04. Langit yang Runtuh

"Ja."

"Ja! Mau makan apa?"

Mendengar namanya sekali lagi diserukan, gadis itu mengerjap. Menoleh dan tersenyum kaku pada Rea. "Kenapa Re? Udah kelar dari rapat OSIS?"

Rea merotasikan mata. "Tama cakep ya?" Bibirnya tertarik lebar ketika Renja mengangkat satu alis, menatap gadis bersurai gelombang itu skeptis walau menurutnya tindakan Renja sia-sia. Berteman selama empat tahun membantu Rea terbiasa dengan kebiasaan kecil milik Renja. Tidak peduli seberapa keras Renja berusaha mengelak.

Rea mendecak, padahal tidak ada yang salah dengan menyukai seseorang.

"Lo hari ini ada latihan?" tanya Renja, mencoba mengabaikan sahabatnya dan bangkit berdiri.

Rea tertawa, berlari kecil sambil merangkul Renja. "Lo mau ikut gue latian? Gue masih mau latih beberapa gerakkan lagi buat evaluasi biar bisa ambil posisi center."

Renja yang menyukai dance kerap kali menemani Rea berlatih tanpa berniat turut serta, tidak peduli seberapa keras usaha Rea mengajaknya, padahal gadis itu memiliki kemampuan.

Beberapa gerakannya mungkin tidak setajam mereka yang sudah lama bergelut di bidang ini, tetapi energi dan gerakannya cukup untuk membuatmu terpukau. Terhisap dalam momen itu sesaat. Kehilangan kata-kata. Gadis itu tahu kapan dia harus menggunakan energinya.

Menurut Rea, seandainya saja Renja lebih percaya diri, mungkin dia dapat menjadi bintang seperti yang selama ini diharapkannya. Meski Renja tidak pernah mengudarakan keinginan itu secara verbal, tetapi, sekali lagi, Rea cukup mengenal sahabatnya yang satu itu. Renja menginginkan lebih dari sekadar posisi sebagai pengamat, ingin memiliki panggung untuk dirinya bermain.

Manusia, meski terkadang tidak mengakuinya, berharap menjadi terlihat, menjadi pusat perhatian walau sebagian tidak memiliki keberanian maupun tekad untuk melakukannya.

Rea mendesah, merotasikan mata saat menyadari tatapan mata penuh rasa lapar dan hinaan ketika dia mulai memasuki kantin. Bukankah mereka luar biasa? Seperti seekor ular yang memantau dalam diam, siap menerkam ketika mangsa melemah. Tetapi, Rea tidak berniat menjadi lemah.

Semakin besar perhatian itu, bukankah semakin besar tantangannya? Dia tidak berniat tunduk. Jika mereka menjadi ular, maka gadis itu memutuskan untuk menjadi elang yang berada di puncak rantai makanan.

"Mau apa Re?" tanya Renja selagi mereka menyusuri kantin, berusaha mencari tempat yang kosong.

"Bakso?"

Renja mengangguk. "Gue yang cari tempatnya deh, lo pesen aja dulu," sarannya ketika melihat kursi yang kosong semakin berkurang. Seandainya mereka datang beberapa menit lebih lambat, maka mereka akan terpaksa makan di dalam kelas.

"Re."

Panggilan dari suara berat yang dikenali seluruh murid membuat kedua insan itu menoleh. Menghentikan langkah.

Renja melirik Rea di sisinya. Ekspresi datar itu tidak berubah.

"Duduk sini aja, gue mau balik."

Manik Renja kemudian bergulir pada Nakula yang perlahan bangkit berdiri, menatap Rea tanpa ekspresi sebelum perlahan sudut bibirnya terangkat kecil diikuti manik hitamnya yang sedikit bercahaya. Lelaki itu memiliki tubuh yang atletis untuk anak seusianya, seperti Aksa yang berdiri di belakang. Melemparkan senyum pada mereka.

Rea hendak melepaskan jawaban ketus, menantang ketua OSIS berambut pendek dengan poni itu sebelum Renja dengan cepat menyikut pelan gadis itu. Membuat perhatiannya kini teralihkan pada keadaan sekitar, tatapan yang jauh lebih menusuk. Menyaksikan pertunjukan menarik sekaligus merancang skenario dalam benak.

Menantikan hasilnya.

Mengeraskan rahang, Rea menarik satu sudut bibir. "Makasih, Kak."

Nakula mengangguk, bergerak menjauh dari tempat itu sementara Rea menjatuhkan diri diikuti Renja yang tidak melepaskan pandangannya dari punggung Nakula. Membuat tatapan mereka bertabrakkan sesaat.

Renja menelan saliva, walau hanya memperhatikan sekilas, dia dapat mengambil sedikit kesimpulan jika Nakula adalah sosok yang cukup berbahaya. Sepeti Kisaki Tetta si brengsek dalam Tokyo Revengers atau Chishiya dalam seri Alice in Borderland. Terlebih ketika mata itu bersinar selagi menjauh dengan seringai tipis, seolah apa pun yang terjadi telah dia perhitungkan. Dilakukan dengan perencanaan.

"Apa ada kaitannya sama yang mau lo ceritain minggu lalu?"

Sudah satu minggu semenjak perkataan Rea di hari pertama mereka ujian dan gadis itu belum mengatakan apa pun lagi. Renja sendiri tidak berniat memaksa Rea jika gadis itu tidak menginginkannya.

"Gue gak paham sama Nakula." Rea mengangkat wajah, mengeraskan rahangnya. "Nakula itu...." Dia mengerutkan kening, tidak mampu menggunakan kata yang tepat untuk mendeskripsikan lelaki bersurai hitam itu.

"Ceritain aja nanti kalo menurut lo belom tepat sekarang." Renja melirik tempat bakso yang masih ramai. Menggigit bibir. "Gue beli bakso dulu."

Setelah menerima balasan dari Rea, gadis itu bergerak pelan. Tersisa lima orang dalam antrean. Dia menunggu selama lima menit hingga gilirannya, sebelum tiga orang lain bergerak cepat memotong. Membuatnya mengumpat dalam diam.

"Sorry ya, kita duluan," kekeh salah seorang laki-laki dengan rambut pendek yang berantakan. "Udah laper."

Memangnya seluruh orang di kantin ini datang karena ingin menonton konser?

Renja mengeraskan rahang, mengepalkan tangannya, berusaha tidak memaki mereka dan bertindak di luar perhitungannya yang dapat menimbulkan masalah. Dia menarik napas. Jika Rea yang berada di posisinya, mungkin ketiganya akan terkapar di lantai.

"Kenapa Ja?" tanya Rea yang menyodorkan satu jus melon di hadapan Renja, memandangi Renja yang datang dengan wajah ditekuk. "Rame banget ya?"

Renja mengangkat bahu, berusaha merubah ekspresinya. "Kagak, anak kelas dua belas."

Tatapan Rea seketika berubah. Menajam. "Siapa? Nathan? Bimantara?"

Renja langsung terkekeh begitu mendengar nama-nama anak yang pernah mendekatinya dahulu sambil mengaduk pelan minumannya. "Bukan, biarin deh. Gue males berdebat."

Rea mendecak. "Makanya, biar gue aja yang hajar mereka," ucapnya. Dia mengerti bahwa Renja memiliki prinsip untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membawa masalah dan merusak reputasi sempurnanya di sekolah. Meski, bagi Rea prinsip itu sedikit terlalu bodoh.

Memangnya, mendisiplinkan mereka yang tidak memiliki sopan santun adalah kesalahan? Untuk apa merasa takut pada sesuatu yang tidak salah.

Dia menghela napas. Tersenyum kecut, Renja tidak pernah mengatakan secara gamblang tetapi gadis itu terlihat tidak menginginkan kesalahan dalam hidupnya. Begitu berambisi, membuatnya kembali teringat Nakula. Mungkin itulah alasan kata-kata tajam kemarin dapat lolos dari bibirnya, melupakan sekilas fakta bahwa dia adalah Nakula bukan Renja yang sudah terbiasa dengan sikapnya.

Renja benar, sudah saatnya dia lebih memperhatikan siapa lawan bicaranya atau hal itu akan membawa malapetaka.

"Re."

Suara dalam yang memanggilnya itu membuat Rea menoleh, memperhatikan Regan dengan setengah minat. "Kenapa?" tanyanya sambil memasukkan satu bakso yang tersisa di atas piring. Mengabaikan Lelaki dengan wajah kecil itu, membuat Regan mengerut malas melihat reaksi Rea, rambutnya yang cokelat dia rapihkan ke belakang. "Disuruh ke kantor guru ntar, kayaknya diminta bagiin ujian."

"Oke." Gadis itu kembali pada makanannya sebelum menyadari Regan yang tidak beranjak dari tempat. "Lo mau di sini terus?"

Regan mendecak. "Disuruh sekarang."

Menghela napas Rea mengangguk, menggunakan tangan membentuk tanda oke sementara dia meminum kuah. Membuat Regan menatap gadis itu kesal dan berlalu.

"Sana Re, gue yang balikkin aja mangkok sama gelasnya."

Mengerti bahwa Renja akan menjadi sosok yang keras kepala, setelah mengucapkan terima kasih gadis itu menghilang secepat mungkin.

Renja menghabiskan lima menit lagi sebelum bangkit, mengembalikan seluruh peralatan mereka, hendak kembali ke kelas sebelum langkahnya terhenti ketika melihat Aksa di depan pintu. Bermain dengan kameranya sementara dua orang temannya meributkan sesuatu.

Pandangan mereka bertemu selama beberapa sekon sebelum Aksa yang pertama kali memutuskan kontak itu terlihat tegang dan berubah kaku. Membuat dia ikut menoleh, merasa penasaran dengan objek pandangnya, mendapati teman sekelasnya berdiri tidak jauh di sana.

Tengah memegang kamera dengan rahang mengeras.

***

"Ja, berapa nilai lo?"

Naratama membenarkan posisi kacamata bulatnya selagi mendekati meja Renja.

"Udah dibagi?"

Naratama menggoyangkan kertas miliknya, membuat Renja dengan cepat meraihnya. Memperhatikan kotak nilai yang tertera di sisi kata fisika. Delapan puluh delapan.

"Gapapa deh, asal gak remedial aja gue," kekehnya. "Udah ketemu?"

Renja menelan saliva, merasakan jantungnya yang berdetak lebih cepat ketika mencoba meraih dan membaca nilai yang dibubuhkan di atas usahanya. Hasil kerja kerasnya tidak tertidur.

Tubuhnya seketika melemas ketika melihat angka sembilan sebelum memperhatikan angka yang membuntutinya, tiga. Berarti dia melakukan kesalahan pada essai atau beberapa nomor pilihan ganda.

Renja berusaha menarik bibir ketika menyadari perhatian Naratama yang kini jatuh pada dirinya. "Jelek, tapi gak remedial gue," kekehnya.

"Jelek darimana dah," ucapnya tertawa pelan, suaranya yang lembut biasanya membuat Renja ikut tertawa tetapi kali ini gadis itu hanya mampu tersenyum. Seolah seluruh tenaganya telah lenyap bersama kertas dalam genggaman. "Lo udah belajar mati-matian."

Benar. Dan, kerja keras itu tidak menghasilkan sesuatu yang sepadan. Tidak memberikan kesempurnaan yang diharapkannya. Tangannya mengepal kuat, mengabaikan buku-buku jari yang memerah dan rasa sakit akibat kontak kuku dengan kulitnya.

Dia ingin berteriak, tertawa, dan mengumpati dirinya sendiri. Dia tahu satu nilai tidak akan mengindikasikan kegagalan, memberi label bahwa dia bukan sosok yang pantas menerima posisi pertama tetapi rasa yang mengekang dan benaknya yang berbisik tidak dapat menerima.

Satu dapat berubah menjadi dua, tiga, dan seterusnya.

"Berapa lo Ta?"

Melihat kehadiran Pramadita di kelasnya membuat keinginan Renja menghilang semakin kuat.

"Gile, gue gak nyangka bisa dapet seratus." Pramadita tersenyum lebar, menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di depan meja Renja. Menyodorkan miliknya. "Lo berapa Ja?'

Naratama mengambil alih untuk menjawab, "gue delapan delapan, Renja sembilan lima." Dia melirik Renja yang hanya tersenyum tipis dengan pikiran yang entah berada di mana. "Jangan sombong gitu Ra," kekehnya pelan. "Jauh-jauh lo yang beda dari kita."

Pramadita merengut sebal. "Iri aja lo, oh ya, makasi Ja," ucapnya menggantung, sengaja menunggu respon Renja yang akhirnya menatap dirinya. "Kalo lo gak bilang kemaren bisa remedial gue."

Bukankah kemampuan mereka terlihat sangat luar biasa jika disatukan di atas meja seperti ini? Hanya butuh beberapa belas menit bagi Pramadia untuk memahami materi tersebut sementara dia butuh berjam-jam. Bahkan, Naratama yang hanya membaca materi mendapat nilai tinggi.

Membuat Renja meragukan peringkat mereka selama ini. Bukankah, Pramadita seharusnya mengambil alih miliknya dan Naratama yang selalu menempati posisi ketiga berada di atas.

"Bubar, bubar," ucap Rea yang tiba-tiba datang. "Belom pada balik?" Dia melirik kelas yang sudah kosong, tersisa beberapa murid yang masih menyelesaikan tugas mereka sebelum diperbolehkan kembali.

Gadis itu memanggul tas cokelatnya. "Ram, lo ditungguin tuh, ditanya mau ke warnet apa kagak."

Seolah teringat dengan janjinya, gadis itu langsung berlari keluar.

"Mau balik bareng?" tanya Rea pada Naratama selagi menunggu Renja merapihkan meja dan membawa tasnya. Membuat Renja melemparkan tatapan tajam pada gadis itu yang hanya ditanggapi dengan senyum tidak berdosa.

Rea menyodorkan kertas ulangan yang tertinggal di meja yang dimasukkan asal ke dalam kantung oleh Renja.

"Boleh, langsung balik Ja?"

"Gak tau deh," jawab Renja selagi berjalan keluar. Masih memikirkan apa yang harus dilakukannya setelah ini. Terlampau malas kembali. Merasakan pijakan yang goyah bersama rasa takut yang mulai menghantui pikirannya. Apa tanggapan Alana jika mengetahui ini?

"Kalo mau balik sekarang, bareng gue aja."

Renja tertawa pelan. Bukan tawaran yang buruk, tetapi suasana hatinya sedang tidak baik untuk banyak berbicara. Menginginkan ketenangan dan waktu untuk berfokus pada dirinya sendiri. "Lain kali deh."

Mereka kemudian berpisah di persimpangan, Rea menuju ruang tari di lantai dua di sayap kanan untuk berlatih dan Naratama yang menuju gerbang sekolah. Meninggalkan Renja seorang diri menuju perpustakaan.

Tangannya hendak menarik pintu sebelum akhirnya membatalkan niat. Memutar langkah menjauh, menuju area luar gedung, menyusuri perlahan dinding luar perpustakaan hingga sampai pada lorong yang mengarahkannya pada taman belakang yang selalu menjadi objek pandangnya selama ini.

Renja dapat merasakan sentuhan angin di antara lebatnya pohon-pohon disusul aroma bunga yang menyapa indra penciumannya.

Kakinya bergerak menuju satu kursi dari bebatuan yang melingkari pohon beringin besar, perlahan menjatuhkan diri lantas memejamkan mata. Menikmati kesunyian, jauh dari hiruk-pikuk.

Taman ini hampir tidak pernah dikunjungi siapa pun lantaran lokasinya yang jauh dan cukup tertutup, selain daripada anak yang suka membolos pelajaran atau tukang kebun yang merawat tempat ini.

"Kak Aksa?"

Kepalanya menoleh begitu mendengar suara langkah kaki, membuat lelaki itu terdiam. Setengah merasa bersalah.

"Sorry, gue gak bermaksud ganggu."

Renja mengangkat alis, menerima minuman dingin yang disodorkan oleh lelaki itu.

"Tadi gue mau cari Pak Sardi, gue gak nemu dia di area sekolah soalnya," jelas Aksa, membuat Renja tersenyum geli, mengangguk. Padahal, gadis itu tidak mempertanyakan alasan kehadirannya.

"Jadi, ini buat Pak Sardi?"

Aksa menggaruk tengkuknya. "Gue mau beli lagi di kantin," ucapnya sambil mengelak, menunjuk bangunan kantin yang terlihat dari tempat mereka. "Kayaknya lo butuh yang seger."

Lelaki itu kemudian berjalan menjauh, hendak keluar dari area taman sebelum suara Renja membuatnya berhenti. Menoleh. Hari ini, keadaan Renja tidak jauh lebih baik dari kemarin dengan lingkaran hitam di bawah mata dan senyum yang goyah.

Dapat runtuh kapan pun.

"Kak kalo...," Renja menelan saliva, melanjutkan, "lo mau di sini, duduk aja."

"Gapapa?" Aksa memperhatikan ekspresi adik kelasnya yang berubah selagi menggeleng, membuatnya kembali mendekat. Ikut duduk di dekat Renja dengan menyisakan jarak yang cukup untuk satu orang lain. Memberikan ruang bagi gadis itu.

Aksa membuka tutup botol minuman miliknya, tidak banyak bersuara selagi memperhatikan burung yang beterbangan dan daun yang melambai bersama angin. Jika dia mencoba membayangkan dia dapat mendengar alunan piano Nakula yang memainkan March: Song of the Lark milik Tchaikovsky. Terlihat sempurna dengan lanskap ini.

Rasa segar dingin yang didapat dari sentuhan dingin di tengah musim semi, ketika salju baru saja berhenti.

"Gak balik Kak?"

Pertanyaan pertama yang memecah kesunyian di antara mereka.

Aksa menoleh, memperhatikan sisi samping wajah Renja di bawah terpaan sinar mentari. Bibirnya terangkat tanpa sadar sebelum mengikuti objek pandang Renja.

"Gue ada ekskul abis ini, mau nonton?"

"Lo ikut ekskul apa, Kak?"

"Basket."

"Hah?" Renja mengerjap, seharusnya dia tidak terkejut ketika melihat tubuh kekar Aksa, terlampau atletis untuk mereka yang masih duduk di bangku SMA. Tetapi, fakta itu tetap saja sedikit mengherankan. Ekskul fotografi mereka cukup terkenal dengan kehadiran Regan yang sudah memenangi beberapa penghargaan.

Aksa tersenyum kecil, menoleh, membiarkan pandangan mereka bertemu selama beberapa saat sebelum dia kembali memperhatikan bunga marigold di depan. "Gue gak ikut fotografi," ucapannya menggantung. Seolah dia sendiri tidak memiliki jawabannya, baru memikirkan hal tersebut detik ini. "Kayaknya gak ada alasan khusus sih."

Renja mengangguk. Tersenyum tipis ketika melihat Aksa tampak terbenani. "Gak semua hal butuh alasan, terkadang alam bawah sadar kita yang bergerak." Dia melirik Aksa. "Selama kita bisa ngelakuin hal yang kita suka."

"Kira-kira apa yang lo suka?"

Renja hendak membuka mulut, menjawab, sebelum dia teringat. Dia tidak memiliki apa pun. Hampir melakukan segalanya tanpa benar-benar menyukai salah satunya. Berusaha mengejar kesempurnaan yang kini mulai diragukannya. Bukankah ambisinya didasari oleh keinginan untuk bebas.

"Entah ya," kekehnya. Senyumnya menipis, sejak kapan kira-kira dia kehilangan dirinya? Hidup sebagai cangkang kosong.

"Gue dulu pengen jadi astronot," ucap Aksa.

Renja mengangkat wajahnya dengan kedua mata membola. "Seriusan?" Dia tertawa pelan. "That's cool."

Aksa ikut tersenyum. Jika dilihat dari kejauhan, Renja memang tidak pernah tersenyum, terlihat dingin, dan sulit didekati. Seperti dongeng yang beredar di sekitar gadis itu, membuat mereka hanya mampu mengamatinya dalam diam. Dia sempat menjadi salah satunya, dahulu.

Rasa penasaran yang timbul dari cerita Juna satu tahun lalu, membuat manik hitam itu selalu jatuh pada gadis bersurai panjang itu setiap mereka berada di tempat yang sama. Seolah memiliki petunjuk tak kasat mata, dia selalu dapat menemukan Renja walau perlahan, rasa penasaran itu memudar hingga pertemuan pertama mereka malam itu merubah segalanya. Aksa melihat terlalu banyak untuk mengabaikan segala sesuatunya dan dia tidak dapat menganggap pertemuan-pertemuan mereka setelahnya sebagai hal kosong yang tidak berarti.

"Setelah itu gue juga pengen jadi pemain NBA waktu kelas enam," kenang Aksa, tertawa sambil mengingat bagaimana matanya berseri-seri saat melihat pertandingan di televisi. "Naik SMP mimpi gue mulai lebih realistis, pengen punya kebun kopi dan bangun toko bunga."

Dia kembali pada momen ketika segalanya hancur di hadapannya, berusaha menghadapi realita yang begitu pahit. Mimpi itu merupakan konfigurasi dari perasaannya. Berterima kasih pada mereka yang membantunya bangkit.

"Sekarang..., lo masih pengen hal yang sama?"

Aksa mengulum bibirnya, bergumam pelan. "Kayaknya kalo sekarang gak ada," ucapnya. Menatap Renja. "Sebisa mungkin nikmatin aja apa yang ada di hadapan gue."

Renja menyandarkan kepalanya, memandangi langit yang dipenuhi awan. "Menurut lo gak punya tujuan dan rencana gak masalah?"

"Kenapa? Toh, kita masih kecil," ucap Aksa sambil ikut menyandarkan tubuh. "Masa depan kita masih panjang. Tujuan hidup memang penting, tapi kadang kita terlalu berfokus mencari tujuan itu hingga melupakan kebahagiaan diri sendiri, hal yang paling utama."

Renja terkekeh, mungkin, hanya mungkin, lelaki itu benar. Dia terlalu sibuk dengan ambisi dan meninggalkan dirinya di belakang.

Perlahan-lahan mengabaikan hal yang paling penting.

Kebahagiaan.

Dirinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top