Epilog - Honeymoon

17++

Aldrich menghembuskan napasnya panjang, membuang hasil hirupan nikotin yang masuk ke dalam tubuhnya beberapa detik lalu. Dia menggantungkan kedua lengannya di penyangga balkon di lantai ke sembilan bangunan hotel tempatnya berada itu. Angin malam menerpa wajahnya dan membuatnya merasa nyaman menikmati waktu sendirinya tersebut.

"Iya, Ma. Cia ngerti kok, Mama tenang aja ya."

Aldrich bisa mendengar dari celah pintu balkon yang sengaja tidak ditutupnya dengan rapat, suara Felicia yang masih tetap asik berbicara dengan ponselnya sejak lima belas menit yang lalu, saat Aldrich meninggalkannya keluar.

Bukan. Bukan Aldrich yang meninggalkannya terlebih dahulu, melainkan gadis itu yang tidak mengacuhkannya setelah suara ponselnya berbunyi lima belas menit yang lalu. Oleh karena itu Aldrich memutuskan membunuh waktunya dengan merokok di balkon sambil menunggu gadis itu bercakap-cakap, sekaligus menunjukkan dirinya yang merajuk.

Padahal hari ini adalah hari pernikahan mereka dan malam ini adalah malam pertama mereka. Dan pengganggu di telepon itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mama istrinya sendiri yang baru saja berpisah dengan mereka beberapa waktu yang lalu sebelum mereka naik ke kamar suite untuk pengantin yang sudah mereka pesan selama beberapa hari ini sebagai pengganti honeymoon mereka yang harus tertunda karena mereka masih harus kuliah dan tidak bisa pergi terlalu jauh.

Walau Aldrich tidak terlalu keberatan karena menurutnya lebih menyenangkan berada di hotel berdua saja dengan Felicia daripada harus pergi honeymoon ke tempat asing dan membuang waktu berkualitasnya untuk hanya berdua dengan gadis itu.

"Iya, Mama. Nanti Cia bilang ke Aldrich juga, Ma.. Iya, makasih Ma. Nite, Ma."

Aldrich mendengar suara gadis itu semakin jelas dan mendekat ke arahnya. Dia sudah sadar bahwa Felicia menghampirinya sebelum gadis itu membuka pintu geser balkon dan memeluknya dari belakang.

"Nggak dingin berdiri di sini nggak pake kaos?" Felicia bertanya dengan nada manjanya sambil mempertemukan kulit tubuh mereka yang sama-sama tidak berlapiskan kain.

Begitu masuk ke kamar suite ini, bahkan sebelum mereka mengecek kamar tidur dan ranjang mereka, Aldrich sudah melancarkan aksinya melucuti dress yang dipakai Felicia di sofa ruang tamu. Dan Felicia juga sudah berhasil melepaskan kaos Aldrich ditengah pergumulan mereka sebelum suara ponselnya berbunyi menghentikan aktivitas mereka.

Aldrich sudah puasa berhubungan intim dengan gadis itu dua bulan belakangan ini. Tepatnya setelah kejadian salah pahamnya dengan Felicia dan dia memutuskan untuk menikahinya. Dia terus berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak menyentuh Felicia lebih dari mencium dan memeluknya sambil mencoba mengingatkan diri bahwa setelah mereka menikah, Aldrich bisa melakukannya kapanpun tanpa rasa bersalah, walau Felicia selalu memberikannya cobaan besar.

Aldrich mematikan rokok yang memang hanya tinggal beberapa senti panjangnya ke asbak di dekat lengannya. Dia kemudian berbalik untuk berhadapan dengan gadis itu dan membuat kulit perut mereka bertemu.

Aldrich ingin merajuk sedikit lebih lama lagi, untuk membuat Felicia merasa bersalah dan menurutinya, namun dia tidak bisa. Wajah tersenyum gadis itu selalu berhasil membuatnya meleleh dan menyerah.

Aldrich menunduk dan melekatkan bibir mereka. Tangannya menahan tengkuk gadis itu sambil memperdalam kecupannya sebelum kembali menjauh.

"Mama yang telepon?" Tanya Aldrich retoris.

"He-eh," Felicia menghela napas masih tidak memindahkan pandangannya dari bibir Aldrich yang sudah menjauhinya. Dia belum puas menyicip bibir itu dan dalam usahanya, dia melingkarkan kedua lengannya ke leher Aldrich agar tidak menjauh.

"Bilang apa Mama?" Tanya Aldrich lagi penasaran.

"Kasih pesan-pesan buat malam pertama kita, Al," kata Felicia sambil menarik lengannya sendiri dan membuat bibir mereka kembali bertemu.

Aldrich mengikuti keinginan gadis itu. Telapak tangannya mengusap-usap punggung terbuka Felicia dan berhasil membuat gadis itu semakin bersemangat memainkan bibirnya.

Dia tahu, bukan hanya dirinya yang menderita menahan diri selama ini. Felicia pasti sama merananya menahan gejolak hasrat atas komitmen mereka untuk tidak berhubungan intim lagi sebelum menikah. Dan Aldrich senang bahwa malam ini penderitaan mereka akan berakhir. Aldrich sudah punya hak untuk melampiaskan kebutuhannya kepada gadis itu.

"Al," panggil Felicia sambil menjauhkan wajahnya dan mengatur napasnya, "mandi bareng, yuk."

Aldrich tersenyum sebagai jawaban. Malam ini akan menjadi malam yang panjang dan menyenangkan untuknya.

***

Aldrich membelalakkan bola matanya. Kerongkongannya terasa kering dan dia menelan ludahnya dalam-dalam saat melihat aksi striptease yang dilakukan istrinya di kamar mandi.

Felicia menanggalkan bra dan panty-nya sendiri sebelum beranjak masuk dan bergabung dengan Aldrich untuk masuk ke dalam bathtub.

Aldrich menggandeng tangan gadis itu dan membimbingnya untuk duduk di depannya dan memunggunginya di kotak porselen berukuran setengah kali satu setengah meter itu.

Felicia terlihat terkejut saat baru saja duduk di dalam bathtub membelakangi Aldrich dan kemudian terkekeh beberapa saat setelahnya sambil menolehkan pandangannya untuk bertemu dengan Aldrich. Matanya memandang Aldrich dengan menggoda, yang sangat Aldrich pahami artinya. Gadis itu baru saja menyentuhnya di bagian yang bereaksi paling kuat terhadap efek Felicia, dan gadis itu tentu sudah sangat paham sekarang seberapa besar hasratnya yang perlu dilampiaskan kepada gadis itu.

Felicia menyentuh pipi Aldrich dan membimbing mereka untuk kembali berciuman. Dia membiarkan tangan lelaki itu bergerilya sebebasnya di sekujur tubuhnya di dalam air sambil menikmati sensasinya. Sesekali mulutnya mengeluarkan lenguhan tertahan saat tangan lelaki itu melakukan tindakan yang berhasil membuatnya mengejang. Dan Aldrich selalu ingin mendengar lebih atas setiap kepuasan yang keluar dari bibir gadis itu.

"Al," panggil Felicia sambil akhirnya memundurkan wajahnya dan menghentikan permainan bibir mereka.

"Hm?" Aldrich memandangi wajah merona gadis itu dengan sedikit tidak sabar. Tangannya masih mengusap-usap perut bagian bawah Felicia di dalam air.

"Hmm," Felicia mengatur napasnya sambil memikirkan bagaimana menyampaikan apa yang dikatakan Mamanya di telepon tadi kepadanya.

Mama Andrea memang menelepon bukan tanpa maksud yang jelas kepadanya. Dia mengingatkan sesuatu kepada Felicia, yang kini perlu disampaikan dan didiskusikan dengan suaminya sebelum mereka terlanjur terbawa hasrat malam ini.

"Tadi Mama telepon kasih saran buat kita, Al. Mama khawatir karena kita kan masih muda dan masih kuliah," kata Felicia memulai kalimatnya, berusaha supaya Aldrich tidak salah paham dengan apa yang disampaikannya, "kata Mama, mungkin lebih baik kita pikirin ulang dulu masalah mengenai punya bayi. Dia khawatir kalo kuliah aku nanti keteteran, terus kan kita sama-sama belum kerja dan belum punya rumah sendiri, jadi Mama minta kita diskusi dulu berdua tentang rencana ke depannya gimana."

Aldrich terdiam mendengarkan dan berusaha mencerna. Sepertinya dia harus menunda beberapa saat hasrat lelakinya karena ini akan menjadi pembicaraan serius ditengah foreplay mereka.

"Mama minta kita pake pengaman dulu untuk sementara, Al." tambah Felicia akhirnya mengungkapkan inti pembicaraan Mamanya.

Aldrich masih bungkam memikirkan.

"Tapi kata Mama semuanya tetap balik ke kita, Al. Yang penting kita pikirin baik-baik," Felicia sekali lagi menambahkan karena Aldrich masih saja tidak berbicara apa-apa, yang membuatnya mengira Aldrich tidak suka dengan apa yang disampaikan Mama Andrea. Walaupun Aldrich tidak berpikir demikian.

Mau tidak mau Aldrich setuju dengan pendapat Mama Andrea. Meskipun Aldrich melamar gadis itu dengan janji memberikan bayi untuknya. Dan Aldrich tidak berniat melanggar janjinya, apalagi dia memang sangat ingin memiliki anak dengan Felicia secepatnya.

Namun logikanya sempat menyentilnya untuk mempertimbangkan menunda keinginan untuk memiliki anak mengingat statusnya yang masih mahasiswa, yang masih menggantungkan hidup kepada kedua orang tua. Terlebih Felicia, mana tega dia membiarkan gadis kesayangannya itu menunda pendidikan dan masa depan untuk melahirkan bayi untuknya.

Aldrich mencemooh dalam hatinya sendiri saat mengingat Mamanya, Vanessa. Dia heran kenapa bisa ada dua orangtua yang memiliki pemikiran yang berbeda seratus delapan puluh derajat seperti Mamanya dan Mama Felicia.

"Inget ya Drich! Inget! Keluarin di dalem! Mama tuh sebenernya kecewa sama kamu, masa bikin aja nggak jadi-jadi, sih. Padahal Mama udah kasih kesempatan kayak gitu. Perlu Mama ajarin caranya apa?!"

Seketika kata-kata vulgar Mama Vanessa tadi sore sebelum mereka berpisah saat Mama Vanessa menariknya untuk menjauh berdua dan memberikan pesan terngiang dipikirannya.

Sebenarnya baik Mama Vanessa maupun kedua orangtua Felicia sempat mencurigainya saat tiba-tiba Aldrich berkata ingin melamar Felicia dan menikah secepatnya. Tentu saja mereka curiga dalam ekspresi yang berbeda, dimana Mama Vanessa kegirangan mengira Aldrich sukses menghamili pacarnya, sementara Mama Andrea dan Papa Davin panik karena mengira putri mereka hamil. Walaupun tuduhan mereka tidak terbukti.

"Aldrich marah ya?"

Kata-kata Felicia menyadarkan Aldrich dari lamunannya.

Aldrich memandang Felicia yang kelihatan cemas dan takut. Dia memberikan senyuman untuk menenangkan gadis itu.

"Nggak, Cia, aku nggak marah." Aldrich melayangkan kecupan ke tengkuk Felicia dan sedikit membuatnya bergidik. Dan karenanya Felicia tahu lelaki itu tidak marah.

Mereka kembali berdiaman, walau Aldrich tidak berniat menghentikan gerakan jarinya di kulit halus gadis itu.

"Aku rasa yang Mama bilang ada benernya," kata Aldrich akhirnya mengakhiri keheningan di antara mereka, "sebenernya aku juga kepikiran hal yang sama. Kamu kan masih semester satu, aku takut kuliah kamu ketinggalan juga kalo kamu langsung hamil."

Kali ini giliran Felicia yang bungkam. Sepertinya dia tidak menyangka kalau Aldrich malah akan menyetujui kata-kata Mamanya dan melupakan janji sebelum menikah mereka, untuk memiliki bayi secepatnya.

"Kamu nggak mau punya bayi ya, Al?" Tanya Felicia berusaha menghilangkan nada kecewa di suaranya.

"Bukan gitu, Cia. Aku mau banget, kan aku udah pernah bilang kamu," Aldrich mengeratkan pelukannya melingkari tubuh gadis itu, "tapi aku mikirin kamunya, Cia."

Aldrich menikmati tubuhnya yang bersentuhan dengan kulit mulus Felicia, "kamu pikir aku tega lihat kamu hamil di usia delapan belas dan nggak bisa nikmatin masa kuliah kamu kayak Bianca ataupun yang lainnya."

Felicia masih termenung, walau perasaannya menghangat mendengar penjelasan dari Aldrich.

"Kita masih punya banyak waktu kok. Nunggu kamu lulus kuliah pun kamu masih cukup muda, Cia." Aldrich berusaha memperhatikan raut wajah Felicia sebelum menambahkan, "gimana menurut kamu?"

"Emangnya aku bisa apa kalo kamunya juga nggak mau?" Felicia mengerucutkan bibirnya berpura-pura menggerutu, karena meskipun dia masih merasa kecewa bahwa Aldrich berpendapat sama dengan Mamanya, alasan lelaki itu cukup bisa diterima olehnya.

"Cia.."

Felicia buru-buru memotong sebelum nada lirihan Aldrich membuatnya semakin tidak tega. Felicia mengecup bibir Aldrich untuk membungkamnya.

"Iya, iya, aku terserah kamu aja, Al," katanya setelah melepaskan ciumannya, "aku memang mau punya bayi dari kamu, tapi seperti yang kamu bilang kita masih punya banyak waktu kok." Felicia memberi senyumannya yang berhasil membuat Aldrich merasa tenang.

Aldrich kembali mendekatkan wajahnya untuk menikmati bibir yang selalu terasa manis dan menggoda seberapa seringpun dia mencicipinya. Dia menggunakan tangannya menahan tengkuk gadis itu untuk tidak menjauh darinya, sambil tanpa henti mengecapnya.  Aldrich ketagihan. Dia memang tidak pernah merasa puas dan tidak mampu berhenti atas semua yang berhubungan dengan Felicia.

Tidak dibiarkannya celah sekecil apapun ada di antara pergumulan bibir mereka. Sementara kini tangannya bergerak kembali turun ke dalam air dan membimbing tubuh gadis itu berputar dan kini berhadapan dengannya sambil duduk di atas pangkuannya.

Felicia menggigit bibir lelaki itu dan sedikit membuat Aldrich berjengit kesakitan saat tubuh bagian bawah mereka saling bersentuhan. Dan Aldrich tahu bahwa Felicia menyukai sensasinya, sama seperti yang dirasakannya.

Aldrich tidak sabar memasuki gadis itu. Walau sedetik kemudian dia mengutuk dalam hati setelah mengingat sesuatu.

"Aku nggak bawa kondom," kata Aldrich sekali lagi melepaskan diri, berusaha mengatur napasnya yang mulai tidak beraturan.

Felicia menggigit sendiri bibirnya karena tidak puas saat lelaki itu menjauhkan diri. Matanya tidak lepas dari bibir yang sudah menjadi korban hasratnya. Dia tidak peduli apapun maksud yang disampaikan Aldrich barusan karena yang paling diinginkannya saat ini adalah melahap bibir dihadapannya.

"Gawat kalo aku kelepasan nanti, Cia," kata Aldrich lagi karena gadis itu tidak memberikan reaksi.

"Nggak papa, Al." bisik Felicia terdengar tidak sabar. Kemudian dia kembali menambahkan, "nanti keluarin di luar aja."

Felicia kembali mendekatkan wajahnya mempertemukan bibir mereka dan berjanji tidak akan membiarkan apapun menghalangi keinginannya saat ini, karena dia mendamba Aldrich dalam dirinya.

***

Aldrich bisa mendengar suara desah napas tertahan gadis itu di tengah aktivitas di atas ranjang mereka. Peluh di pelipis dan tengkuknya membuat gadis itu terlihat semakin cantik dalam gairahnya. Dan Aldrich bisa mencium aroma feromon menggoda dari Felicia.

Felicia berada di atasnya. Di tengah penyatuan tubuhnya, gadis itu mengajukan diri untuk memimpin mereka. Ini bukan pertama kalinya gadis itu ingin memimpin dan Aldrich memang selalu menikmati saat liukan pinggul gadis itu memuaskannya. Dia suka Felicianya yang penuh gairah seperti ini.

Aldrich hanya membimbing pinggul molek yang selalu berinisiatif melakukan gerakannya itu dengan menggunakan kedua tangannya, dan sisa dari kenikmatan mereka merupakan hasil jerih payah gadis itu. Dia sudah berada sempurna di dalam tubuh Felicia, dan setiap hentakan gadis itu berhasil membuatnya semakin mendekati pelepasannya.

Aldrich berusaha sekuat tenaga menahan diri. Sesuai janjinya, dia tidak ingin melepaskan benihnya ke dalam tubuh gadis itu. Tidak dalam waktu dekat ini.

Oleh karenanya, saat dia tidak mampu lagi mengendalikan gejolak yang hendak keluar dari dirinya, Aldrich menahan pinggang gadis di atasnya dan memberikan isyarat untuk menghentikan aktivitas mereka sesaat.

Namun Felicia tidak menggubrisnya. Tangannya membimbing kedua tangan lelaki itu untuk kembali berada di punggungnya sementara Felicia mempercepat gerakan tubuhnya dan kembali membiarkan dirinya dipenuhi lelaki itu.

"Cia, aku udah mau keluar," kata Aldrich memperingatinya. Tangannya masih berusaha menahan gerakan agresif di atasnya.

Felicia jelas mendengar peringatannya. Aldrich yakin itu saat pandangan mata mereka beradu. Tapi gadis itu tidak mengacuhkannya.

Aldrich tahu semuanya sudah terlambat ketika Felicia menghentakan badannya terakhir kali dan mempertemukan tubuh mereka sangat dalam. Aldrich menikmati pelepasannya di dalam gadis itu.

Seluruh organ tubuh gadis itu bergetar dan limbung saat Aldrich menyerangnya dengan sangat kuat. Matanya terpejam dan rintihan keluar dari bibir cantiknya.

Aldrich menahan tubuh lunglai Felicia sebelum jatuh perlahan ke pelukannya dan terbaring di dadanya. Dia menghela napas panjang lega atas pelepasannya terlebih dahulu sebelum mengawasi istrinya yang terkulai lemas akibat memperoleh benihnya.

Felicia masih terpejam mengatur napasnya. Namun senyuman kemenangan bertengger manis di bibirnya. Dia mendapatkan keinginannya. Kini yang perlu dilakukannya hanya berdoa supaya Tuhan berkehendak sama dengannya.

Aldrich menemukan gadis yang seharusnya panik karena melupakan kesepakatan mereka akibat hasrat malah tersenyum penuh kemenangan. Seketika dia tahu bahwa dirinya tertipu mentah-mentah oleh Felicia. Dan Aldrich hanya bisa tersenyum pasrah.

Siapa yang pernah mengatakan Felicia adalah seorang gadis penurut dan tertindas?

Felicia selalu menjadi pemenang, karena pada akhirnya dia selalu mendapatkan apa yang diinginkannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top