14. Sang Pangeran Tumbang
Regan Argantara.
Renja bersumpah mendengar suara lelaki itu sebelum telepon mati. Dia tidak mungkin salah mengenali suara tinggi yang riang dan unik itu. Si fotografer sekolah, bintang ekskul fotografer dengan segudang prestasi.
Dia kembali teringat dengan pertanyaannya ketika Aksa membicarakan soal fotografi, menanyakan alasan Aksa tidak memilih ekskul itu ketika mereka memiliki segudang reputasi lalu tatapan dan pandangan itu ketika mereka berada di kantin.
Segalanya terasa tepat.
Dia menelan saliva, menggeleng pelan. Akibat fakta yang satu itu memenuhi pikirannya semalaman, kini dia terlambat datang ke sekolah. Meski, karena hal itu juga dia bertemu Aksa pagi ini walau sepertinya kata bertemu sedikit tidak tepat, lelaki jangkung yang biasanya tampak rapih itu kini datang dengan rambut acak-acakkan sementara rompi sekolahnya dia sampirkan di pundak.
Aksa berlari menuju kelasnya tanpa memperhatikan sekitar, seolah pikirannya sama kacaunya dengan penampilannya, membuat Renja membatalkan niat untuk menyapa.
"Tumben lo telat Ja."
Gadis itu melirik ke belakang, mendapati Regan yang dengan terburu-buru naik tangga. Berkat kaki jenjangnya dia dapat mendahului Renja, meski perbedaan tinggi mereka tidak terlalu jauh.
"Lo juga telat mulu, Ga."
Regan mengendikkan bahu. Tidak peduli. "Asik 'kan?" candanya asal.
Renja mencibir pelan. "Gue lebih milih jadi anak teladan."
Regan langsung terkekeh. "Mirip lo ama Rami."
Merotasikan mata, gadis itu berlari meninggalkan Regan ketika bel berbunyi. Memacu kedua kaki bergerak lebih cepat. Jika mengikuti ritme kaki Regan dia baru akan sampai lima menit lagi, maka guru kimia mereka akan memulai dengan memberi pertanyaan tentang materi baru dan siapa yang dapat menjawab baru diperbolehkan duduk.
"Renja, tumben telat."
"Maaf, Bu."
Dia menelan saliva.
Benar.
Guru kimia mereka memang fantastis. Datang selalu tepat waktu. Dia melirik Mala yang menatapnya setengah khawatir setengah tersenyum. Jangan tanya Renja bagaimana gadis itu dapat melakukannya lalu beralih pada Rea yang tertawa pelan.
"Udah sering Bu dia."
Suara Naratama kemudian menyusul.
Dia hanya mampu menyumpah serapahi lelaki itu dalam hati dan melemparinya tatapan tajam.
Tidak lama kemudian, Regan tiba dengan santai. Dia menunduk sopan. "Pagi, Bu. Maaf saya terlambat."
Wanita berkacamata itu merotasikan mata. "Duduk Ja. Kamu jangan," ucapnya selagi menunjuk Regan dengan pulpennya, membuat lelaki itu melayangkan protes tidak terima.
"Bu, masa dia boleh?"
"Ja, coba jelasin senyawa poliatomik."
Renja menelan saliva. Bersyukur pelajaran pertama di hari Kamis adalah kimia bukan fisika. "Senyawa poliatomik dibagi jadi logam dan non-logam. Contoh logam golongan a ada natrium nitrat, magnesium sulfat, dan aluminium karbonat yang diambil dari nama logam dan anionnya, untuk golongan b dimulai dari nama logam dalam bahasa Indonesia tambah nomor biloks dalam bahasa romawi dan nama anionnya." Renja berhenti untuk menarik napas. "Perlu saya sebutkan untuk yang non-logam juga Bu?"
"Terima kasih Renja." Wanita itu tersenyum. "Dia baru pertama kali telat, coba kamu Regan sebutkan yang non-logam."
Lelaki itu terdiam. "Bu, itu materi lama, kita kan sekarang lagi belajar stokiometri."
"Coba kamu jelaskan kalau begitu."
Regan menggaruk tengkuk, membungkuk pelan. "Maaf Bu, saya kurang paham sama materi stokiometri, itu yang paling susah."
Terdengar helaan napas. "Sebutkan materi apa pun di semester ini yang kamu bisa sebelum duduk."
Lelaki itu langsung melirik seluruh isi kelas, berharap ada yang mau membantunya meski mereka semua menertawakan lelaki itu. Merasa senang ada yang mengulur waktu pelajaran hari ini.
"SMA, Bu."
"SMA apa?"
"Satuan Molekul Atom."
"Kenapa disebutnya SMA? Jangan bercanda," peringatnya ketika melihat cengiran pada wajah panjang itu dengan rambutnya yang tersisir rapih ke belakang, menampakkan dahinya.
"Karena kalo make satuan biasa gak bisa, terlalu kecil buat diliat, atom kan spesial Bu jadi harus punya satuannya sendiri."
Wanita itu mengangguk. "Oke, meski jawabanmu rada absurd, duduk sana. Kalo terlambat sekali lagi di pelajaran saya, kamu kerjain satu nomor soal sebelum duduk."
Regan mengangguk patuh, bergerak menuju tempat duduknya di belakang Mala. Membuat gadis bersurai panjang itu melemparinya ledekkan.
"Lo kenapa lagi kali ini Ga?"
Regan yang tengah meletakkan tas kameranya mengangkat alis mendengar pertanyaan penuh rasa penasaran dari Mala.
"Kakak lo?"
Regan terkekeh. "Kepo lo."
Mala ikut tertawa. "Sorry, sorry."
Dia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, kembali memikirkan peristiwa yang terjadi semalam. Bukan pertemuan yang menyenangkan, meski dia sendiri tidak mengharapkan apa pun. Tidak setelah semua yang terjadi dan ketika dia masih membenci kakaknya yang satu itu.
***
"Mau mulai terlambat lagi Aksa?"
Lelaki itu menelan saliva, gugup, lalu melirik Sena yang tertawa, menghinanya dari tempat dia duduk.
"Pak, tadi pagi Aksa sempet nge-chat saya kalo dia harus bantuin Omanya dulu di rumah."
Suara Nakula membuat lelaki itu menoleh, menatap ketua kelas XI IPA I itu sebelum mengangguk. "Oke kalo gitu, duduk sana."
"Sialan lo dibantuin Nakula," komplain Sena selagi lelaki jangkung itu berjalan melewati tempat duduknya, memancing satu tawa lolos dari bibir.
"Iri aja lo. Gimana kemaren?"
Sena menipiskan bibir, mendekatkan kursinya pada meja Aksa, berbisik pelan, "udah lebih baik, meski belom boleh balik. Lo mending setelah ini jangan ganggu Nakula."
"Kenapa?"
Sena menggigit bibir. Ragu-ragu untuk memberitahu apa yang disaksikannya kemarin di rumah sakit. "Bokapnya, tapi gue gak tau detail lebih jauh. Lo..., coba tanya aja nanti."
Aksa mengangguk, memandangi Nakula yang duduk di depan dekat jendela membuat tatapan mereka bertabrakkan selama beberapa saat.
Dia menelan saliva. Memutuskan kontak itu sebelum menjatuhkan kepala di atas meja, kepalanya masih berdenyut akibat tidak dapat tertidur dengan nyenyak. Kedatangan sosok itu jauh lebih cepat dari yang dia harapkan.
Menghantui pikirannya semalam suntuk.
Pelajaran pertama di hari itu adalah sejarah, menambah dukungan baginya yang sedang kacau untuk terlelap hingga bel akhirnya berbunyi dan dia bangkit berdiri. "Gue ngantuk," ucapnya ketika Sena, setengah berteriak, menanyakan tujuannya.
"Weis, lo begadang gak ngajak gue?"
Juna menahan tubuhnya, membuat Aksa menatap lelaki itu masam. "Gue mau tidur, skip kantin. Gue nitip air aja entar."
Mata Juna yang bulat memicing, mengingatkannya dengan Renja yang kemarin malam mengirimkan pesan, bertanya apakah dia baik-baik saja. "Kenapa lo? Karena...."
Aksa mengangguk, tanpa mengucapkan apa-apa lagi dia bergerak menjauh. Tanpa membutuhkan jawaban langsung, Juna seharusnya sudah mengerti apa yang terjadi di rumahnya. Lelaki itu pandai membaca dan mengendalikan situasi. Meski, tindak-tinduknya yang sembrono dan cuek terlihat tidak mencerminkan pemahamannya sama sekali.
Begitu pintu terbuka, Kenanga yang duduk di belakang meja seperti biasa, mengangkat wajah. Memutuskan tidak angkat bicara ketika menyadari wajah kusam Aksa yang berbeda dari biasanya, tidak ada lagi senyum ramah yang tercetak di sana.
Dalam diam, lelaki itu menggumamkan terima kasih atas kepekaan dan kepedulian yang tinggi dari Kenanga.
Aksa lantas menjatuhkan wajah di atas meja tempat biasa dia menghabiskan waktu, memejamkan matanya perlahan. Mencoba mengabaikan segala hal yang memenuhi pikiran. Berusaha menerapkan kata-kata yang selama ini dia berikan pada Renja.
"Misi Kak."
Suara yang selalu dikenalnya itu terdengar di antara rak-rak buku, membuat Aksa perlahan menegakkan tubuh. Dia menoleh untuk mendapati Renja berdiri di lorong yang sama ketika mereka bertemu pertama kali.
Lokasi yang membuat pertemuan ini terus berlangsung.
Aksa tidak pernah menyadari bahwa kehadiran seseorang dapat begitu berefek padanya, membuat sesuatu dalam dadanya terangkat.
Dia menelan saliva ketika melihat gadis itu meletakkan minuman favoritnya di atas meja tanpa mengucapkan apa pun, tersenyum.
"Manusia itu lemah."
Benar.
Aksa menyetujui perkataan itu selagi tangannya bergerak meraih pergelangan tangan Renja. Menahan tubuh gadis itu. Membuat kening Renja mengerut, berbalik.
"Kenapa Kak?"
"Kalo boleh...." Kata-kata itu tertahan, ragu-ragu untuk dikeluarkan. Takut jika dapat menghancurkan apa yang sudah ada. Menghancurkan proses yang tengah berjalan. Tetapi, jika dia menahannya. Lelaki itu pikir mungkin dia dapat berakhir seperti saat itu.
"Gue cuman mau ngambil buku kok," kekeh Renja pelan.
Dan, Aksa seketika merasa konyol. Bodoh.
Dia mengulum bibir, mengangkat wajah dan menatap Renja kesal. Membuat gadis itu tertawa renyah, tawa yang entah bagaimana kini terasa seperti candu menggantikan nikotin yang kerap dihisapnya.
Maniknya memperhatikan Renja yang menjatuhkan tubuh di depannya. Menyodorkan minuman itu.
"Gue pernah bilang, kalo lo butuh bantuan, gue bakal ada di sana." Renja tersenyum simpul. "Meski mungkin gak selamanya, tapi selama gue ada di sini lo bisa manggil gue."
Aksa perlahan menarik bibir. Perasaannya sedikit banyak lebih baik.
Dia kemudian menyandarkan tubuh, memandangi lanskap yang selalu menghipnotisnya. "Regan itu adik gue. Meski, gue rasa lo udah tau." Aksa menarik napas panjang. "Kita tinggal pisah semenjak nyokap gue mutusin untuk ninggalin gue dan Regan di rumah Oma."
Kenangan yang menyakitkan itu kembali.
"Nyokap gue selalu lebih keras dibandingkan Ayah gue, dia selalu nuntut anak-anaknya untuk bisa sukses. Gue pikir itu semua karena dia dulu hidupnya susah, bahkan dia sempet berhenti kuliah jadi dia gak mau anak-anaknya menderita." Aksa menyatukan jari-jemarinya. "Tapi, tanpa sadar dia ngehancurin keluarga. Dia gak bisa liat Ayah gue yang tampak santai, ngelakuin hal-hal yang disukai sementara Nyokap gue harus kerja."
Aksa kini menatap Renja.
"Ayah gue udah minta dia berenti jadi pengacara kalau itu ngebuat dia menderita. Tapi, Nyokap gue bersikeras dan bilang kalau Ayah gue gak kompeten. Dia selalu banding-bandingin gue sama Regan yang nilainya lebih rendah."
Renja tidak pernah tahu bahwa Aksa mengalami hal yang mirip dengannya.
"Keadaan kita fine-fine aja, sampe akhirnya Ayah gue pergi ke luar negeri, Nyokap gue gak setuju dan akhirnya mereka mutusin pisah. Gak ada satupun dari mereka yang mau milih di antara kita."
Aksa tersenyum tipis di atas lukanya.
"Akhirnya Oma gue ngajak kita tinggal bareng, gue pikir itu semua karena nilai, karena gue yang males. Gue kemudian belajar seharian penuh kayak orang gila, berharap suatu saat Nyokap bakal dateng dan jemput." Aksa terkekeh pelan. "Nyatanya, sewaktu dia dateng di tengah hujan, lo tau," Aksa melirik Renja. "Dia milih Regan. Bukan gue."
Tangannya mengepal kuat.
"Dia milih Regan setelah usaha keras itu. Setelah gue ngorbanin diri sendiri, gue ngorbanin kehagiaan gue. Dia gak ngelirik gue, dia gak peduli dengan usaha gue selama ini."
Aksa menarik napas. Berusaha tetap mengukir senyum.
"Gue kadang mempertanyakan arti dari kehadiran gue." Aksa kembali memejamkan mata. Kembali terbayang dengan peristiwa beberapa tahun silam.
***
"Aku udah berusaha keras," isaknya, berusah menahan diri untuk tidak tumbang dan terjatuh. "Aku berhasil dapet nilai sempurna di semua ujian."
Wanita yang berdiri di hadapannya, Ivanna tidak mengucapkan apa pun. Memegang payung dan menggandeng Regan di tangan yang lain.
"Tapi..., kenapa? Kenapa aku bakal ditinggal di sini lagi? Sendirian."
Tubuhnya bergetar di bawah guyuran hujan, di bawah dinginnya air. Aksa masih mengingat bagaimana tatapan datar itu tidak berubah.
"Karena kamu belum cukup baik."
Akhirnya wanita yang sudah tidak dilihatnya selama beberapa tahun itu membuka suara, meski kehangatan yang dahulu selalu melingkupi suara itu sudah tidak lagi ada. Seolah, sosok yang berdiri di hadapannya sekarang bukan lagi sosok yang dikenalnya.
Kenyataan itu menghancurkan dirinya.
Seluruh usahanya selama ini lalu untuk apa?
Mengapa dia berusaha begitu keras untuk orang yang bahkan tidak memedulikannya, orang yang tidak lagi dia kenali?
Kemudian, realita yang lebih kejam, lebih menyakitkan menghantam dirinya. Membuat Aksa kehilangan pijakannya. Merasakan sesuatu dalam hidupnya runtuh.
Untuk apa dia hidup dengan baik?
Dan, untuk apa dia tetap hidup? Ketika segala sesuatunya tidak lagi sama. Ketika orang yang melahirkannya membuang dirinya.
***
"Setelah itu, gue hidup asal-asalan."
Renja menelan saliva. Menahan segala sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Apakah itu alasan Aksa selalu memastikan dirinya tidak terlalu digelapkan oleh ambisi yang bahkan mungkin bukan untuk dirinya sendiri.
"Gue ngelakuin apa pun yang gue mau, ngerokok, main game sampe pagi, tidur di sekolah sampe Oma gue akhirnya turun tangan. Dia gak makiin gue, dia gak marah."
Aksa teringat bagaimana lembutnya suara Natasha sore itu ketika dia terbaring di atas rumput. Menatap kosong langit.
"Hidup itu masih panjang. Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan 'kan? Kamu masih muda untuk mengatakan kamu gagal dan hidupmu gak ada artinya. Kamu masih punya puluhan tahun lagi Sa sebelum jadi keriput gini dan cuman bisa ngerawat tanaman."
Kemudian, malamnya James datang menyuguhkan secangkir kopi yang luar biasa tidak enak rasanya. Membuat lelaki itu nyaris memuntahkan seluruh cairan dalam gelas.
"Kakek gak bisa bikin kopi makanya kamu jangan kemana-mana."
Alasan konyol memang, tetapi terkadang yang dibutuhkannya hanya hal-hal sepele semacam itu.
Aksa kembali menarik bibirnya, kemudian keningnya mengerut ketika melihat Renja berjalan mendekat.
"Lo boleh pukul gue atau apa pun kalo ini gak sopan."
Aksa menahan napas ketika tubuh Renja bergerak untuk memeluknya, pelukan yang begitu hangat dan nyaman. Seolah mereka berbagi luka yang sama. Membuatnya ingin menangis.
"Nangis aja Kak. Gue udah berkali-kali nangis di depan lo, jadi sekarang giliran lo biar impas."
Khas Renja. Tidak mau kalah, hal itu membuat dia tersenyum tipis. Merasakan air yang perlahan-lahan bergerak turun tanpa sadar. Kali ini, lelaki yang selalu tersenyum, sosok yang selalu berusaha memastikan Renja untuk tetap bertahan, memastikan gadis itu tahu bahwa dunia masih memiliki hal-hal yang indah, jatuh tumbang.
Menunjukkan kalau dia juga hanya seorang manusia. Seorang remaja yang rapuh.
Dan, tidak ada salahnya menjadi lemah, tidak ada salahnya menangis.
***
Aksa menarik napas panjang, memandangi rumah yang biasanya membuat dia tersenyum.
"Udah balik?" tanya Natasha ketika melihat lelaki itu melangkah masuk, menatapnya dengan raut khawatir akibat cucunya yang paling tua itu melewatkan sarapan. Tidak seperti biasanya.
"Oma," kekeh Aksa, menyapa pelan wanita paruh baya yang biasanya tampak segar kini sedikit lebih pucat. Membuatnya merasa khawatir dengan tingkah kekanakkannya. "Maaf tadi aku lewatin sarapan."
Natasha tertawa pelan, bangkit berdiri lalu meletakkan satu nampan berisi makanan yang disukainya. "Nih, makan dulu. Sekalian kita ngobrol."
Lelaki itu menggigit bibir. Dia masih memiliki seseorang yang begitu perhatian di sisinya.
"Jadi, gimana?"
Aksa mencuci tangan sebelum menjatuhkan tubuh di kursi yang berseberangan dengan Natasha. Mulai menikmati makanan yang disajikan khusus untuknya.
"Maaf gak kasih tau dulu kalo Regan bakal dateng kemaren."
Aksa menghentikan kegiatannya, menggeleng pelan.
"Ivanna nitip Regan untuk beberapa waktu, ada urusan di luar kota." Natasha menarik napas panjang. "Oma pikir lebih baik kalo Regan bisa tinggal di sini meski sebentar sampe dia balik." Natasha menegak minuman dalam gelas, menggeleng pelan. "Kamu gak liat si Regan udah kurus begitu."
Aksa terkekeh pelan. "Dia memang payah."
Natasha mendengus ketika mendengar komentar Aksa. "Maaf kalo Oma ikut campur, tapi coba kamu komunikasiin sama Regan tentang semuanya. Biar bagaimanapun kalian saudara." Setelah mengatakan itu, Natasha bangkit, menepuk pelan pundak Aksa dan meninggalkan lelaki itu untuk memikirkan semuanya.
Dia menggigit bibir. Teringat dengan perkataan Renja tadi siang sewaktu dia bertanya apa yang sebaiknya dia lakukan.
"Gue dulu juga suka berantem sama Elegi, tapi gue coba ngobrol. Sebagai saudara wajar sih kalo ada konflik. Gue juga suka males ngeliat dia, apalagi kalo orang tua gue udah mulai ngomongin soal sekolah. Rasanya gue pengen jadi anak tunggal."
Aksa menghela napas. Tersenyum kecil ketika melihat kerutan di wajah Renja ketika dia berbicara.
"Tapi kalo dia gak ada, kadang rasanya sepi meski gue gak akan pernah ngomong ini langsung ke Elegi sampe mati pun. Untungnya dia mau diajak kompromi. Satu-satunya hal yang bisa gue syukuri di rumah itu cuman itu. Meski mungkin gak semua orang bisa relate dengan hal ini."
Lelaki itu kemudian bangkit berdiri, hendak melangkah keluar dari ruang makan sebelum suara Regan menginterupsi.
"Woi."
Aksa menipiskan bibir, mengangkat alisnya. "Kenapa?"
Regan mendecak, menyilangkan tangan di depan dada sementara Aksa menyandarkan tubuh di meja. Menatap adiknya yang dahulu jauh lebih pendek dan kini ketika mereka kembali berhadapan setelah bertahun-tahun saling menghindari, Regan sudah hampir menyusul dirinya.
"Kalo lo mau bilang maaf, gue gak terima."
Aksa langsung terkekeh.
"Karena gue juga salah."
"Gue juga salah," ucap Aksa. "Gue tau bukan lo yang milih, bukan lo yang jadi penyebab semua itu. Tapi gue tetep milih untuk nyalahin segala sesuatunya ke lo."
Kini giliran Regan yang tertawa. Sejak kapan sosok kakak lelaki yang dikenalnya berubah menjadi selembut ini?
"Kalo lo lupa, gue sempet makiin lo dan ngehajar lo sewaktu persidangan selesai, sewaktu bokap pergi ke luar negeri." Dia menggeleng. "Meski gue terima permintaan maafnya karena kapan lagi?" Regan terkekeh.
Waktu yang memisahkan mereka rupanya membuat lelaki itu jauh lebih dewasa.
"Gue cuman harap lo gak terlalu benci sama Nyokap, gue tau dia yang ninggalin paling banyak luka di lo dibandingin gue, tapi, selama ini dia berusaha untuk jadi sosok yang lebih baik. Dia mulai ikut konseling, meski dulu gue sering dipukulin kalo dia gagal dapet klien tapi sekarang udah gak pernah."
Aksa terdiam, menatap manik bulat Regan, dia tidak tahu jika Ivanna sering memukulinya.
"Stop," ujar Regan. "Gue bakal jijik kalo ini masih berlanjut."
Hal itu memancing satu tawa dari bibir Aksa. "Basket?"
Regan berbalik, mengacungkan ibu jarinya. "Gue bakal nunjukkin seberapa hebat gue sekarang."
"Sial," kekeh Aksa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top