Part 15 - Trust

Felicia membuka mata perlahan, kelopak matanya mengernyit saat berusaha melawan terang dari lampu kamar.

Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengingat dimana dirinya berada dan apa yang terjadi sebelum dirinya terlelap. Dan ingatannya segera kembali setelah merasakan tubuhnya tidak bisa digerakkan dengan leluasa.

Aldrich tertidur di atas tubuhnya dan mengunci ruang geraknya. Kepala lelaki itu bersandar di dadanya dan Felicia bisa dengan mudah mengecup rambut dan ubun-ubunnya. Kulit mereka saling bersentuhan dan lengan lelaki itu mendekap tubuhnya erat. Felicia yakin itu yang membuatnya merasa hangat dan nyaman sepanjang dia tertidur tadi.

Mereka berada di sebuah kamar di hotel murah tidak jauh dari kampusnya. Lelaki itu mengajaknya secara paksa tadi sore kemari. Bagaimanapun dan dari sudut pandang manapun Felicia mencoba untuk menilai apa yang telah terjadi padanya tadi tidak bisa mengubah kenyataan. Aldrich memang memaksanya.

Felicia belum pernah melihat Aldrich yang seperti itu. Dia kelihatan penuh amarah. Matanya menggelap saat memandang Felicia, seolah siap menelannya hidup-hidup.

Felicia masih dapat merasakan perih pada bagian bawah tubuhnya. Tempat di mana lelaki itu memasukinya saat dirinya belum siap sama sekali. Aldrich memaksa Felicia menuruti nafsunya tanpa mampu untuk dibantah oleh gadis itu.

Dan kini, lelaki itu tertidur dengan wajah tanpa dosa di dadanya.

Felicia mengusap rambut ikal berwarna hitam pekat itu dengan sayang. Dia ingat bagaimana rambut lebat itu menjadi korbannya saat Aldrich membuat dirinya menjadi pelampiasan gairah lelaki itu. Dan meskipun mereka tidak tidur dalam posisi sejajar, Felicia masih bisa melihat hidung mancung dan bulu mata lentik milik lelaki itu yang mengintip dari balik rambutnya.

Felicia mengecup keningnya.

Setelah apa yang dilakukan pria ini kepadanya tadi, tidak dapat dipungkirinya, bahwa bagaimanapun Felicia masih sangat menyayangi lelaki itu. Bahkan rasa sakitnya bisa tergantikan setelah melihat betapa damai wajah tidur Aldrich sesudah melampiaskan kepadanya.

Felicia mengalihkan pandangan saat mendengar ponsel yang tergeletak di samping bantalnya bergetar.  Tujuannya supaya lelaki itu tidak terbangun.

Dia melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul delapan malam sebelum kemudian mengecek pesan-pesan yang masuk ke ponselnya.

Yang pertama dari Teddy yang memastikan dia sudah sampai di rumah dengan selamat atau belum. Pasti dia khawatir karena Aldrich menariknya dengan paksa tadi.

Km udh sampai rumah?

Felicia mengetikkan balasan seperlahan mungkin berusaha untuk tidak mengganggu pria di pelukannya.

Belum, Ted. Td aku pergi makan mlm sama Aldrich dl. Sbntr lg br balik.

Dia menambahkan sedikit kebohongan karena tidak mungkin dia mengatakan apa yang telah dilakukannya dengan Aldrich di jam makan malam.

Kemudian Felicia melihat pesan selanjutnya dari Mama Andrea.

Cia dimana?

Felicia kembali mengetik jawaban.

Cia lg makan mlm sama Aldrich dl, Ma. Sbntr lg Cia balik ya. Maaf lupa kbrin Mama.

Tidak berapa saat dia mendapatkan jawaban dari Mama Andrea.

Ok, ati2 ya Cia syg.

Dan satu jawaban masuk lagi dari Teddy.

Ok then. Bsk ak mampir ya. Anw, pacar km posesif banget. ;)

Felicia baru saja hendak membalas kembali pesan dari Teddy itu sebelum ponselnya direbut tiba-tiba.

Aldrich yang ternyata sudah terbangun, tanpa merubah posisinya, membaca isi pesan di ponsel Felicia yang baru saja berhasil direbutnya.

"Al udah bangun?" Kata Felicia membiarkan lelaki itu melihat ponselnya.

Felicia dapat melihat ekspresi Aldrich yang tadi sebegitu damai dalam tidurnya kembali mengeras.

"Aku nggak suka kamu chatting sama dia kayak gini," katanya sambil menjauhkan ponsel dan menegakkan kepalanya sehingga wajah mereka kini sejajar.

"Tapi, Al, Teddy itu cuma.."

Aldrich memotongnya cepat, "aku nggak suka kamu sebut nama dia!"

Felicia akhirnya tidak menjawab dan menurutinya. Tangannya menggapai dan membelai pipi Aldrich, berusaha membuatnya rileks dan tenang.

Dan berhasil. Aldrich menurunkan tengkuknya dan mendekatkan bibirnya ke bibir gadis di bawahnya.

Mereka berciuman. Awalnya hanya saling melekatkan bibir, hingga akhirnya sama-sama saling kehilangan kesabaran untuk mengecap bibir pasangannya. Aldrich memiringkan wajahnya untuk membuat pergumulan mereka semakin dalam.

Aldrich memutar posisinya dan membuat Felicia berada di atasnya. Gadis itu kembali menggelitik gairahnya dan siap untuk memulai kembali sebelum Felicia tanpa sengaja menggigit bibirnya seperti sedang menahan sakit.

"Kenapa?" Aldrich menjauhkan wajahnya untuk memperhatikan mimik Felicia dan mendapatkan jawaban.

Felicia menggeleng.

"Sakit dimana, Cia?" Tuntutnya.

Felicia memutuskan untuk jujur dengan menunjuk ke arah bawah tubuhnya sendiri menggunakan sudut matanya, memperlihatkan bagian tubuhnya yang terasa nyeri akibat aktivitas mereka.

Seketika Aldrich paham akibat perbuatan bajingannya kepada gadis itu. Ekspresinya kembali mengeras dan tangannya mencengkram erat. Namun kali ini dia tidak marah kepada orang lain.

Dia marah kepada dirinya sendiri yang begitu brengsek bisa melakukan hal seperti itu kepada Felicia.

"Aku nggak papa," Kata Felicia buru-buru saat melihat wajah Aldrich yang menegang.

"Gimana bisa nggak kenapa-kenapa? Aku bajingan, Cia!" Katanya kesal yang ditujukan kepada dirinya sendiri.

"Kamu bukan kayak yang kamu bilang, Al." Katanya membelanya, "kalo kamu bener merasa yang kamu lakukan salah, kamu bisa perbaiki," lanjutnya.

"Aku janji nggak akan ngulangin, Cia." Katanya buru-buru.

Felicia menggeleng, "bukan itu. Aku mau kamu denger penjelasan aku."

Kali ini Aldrich menurut, menunggu kalimat selanjutnya yang hendak dikatakan gadis itu.

"Teddy itu temen kecil aku, Al." Kata Felicia menjelaskan.

Aldrich menegangkan rahangnya sekali lagi. Dia benar-benar benci membicarakan topik ini. Mendengar nama itu disebut saja berhasil membuatnya meradang, apalagi keluar dari mulut Felicia, yang menyebutnya dengan terlalu lembut dan akrab. Tapi kali ini dia sudah berjanji. Felicia sudah berhasil membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain mendengarkannya.

"Mamanya sahabat Mama aku dan Papanya sahabat Papaku sejak SMA. Semenjak aku sadar aku hidup, Teddy udah ada di samping aku. Dia udah kayak kakak kandungku sendiri, Al. Aku sayang sama Teddy kayak aku sayang Mama Papaku."

Aldrich berdecak sambil memberikan senyum sinisnya, "kamu berpikir begitu belum tentu dia juga berpikir gitu."

"Al, Teddy itu udah punya pacar di US. Makanya dia memutuskan kuliah di sana." Jelasnya menambahkan.

"Tetep aja, Cia. Nggak ada hubungan cewek cowok yang murni bisa bersahabat. Jangan harap aku percaya hal itu bisa terjadi." Katanya mulai menaikkan nada suaranya.

"Kalaupun kamu nggak bisa percaya kalo cewek dan cowok bisa sahabatan, memang kamu nggak bisa percaya sama aku?"

Aldrich terdiam. Bibirnya terkunci mendengar kalimat Felicia barusan. Aldrich asing mendengar kata-kata tersebut. Kata-kata berbau kepercayaan tidak pernah tercetus sama sekali dalam hubungan yang dijalaninya sampai saat ini.

"Meskipun kamu nggak suka sama Teddy dan nggak percaya sama dia, kamu nggak bisa percaya sama aku, Al?" Ulangnya sambil menatap Aldrich.

Mata Felicia menyampaikan ketulusan dan kepolosan yang tidak bisa dibantahnya.

"Ini nggak ada hubungannya sama aku percaya sama kamu atau nggak," kata Aldrich mengalihkan pandangannya dari perempuan itu.

"Ada, Al. Kalo kamu percaya sama aku, kamu akan menerima semua yang ada di aku, termasuk orang-orang yang ada di sekitar aku." Kata Felicia sambil membelai sayang pipi Aldrich, tangan lainnya bertengger di dada lelaki di bawahnya tersebut.

Felicia menggigit bibirnya sendiri untuk menetralisir rasa malunya sebelum menambahkan, "kamu kan tahu gimana perasaan aku ke kamu. Aku rasa itu bisa jadi dasar yang cukup buat percaya sama aku."

Dan Aldrich tidak sanggup lagi untuk tidak memeluk dan menciumnya. Aldrich menarik gadis itu agar terjatuh semakin erat dalam dekapannya sambil mendekatkan bibirnya.

"Al! Kamu nggak serius nanggepin apa yang aku bilang ya?" Katanya menahan maksud Aldrich yang semakin mendekatkan bibirnya.

"Aku nanggepin kok, Cia." Katanya tersenyum, "aku terima pernyataan cinta kamu, makanya aku mau cium kamu."

Wajah Felicia merona tanpa alasan yang jelas mendengar kalimat barusan.

"Ih, aku nggak nyatain perasaan ke kamu!" Felicia memukul pundak lelaki itu dengan manja.

"Aku terima perasaan kamu, makanya aku percaya sama kamu, Cia," jelasnya sambil memainkan anak rambut Felicia yang jatuh dari pelipisnya.

Felicia tersenyum mendengar kalimat terakhir dari mulut Aldrich. Matanya memandang lelaki itu dengan penuh syukur.

"Dan karena itu juga aku udah buat keputusan. Pertunangan kita besok tetap jalan." Kata Aldrich lagi dengan mantap.

"Kamu serius?" Kata Felicia memastikan.

Aldrich mengangguk. Dia kembali menarik tengkuk gadis itu mendekati wajahnya. Sambil memiringkan wajahnya, Aldrich melekatkan bibir mereka.

Felicia menurutinya. Dia memejamkan mata dan menikmati ciuman mereka. Felicia berusaha tidak memperlihatkan senyumannya, namun perasaannya tidak bisa berbohong bahwa saat ini dia terlalu bahagia. Perasaannya berbunga-bunga atas fakta bahwa hubungannya dengan Aldrich akan resmi besok.

Aldrich sedikit menaikkan tubuh mungil di atasnya untuk semakin memudahkannya melahap bibir yang kini bertengger di bibirnya. Tangannya mulai bergerak menyusuri punggung polos Felicia sementara tangan lainnya menahan tengkuknya tidak menjauh.

Felicia buru-buru menjauh sebelum dia sendiri tidak sanggup lagi menolak ritme godaan dari lelaki itu.

"Al, aku musti pulang. Nanti Mama kuatir."

***

Ada yang bisa nebak nggak Teddy itu anak siapa? Hehehe
Agak nggak penting sih, cuma penasaran aja seberapa aware kalian akan hal ini. 😋

Enjoy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top