang dikiranya masih tertidur walau ternyata gadis itu sudah terbangun.

Betapa leganya dia melihat gadis itu tersenyum lemah saat melihatnya. Felicia sudah tidak marah dan bersikap dingin kepadanya. Itu sudah lebih dari cukup untuknya.

Aldrich menghampirinya dengan sedikit lebih percaya diri. Tangannya mengusap sayang rambut gadis itu. Bahkan sentuhannya kepada helaian rambut Felicia berhasil membuatnya menginginkan lebih dari itu. Dia sangat ingin memeluk gadis yang sudah sangat dirindukannya tersebut.

"Kamu nggak papa?" tanyanya perlahan, "Masih sakit dimana?"

Felicia menggeleng walau seluruh tubuhnya masih terasa nyeri.

Aldrich menarik kursi dan duduk di sampingnya.

Felicia menggandeng tangan Aldrich dan memainkan jarinya dengan lemah.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiaman. Walaupun mereka sama-sama tidak mengungkapkannya, mereka merindukan masa seperti ini di antara mereka, dimana meski tidak ada satu pun di antara mereka yang berbicara, mereka tetap merasa nyaman.

"Maaf ya," kata Felicia akhirnya mulai berbicara lebih dulu, "Aku udah denger dari perawat, katanya aku nggak hamil.  Aku bikin keributan nggak berdasar. Maaf ya, Al."

"Aku yang salah, Cia," kata Aldrich buru-buru, "Aku nggak suruh kamu cek dulu. Harusnya aku yang minta maaf, karena baik kamu hamil atau nggak hamil, fakta bahwa aku ini bajingan pengecut yang takut bertanggung jawab nggak bisa dipungkiri."

"Kamu kok ngomong gitu, Al." Kata Felicia terlihat sedih. Dia tidak pernah suka mendengar siapapun menyebut Aldrich bajingan ataupun brengsek.

"Aku banyak berpikir beberapa hari belakangan ini semenjak kamu ninggalin aku. Aku mikirin kamu, hubungan kita dan bayi itu. Dan aku butuh semuanya, Cia. Aku butuh kamu. Semakin aku berpikir ulang, aku semakin merasa menjadi bajingan yang dengan egoisnya tega membunuh darah dagingku sendiri." Kata Aldrich.

"Aku janji nggak akan ngulangin lagi, Cia. Kasih aku kesempatan untuk berubah. Kasih aku kesempatan untuk tanggung jawab." Aldrich mengeratkan pegangan tangannya kepada gadis itu, sebagian untuk membuktikan ketulusannya dan sebagian karena dia memang benar-benar takut. Bagaimana kalau Felicia sudah menyerah kepadanya dan ingin memutuskan hubungan dengannya.

Felicia tersenyum. Dan sejujurnya Aldrich tidak tahu apa arti dari senyuman itu.

"Tadi mantan pacar kamu ada yang bilang ke aku, kalo aku bukan cewek pertama yang pernah tidur sama kamu," kata Felicia memulai kalimatnya.

Aldrich menelan ludah tidak nyaman mendengar kalimat tersebut, seolah dirinya sedang berada dalam persidangan.

"Aku bukannya nggak tahu sih, cuma denger itu dari dari cewek lain tetap bikin aku kesal dengarnya, Al." lanjutnya, "dan aku nggak yakin sanggup kayaknya kalo setiap hari harus ada yang ngelabrak aku di kampus sambil bilang dia mantan pacar kamu."

"Cia," kata Aldrich dengan nada panik dan gelisah, "Aku nggak maksud buat kamu jadi ikut keseret-seret. Aku akan jagain kamu supaya hal itu nggak akan kejadian lagi. Dan aku janji kalo itu semua cuma masa lalu, Cia."

Bahkan Aldrich merasa kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya itu hanya seperti janji-janji manis belaka. Walaupun tidak ada kalimat yang diucapkannya dengan tidak tulus karena semuanya benar-benar muncul dari hatinya sendiri.

"Iya aku tahu, Al," kata Felicia masih dengan senyum menghiasi wajahnya yang pucat, "Aku yang ngejalanin sendiri selama ini kok, jadi aku yang tahu seperti apa kamu sebenarnya. Aku nggak perlu orang lain kasih tahu aku seperti apa kamu dulunya. Yang penting seperti apa kamu sekarang ke aku."

Aldrich menghela napas lega, walau dia masih tetap menambahkan, "Kamu.. cuma mau ngerjain aku ya?"

Felicia mendengus lemah sebagai ganti tawanya, "Kok ngerjain kamu sih? Beneran Selomita yang ngomong itu ke aku kok.."

Felicia seketika menghentikan kata-katanya dan senyumnya sedikit memudar. Mengingat Selomita dan kejadian tadi masih refleks membuatnya merasa ketakutan walau dia sudah lepas dari masalah tersebut.

"Al, tadi Selomita sama yang lainnya gimana?" tanya Felicia dengan sedikit penasaran mengingat dia kehilangan kesadaran setelah kejadian tersebut.

"Aku juga nggak tahu. Aku nggak perhatiin mereka lagi saat lihat kamu pingsan tadi."

"Kita lupain aja masalah tadi sama mereka ya, Al?" usulnya sambil menggenggam tangan Aldrich sedikit lebih erat.

"Lupain? Maksudnya?"

"Ya, aku kan juga nggak papa. Jadi kita anggap tadi nggak ada kejadian apa-apa ya? Aku nggak mau memperpanjang urusan ini lagi, Al." jelas Felicia.

Aldrich terdiam sejenak sebelum mengangguk, "Aku nggak akan memperpanjang."

Sebelum kemudian dia kembali menambahkan, "Tapi aku akan tetap bilang ke pihak kampus tentang kejadian tadi."

"Tapi, Al.."

Aldrich kembali memotongnya sebelum Felicia sempat melanjutkan.

"Ini bukan masalah kamu mau memperpanjang atau nggak lagi masalah ini. Aku juga nggak niat ketemu sama mereka lagi setelah ini. Tapi mereka harus sadar bahwa yang mereka lakukan itu salah. Masih untung kamu nggak papa. Kalau sampai ada apa-apa, mereka harus tahu kalau yang mereka lakukan itu perbuatan kriminal. Kamu paham kan, Cia?"

Felicia akhirnya mengangguk pasrah. Toh mendengar penjelasan Aldrich barusan sudah membuktikan bahwa lelaki itu tidak hendak membuat perhitungan kepada siapapun. Dan itu cukup membuat Felicia merasa tenang.

Mereka kembali berdiaman beberapa saat, masih tetap bergandengan tangan. Aldrich membiarkan tangan mereka berdua bertautan di atas tubuh Felicia yang masih terbaring. Tanpa sengaja tangannya menyentuh perut rata Felicia dan membuatnya ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya dikatakannya kepada Felicia hari ini.

"Tadinya siang ini aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Cia." jelasnya sambil mendekatkan wajahnya kepada gadis itu, "Aku mau bilang kamu kalo aku siap menerima bayi kita. Sebenarnya aku sedikit kecewa karena ternyata dia belum ada," Aldrich melanjutkan mengusap perut rata gadis itu.

Felicia kembali melebarkan senyum bahagia di wajah pucatnya, "Aku juga, Al. Aku juga ingin banget dia ada. Sayang ya, dia ternyata belum ada."

Aldrich kini mendekatkan wajahnya. Dia memberanikan diri mencium gadis itu. Membiarkan bibirnya bertemu dengan bibir yang begitu dirindukannya, dan Felicia membalasnya.

Felicia memejamkan matanya dan membalas ciuman Aldrich dengan sama lembutnya, membuat keberanian Aldrich semakin muncul.

Aldrich menjauhkan wajahnya sedikit untuk memberikan jarak, "Kita nikah aja, yuk, Cia. Setelah itu aku bisa kasih bayi buat kamu."

Felicia tidak menyangka kalimat barusan keluar dari mulut Aldrich. Aldrich-nya yang begitu mencintai kebebasan. Kalimat itu bahkan terdengar seperti lelucon yang dikatakan Aldrich dengan asal.

"Kamu lagi ledekin aku karena aku bilang mau punya bayi dari kamu?" kata Felicia mengerucutkan bibirnya. Berusaha menutupi perasaannya yang berbunga-bunga mendengar kalimat barusan meskipun kalimat tersebut hanya sebatas lelucon nantinya.

"Kok ledekin?" tanya Aldrich bingung.

Dan melihat ekspresi Felicia membuatnya sadar, mungkin kalimat barusan yang diucapkannya kekurangan ketulusan sehingga gadis itu mengiranya bercanda.

"Aku serius, Cia," kata Aldrich lagi, "Nanti aku akan bilang sama Papa Mama kamu buat ngelamar kamu."

Felicia berusaha menegakkan tubuhnya. Sejenak dia melupakan rasa sakitnya karena terlalu bersemangat dan penasaran. Dan Aldrich harus membantu memapahnya untuk duduk.

"Kamu bukannya nggak mau nikah dulu, Al? Kamu bukannya belum siap?" tanyanya masih menyimpan harap.

"Aku cuma bilang belum siap karena aku nggak pernah bener-bener mikirin pernikahan. Tapi aku lebih nggak siap kehilangan kamu, Cia. Aku udah memikirkan baik-baik, dan aku mau nikah sama kamu." kata Aldrich memantapkan nadanya untuk membuktikan kata-katanya. Dia menarik napas panjang sebelum kembali menambahkan, "Aku sayang sama kamu, Cia."

Felicia hanya membutuhkan waktu sepersekian detik untuk memutuskan melingkarkan kedua lengannya di pundak lelaki itu dan memeluk erat Aldrich.

"Kamu mau nikah sama aku, Cia?" tanya Aldrich memastikan.

Felicia mengangguk kuat-kuat dalam pelukannya kepada lelaki itu. Dia tidak ingin berbicara, karena dia yakin kalau dia berkata-kata, suaranya akan terdengar seperti merengek karena dia sudah mau menangis karena terlalu bahagia.

"Nanti aku akan kasih kamu bayi yang lucu ya," janjinya sambil tersenyum lega setelah mendapatkan anggukan dari Felicia.

Felicia mengangguk semakin dalam di dalam pelukan lelaki itu. Dan Felicia tidak berniat melepaskannya lagi. Karena Aldrich memang sudah menjadi miliknya, setelah saat ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top