20. Kembang Api

"Buset kemana aja lo?"

Juna mendecak begitu melihat Aksa dan Renja yang baru datang setelah Mala menelepon gadis itu. Membuatnya sedikit penasaran dengan apa yang sebenarnya kedua makhluk itu lakukan.

Aksa hanya melempari cengiran tanpa rasa bersalah. "Kepo aja lo, dari tadi juga ngilang."

Lelaki itu mendengus. "Gue kan bersosialisasi, beda dong," kilahnya, sedikit tidak terima. Manik hitam itu kemudian menatap layar ponselnya yang terus saja berbunyi, menampakkan layar chat group yang baru saja dibentuk beberapa saat lalu oleh Mala.

INISIASI SUPER (2)


Mala Bawel
GUYSSSS
GUYSS
RAPAT DARURAT

???
Cuman kita berdua?

Sahabatnya yang satu ini memang luar biasa- meski Juna sendiri tidak mengetahui apa pandangan Mala tentangnya, apakah Mala juga menganggapnya sebagai sahabat atau hanya sebatas teman yang dapat disuruh-suruh?

OH
WKWK

Mala invited Renja, Rea, Ikan terbang, and Orgil to the group

Juna lalu terkekeh ketika melihat Mala yang tampak panik sendiri.

Rea
????
Lo ngundang gue ke grup apaan?

Mala Bawel
Rahasia?

Rea
Gue left?????

Mala Bawel
JANGANN

Rea
YA BUAT APA?

Galak banget lo Re

Rea
KOK LO YANG SEWOT?

Ikan Terbang
Biasa Juna
Ngebelain ceweknya

Bacot lu Sen

Mala Galak
GW GA SEWOT?
KOK LO NGEGAS GITU?
APAAN LO JUNA

Ikan terbang
Lo pada berisik banget lagian anjir

Orgil
Lo semua pada seruangan???

Mala Bawel
GUE KAN GAK ADA DI SANA AKSA

Orgil
Gue gak bilang lo ada di sini Mala

Mala Bawel
JDISJD?!?

Renja
Lo mau bikin acara apaan?

Mala Bawel
Ultahnya Nakula
Dipeloporin Juna
Hehe

KOK GW?

Rea
Sial Mala
Giliran Renja dijawab

Renja
Sorry, Re<3
Lo tamu gelap

Mala Bawel
YAH EMANG LO
SIAPA YG KMRN KASIH IDE?
MANA NIH SENA SAMA AKSA
REA JUGA YG KEMAREN BUAT RENCANA
SETAN LO SEMUA SKRG ILANGG
SINI KEK, BANTUIN GW
RENJA KAN GAK ADA NGIDE

Juna menggeleng, mengulum senyumnya ketika melihat Mala yang selalu heboh. "Woi, lo berdua bantuin ambil kuenya dah, gue sama Renja di sini aja," kekehnya, membuat Rea langsung menatap tajam lelaki itu.

Sena mendecak sambil melempari permen di atas meja yang dengan cepat dihindari oleh Juna, membuat lelaki itu tertawa melihat perbuatan sia-sia Sena.

"Kan gue yang kerjaannya ngalihin perhatian."

Rea mendecak, menarik lelaki itu untuk ikut keluar bersama mereka semua. Mengabaikan protesnya selagi melewati rumah Nakula yang besar menuju dapur di mana Mala sudah siap dengan sebuah kue, gadis itu melambaikan tangannya ketika melihat figur tinggi Aksa.

"Nih lo yang bawa Re."

Gadis itu mendelik. "Kok gue."

Mala merengut. "Ya lo, masa gue?"

Renja langsung terkekeh. Menepuk pelan pundak Rea. "Gak usah malu-malu, Re."

"Sial," decaknya sambil mengulurkan tangan untuk membawa kue dengan gradasi warna hitam abu-abu itu keluar dari ruangan itu.

"Tante," sapa Mala cepat begitu melihat seorang wanita dengan gaun panjang milik Giorgio Armani yang melekuk indah di tubuhnya, rambut pirangnya yang tampak keemasan seperti matahari disanggul indah. Menyisakan beberapa anak rambut menjuntai di depan.

"Halo Mala," kekehnya, lalu tersenyum ramah ketika yang lainnya ikut menyapa. "Gimana tadi pestanya?"

"Seru kok, Tan," jawab Juna sambil tertawa.

"Kamu udah lama gak muncul, sering-sering main ke sini dong."

"Nakula serem Tan."

Helena tertawa. "Bisa bawa kuenya?"

Rea menggigit bibir. "Bisa Tante," ucapnya, lalu mengukir senyum kaku di akhir.

Melihat kecanggungan Rea, Helena menepuk pelan pundak Rea. "Santai aja, saya gak bakal kayak di drama-drama kok."

Untuk itu Rea tertawa. Helena tampak lebih ramah dibandingkan dengan Biantara- Ayah Nakula yang dilihatnya tadi. Setelah bertukar beberapa kata lagi, mereka lantas bergerak kembali ke dalam ruangan tadi.

Nakula mengerjap ketika melihat Rea yang datang membawa kue dengan lilin yang belum menyala. Kehilangan kata-kata.

Rea tersenyum melihat ekspresi lelaki itu.

"Kok lo belom nyalain lilinnya," bisik Juna.

Mala langsung mendelik, balas berbisik. "Lo baru ngomong sekarang?"

"Bentar, bentar," ujar Juna, menggaruk tengkuknya, membuat Mala menatap lelaki itu tajam yang hanya ditanggapi dengan senyum separuh olehnya. "Na, lo harus make a wish dulu, lo bebas minta apa aja, yang aneh juga gak masalah sambil lilinnya dinyalain dulu."

Aksa dengan cepat merogoh saku celana, mengeluarkan pemantik yang tidak pernah meninggalkan kantung celananya sekalipun dia sudah jarang merokok.

Nakula tertawa pelan memperhatikan sahabat-sahabatnya itu tampak sibuk, lalu perlahan memejamkan mata.

Bolehkah sekali ini saja dia bersikap egois dengan berharap kebahagiaan ini dapat bertahan lama, mempertahankan hal yang membuat sesuatu dalam dadanya bergejolak tidak nyaman. Belakangan ini dia kembali merasakan beragam hal.

Bibir itu tertarik ketika kali ini melihat Rea yang berdebat dengan Juna.

Sudah berapa banyak dia tertawa? Tawa yang benar-benar tulus?

Jika semesta mengijinkannya, jika semesta sekali lagi mengijinkannya bersikap egois, dia berharap hal ini menjadi abadi.

"Na, tiup lilinnya," ujar Rea selagi menyodorkan kue itu di hadapannya. Nakula mengangkat wajahnya. Menatap manik Rea beberapa saat sebelum akhirnya meniup kue tersebut dan menghasilkan tepuk tangan, tidak semeriah acara sebelum ini, jauh lebih sederhana, tetapi membuatnya merasa tersentuh.

"Makasih."

Aksa merangkul lelaki itu, tertawa pelan.

***

Euforia itu perlahan berakhir dengan waktu yang bergerak semakin cepat, hanya beberapa tamu lagi yang tersisa di depan sana.

"Lo pada gak balik?" tanya Sena.

"Lo mau balik sekarang Ja?" tanya Aksa begitu melihat jam di dinding.

"Gue balik maleman gak masalah, tunggu yang laen balik aja."

Aksa mengangguk.

"Sa, lo dicariin," ucap Juna yang baru saja masuk dan bergabung lagi bersama mereka, lelaki itu tampak ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Nyokap lo nyari."

Aksa tidak banyak bereaksi, hanya terdiam selama beberapa saat sebelum mengangguk lalu melirik Renja, melempari senyum kecil pada gadis itu. "Gue keluar bentar ya."

"Take your time."

Lelaki itu hanya tertawa hambar ketika melihat ekspresi Juna, memukul pelan pundak lelaki itu sambil melangkah keluar dari dalam ruangan. Dia menarik napas, menahan gejolak dalam dada selagi melangkah di taman luas itu.

"Aksa."

Tubuhnya mematung.

Dia menelan saliva yang terasa seperti bongkahan batu.

Lelaki itu perlahan menoleh, mendapati Ivanna yang tampak memukau seperti biasa, meski kali ini wanita yang melahirkannya itu tampak berbeda. Tampak lebih bercahaya dan lebih hidup.

Dia menggigit bibir, berusaha menarik sudut bibirnya meski terasa sukar.

"Halo..., Ma."

Aksa tidak mengenali suaranya yang lebih kaku dari harapannya.

"Gimana kabarmu?"

Sudah bertahun-tahun berlalu, bersama kenangan yang semakin memudar. Bersama luka-luka yang mulai mengering. Aksa pikir dia sudah melupakan segala sesuatunya, memutuskan untuk memaafkan, tetapi mengapa dadanya terasa bergemuruh ketika melihat wanita itu duduk di hadapannya, tersenyum seolah tidak ada apa pun yang terjadi?

Dia menghembuskan napas, berusaha keras menyingkirkan pikirannya.

"Mama denger kamu mau pergi ke luar negeri?" Bibir merah Ivanna menipis, menatap putra sulungnya itu lalu mendesah

"Dari Regan?"

"Kamu ke sana," ucapnya menggantung, menatap pantulan dirinya dalam gelas di atas meja. "Mau nyari William?"

Aksa menelan saliva, merasakan sesuatu yang berat memasuki tenggorokannya.

Sudah lama dia tidak mendengar nama itu disebutkan.

"Mama cuman penasaran aja."

"Kenapa?"

Ivanna mengangkat wajah, menatap Aksa tepat di mata, mata yang sama dengan William. Mata yang selalu mengingatkan wanita itu dengan pria yang pernah dicintainya, meski rasa cinta itu rupanya tidak cukup untuk mempertahankan hubungan mereka.

"Mama minta maaf," ujar Ivanna. Meneguk air dalam gelas yang kini terasa seperti bongkahan batu. "Karena saat itu gak cukup baik, gak sadar kalau pilihan-pilihan yang diambil dapat melukai kalian."

Aksa menahan napas ketika melihat raut Ivanna yang berubah, ketika melihat manik cokelat itu sedikit bergetar, selama ini, Ivanna yang berada dalam kepalanya adalah sosok yang keras, sosok yang hanya tahu tentang kesuksesan.

"Maaf udah jadi orang yang merusak keluarga ini, orang yang membuat Ayahmu pergi."

Aksa mengeraskan rahang, seberapa pun dia mencoba membenci Ivanna, wanita itu adalah orang yang berjuang melahirkannya, orang yang pernah merawat dan membesarkannya.

"Maaf karena gak pernah cukup baik," ujar Aksa.

Ivanna menggeleng, menahan dirinya untuk tidak menangis. Aksa seharusnya memaki dia, mengusirnya pergi, tetapi lelaki itu tetap datang, berusaha memaafkannya.

***

Renja melirik Aksa yang tetap tersenyum setelah pertemuan itu, meski menjadi lebih diam dari biasanya. Dia membasahi bibir, mengumpati diri sendiri yang tidak pernah baik dalam urusan menyemangati.

"Gue gapapa kok," kekeh Aksa, menoleh sekilas pada Renja. Tahu bahwa gadis itu gelisah. "Gue pikir pas dateng saatnya, gue bakal marah." Lelaki itu memfokuskan pandangan pada jalan yang sudah sepi. "Ternyata gue gak ngerasa apa-apa, cuman rada aneh karena udah bertahun-tahun gak ketemu."

Renja meraih tangan Aksa yang tidak berada di kemudi, berusaha memberikan ketenangan tanpa suara, terkadang ada beberapa hal yang tidak dapat diwakilkan oleh kata-kata.

Aksa menarik bibir, membuat lesung pipi itu kembali ke permukaan. Menahan tangan Renja ketika gadis itu mencoba menariknya kembali.

"Gue tadi minta Nyokap dateng ke pertandingan gue," ujarnya pelan. "Menurut lo gue udah ngelakuin hal yang tepat?"

Renja mengulum bibir, menimbang jawaban yang akan diberikannya. Melirik Aksa yang kini fokus pada jalan. "Setiap gue ngeliat lo ngelakuin sesuatu, gue selalu berhasil dibuat terpukau. Cara lo yang selalu berjuang untuk hal yang lo suka, dedikasi yang lo kasih." Renja menyandarkan tubuhnya, memperhatikan lampu-lampu jalan.

Hal-hal sederhana itulah yang membuatnya menganggap Aksa sebagai sosok yang menakjubkan.

Selalu melakukan apa pun dengan sepenuh hati bahkan pada pekerjaan yang sepele sekalipun.

"Gue pikir setidaknya Nyokap lo akan ngerasain hal yang sama."

Aksa dapat merasakan jantungnya yang kembali berpacu ketika melihat senyum itu di bibir Renja.

"Makasih Ja."

Renja menggeleng. "Lo bilang makasih ke diri sendiri karena udah jadi orang yang keren."

Aksa tertawa renyah. "Giliran lo kapan?"

"Apa gue terlalu ngulur-ngulur waktu?"

"Gue pernah bilang kalo pelan-pelan aja, tapi selama apa pun lo nunggu pada akhirnya lo tetep harus menghadapi situasi itu." Aksa melirik Renja sekilas. "Apa pun hasilnya, setidaknya lo udah berusaha, nanti telepon aja. Gue bakal nunggu sampe pagi."

Kendaraan beroda empat itu kemudian berhenti tepat di depan rumah Renja yang bergaya minimalis.

"Gak perlu turun kok," kekeh Renja ketika melihat lelaki itu yang hendak turun, tangannya yang menahan tubuh Aksa membuat dia menoleh. "Makasih buat hari ini, titip salam buat Oma."

Aksa mengacak rambut Renja pelan. "Good luck, titip salam buat nyokap lo juga."

Maniknya memperhatikan Renja yang bergerak turun dari mobil, perlahan membuka pagar dan bergerak masuk sebelum akhirnya menghilang dari pandangan.

"Baru balik Ja?"

"Ma," ucap Renja.

Alana tersenyum tipis. "Mandi dulu sana."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top