21. Kereta yang Berjalan
Rea menghela napas gusar, meraba dinding selagi berusaha menyalakan lampu sambil meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah semalam tertidur di sofa sebelum manik itu perlahan bergerak menatap jam digital di atas counter table yang menunjukkan angka empat.
Dia bangun terlalu awal.
Bahunya perlahan kembali merosot bersama tubuh, kembali menjatuhkan diri di atas sofa di ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan.
Manik hitamnya memandangi langit-langit ruangan, mereka ulang seluruh kejadian kemarin yang dilaluinya. Segala sesuatunya masih tampak seperti mimpi.
Dia tidak pernah menduga tiba saat di mana dia memiliki kesempatan untuk berkumpul bersama-sama dengan teman satu sekolahnya, selain Renja, tentu saja.
Selama ini dia terbiasa dengan tatapan penuh rasa curiga, tatapan penuh kehati-hatian ketika mereka mendekati dirinya, seolah dia dapat memberikan pengaruh buruk bagi siapa pun yang bergaul dengannya. Bahkan semenjak memasuki taman kanak-kanak.
"Dia yang katanya anak hasil perselingkuhan kan?"
"Bukan, katanya Bapaknya gak mau tanggung jawab karena di luar pernikahan."
"Waduh, anaknya bakal kayak gimana tuh."
Kata-kata semacam itu selalu mengekori tiap langkahnya, di manapun dia berada seperti sebuah kutukan.
Pada awalnya, Rea merasa seluruh hal itu tidak adil. Apakah dia memilih untuk dilahirkan seperti ini? Tidak. Tetapi, mengapa mereka menatapnya, menuduhnya seakan dia adalah sosok yang harus bertanggung jawab?
Maniknya kemudian bergulir pada bingkai foto di dinding yang menampakkan foto studio. Wanita yang melahirkannya itu tampak cantik dengan rambut panjang berwarna kemerahan tergerai dan gaun putih sementara dia mengenakan gaun serupa, setelah Yvonne memaksanya.
Dia tersenyum masam, merindukan momen-momen itu. Sudah cukup lama semenjak mereka terakhir kali bertemu. Meski begitu, tidak banyak yang dapat dia lakukan selain berusaha hidup dengan baik. Yvonne sudah bekerja keras membanting tulang setiap hari untuk menyekolahkannya.
Untuk merubah masa depan.
Untuk membuktikan pada dunia bahwa dia tidak terbatas hanya pada pandangan mereka.
Rea pernah bertanya kepada Yvonne beberapa tahun silam, tentang Ayahnya, apakah ibunya membenci pria yang tidak memiliki perasaan itu dan dengan tega membuang anaknya? Bagaimana perasaan Yvonne tentang keberadaannya.
Bukankah jika dia tidak lahir Yvonne tetap dapat bahagia? Dapat hidup dengan baik, mengejar mimpi untuk pergi keliling dunia bukan terjebak mengurusnya dan tetao dapat berhubungan baik dengan keluarganya. Tidak hidup sebatang kara seperti ini.
"Gimana ya, pada awalnya Mama memang ngerasa hancur, mimpi-mimpi yang awalnya di depan mata tiba-tiba lenyap, tetangga yang gak berenti ngegosip, disingkirin dari keluarga." Yvonne tersenyum tipis, mengingat luka-luka yang menggores jiwanya. "Tapi, Mama inget kalo anak itu adalah titipan, sebuah tanggung jawab."
Saat itu, Rea hanya dapat memandang Yvonne yang berkaca-kaca dalam diam.
"Mereka gak salah apa-apa, orang tua yang melakukannya, kenapa anak yang harus jadi korban?"
Rea masih mengingat bagaimana Yvonne tertawa, menepuk kepalanya. Seolah dengan melakukan hal itu, dia dapat menahan diri untuk tidak menangis.
"Anak-anak gak pernah minta dilahirkan," ujar Yvonne. "Mama minta maaf ya kalau selama ini ngebuat kamu susah."
Rea tidak pernah tahu seberapa dalam luka wanita itu selama ini, tidak tahu bagaimana Yvonne juga merasakan hal yang sama. Ikut terluka ketika dia mendapat umpatan yang tidak sepantasnya, mendapat perlakuan yang berbeda dari lingkungannya.
Semenjak saat itu, Rea bertekad dalam hati untuk tidak terluka sehingga Yvonne tidak perlu merasakan sakit setiap kali melihatnya. Dia pikir, dia tidak membutuhkan siapa pun selama dia memiliki wanita yang melahirkannya itu.
Dia tidak butuh mereka yang pada akhirnya hanya akan berkhianat.
"Maaf Re, Mama minta maaf karena udah ngebuat kamu menderita."
Dia tidak butuh Yvonne meminta maaf setiap kali orang datang padanya hanya untuk tujuan tertentu dan akhirnya berbalik, menusuknya. Itulah alasan mengapa Rea selalu menolak, memilih bertahan seorang diri, atau mungkin saja Nakula benar. Dia hanya takut terluka, takut ditinggalkan, dan disakiti oleh sosok yang dipercayai.
Lalu, mengapa?
Mereka yang melakukan kesalahan, mengapa dia yang harus menderita?
Rea menghela napas, memejamkan mata perlahan, memijit kepala, lalu perlahan bangkit bersama waktu yang sudah berubah menunjukkan angka lima. Mengeluarkan makanan yang sama setelah berhari-hari, terlampau malas sekaligus menghemat.
Dia menghabiskan waktu selama setengah jam melanjutkan acara bermalas-malasan sebelum alarm yang sengaja dipasang berbunyi nyaring.
Pukul enam lebih.
Sial.
Rea segera meraih tas yang sudah dia letakkan di dekat pintu, berlari keluar dari apartemen kecil itu. Sebagian besar alasannya terlambat selalu karena hal konyol seperti ini, bangun pagi, berniat santai sejenak, dan melupakan segalanya.
"Re!"
Mala terlihat tampak berseri-seri ketika melihatnya, membuat dia merasakan sesuatu yang aneh merayap naik.
"Yo."
"Jutek banget lo," decak Mala, sedikit mengerucutkan bibir sambil menarik Rea melangkah masuk ke dalam gedung sekolah. "Jadi, gimana sama Nakula?"
"Gimana apanya?"
Mala mendengus. "Nakula kan nganter lo balik kemaren?"
"Terus kenapa?"
"Ah, sial lo."
"Gak waras lo Mal."
Terdengar tawa Renja menginterupsi selagi keduanya melangkah masuk ke dalam kelas.
"Lo juga Ja."
Renja menaikkan alis, menelan saliva gugup ketika melihat tatapan tajam Mala, seolah ingin mengulitinya saat itu juga.
"Lo tidur berapa lama Mal?"
"Hah?"
"Siapa tau karena itu sistem saraf pusat lo terganggu, makanya halusinasi."
"Sialan."
Rea langsung tertawa, menjatuhkan tubuh di samping Renja selagi mengecek jawaban dari tugas yang diberikan.
"Gue kemaren udah coba ngomong," ujar Renja ragu-ragu, membuat kedua sahabatnya yang kini sibuk mendebatkan jawaban dari soal mengalihkan pandang. "Ini jawabannya B, kan lo kaliin dulu massa atom relatifnya baru bisa dapetin massa molekul relatif."
"Udah Ja, tapi gak dapet," keluh Mala.
"Lo bego ya, itu salah, atom relatifnya oksigen kan enam belas."
"Oh." Mala tertawa pelan, merapihkan rambut pendeknya yang sedikit berantakan setelah merasa frustasi. "Santai dong Re. Ja, lanjutin aja, pr kimia gak penting."
Renja terkekeh. "Ada lagi yang mau ditanya?"
"Gimana hasilnya? Nyokap lo oke?"
Renja menggigit bibir. "Gue bilang kalo gue capek harus selalu sempurna meski di saat yang sama gue takut gagal, takut ngecewain mereka." Renja menarik napas panjang.
Renja perlahan menarik bibirnya, merasakan sesuatu perlahan terangkat dari dalam dadanya selagi dia mengutarakan kisahnya. Mengeluarkan apa yang selama ini berada dalam pikirannya.
"Mama gue bilang kalo semua itu buat kebaikan gue, sound like bullshit." Renja terkekeh pelan. "Kayak yang lo tau Re, Mama gue selalu nganggep dirinya benar."
Alana selalu seperti itu. Tidak pernah berubah.
"Gue bilang kalo kadang gue ngerasa dia cuman nganggep gue dan Elegi sebagai alat." Renja berusaha tertawa, mengalihkan rasa sakit itu.
Terkadang hidup tidak seindah realita. Beberapa hal memang tidak semudah itu untuk berubah.
"There's nothing I can do." Renja mengangkat wajahnya, menatap Mala dan Rea yang berada di hadapannya, menatap dia dengan khawatir. "Cuman gue gak akan terpaku di sana, gue bakal mencoba berubah perlahan-lahan dan lebih peduli sama diri sendiri."
Mala langsung menarik Renja dalam pelukannya, menepuk pelan punggung Renja. "You deserve to be happy."
Renja tertawa renyah. "Makasih Mal."
"Kalo lo mau kabur, gue siap nampung," kekeh Rea.
"Berlaku buat gue juga Re?"
"Kecuali lo."
"Sial, lo dendam banget."
Renja terkekeh selagi melihat keduanya yang kembali bertengkar.
***
"Oke, kalo gitu ini rapat terakhir kita." Nakula menutup buku di hadapannya. "Mungkin juga jadi momen terakhir kita ketemu. Jadi, gue mau bilang makasih buat kerja keras kalian semua." Nakula melirik Rea yang menaikkan satu alis. Menantikan apa yang akan lelaki itu katakan setelahnya.
Nakula perlahan menarik sudut bibir, membentuk senyum kecil.
"Makasih karena udah siap sedia setiap gue kasih tugas, bahkan di tengah-tengah kesibukan."
Terdengar tawa pelan.
"Lo kayak kesurupan Na."
Nakula menaikkan alis.
"Tumben bikin pidato yang buat terharu."
Rea langsung merotasikan mata selagi tertawa, meski dalam diam menyetujui perkataan tersebut. Nakula selalu menjadi sosok yang paling kaku di setiap rapat mereka, seolah jika dia tertawa maka dunia dapat berhenti berotasi.
"Makasih buat tugas lo yang gila Kak," kekeh Pramadita yang tahun ini bekerja sebagai bendahara kedua, ikut kelimpungan ketika Nakula tiba-tiba memberitahu mereka memiliki kekurangan dana.
"Buat Nakula yang udah berhasil ngebuat kita jadi zombie," ujar Juna, mengangkat botol minumannya yang diikuti oleh seluruh anggota rapat saat itu dengan diiringin tawa sementara Nakula hanya mampu tersenyum memperhatikan seluruh peristiwa itu.
"Lo pada balik aja, gue yang bakal beresin di sini."
"Seriusan lo?" tanya Juna sedikit terlalu bersemangat ketika Nakula bergerak menjadi relawan.
Lelaki itu mengangguk, mulai sibuk merapihkan kertas-kertas di atas meja. Hal itu membuat mereka bersorak riang sambil perlahan-lahan meninggalkan ruangan. Meninggalkan Nakula membereskan semua kekacauan itu.
"Lo gak balik?"
Rea yang tengah menghapus papan tulis menoleh. "Biasanya memang gue yang bersihin ruangan selesai rapat kalo lo lupa."
Nakula mengendikkan bahu.
"Lo udah nentuin mau ngapain?"
"Gue udah kabarin Mala kalo gue gak bakal gabung ke teater lagi," ucap Nakula, menyandarkan tubuhnya pada meja. "Mereka bakal tampilin King Lear," kekehnya. Nakula merasa Mala selalu menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang menarik, membuat gadis itu menjadi tonggak dari ekskul teater baik dahulu maupun sekarang. "Gue pengen jadi penikmatnya kali ini."
Rea terkekeh. "You do you."
"Lo bisa main piano kan?"
Rea menatap Nakula yang tidak menatapnya, memperhatikan keadaan langit di luar sana yang menggelap. Seolah tidak ingin dia menerka-nerka dan membaca apa yang berada dalam pikirannya.
"Mau duet?"
Rea langsung melebarkan mata, dia pikir jantungnya dapat melompat keluar ketika mendengar pertanyaan tersebut.
"Lo gila?"
Nakula hanya tertawa.
"Lagu apa?"
"Fantasia in F minor."
Rea mulai kehilangan kata-kata. "Schubert?" tanya gadis itu sekali lagi, memastikan bahwa pendengarannya tidak rusak.
"Schubert. Franz Schubert."
Gadis itu benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Isi otak jenius Nakula memang tidak pernah tertebak.
***
Aksa menaikkan alis ketika melihat Renja yang berada di atas, pada bagian bangku penonton, membuat lelaki itu tertawa ketika Renja melambaikan tangannya.
"Tumben Ja."
Meski tidak dapat mendengar dengan jelas suara gadis itu, dia tetap dapat melihat bagaimana Renja menarik bibirnya membentuk senyuman kecil. Manis.
"Lo belom istirahat dari tadi?" tanya Renja selagi bergerak turun, menghampiri Aksa yang tengah berlatih dalam lapangan semenjak bel pulang berbunyi. Gadis itu menyodorkan satu minuman energi yang dibelinya tadi siang.
"Kok lo tau gue di sini?"
"Takdir?"
Aksa tertawa. Renja tampak lebih berani sekarang.
"Kayaknya lo kebanyakkan main sama Juna."
Renja hanya memberikan cengiran sambil mengendikkan bahu. "Kak Sena tadi yang ngasih tau, sekalian nitip kalo dia minta maaf karena gak bisa ikut latian."
Aksa mengangguk sambil menegak minuman itu perlahan. Merasa sedikit lebih segar setelah dari tadi fokusnya dihabiskan untuk berlatih. Pertandingan mereka akan dimulai setelah festival seni berakhir dan dia ingin melakukan yang terbaik.
Baik Ivanna datang menonton maupun tidak. Sebagai kapten dari timnya, dia merasa bertanggung jawab untuk membawa kemenangan bagi mereka.
"Lo keren kok," kekeh Renja. "Gue gak terlalu tau soal basket, tapi lo udah berjuang keras."
Aksa menarik bibir. Tersenyum kecil. "Lo mau jadi partner latian gue? Gantiin Sena yang gak ada."
"Hah?"
"Kenapa?"
"Gue gak jago maen basket."
Aksa terkekeh. "Gak masalah, sekalian gue ajarin sini." Lelaki itu perlahan menyerahkan bolanya pada Renja yang diambil dengan ragu-ragu membuat Aksa kembali tertawa. "Santai aja."
Benar.
Santai saja, tetapi bahkan ketika Aksa sudah membatasi dia hanya berhasil memasukkan bola sepuluh kali dari lima puluh kali Aksa memasukkannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top