11. Bunga yang Gugur
Renja menarik napas panjang, membiarkan oksigen memenuhi paru-parunya selagi memandangi langit yang biru.
Siang tadi, Rea datang bersama Mala. Ikut menemaninya di sana selama beberapa waktu tanpa bertanya apa pun. Meski tidak lama, Mala mulai ikut menangis, mengantikannya yang duduk di atas kasur. Membuat Renja sedikit panik.
Tidak tahu harus merespon apa selain memeluk Mala yang membisikkan kata-kata yang menenangkan sementara Rea memperhatikan, memberikan tissue lalu air dingin. Tersenyum kecil.
Rea akan selamanya menjadi Rea yang menunjukkan kepeduliannya dengan tindakan.
Bahkan ketika Mala berucapa parau, "lo juga ngomong sesuatu kek Re."
Rea tidak mengatakan apa pun, tahu bahwa dirinya tidak dapat memberikan kata-kata kosong tanpa makna. Hal yang membuat Renja betah berteman dengan gadis itu, Rea akan mengatakan apa yang menurutnya benar dan ketika dia tahu dapat mengubah sesuatu. Seperti kejadian di kantin, memastikan bahwa Renja mengerti bahwa membela diri bukanlah tindakan yang salah.
Dan, dalam situasi ini, kata-kata tidak akan merubah apa pun karena Rea sudah mengingatkan Renja beberapa kali sebelumnya meski tidak banyak yang berubah.
Manusia tidak mudah berubah.
Renja tersenyum masam, kembali pada pemandangan di hadapannya lalu pada lapangan ketika mendengar teriakan kencang dari seseorang yang berhasil memasukkan bola. Perasaannya sedikit membaik.
"Bukannya kelas lo di bawah?"
Renja yang menopang wajah pada selasar lantai teratas gedung sekolah setengah terperanjat begitu melihat kehadiran Aksa dengan seragam sekolahnya yang terlampau tiba-tiba.
Dia dapat melihat rambut lelaki itu yang berantakan dan sisa-sisa keringat.
"Memangnya lo belajar di atas?"
Satu tawa kecil lolos, membuat kedua mata itu membentuk satu garis. "Jadi, yang mana, Naratama?"
"Hah? Apa sih," decak Renja, buru-buru mengalihkan perhatiannya dari lelaki bertubuh tinggi dengan kacamata yang membingkai wajahnya.
"Gak ada salahnya suka sama orang kok," pancing Aksa, menantikan reaksi ofensif yang akan diberikan Renja dan benar saja, gadis itu langsung mengerutkan bibir dan keningnya dengan penuh rasa kesal bercampur malu yang berusaha disingkirkannya.
"Memangnya lo pernah suka sama orang?"
Alis Aksa terangkat, tidak menduga akan pertanyaan yang diloloskan Renja. "Lo mulai penasaran sama gue sekarang?" Aksa meletakkan tangannya di atas balkon, memperhatikan beberapa anggota futsal yang kini bermain di lapangan.
Renja mendecak. "Cuman bingung aja."
"Kenapa?"
"Kenapa lo gak pernah keliatan pacaran."
"Siapa bilang gak pernah?" Aksa mendengus, kali ini lelaki itu yang tampak tersinggung. "Gue udah dua kali."
"Memangnya ada yang bilang lo gak pernah?" kekeh Renja, melirik Aksa yang saat ini mulai salah tingkah, merasa begitu bodoh. Bersama Renja, seharusnya dia lebih waspada seperti ketika bersama Nakula yang sangat perhatian terhadap tiap silabel yang lolos dari mulut. Seperti guru bahasa Indonesia.
Mendesah, Aksa memilih menyerah. "Sekali waktu SMP dua, putus karena UN. Gue sibuk, dia sibuk." Aksa mengendikkan bahu, bukan kenangan yang begitu menyenangkan. "Terus sewaktu libur, beda sekolah, cuman satu bulanan." Itu adalah momen yang memporak-porandakan kehidupannya. Memancing ejekan dari Sena dan Juna, setidaknya sampai mereka masuk sekolah.
"Rupanya lo payah juga," gumam Renja seringan desau angin sore itu.
Aksa mendengus dan merotasikan matanya, walau senyum kecil tetap terbentuk. Sepertinya, Renja tampak lebih baik sekarang. "Memangnya lo pernah?"
"Gak tertarik," balasan itu datang jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan Aksa, membuatnya tersenyum gemas. Mulai menghafal tindakan Renja. "Gue gak punya waktu untuk hal semacam itu." Dia kembali menopang wajahnya di atas balkon. "Atau energi yang cukup, kalo pun ada gue lebih pengen ngabisin untuk diri sendiri." Pasalnya, Renja bahkan hingga detik ini belum mampu menghargai maupun mencintai dirinya sendiri tanpa memikirkan faktor lain.
"Lo harus lebih mikir dan sayang sama diri lo sendiri."
Nasehat Rea sebelum mereka berpisah kembali berputar dalam benak.
"Gue tau lo lebih pinter dari ini, kalo hal yang lo kejar pada akhirnya cuman jadi beban, buat apa? Memang gak gampang untuk lepasin semua itu, tapi lo harus mau Ja. Lo harus percaya kalo hidup lo lebih dari nilai yang bagus."
Di saat seperti ini, bagaimana caranya dia mampu membagi perhatian pada orang lain yang bahkan tidak dikenalnya dengan baik. Walau, tidak dipungkiri terkadang gadis itu merasa iri dengan kebahagiaan yang teman sekelasnya bagikan di sosial media.
"Kalo gitu, dia gimana?" Aksa mengangkat alisnya, melirik Renja lalu menunjuk Naratama yang tengah menendang bola dengan kepalanya sambil tersenyum miring.
Renja menggigit bibirnya kesal, berusaha keras untuk tidak menumpahkan minuman di sampingnya dan menambah kekacauan Aksa yang sudah dipenuhi oleh keringat. "Mau coba didorong ke bawah?"
Aksa tertawa ringan. "Gak ada salahnya dicoba."
"Gak ada salahnya one sided crush," decak Renja lalu menarik lengan Aksa pelan. "Udahlah, ayo balik aja sebelum gerbangnya ditutup."
Di belakang Aksa tertawa, tidak pernah ada kejadian gerbang ditutup sebelum seluruh murid yang mengikuti ekstrakulikuler pulang. Mereka masih memiliki banyak waktu sampai matahari mulai berubah menjadi oranye.
"Lo juga kenapa belom nyoba pacaran lagi Kak?" Renja melirik lelaki itu, dengan cepat menambahkan ketika melihat senyum usil Aksa. "Don't even try to flirt."
Aksa tertawa, pada detik ini, sepertinya Renja sudah mengenalnya.
"Mungkin karena gue belum nemu esensinya?" Dia bergeser di kiri Renja begitu mereka tiba di luar sekolah agar gadis itu berada di bagian dalam yang lebih aman. "Gue gak mau jadi alasan patah hatinya orang lain."
Aksa menggaruk tengkuknya. Masih mengingat makian yang dia terima ketika hubungan pertamanya kandas begitu saja. Dia sudah melupakan siapa gadis itu, tetapi raut kecewa dan air mata yang disebabkannya masih tercetak jelas.
"Ketika mereka suka gue, itu memang bukan tanggung jawab gue. Tapi, ketika gue memutuskan terlibat dalam suatu hubungan, berarti di saat itu gue bertanggung jawab dan gue gak suka ngeliat orang lain terluka karena pilihan yang gue ambil."
Karena Aksa yang paling mengerti bagaimana rasa sakit itu tidak mudah diobati, tidak seperti luka di bagian epidermis kulit. Luka di dalam hati tidak terlihat tetapi memberikan efek yang sama, bahkan terkadang dua kali lebih besar.
"Orang yang udah pernah mengalami rasa sakit, biasanya gak pengen orang lain mengalami hal yang serupa 'kan?"
Dan, mungkin karena itulah Aksa selalu ingin menghampiri Renja. Memastikan gadis itu tidak berjalan sendirian di tanah yang gersang ini. Meski, semakin bertambahnya waktu, lelaki itu mulai mempertanyakan dirinya sendiri.
Apakah semua ini benar-benar karena dia tidak ingin melihat mimpi buruk itu terjadi dua kali di hadapannya?
Atau, karena hal lain?
"Lo memang something else," kekeh Renja.
"Smooth."
Renja menggigit bibir, mengumpat dalam hati. "Lo ngeselin."
Aksa terkekeh pelan. Tidak keberatan dengan komentar Renja. "Maybe that's my charm."
Renja merotasikan mata. Meski pembicaraan ini sedikit tidak jelas, tetapi dia cukup menikmatinya. Membuatnya dapat sedikit bernapas dengan lebih mudah. Tidak lagi memikirkan angka-angka sialan di atas kertas. "Kak, lo mau mampir ke mana gak?"
Aksa mengangkat alis. "Lo mau pergi ke mana?"
Renja mengendikkan bahu, dia hanya ingin pergi kemana pun selama bukan kembali ke rumah yang membuatnya semakin merasa tertekan. Dia ingin merasakan sedikit rasa bahagia sebelum kembali menghadapi realita.
"Ke tempat yang rada jauh?"
Aksa mengangkat wajah, memandangi matahari yang masih berada di atas. "Lo..., mau ke pantai?"
Entah mengapa, Aksa teringat dengan lukisan di ruangan Renja beberapa hari lalu.
"Pantai?"
Aksa mengangguk. "Tapi, gue harus balik ke rumah ngambil mobil." Dia menelan saliva. Sedikit meragukan ide yang tiba-tiba ini.
"Lo punya SIM?"
Aksa hampir tertawa ketika mendengar apa yang dikhawatirkan Renja.
"Gue udah tujuh belas?"
Renja merutuki dirinya sendiri, benar. Bukankah dia seharusnya sudah tahu hal yang sejelas itu, Aksa satu tahun di atasnya. Secara otomatis, lelaki itu lebih tua dibandingkan dengannya.
Keduanya kemudian berjalan bersisian menuju kompleks rumah Aksa yang terletak tidak jauh dari area sekolah. Melewati beberapa persimpangan dan satu jalan besar.
"Gue pikir lo tinggal di kompleks yang sama." Hanya itu komentar Renja selagi mereka menyusuri rumah demi rumah yang luas dengan model yang beragam, berbeda dengan milik Renja yang seragam dari ujung ke ujung.
"Arjuna yang tinggal di sana."
"Gue gak pernah liat dia."
"Lo sering keluar?"
Renja menggaruk tengkuknya. Dia hanya keluar rumah pada detik-detik mendekati dan setelah ujian untuk mencari udara. "Kaga sih," kekehnya.
"Juna juga gak pernah keluar rumah," ujar Aksa, tertawa pelan sambil menunjuk satu rumah bergaya Belanda yang pekarangannya dipenuhi bermacam tumbuhan. "Rumah gue yang itu."
Jika diminta untuk mendeskripsikan suasana tempat ini, maka Renja akan memilih satu kata; hangat. Bahkan, ketika kakinya memasuki area luar rumah bercat putih dengan jendela-jendela besar berbingkai hitam. Dia dapat melihat beberapa perabotan kayu dari luar sini meski yang paling memukau dan menonjol adalah pekarangan yang luas ini.
Renja dapat melihat bunga yang beberapa di antaranya tidak pernah dia lihat secara langsung, hanya melalui buku-buku, perhatiannya kemudian tersita oleh kolam dengan ikan koi yang di tengah-tenganya dihiasi batu dan patung cupid. Seperti dalam film Atonement.
"Sa!"
Pandangan Renja bertabrakkan dengan Natasha yang sedang menyiram tanaman, membuat bibir wanita paruh baya itu tertarik lebar. Terlalu lebar. "Halo," sapanya ramah, membuat Renja menunduk sopan.
"Aku Renja...," ucapannya terhenti, tidak tahu harus menyebut wanita itu sebagai siapa kemudian melirik Aksa yang dengan cepat membantunya.
"Renja, Oma." Aksa melirik Renja, ragu-ragu melanjutkan. "T—"
"—panggil Oma aja," kekeh Natasha. Memotong Aksa dengan sengaja. "Ayo, masuk."
Dalam waktu singkat, Renja mendapat kesan bahwa Natasha adalah sosok yang menyenangkan dan tidak senang mencampuri urusan orang lain. Menghargai tamu yang dibawa Aksa sekalipun lelaki itu lebih muda.
Memilih menyimpan pertanyaan apa pun di waktu lain.
"Eh, gak usah repot-repot Oma," ujar Renja sopan. Mengulas senyum.
"Aku cuman mampir buat ambil kunci mobil sebentar."
Natasha mendengus. "Harusnya kamu suruh tamu tunggu di dalem," ujarnya, memukul pelan pundak lelaki itu. "Maaf ya, dia memang payah kalo soal perempuan."
Aksa menggigit bibir.
Renja terkekeh. Menggeleng sopan. "Gak masalah kok, Oma. Gak usah ngerepotin jadinya."
"Mana mungkin." Natasha menggeleng sambil tertawa. "Kuncinya kamu taro di mana Sa?" Natasha melirik Aksa. "Oma masuk dulu, ya." Seolah menyadari jika kehadirannya hanya akan membuat suasana perlahan berubah menjadi canggung yang kemudian disusul Aksa cepat setelah memberitahu Renja untuk bebas melakukan apa pun di taman.
Membuat gadis itu menikmati bunga-bunga yang ada di pekarangan. Menyukai keserasian dan warna yang berpadu dengan indah, ditanam dengan suatu konsep dan penuh perhatian.
"Ja," panggil Aksa dengan membawa satu kunci di tangan beberapa menit kemudian. "Ayo."
Perjalanan itu ditempuh kurang lebih selama dua jam hingga akhirnya mereka tiba di dekat pantai yang tidak terlalu ramai, mengingat hari ini adalah selasa dan bukan hari libur.
Asinnya aroma laut langsung menyambut Renja begitu dia keluar dari dalam mobil, merasakan angin laut yang menerbangkan helaian rambutnya, angin yang sedikit berbeda dibandingkan ketika mereka berada di daratan. Dia tersenyum kecil sambil mendekati sumber air sementara Aksa mengekorinya di belakang, kemudian berdiri di atas pasir sementara Renja melepas sepatunya dan membiarkan air laut membasahi kaki sebelum ombak bergulung kembali.
Rasanya terakhir kali dia pergi ke pantai untuk merayakan kesuksesannya ketika berhasil untuk pertama kali meraih peringkat pertama.
Dia sedikit merindukan semua itu walau rasanya sudah terlambat untuk kembali.
"Lo suka ke pantai Sa?" tanya Renja begitu kembali, ikut duduk di samping Aksa yang menawarkannya kelapa.
"Kadang. Gue suka duduk di sini sendirian malem-malem sambil ngeliatin bulan atau kadang Nakula nyusul sambil ngerokok."
"Apa..., lo gak takut?"
Aksa kali ini menoleh. Melihat Renja yang memeluk lututnya, meletakkan wajah di atas kaki selagi memandangi deburan ombak. Tatapan yang menghanyutkan itu seperti samudra, membuat Aksa terpukau oleh kedalamannya.
"Gue kadang pengen melebur jadi satu dengan air," kekeh Renja. "Gue boleh cerita?"
Aksa mengangkat alis. Memandang Renja dengan sedikit khawatir. "You can talk to me anytime."
Gadis itu kini menopang tubuhnya dengan kedua tangan selagi memandangi air yang bergerak teratur, menikmati suara deburan ombak yang harmonis bersama langit yang perlahan menggelap.
"Gue anak pertama yang berhasil didapetin susah payah setelah nunggu bertahun-tahun."
Menggunakan tangan, Renja menggambar asal di atas pasir selagi terus bercerita.
"Jadi, ketika gue lahir, semua orang naruh ekspetasi yang besar karena mereka pikir mungkin gak akan ada anak lagi setelah gue. Mereka mastiin gue dapet apa pun dan bisa jadi anak yang berguna, hal itu memang bagus awalnya. Tapi, seiringnya waktu ketika lo berbaur di masyarakat, lo pasti akan benci dengan anak yang keliatannya selalu jadi pusat perhatian. Anak yang selalu mau jadi yang terbaik. Anak yang terlalu ambisius."
Renja menahan napas. Suasana di tempat ini membantunya untuk bercerita dengan lebih santai. Seperti menghipnotis dirinya.
"Mereka yang awalnya tertarik pasti bakal menjauh perlahan-lahan, mulai ngerasa muak."
Dia berharap, dengan bercerita bongkahan dalam dada itu dapat lenyap. Renja tidak peduli apakah Aksa akan menepati janjinya untuk tidak membeberkan kisahnya karena saat ini dia benar-benar membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan.
"Gue mulai dikucilin dan gak tau cara memperbaiki semua itu. Gue kecewa, tapi gak ada yang bisa dilakukan selain nyalahin diri sendiri dan satu-satunya pelarian yang terlintas di pikiran gue adalah belajar dan gimana jadi yang terbaik. Gue pikir, kalo gue bisa mendapat peringkat pertama maka semuanya akan beda."
Renja pikir mungkin setelah mencecapi keinginan itu, dia dapat keluar.
"Tapi, ternyata gue salah. Sekali gue berhasil, orang tua gue ngeliat itu sebagai peluang. Mereka semakin neken gue untuk mencapai lebih dari itu, baik mereka sadari atau enggak." Renja menipiskan bibir. "Ngeliat itu, gue berusaha semakin keras. Gue mencoba memusatkan seluruh hidup gue untuk itu dan menganggap hal yang lainnya gak penting."
Renja menarik sudut bibir.
"Di tengah tekanan itu, gue mencoba menikmati semuanya walau perlahan kehilangan semua mimpi dan keinginan gue." Renja terkekeh pelan. Dia mencoba bertahan dan beradaptasi sebaik mungkin sebelum kehilangan akal meski harus mengorbankan dirinya.
"Makanya, ketika ngeliat seseorang yang punya mimpi untuk dia kejar, ngeliat mereka yang berusaha keras untuk itu, gue ikut ngerasa bahagia karena gue gak pernah punya kesempatan untuk ngelakuin itu."
Ketika menyaksikan Aksa bermain sore itu, melihatnya yang tertawa selagi berhasil memasukkan bola. Melihat binar di mata Aksa ketika menunjukkan hasil potretnya. Melihat bagaimana Mala yang bersemangat selagi membahas naskah ekskulnya dan Rea yang tampak berapa-api sewaktu bergerak mengikuti irama musik. Renja merasa sedikit terobati. Merasa sedikit lebih hidup.
"Gue sebenernya udah ratusan kali pengen mati. Nyayat tangan atau tenggelemin diri setiap liat air, tapi balik lagi yang kayak gue bilang. Gue takut sekaligus kepikiran dengan meninggalkan semuanya berarti gue menyerah. Gue gak boleh nyerah sekalipun diri gue adalah taruhannya."
Renja tidak lagi menangis, mungkin sudah terlalu lelah alih-alih bibir itu tertarik ke samping semakin lebar, membentuk senyum pasrah.
Untuk kali pertama, Aksa benar-benar melihat Renja. Seolah seluruh dinding itu runtuh begitu saja di hadapannya, membuat dia tidak dapat menahan diri.
"Maaf, lo boleh mukul gue kalo ini gak sopan."
Aksa bergerak pelan menarik Renja ke dalam pelukannya dengan sedikit canggung. Lelaki itu tidak bersuara lagi setelahnya, mengusap pelan pundak Renja, dia dapat mendengar gadis itu terisak perlahan.
Untuk kali pertama, gadis yang selalu disebut-sebut sebagai sosok yang dingin dan angkuh itu menangis dalam pelukannya. Renja tidak pernah merasakan pelukan yang begitu menenangkan, membuatnya berharap waktu dapat berhenti saat itu juga.
Selama ini dia hanya dapat memendam seluruh perasaannya sendirian. Tetapi, hari ini, Renja mendapat dua pelukan tulus, sesuatu yang belum pernah dirasakannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top