Part 21 - Something is Not Right

Felicia tidak paham. Walau dia tetap berusaha mencerna apa yang ada di pikiran Aldrich saat ini. Lelaki itu kadang begitu mudah ditebak, meskipun di lain waktu suka membingungkan.

Aldrich itu kasar yang kadang lembut, cuek namun tetap perhatian, dan pria pecinta kebebasan yang posesif. Lelaki bersifat aneh yang disukai dan dicintai Felicia. Mungkin itu juga yang membuat Felicia tidak bisa menjauh, Aldrich selalu bisa membuatnya penasaran.

Tanpa bermaksud terlalu percaya diri, Felicia sadar bahwa dirinya memang memiliki tempat khusus di hati dan pikiran Aldrich, walau dia tidak tahu seberapa besar tempat untuknya. Namun fakta bahwa Aldrich menginginkannya dan perasaannya terbalas tidak salah sama sekali.

Felicia tidak sebodoh itu untuk tidak sadar hal tersebut. Hanya saja Aldrich tetap selalu membuatnya bingung.

Mamanya Aldrich, Vanessa mengajaknya makan siang kemarin. Mamanya yang unik itu, yang tidak marah sama sekali saat memergoki Felicia dan putranya melakukan perbuatan tidak bermoral di apartemennya, kini bahkan meminta Aldrich dan Felicia memberikannya cucu sesegera mungkin, walau status mereka masih tetap belum menikah. Kalau diingat-ingat, mungkin sifat unik Aldrich yang sulit ditebak itu juga berasal dari Mamanya.

Walau permintaan Mama Vanessa itu sangat aneh dan sempat membuat Felicia merona karena malu, dia tidak merasa keberatan sama sekali. Tidak dapat dipungkirinya bahwa saat kemarin dia melihat foto-foto Aldrich saat masih kecil yang begitu manis dan menggemaskan, dia membayangkan memiliki bayi yang sama seperti bayi foto tersebut. Felicia ingin memiliki bayi dari Aldrich. Dia ingin mendapatkan bayi dari orang yang dicintainya.

Dan di luar dari perkara bahwa Aldrich berpikiran sama dengannya atau tidak, karena mereka tidak membahas sama sekali tentang hal tersebut setelah Mama Vanessa meninggalkan mereka kemarin, Aldrich hari ini berhasil membuatnya percaya sejenak bahwa lelaki itu juga menginginkan bayi darinya.

Aldrich melakukannya lagi. Dia memang tidak pernah berhasil memendam gairahnya kepada gadis itu. Dan Felicia selalu ada untuknya dan bersedia menjadi pelampiasannya. Tidak terkecuali hari ini, di tengah acara kencan yang dihabiskan mereka dengan menonton bioskop, saat Aldrich sesekali berusaha mencuri cium gadis itu di kegelapan ruang bioskop dan membuatnya terjebak dalam hasratnya sendiri. Aldrich memang paling ahli dalam mencari perkara untuk dirinya sendiri.

Aldrich masih bisa menggunakan akal sehatnya yang tersisa sedikit untuk tidak melampiaskan hasratnya di mobil karena risikonya terlalu besar. Lagi-lagi satu-satunya tempat yang terpikirkannya adalah hotel murah terdekat dari lokasinya. Sebenarnya dia agak kesal kepadanya Mamanya yang hanya memberikan ijin setengah-setengah seperti ini. Kalau Mamanya benar-benar ingin memberikan ijin, seharusnya Mama Vanessa juga menyediakannya fasilitas untuk memudahkannya. Namun apartemen milik Mamanya yang biasanya sering dipinjamnya untuk menginap malah sudah berhasil disewakan dan tidak dapat dipergunakannya lagi.

Felicia meliukkan sedikit tubuhnya yang terhimpit diantara kasur dan tubuh lelaki itu. Felicia menghembuskan napasnya sedalam-dalamnya tanpa melepaskan pandangan dari lelaki di atasnya yang begitu penuh gairah berbalik menatapnya dengan netra yang menggelap.

Aldrich memang selalu berhasil membuatnya kesulitan bernapas, entah dari caranya memandang gadis itu, caranya membuat Felicia berdebar dan perlakuannya kepada gadis itu seperti saat ini.

Walau Felicia harus mengakui bahwa apa yang diharapkannya ternyata tidak benar. Aldrich bukan ingin memiliki bayi darinya, apalagi menuruti Mamanya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Karena lelaki dengan mata menggelap akibat hasrat itu masih menyempatkan diri menggunakan pengaman sebelum mempersatukan tubuh mereka. Dan Felicia masih tetap bersedia memberikan dirinya menjadi pelampiasan gairah lelaki itu.

Felicia melenguh walau lelaki itu tidak melukainya, hanya sebagai ungkapan gejolak yang dirasakannya akibat sentuhan Aldrich yang membuatnya menggila. Dan geramannya berhasil membuat gairah lelaki itu semakin tidak terkendali.  Baik Felicia maupun Aldrich begitu menikmati setiap gesekan tubuh mereka dan setiap detik yang mereka lalui bersama. Sampai saat Aldrich memberikan sesuatu yang sudah mereka idamkan bersama, pelepasannya mengakhiri pergelutan berpeluh mereka.

Aldrich mengistirahatkan tubuhnya sejenak sambil meletakkan wajahnya di sela tengkuk gadis itu dan membiarkannya menikmati feromon yang terhirup kuat dari sana. Sesekali Aldrich menciumnya masih belum puas walau tubuhnya sudah menyerah meminta waktu istirahat.

Aldrich kemudian mulai melepaskan dirinya dan menegakkan tubuhnya untuk duduk di samping Felicia yang masih berbaring kelelahan akibat perbuatannya. Sambil menyandarkan punggungnya kepada sandaran ranjang, Aldrich mengusapkan tangannya kepada rambut ikal panjang Felicia yang berantakan di atas bantal.

Felicia menarik selimut yang sejak awal tidak mereka hiraukan untuk mulai menutupi tubuhnya sebelum dia mengikuti Aldrich untuk duduk menegakkan tubuhnya.

Tangan Aldrich yang sedari tadi membelai rambut gadis itu masih setia bertengger di puncak kepala Felicia. Kini bahkan dia mengusapkan ibu jarinya ke pelipis Felicia untuk menyeka keringat gadis itu sebelum mengecupnya di tempat yang sama.

Felicia menolehkan kepalanya dan mereka kembali berciuman singkat. Aldrich harus berusaha memundurkan wajahnya terlebih dahulu mengaku kalah. Felicia memang selalu memberikan efek berlebihan kepada hasratnya.

Aldrich memang tidak berniat menghentikan kegiatan mereka malam ini begitu saja saat ini. Waktu baru menunjukkan pukul enam sore dan dia tidak akan menyia-nyiakan ijin yang sudah diberikan orangtua Felicia untuk pulang lebih malam hari ini. Namun bukan sekarang. Dia ingin menikmati waktu beristirahatnya terlebih dahulu dengan Felicia.

Felicia menyandarkan tubuhnya ke dada Aldrich dengan manja. Dia melingkarkan lengannya untuk memeluk lelaki itu, membiarkan tubuh mereka kembali berlekatan. Dan Aldrich membalas rangkulannya sambil mengusap punggung terbuka gadis itu.

Felicia sudah mulai terbiasa dengan aktivitas favorit lelaki itu. Dia masih ingat betapa takut dan paniknya dia sebulan lalu saat pertama kali berhubungan badan dengan Aldrich di Bali. Dan kini dia sama menikmatinya. Hanya dalam waktu lebih dari satu bulan terakhir, Aldrich dan dirinya aktif melakukannya seminggu sekali.

Hanya saja Felicia merasa ada sesuatu yang dia lupakan. Sesuatu mengganjal pikirannya. Sesuatu yang seharusnya terjadi namun masih belum datang juga.

Felicia sedikit melepaskan pelukannya untuk menggapaikan tangannya ke atas nakas tempat dia meletakkan ponsel sebelumnya dan mengambilnya. Felicia membuka sebuah aplikasi kalender di ponselnya dan mencari sesuatu kejadian di bulan lalu.

"Kamu ngapain, Cia?" Tanya Aldrich penasaran melihat apa yang dicari Felicia di ponselnya.

"Al, aku telat," kata Felicia menyadari sesuatu.

"Maksud kamu?" Tanya Aldrich tidak paham. Atau hanya berharap dia tidak paham.

"Harusnya minggu lalu aku datang bulan, Al. Aku telat seminggu. Menurut kamu aku hamil?"

Felicia berusaha menyembunyikan senyumannya. Seharusnya dia panik dan cemas atas fakta ini, namun mengingat bahwa mereka sudah mendapatkan restu dari Mama Aldrich membuatnya kehilangan satu kekhawatiran terbesarnya. Dan perasaannya tidak dapat berbohong bahwa dirinya memang bahagia kalau dia benar sedang mengandung janin dari lelaki yang disayanginya tersebut.

Namun melihat mimik panik dan kecewa Aldrich membuatnya mengurungkan senyuman kebahagiaannya tersebut. Aldrichnya tidak kelihatan antusias sama sekali mendengarkan fakta tersebut.

"Kamu nggak senang, Al?!" Tanyanya masih berusaha menghilangkan pikiran buruk yang masih belum berdasar tersebut.

Aldrich yang merasakan kesadarannya hilang beberapa saat bersamaan dengan jantungnya yang mencelos mendengar kalimat Felicia sebelumnya, berusaha mengembalikan kesadaran bersamaan dengan rasa paniknya.

"Gimana aku bisa senang?" Kata Aldrich panik. Tubuhnya menjauhi gadis itu tanpa sadar, "kita mau bilang apa sama Mama Papa kamu sama aku?"

"Tapi kan Mama kamu udah bilang kalau dia setuju," kata Felicia, "Dia pasti mau bantu kita ngomong ke Papa dan Mamaku, Al."

"Dan memaksa aku nikah sekarang juga? Nggak, Cia!" katanya tidak terima.

Felicia tertegun.

"Aku belum siap, Cia." kata Aldrich sebelum mengoreksi kata-katanya, "Kita belum siap untuk punya bayi."

"Tapi, kalau aku beneran udah hamil?"

"Aku akan usahain sesuatu. Aku akan cari caranya, tapi kamu jangan kasih tahu siapapun dulu, Oke?"

"Usaha? Cara?" ulang Felicia bingung, "Usaha dan cara apa yang kamu maksud?"

Felicia menggeleng dan masih berusaha untuk tidak percaya atas apa yang ada di pikiran lelaki itu dan terpancar dari matanya, "Kamu nggak mau gugurin bayinya kan, Al?!"

Aldrich tidak menjawab pertanyaannya, "Aku belum siap, Cia." katanya sambil berusaha mengusap lengan gadis itu.

Felicia menepisnya. Pandangannya mengatakan bahwa dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, "Ini bayi kamu, Al."

"Aku nggak akan ninggalin kamu, tapi kita nggak bisa punya bayi itu sekarang," jelasnya lagi.

Mata gadis itu yang tadinya begitu lekat memandang Aldrich kini mulai berbayang karena air yang menggenang di pelupuknya. Mata yang memancarkan rasa kecewa itu mulai melepaskan pandangannya dari Aldrich dan air mulai mengalir ke pipinya.

Felicia menyeka air matanya dan berusaha mengendalikan dirinya.

"Aku nggak butuh belas kasihan kamu. Dan aku nggak perlu tanggung jawab dari kamu. Kamu tenang aja, aku nggak akan kasih tahu siapa-siapa," kata Felicia tegas walau suaranya bergetar menahan tangis.

Felicia turun dari ranjang masih menutupi tubuhnya dengan selimut. Dia mengambil pakaiannya yang tergeletak di samping ranjang sambil berjalan menuju kamar mandi.

Aldrich mencoba mencerna kalimat Felicia barusan. Wanita itu jelas marah kepadanya, namun dia tidak paham apa yang dimaksud Felicia. Aldrich mengacak rambutnya depresi. Felicia menangis dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia merasa terjebak dalam kondisi.

Tidak berapa lama Felicia keluar dari kamar mandi hotel dan sudah kembali mengenakan pakaiannya lengkap seperti saat mereka tiba di sana tadi sore.

"Kamu mau kemana, Cia?"

"Pulang," jawabnya singkat sambil mengambil tasnya.

"Tunggu, Cia. Aku antar kamu pulang," kata Aldrich sambil mengambil celananya dan berdiri dari ranjang.

"Aku bisa pulang sendiri," jawabnya sambil tetap mengalihkan pandangannya dari lelaki itu, "Aku nggak minta tanggung jawab dari kamu, jadi kamu nggak punya hak untuk menggugurkan bayi ini. Karena bayi ini punya aku sendiri mulai sekarang."

Aldrich mematung saat melihat gadis itu keluar dari kamar hotel dan meninggalkannya sendiri. Felicia meninggalkannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top