Part 16 - Concious and Wise

"Pagi, Om, Tante," sapa sebuah suara yang mengejutkan Andrea dan Davin di waktu santai sabtu pagi mereka.

"Teddy, kamu kapan balik ke Jakarta?" Tanya Davin bingung melihat kehadiran seseorang yang seharusnya tidak berada di negara ini saat ini.

"Udah dari kemarin, Pa. Tapi Mama lupa kasih tahu Papa. Kemarin Teddy udah mampir cari Cia." Jelas Andrea menjawab tanda tanya di raut wajah suaminya.

"Oh gitu," kata Davin mengangguk-angguk paham, "masih liburan semester ya? Gimana di sana?"

"Udah selesai sih, Om, liburan semesternya. Tapi Mama ngambek karena aku nggak pulang, jadi aku dipaksa Papa pulang seminggu," kata Teddy memamerkan giginya bersalah, "padahal semester baru udah mulai lagi. Aku bolos satu minggu dulu jadinya."

Davin tertawa sambil menggelengkan kepalanya, sementara Andrea menyahutinya, menyetujui apa yang dilakukan kedua orang tua Teddy yang juga merupakan sahabatnya, "kamu sih! Udah setahun nggak balik kemari, pas lagi ada kesempatan tetep aja nggak balik. Pantas aja Mama kamu ngambek."

Teddy hanya tertawa menanggapi celotehan dari sahabat Mamanya itu, memutuskan bahwa itu adalah cara tersopan untuk kabur dari masalah.

"Felicia dimana, Tan?" Tanya Teddy berusaha menghindari pertanyaan lanjutan tentang dirinya sendiri.

"Masih di kamarnya tuh." Jawab Andrea sambil kemudian menanyakan hal yang kemarin belum sempat ditanyakannya kepada Felicia saat putrinya pulang, "kamu kenapa kemarin nggak jadi balik bareng sama Cia, Ted? Bukannya kemarin kamu nyusul dia ke kampus?"

"Kemarin aku udah ketemu Felicia di kampus, tapi dia lagi sama Aldrich, Tante. Dan Aldrichnya ngotot nganterin dia pulang." Teddy terkekeh ingat kejadian kemarin sore, "tapi kemarin Aldrich anterin dia pulang kan?" Katanya memastikan.

"Iya, anterin sih. Cuma Tante bingung aja karena Tante pikir Cia bakal balik sama kamu, taunya sama Aldrich."

"Ada yang jealous, Tante, jadi aku nggak bisa anterin Felicia balik kemarin." Katanya jahil.

Andrea mengerutkan keningnya, awalnya tidak paham, dan setelah paham dia merasa bingung.

"Kamu kan temen kecilnya Felicia, kenapa Aldrich jealous sama kamu?" Tanya Andrea mengutarakan kebingungannya.

"Namanya juga cinta, Tan. Karena cintanya buta makanya cemburunya juga buta," tambahnya dengan usil.

Andrea tersenyum mendengar kata-kata jahil putra sahabatnya itu, "Kamu nih, bisa aja ngomongnya."

"Aku samperin Felicia dulu ya," kata Teddy sambil pamit dan berjalan menuju ke kamar Felicia yang sudah sangat dikenalnya.

Andrea mengawasi lelaki yang mengetuk pintu kamar putrinya sebelum menghilang dari balik pintu tersebut. Dan setelah memastikan lelaki itu sudah tidak bisa mendengarnya, Andrea kembali duduk di sisi Davin dan menepuk pahanya.

"Sayang ya, Pa, Cia nggak jadi sama Teddy," katanya mengawangkan pikirannya sambil menyayangkan rencananya yang kini hanya tinggal rencana.

Davin merangkulkan lengannya ke pinggang istrinya tersebut.

"Kok ngomongnya kayak gitu, Ma?"

"Teddy kan baik dan dewasa. Mama merasa cowok kayak Teddy yang cocok buat Cia, Pa. Papa kan tahu Cia manjanya kayak gimana. Dan kita kenal baik Nathan sama Thania, jadi Mama merasa Teddy itu calon yang paling sesuai sama Cia." jelas Andrea mengungkapkan pendapatnya.

"Tapi menurutku Papa Mamanya Aldrich juga kelihatan baik kok," kata Davin kepada istrinya, "Kalau menurut Mama Teddy cocok buat Cia karena dia manja, mungkin kita bisa coba lihat dari sisi lainnya. Mama ingat nggak minggu lalu waktu Cia bilang ke kita kalau dia mau kenalin pacarnya yang mau ajak dia tunangan?"

Andrea mengangguk menanggapi, sambil menunggu apa yang hendak dikatakan oleh suaminya.

"Waktu itu kita bener-bener nggak pernah nyangka kan kalau Cia akan bisa bilang ke kita kalau dia sudah bisa suka seseorang dan bisa memilih seseorang untuk dikenalkan ke kita?" jelas Davin, "Mungkin Aldrich nggak kelihatan sedewasa Teddy, tapi dia bisa buat putri kita jadi dewasa seperti ini. Dan menurut Papa itu adalah hal yang lebih penting buat kita. Seharusnya Mama setuju, bahwa yang dibutuhkan Cia bukan pria yang selalu menuruti dia, tapi pria yang bisa membuat Cia jadi orang yang lebih baik."

Mau tidak mau Andrea mengangguk setuju. Harus diakuinya bahwa baik dirinya maupun Davin, sama-sama tercengang dan tidak dapat berkata-kata sewaktu minggu lalu putrinya mengatakan ada yang disukainya dan ingin mengenalkan lelaki itu kepada mereka berdua.

Tidak ada satupun argumen yang bisa disampaikannya sebagai seorang ibu saat Felicia menyuarakan perasaan dan keinginannya dengan sangat lugas kepada kedua orang tuanya.

Andrea harus mengakui, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan entah bagaimanapun caranya, Aldrich sudah merubah putri semata wayangnya menjadi lebih baik.

***

"Kamu udah yakin?" Goda Teddy sambil duduk di kursi belajar Felicia di kamarnya.

Pandangannya masih mengikuti gadis itu yang berjalan mondar mandir dari lemari pakaiannya ke depan cermin.

Teddy sudah terbiasa berada di kamar gadis itu untuk menghabiskan waktu mereka mengobrol di sana, walau dengan tetap menuruti persyaratan yang diberikan Mama Andrea, yaitu membiarkan pintu kamar Felicia tetap terbuka lebar.

Felicia mengangguk tanpa terlalu mempedulikan pertanyaan lelaki itu. Matanya terlalu sibuk mengawasi dan mencocokan dress yang satu per satu dia keluarkan dari lemarinya.

"Beneran kamu udah yakin?" Ulang Teddy masih belum puas karena belum mendapatkan jawaban dari gadis itu.

"Ih, Teddy bawel banget sih!? Kamu mending bantuin aku pilihin yang mana yang bagus buat acara nanti malam?" Felicia menyejajarkan dua buah dress yang hampir serupa dengan warna yang berbeda.

"Aku nggak diundang, buat apa aku bantu pilih?" Kata Teddy sambil mencibir dibuat-buat.

"Soalnya dari awal janjinya kita mau ketemu keluarga doang, Ted. Kalo nggak pasti aku bakal undang kamu, kok."

"Katanya udah anggep aku keluarga sendiri," tambah Teddy berpura-pura merajuk, "Udah punya tunangan aja lupa deh sama aku."

Felicia meletakkan kedua gaun yang sebelumnya memenuhi kedua tangannya ke atas ranjang. Raut wajahnya berubah menjadi sedu sambil melihat lelaki di hadapannya yang sudah seperti kakaknya sendiri tersebut.

"Kamu kok ngomongnya gitu, sih, Ted?"

Sejujurnya Teddy selalu ingin sekali mengerjai gadis polos tersebut sedikit lebih lama, namun dia tidak pernah berhasil setelah melihat seberapa lugunya Felicia menanggapi candaannya.

Teddy tertawa sebelum dia bisa berpikir untuk mengendalikan dirinya.

Dan Felicia seketika sadar bahwa lelaki itu lagi-lagi mengerjainya.

"Teddy! Bodo ah!" Felicia menggembungkan pipinya dan menjauhi lelaki itu. Dia kembali mengambil kedua gaun yang tadi ditinggalkannya dan berusaha kembali ke fokus awalnya.

"Sorry, sorry! Habis kamu lucu banget sih!" Teddy bergerak dari kursi untuk pertama kalinya untuk mengacak rambut gadis itu.

"Nggak mau ngomong sama kamu lagi!" kata Felicia tanpa sengaja mengingkari kata-katanya. Karena dia baru saja berbicara dengan lelaki itu.

"Bagusan yang kiri," kata Teddy sambil menunjuk dengan dagunya kepada gaun di tangan sebelah kiri Felicia yang berwarna putih, "Cocok buat acara pertunangan."

Felicia memiringkan kepalanya sambil menimbang-nimbang, seketika lupa bahwa dia sedang kesal dengan lelaki itu, bahkan lupa apa alasannya.

"Gitu?" tanya Felicia sambil memperhatikan gaun putih di tangannya dan melekatkannya di depan tubuhnya sendiri.

Teddy mengangguk.

Dan Felicia sudah mengambil keputusannya.

Teddy menghilangkan senyumnya. Kali ini berusaha menanyakan sesuatu dengan serius. "Kamu beneran udah yakin mau tunangan sama Aldrich?"

Felicia kini memandangnya lurus, tidak seperti sebelum-sebelumnya saat dia hanya memandang Teddy dari bayangan cermin sambil sibuk memilih gaunnya.

"Kenapa memangnya?"

"Ya, kalian kan baru kenal nggak lama. Seharusnya nggak perlu seburu-buru itu juga." kata Teddy memberikan penjelasannya, "dan menurut aku, Aldrich itu sedikit egois."

Felicia mendengarkan. Dia tidak suka Teddy menjelek-jelekkan Aldrichnya, tapi dia memutuskan tidak akan menyelanya.

"Dan aku tahu, gimana perasaan kamu ke Aldrich," tambahnya, "Kamu tahu kan apa yang harus ditanggung dari pihak yang punya perasaan sayang lebih besar?"

"Kayak kamu?" kata Felicia menambahkan.

Dan Teddy merasa tertampar. Namun dia memutuskan mengangguk, "Iya, kayak aku."

"Iya Ted, aku tahu. Mama juga udah pernah bilang ke aku." kata Felicia pasrah, "kita berdua sama aja. Kamu mengejar orang yang kamu suka sampai ke US dan aku nggak bisa melepas Aldrich. Kita berdua sama-sama pihak yang dirugikan, yang lebih sakit, dan lelah. Tapi kita nggak bisa berhenti kan?"

Teddy tersenyum. Adik kecilnya yang manja sudah jauh lebih dewasa dibandingkan saat dia meninggalkannya setahun yang lalu, yang sama sekali tidak bisa menerima dan memahami sama sekali alasan lelaki itu untuk tidak menuruti orang tuanya dan pergi ke US.

"Iya, kita nggak bisa berhenti." katanya mengiyakan sambil mengusap rambut Felicia dengan sayang, "Yang penting kamu tahu dan sadar seberapa tololnya kita. Dan kamu tahu akibatnya."

"Iya, aku paham, Ted. Sangat."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top