22. Langit Biru

Hari festival dibuka akhirnya tiba, membuat aktivitas sekolah ditiadakan selama tiga hari, membiarkan para murid menikmati festival itu dengan bebas sekaligus menjadi penghibur sebelum memasuki masa ujian.

Renja memutuskan untuk berkeliling seorang diri setelah Mala menghilang sejak pagi, sibuk mempersiapkan penampilan ekskul teater untuk acara pembukaan sementara Rea baru saja pergi menuju ruang dance untuk mempersiapkan penampilannya.

Gadis itu akan tampil sebanyak dua kali, sebagai pembuka maupun penutup acara.

Sekolah pagi itu menjadi lebih padat dari biasanya dengan banyaknya orang yang menyambut antusias festival tahunan ini yang katanya akan lebih meriah ketimbang sebelum-sebelumnya dengan beragam acara serta pameran yang lebih menarik. Hal itu membuat Renja merasa sedikit kesulitan ketika melewati seluruh kerumunan itu.

"Ja!"

Kepalanya menoleh untuk mendapati Naratama yang datang dengan sedikit terburu sambil tersenyum lebar.

"Tumben dateng," kekeh Naratama lantaran Renja yang hampir tidak pernah terlihat batang hidungnya jika menyangkut acara-acara besar sekolah seperti ini, memilih berdiri diam di dalam rumah.

Renja mengendikkan bahu. "Katanya bakal lebih meriah."

Semua orang tahu itu bohong. Renja tidak akan peduli sekalipun acara ini berskala internasional dan mengundang grup K-Pop kesukaan adiknya. Biasanya gadis itu memilih tidur di rumah.

Naratama langsung tertawa. "Lo mau kemana abis ini?"

"Entah, gue mau ngiter-ngiter dulu paling sebelum nonton ekskul teater ama dance."

"Katanya bakal nampilin Macbeth lagi sama King Lear di akhir ya?"

"Setau gue sih gitu."

"Mau nonton bareng?"

Renja membasahi bibirnya selagi melirik Naratama yang kini sibuk memperhatikan stan makanan milik kelas 11 IPS 2, gadis itu hendak menjawab, menyetujui tawarannya sebelum melihat seseorang berjalan mendekat.

Aksa.

Lelaki itu tersenyum lebar selagi melambai sementara tangannya yang satu memegang es krim.

"Gue duluan ya Tam," ujar Renja, menepuk pundak lelaki itu pelan membuatnya segera mengalihkan perhatian dari makanan yang disajikan sebagai contoh.

Lelaki itu berteriak pelan. "Mau kemana Ja?"

"Nonton acara pembuka?"

Naratama melempari gadis itu senyum mengejek, Renja tidak pernah memedulikan acara pembuka yang berisi kata-kata sambutan, jika terpaksa masuk, maka Renja akan memilih mendekam di dalam kelas dengan setumpuk buku yang ingin dihabiskannya.

"Temen lo gak masalah ditinggal?"

Renja mengangkat alis, kemudian tersenyum miring begitu mendengar balasan dari Aksa. "Dia bareng temen futsalnya paling, lo sendiri ngapain Kak?"

Aksa menipiskan bibirnya, menyerahkan es krim yang berada dalam genggamannya pada Renja yang diterima dengan ragu-ragu oleh gadis itu. "Gak ada tujuan," ucapnya sambil mengendikkan bahu.

"Nakula tampil jam berapa?"

"Kalo gak salah malem."

"Mau jalan bareng?"

Aksa terdiam untuk beberapa saat, sedikit tidak menduga Renja yang menawarkan pertama kali sebelum bibirnya perlahan tertarik. "Mau dateng ke acara pameran Juna sama foto?"

Setelah mendapat persetujuan dari gadis itu, mereka kemudian bergerak menyusuri tenda makanan yang berderet sepanjang jalan memasuki sekolah sebelum Aksa membawa Renja menuju bagian kiri gedung. Satu lantai di atas tempat ruang ekskul lukis.

Renja tidak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum lebar begitu melihat ruangan luas dengan ragam lukisan yang digantung di dinding. Menikmati ratusan lukisan sebelum berpindah pada ruangan lain yang terhubung dengan satu lorong,  membawa mereka menuju galeri fotografi yang memamerkan karya anggota ekskul fotografi dalam bingkai beragam ukuran.

"Kalo gue tau lo sesuka ini sama art exhibitions, gue bakal lebih sering bawa lo," kekeh Aksa.

"Jadi, lo ngajak gue jalan-jalan? As of a date?" Renja tersenyum miring selagi melirik Aksa yang kini fokus memperhatikan potret hitam-putih seorang tukang becak.

Aksa tertawa pelan, melirik gadis itu sambil berucap. "Kali ini anggep aja begitu."

Renja sontak terdiam. "Hah?"

Aksa yang sudah berjalan menjauh tertawa renyah. "Lo gak mau?"

Renja menggigit bibir, mendecak pelan. "Sialan lo Kak."

***

"Akhirnya kelar tampil," kekeh Mala selagi menjatuhkan tubuh di atas kursi, tepat di sisi kiri Renja sementara Aksa duduk di sisi yang satu sambil menggumamkan terima kasih pada Juna yang menyodorkan minuman padanya.

"Nakula kapan Mal?"

"Nah, kalo itu tanya Rea. Mana dah tuh anak, ngilang mulu dari tadi."

Juna langsung terkekeh. "Paling sibuk sama Nakul-" sebelum lelaki berkulit kecoklatan itu dapat menyelesaikan kalimatnya dia langsung bangkit berdiri, mengusap kepalanya. Merasa perih. "Sialan lo Re," dengusnya, mengerucutkan bibir sambil kembali duduk.

Rea hanya mengendikkan bahu, menjatuhkan tubuh di sisi Aksa, tempat yang kosong.

Seluruh kursi di dalam aula perlahan dipenuhi oleh para pengunjung, menantikan penampilan terakhir dari band sekolah sebelum ditutup dengan permainan dari Nakula.

Renja menelan saliva ketika mendengarkan tepuk tangan yang meriah begitu Nakula menaiki panggung, memberi hormat sebelum akhirnya duduk di depan piano besar. Renja merasa jantungnya berdegup kencang akibat gugup sekaligus bersemangat, memperhatikan Nakula yang perlahan duduk tegak dan mulai menggerakkan jemari di atas tuts.

"Rachmaninoff Piano Concerto 2," bisik Rea. "Hadiah untuk Nikolai Dahl sebagai ucapan terima kasih setelah bantu dia keluar dari depresi dan gak bisa nulis lagu lagi."

Alunan musik yang tercipta dari gerakan tangan Nakula membuat para penonton tersenyum sekaligus tersentuh melalui musik, ikut merasakan penderitaan sekaligus harapan di balik permainan itu.

Lelaki itu seolah membisikkan kata-kata penuh harapan, mendukung mereka yang merasa putus asa.

Renja tersenyum kecil.

Gemuruh tepuk tangan kemudian menjadi pertanda acara hari itu telah resmi berakhir sekaligus menjadi acara penutup di hari pertama. Meski hampir sebagian dari mereka masih tetap duduk, merasakan euforia setelah mendengarkan permainan tadi.

Rea perlahan bangkit, memberi tanda bagi mereka untuk bergerak dari tempat itu. Menuntun mereka untuk menghampiri Nakula.

"Lo memang keren," ucap Sena, mengacungkan dua ibu jarinya.

Lelaki itu tertawa, menghapuskan jejak-jejak air di wajahnya setelah bermain tadi.

"Gila, lo memang temen gue," ucap Juna sambil membusungkan dada, merangkul Nakula. "Na, kita mampir ke apartemen lo ya?"

Sena mendecak. "Lo baik kalo ada maunya doang anjir."

"Bacot lo Sen, itung-itung farewell party buat Aksa."

Aksa langsung mendelik. "Sinting lo, gue berangkat kapan."

Juna hanya terkekeh, mengendikkan bahu acuh tak acuh.

"Lo pada mau ngikut?" tanya Nakula, membuat seluruh perhatian kini tertuju pada tiga gadis itu.

Mala melirik Rea dan Renja sebelum mengangguk, merangkul keduanya dengan penuh semangat. "Nanti gue anter balik sama sopir gue."

***

Rea membasahi bibirnya begitu memasuki apartemen milik Nakula yang luar biasa besar itu, apartemen miliknya bahkan dapat masuk ke dalam sini.

Gadis itu kemudian mengekori Nakula yang bergerak menuju ruang tamu, menjatuhkan diri di sana.

"Na lo punya wine?" tanya Juna yang kini tengah mengitari dapur milik Nakula yang tampak bersih dan tertata rapih, seolah tidak pernah digunakan. Begitu mereka sampai, hal pertama yang dilakukan oleh lelaki itu adalah memantau dapur.

Nakula yang tengah duduk di sofa ruang tengah mengangkat wajah. Mengangguk. Tidak terlalu peduli dengan apa pun yang akan dilakukan Juna. "Buat masak."

"Lo bisa masak?"

Kali ini suara Sena yang menginterupsi.

"Lo gak bisa masak?"

Sena langsung mengumpat.

"Gue buka ya, itung-itung buat ucapan terima kasih."

"Ucapan makasih darimananya anjir," komentar Mala. "Lo ngambil punya Nakula."

Aksa tertawa pelan selagi berjalan menghampiri keduanya di dapur. "Mending lo masak aja Mal."

Mala menarik sudut bibirnya. "Lo nantangin gue Sa?"

Aksa mengangkat alis. Melirik Nakula yang balas menatapnya jangan ngerusak apartemen gue, meski Aksa mengabaikannya, terlebih ketika Juna langsung merangkul Aksa dengan semangat. "Oke. Aksa sama Renja, Mala sama gue, biar Rea bareng Nakula."

"Siapa yang bilang gue mau ngikutan?" sentak Rea. Menatap tajam Juna yang hanya memberikannya cengiran.

"Gak asik lo Re."

Rea mendecih. "Pantes lo gak laku."

"Ngaco lo," kekeh Juna, menyugar rambutnya yang semula berada di depan mata dan memperlihatkan dahinya. "Gue cakep, pinter, ramah, apa kurangnya?"

Rea merotasikan mata, perlahan bangkit berdiri. "Otak lo yang kurang." Gadis itu hendak melayangkan pukulannya sebelum Aksa bergerak cepat, tersenyum dengan gelisah.

"Juna memang rada sinting," ujarnya membuat Juna di belakang lelaki itu yang tengah memotong tomat bersama Mala mengumpat.

"Lo gak berniat ngelerai mereka?" tanya Nakula, memperhatikan Renja yang hanya duduk diam di sofa.

"Mau?"

Nakula mengangkat alis lalu tersenyum kecil, menerima buah anggur yang ditawarkan Renja. Memutuskan menikmati pertunjukan di hadapan mereka.

"Ja, jahat lo," decak Mala, membuat Renja mengerjap. Menyodorkan mangkuk di pangkuan yang berisi buah-buahan pada Nakula dengen cepat.

"Apa?"

"Bantuin gue sini."

Renja menelan saliva, membasahi bibir. "Gue gak bisa masak."

"Bohong lo," sambar Rea cepat. "Lo kemaren buatin kue buat-"

"-IYAA! GUE BISA." Gadis itu dengan cepat bangkit berdiri, mengikat rambutnya selagi berjalan mendekati Rea. Menatap gadis berwajah blasteran itu tajam, meski Rea sendiri mengakui bahwa kedua keluarganya adalah orang Indonesia seratus persen.

Mala langsung terkekeh. "Buat siapa Ja?"

"Berisik lo Mal," dengusnya sambil bergerak cepat mencuci tangan dan membantu Mala menyatukan telur dengan tepung.

"Kenapa Sa?" kekeh Juna cukup keras yang kini tengah memotong salmon.

Aksa langsung mengumpat hendak melempari lelaki itu dengan tepung yang berada dalam genggamannya untuk melumuri ikan sebelum Nakula berjalan mendekat, tersenyum mengancam. Membuat lelaki itu menelan saliva. Membatalkan niat.

"Woi, kok lo tinggalin kompornya Sa!" Seruan dari Mala itu membuat mereka langsung menoleh.

"Memang kenapa?"

"GOSONG ANJIR."

"BELOM GOSONG MALA, LO GAK LIAT MASIH MENTAH?" tanya Aksa kesal setengah panik sebelum menyadari kesalahan Mala, gadis itu hanya tersenyum kecil, menggumamkan kata maaf.

Acara memasak itu kemudian selesai dalam waktu dua jam.

"Gile," komentar Sena begitu melihat makanan yang beragam di atas meja, dari makanan pembuka hingga penutup. Dia dapat melihat beberapa makanan Asia maupun Eropa. Jika seperti ini, teman-temannya dapat membuka restoran setelah ini dengan dapur milik Nakula yang super lengkap sebagai dapur mereka.

Matanya kemudian bergulir pada tumpukan peralatan di tempat cuci. Sial.

"Lo yang beresin ntar ya Sen," kekeh Juna, menepuk pelan pundak lelaki itu.

Sudah jelas hasilnya akan seperti ini.

Tangan Juna kemudian bergerak untuk meraih champagne yang diincarnya sejak masuk ke dalam apartemen. "Gue buka ya?"

Nakula hanya mengangguk, tidak terlalu peduli membuat Juna langsung tersenyum lebar, lalu dengan cepat menambahkan, "jangan pake piso."

Bahu lelaki itu langsung merosot. "Gue udah latian sabrage."

Mala langsung memukul pelan kepala lelaki itu. "Berantakan bego nanti."

Juna terkekeh. Memutuskan untuk menyerah. "Okelah," ujarnya sambil membuka botol itu dengan hati-hati lalu menuang champagne ke dalam gelas perlahan. Terkadang, Juna penasaran seberapa lengkapnya apartemen ini dan seberapa sigapnya Helena untuk mempersiapkan.

Memastikan Nakula memiliki apa pun di tempat ini.

"Gile," kekeh Sena yang memperhatikan Juna, membuat lelaki itu menyeringai. Meski sulit mengakui, Juna tampak memahami apa yang dilakukannya. Menuang cairan itu secara miring dan perlahan-lahan, menunggu hingga busa lenyap sebelum kembali menuangnya. "Lo mau jadi sommelier?"

"Sommelier mah buat wine anjir" decak Juna. "Ini namanya skill buat sosialisai."

Mala merotasikan mata, menganggap jawaban Juna sedikit berlebihan meski gadis itu tetap tersenyum, menikmati hidangan yang berada di hadapannya.

"Buset, lo mabok entar," ujar Aksa, menarik botol champagne kedua yang hendak dibuka oleh Juna, membuat lelaki itu mendecak, menjatuhkan tubuh di atas sofa.

"Lo pada bakal kuliah apaan?" tanyanya sambil menyesap minuman, bergaya seperti Leonardo Di Caprio dalam film Great Gatsby membuat Mala hendak memuntahkan makanannya yang dicemooh oleh Juna.

Seluruh pasang mata kini beralih pada Nakula, seolah lelaki itu merupakan objek paling menarik di tempat ini, mengabaikan hidangan di hadapan mereka yang sudah berkurang lebih dari setengah, membuat lelaki itu menaikkan alis. Bertanya melalui tatapan.

Menyadari apa maksud mereka, dia mendesah. "Gue mungkin gak akan masuk bisnis."

Juna nyaris menumpahkan minuman dari dalam mulutnya. "Hah?" Beberapa dari mereka menampakkan raut serupa kecuali Rea dan Aksa yang terlihat santai, menyesap minuman milik mereka.

Nakula terkekeh pelan. "Bercanda."

"Gak lucu sumpah," dengus Juna membuat mereka tertawa.

"Gak ada yang lebih asik dari mimpin perusahaan lo sendiri," ujarnya santai. "Memangnya lo bakal ngikutin Ibu lo?"

Juna mengendikkan bahu, menyandarkan kepalanya pada sofa hingga pandangannya terarah pada langit-langit ruangan. "Gue bakal masuk ke seni, Karna udah bantu gue bisa sampe di sini jadi sayang kalo gue berenti."

Kakak lelakinya itu sudah berjuang keras membantu Juna agar Ayah mereka tetap membayarkan sekolah Juna sekalipun lelaki itu memilih jalan yang berbeda dari mereka semua, memilih karir yang disukainya.

"Gue bakal nunjukkin kalo gue gak akan nyesel, setidaknya ini adalah tujuan yang gue pilih."

Sena tertawa pelan. "Gue mungkin bakal lanjutin renang sambil kuliah." Dia melirik Aksa yang mengangkat ibu jarinya, melempari lelaki itu satu apel untuk dipotong sementara Sena masih berada di dapur.

Membereskan kekacauan.

"Lo jadi kuliah keluar Sa?"

Seluruh mata kini jatuh pada Aksa, membuat lelaki itu berdeham canggung. "Iya. Gue udah diterima masuk ke SMA sana."

"Gile, memang hebat lo," decak Juna. "Mal bukannya lo juga mau ngambil kuliah keluar?"

Mala mengulum bibir. "Gue belom tau," ujarnya santai, memberikan senyum lebar lalu merangkul Renja dan Rea yang berada di sisinya. "Masih panjang ini 'kan? Gue mau cari pelan-pelan aja."

Juna tersenyum, perlahan mengangkat gelas miliknya ke udara. "Buat kita semua."

"Buat kita yang berhasil bertahan sejauh ini."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top