Part 14 - Jealous

"Teddy?!"

Felicia tidak percaya dengan matanya sendiri. Sesosok lelaki jangkung bertubuh tegap dan berkulit sawo matang sedang berdiri di dekat pintu gerbang kampusnya.

"Surprise!" Kata lelaki jangkung itu memamerkan giginya sambil melebarkan kedua lengan panjangnya ke arah gadis di hadapannya tersebut.

Felicia menyambut kedua lengan tersebut dan memeluknya erat untuk melepaskan rasa rindunya.

"Kok kamu nggak bilang-bilang kalo lagi balik Jakarta?"

Teddy menyengir sambil masih memeluk erat gadis itu, "kan mau kasih surprise."

"Kamu kenapa bisa tahu aku lagi di kampus? Kalo aku udah keburu pulang gimana?" Felicia mendongak memandang lelaki jangkung itu.

"Tadi aku abis dari rumah kamu dulu. Terus Tante Andrea bilang kamu masih di kampus. Ya udah sekalian aja aku bilang Pak Pri nggak usah jemput kamu, biar aku yang jemput." Teddy mengusap-usap rambut perempuan di depannya itu sayang.

Felicia mengangguk-angguk paham.

"Makin cantik aja sih kamu," tambah Teddy sambil mencubit pipi kanan dan kiri gadis itu dengan gemas.

"Ih, apaan sih! Sakit tau!" Felicia berusaha melepaskan kedua tangan besar itu dari pipinya sambil meringis kesakitan.

"Denger-denger dari Tante ada yang mau tunangan ya minggu ini?" Lanjut Teddy sambil tersenyum menggodanya, "Nggak bilang-bilang aku lagi. Coba kalo aku nggak balik Jakarta sekarang, bisa-bisa aku langsung denger berita kamu udah hamil lagi!"

Felicia berusaha menahan rona wajahnya mendengar ejekan lelaki itu, "Apa-apaan sih Ted?! Becandanya nggak lucu deh! Kamu juga hilang kabar gimana aku mau cerita, coba?!"

Teddy tertawa melihat kelakuan menggemaskan perempuan yang sudah seperti adiknya sendiri itu.

"Iya, iya. Ini kan makanya aku mau dengerin ceritanya. Cerita yang lengkap ya," kata Teddy sambil tersenyum, "kisah cinta super kilat Cia yang udah langsung mau tunangan."

Felicia merasa tangannya yang masih memeluk pinggang lelaki jangkung itu dilepaskan secara paksa tiba-tiba sebelum dia sempat memprotes ejekan yang keluar dari mulut Teddy barusan. Dan dalam hitungan detik, dirinya sudah berada menjauh setengah meter dari lelaki itu dan berada di balik punggung seseorang.

"Al?" Felicia terkesiap melihat Aldrich sudah berada di antara dirinya dan Teddy, "kamu kok ada di sini?"

"Siapa lo?" Kata Aldrich dengan suaranya yang terdengar sangat dingin. Pertanyaannya bahkan tidak terdengar ingin tahu, namun lebih seperti ingin memastikan status lelaki yang berani-beraninya berpelukan dengan pacarnya.

Aldrich sebenarnya sudah mengawasi gadis itu semenjak dia pamit untuk pulang sebelumnya. Hanya untuk memastikan bahwa gadis itu sudah aman sampai bertemu dengan supirnya seperti biasa. Namun dia malah harus menyaksikan adegan mengerikan barusan dan harus maju untuk menghentikannya.

"Al, ini temen kecil aku, Teddy," kata Felicia buru-buru menjelaskan.

"Hai," kata Teddy memamerkan senyum dan mengulurkan tangannya dengan ramah.

Aldrich berusaha mengendalikan emosinya dan mengutamakan gengsinya untuk membalas uluran tangan ke arah lelaki di hadapannya itu.

Dia tidak pernah mengalami perasaan seperti ini. Perasaan kesal kepada seseorang tanpa alasan yang jelas. Perasaan enggan menyambut uluran tangan seseorang yang memberikan uluran tangannya dengan senyuman. Dan perasaan ingin menonjok seseorang yang tidak melakukan kesalahan apapun kepadanya.

Dan dia harus mengendalikan perasaan tersebut. Karena tidak pernah ada dalam sejarah seorang Aldrich Shah kehilangan kontrol dirinya, apalagi karena seorang perempuan.

"Aldrich," katanya memperkenalkan namanya kaku.

"Pacarnya Felicia kan?" kata Teddy memastikan walau dia sudah sangat yakin melihat gelagat lelaki overprotective itu.

"Tunangan!" kata Aldrich mantap.

***

Aldrich tidak pernah percaya dengan apa yang disebut dengan karma. Menurut Aldrich, nasib hidupnya hanya ditentukan dengan kata beruntung dan tidak beruntung. Kadang dia mengalami keberuntungan dan kadang tidak. Dan dia tidak pernah ambil pusing karenanya.

Namun tidak kali ini. Dia berada di posisi di mana dia harus mengakui bahwa dia mengalami apa yang disebut dengan karma. Kalau dia pernah membuat Felicia merasa seolah-olah kehadirannya tidak terasa, kini dia mengalaminya. Jika dia pernah dengan sengaja membuat Felicia kesal karena dia berdekatan dengan perempuan lain, kini dia yang merasakannya.

Aldrich merasa dirinya seperti kambing congek berada di antara kedua orang penuh nostalgia ini. Seharusnya dia berpura-pura santai saja dan meninggalkan mereka berdua saat Felicia mengatakan akan pergi makan dulu dengan Teddy sebelum pulang. Namun dia malah ngotot bergabung dengan kedua orang tersebut dan membuat dirinya seperti orang tolol.

"Gimana kuliahnya?" tanya Teddy sambil menyuapkan bakso ke dalam mulutnya.

"Ya, belum gimana-gimana, Ted. Kan baru mulai kuliah juga. Baru juga satu bulan." jawab Felicia sambil menyeruput minumannya.

"Kamu nggak mau ikut kuliah di US sih. Aku udah siapin semuanya padahal."

"Kan kamu tahu Mama aku gimana, Ted." kata Felicia memberikan senyumnya pasrah.

"Kalo kamunya nggak begini juga Tante nggak akan sebegitu overprotective-nya, princess manja!" kata Teddy sambil mengacak-acak rambut gadis itu.

Aldrich mencengkram tangannya kuat-kuat. Rahangnya mengeras saat dia mengertakkan giginya.

"Ih, apaan sih!" Felicia merapikan rambutnya yang diacak-acak lelaki jangkung itu.

Teddy tertawa melihat kelakuan gadis itu sambil menggelengkan kepalanya, perhatiannya teralih ke arah Aldrich yang masih menatapnya tidak bersahabat, "Gue kagum, lo bisa dapat ijin buat tunangan sama Felicia. Gue mau minta ijin ajak dia kuliah di luar negeri aja susah banget."

Tidak ada yang salah dari kalimat Teddy barusan, namun mendengarnya membuat telinga dan hati Aldrich memanas. Atas dasar apa lelaki itu hendak mengajak Felicia kuliah di luar negeri. Dia bukan kakaknya dan bahkan bukan pacarnya. Dia tidak habis pikir dengan apa yang ada di otak orang di hadapannya ini.

"Apa urusannya sama lo kalo gue bisa tunangan atau bisa nikah sama dia?" kata Aldrich tanpa bisa menghentikan kata-kata keluar dari mulutnya sendiri, yang bahkan setelah sepersekian detik, membuatnya menyesali kalimat yang membuatnya terdengar sangat tidak dewasa tersebut.

Teddy menaikkan alisnya bingung sambil bertukar pandang dengan Felicia, walau senyum masih menghiasi wajahnya.

"Al?" panggil Felicia karena merasa asing dengan tanggapan dan sikap Aldrich barusan, "Kok kamu ngomong gitu?"

Aldrich menghela napas dan membuang pandangannya, tidak berniat memperpanjang apalagi menjawab pertanyaan apapun.

Walaupun tidak demikian dengan sang lawan bicaranya. Teddy kelihatan tertarik untuk menanggapinya. Sifat jahilnya tergelitik melihat reaksi berlebihan lelaki di hadapannya ini.

"Jelas ada urusannya dong, sebagai orang yang punya hubungan khusus sama Felicia, gue perlu tau."

Aldrich menatap kembali lelaki di depannya ini dengan benci dan marah setelah sejak tadi enggan memandangnya.

Felicia yang duduk di samping Teddy menarik lengan kemejanya, "Ted, apa-apaan sih?" katanya separuh berbisik sambil sesekali melirik ke arah Aldrich, khawatir lelaki itu salah paham dengan apa yang dikatakan oleh Teddy.

"Kenapa sih, Fel? Kamu belum bilang sama Aldrich hubungan kita?"

Aldrich melihat ke arah Felicia seolah menuntut jawaban dari gadis itu.

"Teddy!" kata Felicia berusaha memperingati canda lelaki itu yang menurutnya mulai keterlaluan melihat seberapa kaku wajah Aldrich menanggapinya.

Teddy tertawa puas, "gue cuma bercanda kok!"

Namun kalimat Teddy barusan tidak membuat Aldrich melemaskan uratnya sama sekali.

Aldrich mengangkat tubuhnya kasar sambil menatap Felicia tajam, "Ayo pulang!"

"Gue aja yang anter pulang," sahut Teddy, "rumah kita kan deketan. Lagian tadi gue udah janji sama Tante buat anter Felicia."

"Aku yang anter kamu pulang, Cia!" Kata Aldrich mengarahkan pandangannya kepada Felicia, menyatakan bahwa dia hanya ingin berbicara dengan gadis itu.

"Ted, aku balik dulu sama Aldrich ya, nanti aku bilangin Mama kalo aku balik sama Aldrich," kata Felicia buru-buru sambil mengambil tasnya.

Aldrich membalik badannya setelah memastikan gadis itu mengikutinya berdiri. Dalam hati dia tersenyum puas walau sebelumnya sempat ragu Felicia akan menurutinya mengingat apa yang sudah dilakukannya beberapa hari ini kepada gadis itu.

Teddy hanya bisa mengangguk sambil mengawasi kepergian gadis yang terburu-buru mengikuti Aldrich. Dia tersenyum dalam monolognya melihat kelakuan kekasih Felicia yang menurutnya cukup unik, serta sikap Felicia terhadapnya. Dia benar-benar tidak menyangka adik kecilnya sudah bisa menyukai seseorang.

***

"Al, tunggu aku!" kata Felicia masih mengekor Aldrich yang berjalan dengan langkah lebar-lebar menuju ke tempat parkir gedung di kampusnya.

Mereka berjalan menuju mobil Aldrich yang terparkir di tempat tersebut.

"Al!" panggil Felicia sekali lagi, dan Aldrich menghentikan langkahnya, membuat Felicia hampir menabrak punggung lelaki itu.

Aldrich menarik napasnya sekali sebelum membalik tubuhnya dan mengeluarkan isi pikirannya, "Aku pacar pertama kamu?!" katanya sinis, "dari yang aku lihat, kayaknya aku bukan yang pertama buat kamu seperti yang selama ini selalu kamu bilang."

"Kan tadi Teddy udah bilang dia cuma bercanda, Al. Aku sama Teddy cuma teman." jelasnya.

Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Felicia tidak ada yang bisa masuk dalam akal sehatnya. Hanya satu kata yang bisa tertangkap olehnya, yaitu setiap nama lelaki itu terucap oleh Felicia. Dan setiap dia mendengarnya membuat kepalanya semakin panas dan matanya menggelap.

Untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa sebenci itu mendengar pacarnya menyebut nama lelaki lain.

Aldrich mencengkram tangan Felicia keras, membuat gadis itu menyernyit kesakitan.

"Buktiin kata-kata kamu!" Perintah Aldrich dengan nada dingin dan asing,"buktiin kalo kamu sama Teddy nggak ada apa-apa! Buktiin kalo kamu bener-bener cuma milik aku, Cia!"

Felicia mengawasi Aldrich yang nampak begitu asing untuknya. Mata lelaki itu menggelap dan penuh amarah.

Dan Felicia tidak ada niat sama sekali untuk menentangnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top