Part 24 - Ego
"Lo sama Aldrich lagi ada masalah ya Fel?" kata Bianca akhirnya mengutarakan rasa penasarannya.
Bianca sengaja mengajak Felicia makan bersama siang ini setelah mereka sama-sama menyelesaikan kuliah paginya. Mereka tidak makan di kantin tempat biasa Aldrich dan kedua sahabatnya berkumpul. Bianca memang sengaja mengajaknya ke kantin belakang yang lebih sepi karena merasa membutuhkan tempat yang lebih pribadi dan tanpa mahluk-mahluk berjenis kelamin lelaki tersebut.
Sebenarnya Felicia mengira gadis satu itu sudah mengetahui permasalahan tentang Aldrich dan dirinya, mengingat Aldrich pasti sudah menceritakannya kepada sahabat-sahabatnya dan seharusnya sudah sampai ke telinga Bianca juga, yang ternyata salah.
"Jonathan belum cerita apa-apa?" tanya Felicia sangsi.
Bianca menggeleng, "Udah gue marah-marahin, gue ancem-ancem dia masih belum mau cerita juga. Gue sebel tau! Kenapa gue jadi satu-satunya orang yang nggak tahu apa-apa sih?! Bahkan anak-anak udah pada bergosip kalo kalian putus, dan gue masih tetep nggak ngerti."
Felicia terdiam.
"Jadi? Ada apa sebenernya di antara kalian berdua?" tanya Bianca lagi tidak sabar.
"Gue hamil, Bi," kata Felicia akhirnya memutuskan jujur kepada temannya satu ini. Setelah Teddy pergi hari ini, mungkin Bianca satu-satunya orang yang bisa membantu dan menghiburnya.
Bianca membelalakkan matanya tidak percaya. Seketika dia sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi, "Kok bisa? Kapan? Kan gue udah bilang sama lo mahluk bangke macem Aldrich itu pasti suka nggak mikir, Fel! Elo yang harus kontrol dia!"
"Nggak sesimpel itu masalahnya, Bi. Dan kejadiannya sebelum kita pernah ngomong waktu itu."
"Terus Aldrich gimana? Kenapa kalian malah saling menjauh kalo kejadiannya kayak gini?"
"Aldrich nggak mau gue hamil," jelasnya.
"Nggak mau?!" Bianca mengulang seolah dia salah mendengar kalimat barusan, "Gimana dia bisa nggak mau? Bajingan tuh cowok! Dia yang bikin lo hamil berani-beraninya dia bilang nggak mau!?"
Bianca masih terus melanjutkan kata-kata makiannya sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Bianca, lo janji sama gue jangan melakukan apa-apa ya?" Kata Felicia lagi akhirnya.
"Emang gue akan melakukan apa?"
"Jangan marah apalagi ngelabrak Aldrich," jelasnya.
"Lo masih berani ngebela bajingan itu?" tanya Bianca dengan heran.
"Bukan gitu, Bi," kilah Felicia, "Gue cuma nggak berharap lo memperbesar masalah ini. Gue cerita ke lo karena lo sahabat gue, dan gue butuh dukungan dari lo, tapi buat gue yang penting lo ada buat gue. Itu udah cukup."
Bianca kelihatan tidak puas walaupun akhirnya mengiyakan, "Iya, gue janji."
"Makasih," kata Felicia lega.
Mereka melanjutkan makan mereka dalam diam sebelum akhirnya suara ponsel Felicia menghentikan keheningan di antara mereka.
Felicia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
"Siapa?" tanya Bianca ikutan melihat.
"Teddy," jawabnya sebelum mengangkat panggilan ponselnya, "Ya, Ted? Kamu dimana?.. Ngapain?... Ya udah, tunggu aku di dekat gerbang ya, aku kesana.." Kemudian Felicia mematikan panggilannya.
"Teddy siapa?" tanya Bianca penasaran.
"Temen kecil gue. Dia nanti malem balik ke US, makanya mampir kemari dulu mau ketemu gue. Gue duluan ya, Bi!" Felicia menggantungkan tas di pundaknya dan bergegas pergi dari sana setelah mendapatkan anggukan dari Felicia.
Bianca terdiam sejenak sebelum akalnya muncul dengan ide yang menurutnya brilian dan membawanya pergi dari sana juga bersama dengan rencananya.
***
"Teddy," panggil Felicia sambil menghampiri lelaki yang menantinya di gerbang kampus mereka.
Lelaki dengan tubuh jangkung itu cukup menarik perhatian mahasiswi sekelilingnya, terlebih lagi ternyata lelaki itu kenal dengan Felicia, sang primadona yang beberapa minggu belakangan ini menjadi pembicaraan di kampus.
"Kamu kok mampir kemari lagi? Bukannya kamu mau packing?" tanya Felicia memandang sahabatnya itu heran. Hari kemarin seharusnya sudah menjadi hari perpisahan mereka, namun ternyata Felicia masih dapat melihat sahabatnya tersebut hari ini.
"Khawatir sama kamu. Mau lihat kamu baik-baik aja nggak sebelum aku tinggalin," kata Teddy memamerkan senyumnya mengejek gadis itu.
"Apaan sih?" kata Felicia dengan nada manjanya seperti biasa saat dia menanggapi lelaki yang sudah seperti kakaknya sendiri itu, "Aku udah dewasa sekarang, Ted."
"Kamu udah pertimbangin tawaran aku?" tanya Teddy lagi mengingat penawarannya kepada Felicia.
Felicia menggeleng, "Aku belum tahu, Ted. Aku akan pikirin baik-baik, tapi aku belum bisa kasih jawaban sekarang."
Teddy mengusap rambut gadis itu menenangkan, "Iya, kapanpun kamu ambil keputusan bisa bilang aku kok. Telepon aku aja dan aku akan siapin semuanya di sana."
Felicia tersenyum tulus, "Makasih Ted."
Tiba-tiba saja dua buah tangan besar mendorong lelaki di depannya dan menjauhkannya dari Felicia.
Aldrich mendorong tubuh Teddy, tangannya mencengkram kerah baju lelaki itu dengan kasar dan matanya menggelap karena amarah.
"Ngapain lo sentuh-sentuh cewek gue?!" Bentak Aldrich keras.
"Cewek lo?" Balas Teddy menaikkan alisnya sambil tersenyum sinis, "mungkin lo lupa kalo kalian udah nggak ada hubungan apa-apa setelah sifat pengecut lo itu!"
"Brengsek!" Aldrich melemparkan pukulannya tepat ke wajah Teddy dan membuatnya tersungkur ke lantai.
"Aldrich!" kata Felicia panik melihat kejadian di depan matanya tersebut.
Felicia berlari menghampiri Teddy yang terbaring di tanah dengan wajah lebam dan bibir yang berdarah karena terkoyak, "Kamu nggak apa-apa Ted?" sambil memapah lelaki itu untuk berdiri.
Kini mereka sudah benar-benar menjadi pusat perhatian orang-orang di sekeliling mereka yang mengerubungi.
Teddy menggeleng sambil menyeka darah di bibirnya, namun dia belum puas untuk menyampaikan kata-katanya kepada lelaki itu.
"Sebelum lo menghakimi orang lain, mendingan lo pikir baik-baik kenapa Felicia kecewa dan sakit hati sama lo. Kalo lo masih belum bisa mikir jernih dengan otak lo, jangan salahin orang lain lagi kalo Felicia pergi jauh dari lo dan nggak akan kembali lagi!"
Sekali lagi Aldrich menyerangnya, mendorong Teddy dan membuatnya terlepas dari papahan Felicia.
"Bangs*t! Tau apa lo!? Ngapain lo ikut campur urusan gue sama dia? Hah?!" Aldrich melayangkan pukulannya tiga kali lagi ke wajah Teddy yang membuat Felicia semakin histeris berusaha menghentikannya.
Beruntung kedua sahabatnya, Jonathan dan Andreas, serta Bianca tiba di sana dan menghentikan kegilaan sahabatnya.
Aldrich berusaha meronta-ronta, masih ingin melampiaskan emosinya yang meluap kepada lelaki itu.
"Minggir! Biar gue hajar si brengsek ini!" kata Aldrich masih kehilangan kendalinya walau kedua lengannya sudah di tahan oleh Jonathan dan Andreas di samping kanan dan kirinya.
Felicia berdiri di hadapannya, menempatkan tubuhnya sendiri di antara Teddy dan Aldrich, membuat lelaki itu berhenti dan mengendalikan diri. Felicia tidak sadar, namun air matanya menetes karena menahan kesal.
"Siapa yang kamu bilang brengsek?" kata Felicia menahan amarahnya, "Kalau ada orang yang harus dihajar itu kamu, Al! Kamu yang jahat sama aku." Dia masih berusaha membuat nada bicaranya sedatar dan setenang mungkin.
Aldrich berusaha berkata-kata namun tidak ada yang berhasil disampaikannya untuk membela diri. Mimik wajahnya melunak dan sinar matanya melemah menatap gadis itu. Perasaan bersalah menyelimutinya, karena dia sadar dialah yang membuat segalanya berantakan. Dialah yang menyakiti Felicia.
Aldrich melepaskan diri dari kedua temannya yang memang sudah merenggangkan pegangan kepada Aldrich karena kelihatannya pengaruh Felicia yang berdiri di depannya jauh lebih baik daripada pegangan erat mereka yang berusaha menahan Aldrich sekuat tenaga.
"Cia, aku nggak maksud sakitin kamu." Kata Aldrich selembut mungkin sambil mendekati Felicia.
"Jangan buat aku kecewa sama kamu lebih dari ini, Al." Kata Felicia memundurkan tubuhnya selangkah ke belakang, menjaga jarak dengan lelaki itu, membuat Aldrich menghentikan gerakannya juga.
Felicia kemudian membalikkan tubuhnya dan kembali memapah Teddy pergi dari sana, meninggalkan Aldrich yang mematung bersama teman-temannya.
***
"Aduduh!" Rintih Teddy saat jari Felicia tanpa sengaja menyentuh ujung bibirnya terlalu kasar saat sedang mengoleskan obat luka.
Mereka sedang duduk di mobil Teddy masih di dalam parkiran kampus Felicia.
"Maaf, maaf, Ted, aku nggak sengaja," kata Felicia menjauhkan tangannya dari wajah lelaki itu dengan panik, "gimana nih? Muka kamu kayak gini, padahal nanti malem udah harus berangkat."
"Dari sini sih nggak apa-apa, cuma aku kuatir di imigrasi sana aja. Takutnya aku nggak dikasih masuk karena dikira berandalan dari Indonesia." Candanya dengan wajah datar.
"Terus gimana dong?" Tanya Felicia semakin panik, "kamu musti undur jadwal penerbangan kamu?"
Teddy tertawa walau tetap menjaga mimik wajahnya menahan sakit, "aku bercanda Fel, jangan serius gitu kali!"
Felicia memukul bahu lelaki itu kesal walau tetap menjaga tenaganya perlahan, takut melukai pria itu lebih dari ini, "Nggak lucu, Ted! Aku beneran kuatir, kamunya malah bercanda."
"Khawatir aku kenapa-napa apa khawatir Aldrich kamu ngelukain aku nih?" Ejeknya.
"Apaan sih?" Katanya mengetuskan suaranya tanpa membuat kontak mata dengan lawan bicaranya.
Teddy memajukan wajahnya sambil berusaha mempertemukan pandangan mereka.
"Jujur sama aku, seberapapun kecewanya kamu sama Aldrich, kamu masih mikirin dia kan? Takut dia berbuat aneh-aneh yang bikin kamu khawatir?"
Felicia menundukkan pandangannya. Walau dia tidak berniat mengiyakan, namun dia juga tidak bisa membohongi dirinya dan membantah pernyataan Teddy tersebut.
"Dari yang aku lihat tadi, Aldrich nggak seburuk yang aku kira kok Fel." Kata Teddy lagi, "Kelihatan banget dia masih peduli dan sayang sama kamu. Mungkin dia cuma kaget terima berita kemarin itu dan refleks menolak. Mungkin kamu harus ngomong lagi sama dia, berdua dan dengan kepala dingin," usulnya.
Memang harus diakui Felicia bahwa apa yang dikatakan Teddy tidak salah sama sekali. Dia memang kecewa dengan Aldrich karena lelaki itu menolak mentah-mentah kehadiran bayi yang sangat diinginkannya. Tapi bukan berarti perasaannya kepada lelaki itu langsung serta merta berubah. Felicia berusaha menempatkan dirinya pada posisi Aldrich dan mungkin memang terlalu berat untuk seorang laki-laki seumur Aldrich untuk menerima berita itu tiba-tiba.
Dan Felicia sendiri merasa dirinya terlalu terbawa emosi ketika Aldrich memberi respon berkebalikan dengan apa yang diharapkannya. Aldrich melukai harga dirinya ketika dia menolak sesuatu yang sangat diidam-idamkannya, seorang bayi.
"Kamu akan menyesal sendiri, Fel, kalo kamu mempertahankan ego kamu dan nggak mau memberikan kesempatan ke Aldrich." kata Teddy kembali melanjutkan setelah melihat Felicia begitu tenggelam dalam pemikirannya.
Felicia memandang sahabatnya dalam-dalam.
"Iya, aku ngerti, Ted."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top