Part 22 - Conflict

Andreas berjalan dengan langkah santai memasuki rumah milik Jonathan yang sudah sangat biasa untuk dikunjunginya. Seperti seolah sudah terjadwalkan untuk berkumpul di sana setiap hari minggu, Andreas yakin kedua sahabatnya pasti sudah berada di teras belakang lebih dulu karena dirinya memang datang lebih malam hari ini. Dan dia membawa kabar gembira karena Prita anak Psikologi yang cantik itu sudah resmi menjadi pacarnya hari ini.

Sesuai dugaannya, Andreas menemukan kedua sahabatnya sudah berada ditempat tujuannya. Jonathan sedang duduk di sofa single dan Aldrich sedang berbaring di sofa panjang.

Pemandangan yang biasa kecuali atas fakta bahwa Jonathan tidak melakukan kegiatan apapun kecuali menerawang sambil sesekali melemparkan pandangannya cemas kepada Aldrich sementara Aldrich menutupi kedua matanya dengan lengan yang dibaringkan di atas wajahnya.

"Hai, Bro!" Kata Andreas memecah keheningan yang langsung dibalas Jonathan dengan pelototan sambil meletakan jari telunjuk di depan bibirnya.

Andreas menggerakkan bibirnya untuk bertanya "kenapa?" Tanpa mengeluarkan suara kepada Jonathan yang hanya dibalas Jonathan dengan gelengan karena dia juga sama tidak tahunya.

Andreas duduk di sofa di sebelah kaki Aldrich yang menjulur panjang.

"Kenapa lo Drich?" Tanya Andreas akhirnya karena merasa tidak mendapatkan jawaban dari Jonathan.

Suasana kembali hening karena Aldrich tidak menjawabnya beberapa saat. Di tengah pikirannya yang penat dan kalut, Aldrich mempertimbangkan untuk menceritakan masalah ini kepada kedua sahabatnya atau tidak. Namun mengingat cepat atau lambat mereka akan mengetahuinya juga lebih baik dia mengatakannya sekarang.

"Felicia ninggalin gue," katanya lirih dengan nada sedatar mungkin.

"Kenapa?" Tanya Andreas tidak percaya. Mengingat bagaimana mesranya hubungan pasangan itu serta bagaimana Aldrich bertekuk lutut kepada gadis itu membuatnya tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Dia marah," kata Aldrich lagi singkat.

"Marah kan bukan berarti kalian pisah kan?" Kata Andreas mengonfirmasi, "Felicia jelas-jelas sayang sama lo. Jadi nggak mungkinlah cuma karena dia lagi marah sama, dia ninggalin lo. Paling dia cuma emosi sesaat."

"Dia hamil," akhirnya Aldrich mengungkapkan penyebab masalahnya.

"Ap.. Anj*ng! Bangs*t!" Andreas menghentikan pertanyaannya dan menggantinya dengan ungkapan responnya.

Jonathan memajukan tubuhnya masih tetap duduk di sofa.

"Lo kelepasan?" Tanya Jonathan berhati-hati, "kok bisa? Kapan?"

Aldrich bangkit dan memutar tubuhnya untuk duduk walau tetap menyembunyikan wajah dengan telapak tangannya. Jari-jari tangannya kemudian mengacak rambut ikalnya depresi.

"Cuma sekali pas di Bali. Gue juga nggak nyangka!" Katanya depresi mengungkapkan kekesalannya, "Sialan!"

"Tapi tunggu," kata Jonathan merasa ada keganjilan dari cerita Aldrich barusan, "gue nggak ngerti. Felicia hamil dan dia marah dan dia ninggalin lo? Bukannya dia harusnya minta lo tanggung jawab ya?"

Aldrich terdiam sesaat sebelum mengakui kepengecutannya, "gue minta dia gugurin kandungannya."

Baik Jonathan maupun Andreas tidak berani berkomentar. Mereka paham akan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Bahkan mereka tidak berani menghakimi apa yang hendak dilakukan Aldrich, karena sejujurnya kalau mereka berada di posisi tersebut mereka juga sama bingungnya atas apa yang perlu mereka perbuat.

"Dan dia nggak mau dan milih pisah sama lo?" Tebak Jonathan dengan sangat tepat.

Aldrich mengangguk sambil menyembunyikan wajahnya semakin dalam.

"Felicia juga berpikiran pendek sih, gimana caranya dia mau punya bayi tanpa ayah." Kata Jonathan, "dan gue yakin orangtuanya juga nggak akan tinggal diam. Mereka pasti tahu kalo lo ayah bayinya, mau ngomong apa Felicia sama bokap nyokapnya?"

"Jangan buat kepala gue makin pusing, Jo!" Kata Aldrich berusaha menghentikan rentetan pertanyaan yang akan muncul dari sahabatnya itu dan membuat pikirannya semakin penat, "Felicia bahkan nggak mau angkat telepon gue sama sekali," tambahnya.

Aldrich memang berusaha menghubungi gadis itu segera setelah kesadarannya terkumpul di hotel tadi  dan menyadari bahwa gadis itu benar-benar meninggalkannya. Sejujurnya dia tidak pernah menyangka bahwa Felicia akan sekecewa itu saat dia mengatakan akan menggugurkan bayinya. Dia mengira gadis itu akan menuruti keinginannya seperti yang selalu dilakukan Felicia.

Nyatanya dia salah. Kali ini Felicia benar-benar marah dan kecewa kepadanya. Dia kini tahu seberapa berarti bayi dalam kandungannya itu bagi Felicia. Dan dia menyesal sudah menyepelekannya. Walaupun bukan berarti Aldrich sudah bisa menerimanya.

"Jadi apa yang akan lo lakukan, Drich?" tanya Jonathan lagi membuyarkan lamunannya.

"Gue nggak tahu," jawab Aldrich sama depresinya. Otaknya benar-benar buntu dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Jelas dia tidak rela Felicia meninggalkannya, setelah gadis itu sudah terlalu dalam mengisi hatinya. Namun memiliki bayi saat ini.. Aldrich tidak tahu, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

"Kalian harus ngomong baik-baik lagi Drich," kata Jonathan memberi solusi, "Nggak mungkin kalian pisah begitu aja kan? Mungkin tadi dia lagi emosi aja, lebih baik kalian bicara lagi besok."

Aldrich terdiam walau dalam hati dia mengiyakan. Semoga besok keadaan lebih baik.

***

"Cia," panggilnya Aldrich setelah menempatkan dirinya setenang mungkin di samping gadis yang disebutkan namanya.

Aldrich tahu dimana dia bisa menemukan gadis itu saat di kampus siang hari seperti ini. Dengan mudah dia menemukannya di perpustakaan kampusnya. Namun bagian tersulitnya adalah mengajaknya berbicara, karena gadis itu terlihat begitu antipati ketika melihatnya.

Aldrich tidak pernah mendapatkan pandangan seperti ini dari gadis itu. Felicianya selalu tersenyum kepadanya. Dan kini dia mendapatkan gadis itu memandangnya dengan dingin.

"Cia," panggilnya sekali lagi walau kerongkongannya terasa tercekat tidak dapat melanjutkan.

"Kenapa?" tanya Felicia dingin sambil menunggu beberapa saat sebelum menambahkan setelah Aldrich tidak juga melanjutkan, "Kalau nggak ada yang penting mending kamu pergi dari sini. Kamu ganggu orang-orang di sini yang lagi mau baca."

"Aku perlu ngomong sama kamu, Cia," bisik Aldrich akhirnya memberanikan diri.

Felicia menunggu, memberikan pandangan dinginnya yang membuat Aldrich semakin kehilangan kata-kata.

"Kenapa kemarin kamu pergi gitu aja ninggalin aku?" Kata Aldrich memberikan pertanyaan terbaik yang bisa terpikirkan olehnya.

"Aku rasa udah nggak ada yang perlu dibicarain lagi di antara kita."

"Tentu aja ada." Kata Aldrich tidak terima, "aku nggak pernah bilang kalau aku mau kita pisah, dari mana kamu ambil kesimpulan kayak gitu?"

"Karena kamu nggak mau bayi ini, berarti kamu nggak mau aku juga."

"Cia, aku bukan nggak mau, tapi kita sama-sama belum siap. Kita masih kuliah, Cia," Aldrich otomatis mengecilkan suaranya hampir berbisik untuk memastikan tidak ada yang mendengar mereka, "gimana kita bisa punya bayi?"

"Seperti yang aku bilang kemarin, kamu nggak usah kuatir karena aku nggak akan minta kamu tanggung jawab," Felicia berusaha menegarkan suaranya.

"Gimana bisa?!" Aldrich menaikkan nada suaranya depresi walau akhirnya dia kembali mengingatkan dirinya bahwa dia sedang berada di tempat umum, "Emang kamu mau bilang apa sama Papa Mama kamu? Saat mereka tahu kamu hamil, mereka pasti juga tahu itu bayi siapa. Apa maksud kamu dengan kamu nggak akan minta aku tanggung jawab?"

Felicia memandang Aldrich dengan kesal, berusaha menahan air matanya yang sudah hampir tumpah lagi setelah sepanjang malam kemarin dia menangis, "aku akan cari penyelesaiannya dan kamu nggak perlu kuatir!"

Felicia menutup buku yang sedang dibacanya dan berdiri dari kursi sambil menarik tasnya. Dia ingin buru-buru pergi dari sana sebelum dirinya semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya dan kelihatan lemah di depan Aldrich.

Untuk kedua kalinya Aldrich ditinggalkan sendiri tanpa bisa mencegahnya.

"Brengsek!" Aldrich memukul meja melampiaskan kekesalannya setelah gadis itu sudah luput dari pandangannya. Dia tidak peduli bahkan saat pandangan mahasiswa lain yang menatapnya bingung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top