03. Retak
Seminggu telah berlalu dan tidak banyak yang berubah. Tidak ketika dia seorang murid SMA yang kesehariannya dipenuhi dengan belajar. Rutinitas monoton yang sama hingga tanpa sadar ujian berakhir.
Satu dari sumber masalah miliknya lenyap sudah. Membuat gadis berambut panjang berpotongan oval itu dapat bernapas lega, merasakan sesuatu dalam dada terangkat walau hanya berbentuk serpihan kecil.
"Mau sampe kapan kayak begini?"
Sebelum suara itu menambah masalah baru.
Kening Renja lantas mengerut ketika mendengar nada tinggi yang bersahut-sahutan di bawah sana, dia mendesah. Maniknya melirik Elegi-adiknya yang sudah terlelap dengan penyumpal telinga, ketika suatu peristiwa terjadi berulang, maka rasa yang semula mengikuti perlahan lenyap.
Mereka tidak lagi merasakan apa-apa.
Dahulu, Renja akan berusaha keras agar adiknya yang beberapa tahun lebih muda itu tidak perlu mengkhawatirkan peristiwa yang terjadi, tentang keadaan rumah mereka yang kacau, menariknya masuk ke dalam kamar untuk menonton film atau apa pun yang dapat mengalihkan fokus meski setelah bertahun-tahun mengalami hal serupa Elegi akhirnya, perlahan, tidak lagi membutuhkan bantuan.
Membasahi bibir, Renja meraih jaket di balik pintu, mengirimkan pesan pada Elegi sebelum bergegas keluar dari dalam rumah.
Bibir pucatnya tertarik, membentuk kurva ketika angin menerpa wajah bersama langit yang mulai gelap. Dia menarik napas, mengisi paru-parunya dengan oksigen.
Udara malam yang sejuk selalu menjadi pelarian terbaik.
Kakinya kemudian bergerak santai menyusuri jalan di bawah lampu kuning, berusaha tidak memikirkan apa pun yang dapat merusak harinya lebih jauh.
Mencoba mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan Alana ketika mengetahui tindakan bodohnya.
Renja menggigit bibir, dia hanya membutuhkan sedikit kebebasan. Rasa bebas dari pikiran, lingkungan, dan segala hal yang memenjarakannya. Tangannya bergerak ke dalam saku, seandainya dia memiliki cara lain yang lebih baik untuk melepaskan beban di pikiran dia mungkin akan melakukannya tetapi tidak ada satu pun cara yang lebih sehat yang mampu terlintas dalam benak.
Satu-satunya hal yang Renja pelajari dalam mengatasi masalah adalah diam. Menutup mulut. Membiarkan segala sesuatunya berakhir seorang diri tanpa campur tangan orang lain. Mengandalkan dirinya sendiri.
Dia tersenyum hambar, jika dia tidak mampu mengatasi seluruh masalah seorang diri, bukankah berarti dia tidak berguna? Pria yang membesarkannya tidak mendidik dia untuk menjadi sosok yang lemah dan payah.
"Dunia ini keras, jangan pernah berharap dari orang lain."
Renja hendak kembali melangkah, menyingkirkan nasehat James sebelum satu cahaya putih mengaburkan pandangan. Dia mengerjap.
"Sorry, sorry."
Renja mengusap matanya, masih merasakan sisa-sisa kilatan cahaya dari kamera. Terlalu lelah bersua, gadis itu hendak bergerak pergi setelah mengangguk, tetapi sosok di balik kamera tua itu menyita perhatiannya. Membuat dia membatalkan niat.
"Lo gapapa?" Aksa berjalan mendekat, masih tidak menyadari siapa korbannya. Mata kecilnya lantas membola ketika melihat adik kelasnya dalam hoodie yang sama seperti satu minggu lalu. "Kayaknya kita selalu ketemu. Apa ini pertanda?" Dia tersenyum miring, membuat lesung pipinya terlihat.
Semesta memang bekerja dengan unik.
Renja membasahi bibirnya. Menatap Aksa beberapa saat. "Lo stalking gue Kak?"
Aksa langsung terdiam, terlampau terkejut dengan balas Renja yang menurutnya unik. Bukankah dia yang berada di tempat ini lebih dahulu dan gadis itu secara kebetulan menghampiri tempat yang sama. "Mungkin semesta punya rencananya sendiri. Takdir?"
"Wah," keken Renja setengah takjub setengah tidak percaya. Kehilangan kata-kata. Setiap kali mereka bertemu, Aksa selalu menunjukkan sesuatu yang baru, sesuatu yang membuatnya terkejut dan untuk dirinya yang menyukai tantangan sekaligus misteri, Aksa terlalu sukar diabaikan.
"Lo percaya sama kebetulan?"
Renja tersenyum, menggeleng. Bergerak pelan memasuki minimarket bersama Aksa.
"Menurut gue kebetulan dipake untuk menyatakan sesuatu yang susah dipahami oleh pikiran manusia aja."
Kali ini gadis itu tampak menimbang-nimbang di antara ratusan minuman itu sebelum menjatuhkan pilihan pada merk susu berlambang sapi, membayarnya pada kasir lalu memutuskan menunggu kakak kelasnya yang masih asik memilih itu di luar. Kedua obsidian cokelat itu tampak menikmati lanskap malam.
"Ja."
Gadis itu menoleh, mendapati Aksa yang menyodorkan satu kantung berisi bikuit gandum. Membuatnya mengerjap. Merasa penasaran dengan pilihan Aksa.
"Feeling?" Aksa terkekeh, menertawakan jawabannya yang terasa bodoh. "Lo gak ambil kopi tapi ambil susu yang rendah kalori, kalo roti gandum biasanya orang gak terlalu suka."
Dihadapkan pada perhatian dan analisa detail seperti ini, Renja tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Hampir-hampir tidak pernah menerimanya, terlebih dari mereka yang tidak dekat. Menelan saliva, dia berucap pelan, "makasih banyak Kak."
"Santai aja." Aksa terkekeh melihat ekspresi Renja. "Gue gak akan menganggap lo aneh. Just do whatever you feel right. I'm fine," tambahnya ketika melihat tatapan Renja.
Dia kembali teringat dengan gosip yang beredar, menyatakan bahwa salah satu alasan orang-orang berhenti menaruh minat pada Renja adalah kepribadiannya yang aneh.
"Thanks, again."
Berada di dekat Aksa, Renja merasa kalkulasinya selalu jatuh pada hasil yang berbeda, sedikit di luar ekspetasi, membuat tali kendali yang selama ini digenggam erat perlahan mengendur. Dia berusaha menahan diri untuk tidak melepasnya, terlena dengan kebaikan itu seperti yang dia lakukan ketika bersama Elegi maupun Rea.
Jika pertemuan ini terjadi satu kali lagi, mungkin dia akan kalah dan Renja membenci kekalahan lebih dari apa pun.
Lagipula, siapa yang suka kalah di dunia ini?
Dia menggigit bibir, berusaha mengabaikan pikirannya yang sibuk bertengkar. "Sebagai ucapan terima kasih?" tanya Renja seraya menyodorkan satu susu dengan merk yang sama seperti yang diminum oleh Aksa satu minggu lalu.
Aksa tersenyum lebar, menampakkan lesung pipinya. "Kalo gitu jadi impas dong."
Renja tertawa renyah. Menggeleng gemas sambil membuka pelan kemasan dari makanan yang diberikan Aksa setelah mereka duduk, menyodorkannya pada lelaki itu meski sempat ditolak. "Lo gak menganggap diet sebagai sesuatu yang salah, Kak?"
Pertanyaan absurd yang terlintas setelah melihat pilihan Aksa.
Terdengar bodoh memang.
Renja sendiri merasa kewarasannya mulai berkurang bersama waktu tidurnya yang memendek ketika ujian.
"Bukannya bagus?" Aksa tersenyum. "Diet kan tujuannya untuk sehat, walau apa pun tujuannya itu masalah orang tersebut, selama orang yang melakukannya gak bermasalah atau merugikan orang lain dan dirinya, kenapa gue harus protes?"
Renja tertawa pelan, mengambil satu lagi potongan biskuit dari dalam plastik. Mengangguk. Bukankah semesta tampak bekerja dengan luar biasa sekaligus tidak adil. Lelaki yang duduk di sampingnya seperti bintang, bersinar tidak peduli pada kematiannya selama dia dapat menyinari semesta. Mengundang senyum para pengamat. Menuntun para nelayan dan pengembara di lautan luas.
Mungkin, analoginya sedikit berlebihan. Tetapi, Renja tidak dapat menahan diri setelah pertemuan ketiga mereka. Aksa selalu berhasil tampak memukau dengan caranya sendiri.
Menahan napas, gadis itu menyandarkan tubuh selagi menatap langit. Tidak ada apa pun di atas sana. Hampa. Untuk beberapa saat mereka menikmati ketenangan itu, tidak berbicara selagi memandang langit sementara pikiran kosong. Menghargai presensi satu sama lain.
Mungkin, hanya mungkin, yang terkadang dibutuhkannya adalah ketenangan. Sayangnya, hal tersebut jarang diapresiasi dan sukar didapat di tengah kesibukan kita terhadap hal-hal duniawi.
Renja melirik Aksa yang masih setia memandangi langit sebelum jatuh pada kamera di atas meja. Dari cara lelaki itu meletakkan dan penampakannya yang terawat, Renja dapat menerka nilai benda itu.
"Lo suka foto?"
Renja mengalihkan pandangannya, kedua manik itu bertabrakkan dengan milik Aksa. "Lumayan, walau gue gak tau banyak."
Aksa mengangkat kamera miliknya. "Gak perlu tau untuk suka," kekehnya. "Mau gue ajarin?"
Tawaran yang menarik, Renja yang biasanya tidak akan menolak, selalu lapar akan hal baru dan kesempatan, meski
malam ini sepertinya dia hanya ingin beristirahat. Menjadi pengamat sang bintang. "Kayaknya untuk saat ini lebih asik nonton."
Aksa tertawa pelan, melirik jam yang berada di belakang mereka. Masih cukup pagi. "Mau jalan-jalan?" Dia mengangkat kameranya. "Tenang aja, gue gak bawa ke tempat yang aneh-aneh," ujarnya ketika melihat tatapan ragu Renja membuat gadis itu mendelik.
Tidak ada salahnya berhati-hati. Serigala datang dalam wujud domba.
"Kemana kak?"
"Makan?"
Jawaban setengah asal itu membuat Renja mendengus. Memilih melontarkan pertanyaan lain. "Ada alasan lo lebih milih pake kamera film?"
Aksa melirik Renja yang berfokus pada jalan di bawah cahaya remang-remang, sesekali gadis itu menginjak daun berwarna cokelat yang menimbulkan suara. Kegiatan yang juga sering dilakukannya dahulu ketika masih kecil. Dia terdiam, memandangi kamera dalam genggaman. "Mungkin karena feel-nya beda? Walau gue bawa kamera film yang versi digitalnya sih," ucapnya sambil tertawa ringan. "Soalnya gue males bawa tripod."
Renja mengangguk. Memperhatikan bagaimana ekspresi lelaki itu yang kerap berubah ketika memegang kamera dalam genggaman. Seolah sesuatu yang tidak kasat mata menahannya.
"Kalo...," Renja menggigit bibir, rasanya dia semakin hari semakin gila. "Lo butuh bantuan, boleh cari gue."
Atau boleh saja dia memang sudah gila sejak awal.
Semua ini salah hormon dalam tubuhnya.
Aksa perlahan menoleh, menatap manik Renja yang tidak goyah. Membuat bibirnya tertarik, membentuk kurva. Padahal, beberapa saat lalu gadis itu tampak rapuh, seolah dapat lenyap kapan pun dari jangkauannya.
Dalam setiap langkah dan tiap kata yang mereka tukarkan, Aksa semakin tergugah untuk mengenal Renja. Tidak ada niat khusus, sebagian besar mungkin, tidak, dia percaya, segala tindakannya hanya berdasar pada rasa penasaran.
Seperti bunga peniocereus greggii yang hanya mekar dalam satu tahun di malam hari, hanya sesaat. Memberimu rasa kagum yang menggantung. Seperti misteri yang menggelitik untuk dipecahkan. Dibutuhkan ketepatan untuk menguraikannya. Seperti bunga Orchid yang dirawat Omanya.
"Mungkin lo yang butuh bantuan saat ini."
Renja mendengus atas balasan itu. Mengikuti Aksa memasuki toko yang terlihat antik dari luar. Memiliki ragam pahatan dan benda-benda dari kayu.
Lelaki itu kemudian mendorong pelan pintu, bergerak santai seolah telah mengenal tempat ini dengan baik.
Aroma kayu yang manis langsung menguar begitu kaki menginjak lantai toko, menyapa indra penciuman yang membuat bibir tertarik.
Perhatian Renja langsung tersita oleh buku-buku di dinding dan sebuah gramophone di atas meja kayu berukir. Menyukai benda-benda tua itu, teringat dengan Rea yang senang memainkan musik klasik setiap kali dia berkunjung. Katanya mengingatkan gadis berwajah kebaratan itu dengan sesuatu yang luar biasa. Membangkitkan semangat sekaligus menjadi teman di tengah sepi.
"Wuthering Weights?"
Renja menoleh untuk mendapati Aksa yang kini sudah memegang satu amplop berukuran sedang. Foto yang dicetak, dia menebak. "Udah selesai?"
Aksa terkekeh, berucap pelan, "kalo masih mau liat-liat, gapapa." Kepalanya terangkat, memandangi pigura di dinding yang diikuti Renja dengan rasa penasaran. "Dia Joseph Nicephore Niepce dari abad ke-18." Nada suaranya yang berubah menjadi sedikit lebih tinggi dan matanya yang berbinar membuat Renja tersenyum.
Aksa jelas menyukai fotografi.
Tidak ada yang lebih indah dibandingkan mereka yang memiliki mimpi dan berjuang untuk hal itu, terutama bagi Renja yang tidak memiliki apa pun. Dia tidak memiliki hal-hal spesifik yang disukai pun hal yang ingin dikejar dengan sepenuh hati.
Hanya hidup sebagaimana adanya, menjalani hari sebaik mungkin sebelum akhirnya jantung dalam tubuh berhenti berdetak. Meninggalkan raga di bumi.
Mimpi itu sudah terbakar seiringnya waktu, bertambahnya usia, dan seragam yang bertransformasi, mungkin itulah alasan seragam mereka kini menjadi abu-abu seiring warna dalam dirinya memudar.
Merah untuk sekolah dasar sebagai lambang semangat.
Biru yang gelap untuk mereka yang berpikir selangkah lebih dekat dengan dunia orang dewasa, menjadi individu bebas, kuat, dan serius.
Lalu, warna mengabur menjadi kelabu ketika mereka berdiri di ambang pintu menuju dunia yang suram itu. Menyadari bahwa mereka selama ini terlalu naif. Setidaknya, bagi Renja.
"Lo tau yang paling keren?"
Kepala Renja bergerak mengikuti suara Aksa yang terdengar berapi-api. Ikut menarik sudut bibir.
"Dia inventor kamera pertama, make teknik heliografi dengan manfaatin camera obscura yang awalnya buat menggambar." Kepalanya menunjukkan lukisan di sisi foto potret Nicephore. "View from the window at Le Gras, foto yang berhasil didapetin dan merupakan foto paling tua. Sayang kita cuman bisa liat sedikit."
Lelaki itu kemudian menunjukan isi amplop dalam genggamannya yang tadi diperhatikan oleh Renja. "Ini yang gue ambil dari kamera film manual," ujarnya, sambil membiarkan Renja mengamati satu demi satu foto hitam putih itu.
Perhatian Renja kemudian jatuh pada salah satu potret yang tampak berbeda dari objek-objek yang diambil Aksa, sebagian besar berupa lanskap maupun benda-benda konvensional tetapi yang satu ini berupa potret. Dia dapat melihat seorang anak laki-laki yang tengah tertawa di lapangan basket bersama seorang pria setengah baya yang memegang bola. Keduanya tidak memperhatikan kamera, tampak menikmati permainan mereka.
"Gue baru sadar pernah foto itu," kekehnya dengan suara yang jauh lebih rendah. "Adik dan Ayah gue."
Renja menelan saliva. Kini mengangkat wajah dan memperhatikan raut Aksa. "Are you..., okay?"
Aksa tertawa pelan, kembali membuat mata kecil itu menghilang membentuk setengah bulan. "Walau gue udah gak deket lagi sama adik gue, we're fine."
Walau sekilas, hanya sepersekian sekon bagi lelaki itu untuk menunjukkan kelemahannya sebelum binar di mata kembali dan untuk pertama kali, Renja merasa bingung. Seluruh penilaiannya kembali menjadi kosong.
Dia seperti berjalan mundur.
Semakin lama menghabiskan waktu, semakin rasanya Renja tidak tahu tentang lelaki itu.
NOTE:
Untuk yang pengen lebih tahu lebih jauh dan lebih detail hal-hal yang sempet disebutkan dalam cerita akan aku buat thread-nya nanti ya hehe<3
Hope you guys enjoy this chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top