00. Semesta yang Gila
"Lo pengen mati?"
Segalanya bermula dari satu seruan sederhana, pertanyaan yang melayang dan merambat di udara bersama hembusan angin itu.
Renja merapatkan bibir ketika mendengar suara dalam yang dipenuhi rasa khawatir itu merasuki rungu meski kedua matanya masih tetap terpejam. Menikmati terpaan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan helai demi helai rambut cokelatnya.
"Lo gila?!"
Dia dapat mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat, disusul seruan penuh rasa khawatir membuat Renja akhirnya menoleh. Kedua alisnya terangkat begitu melihat seorang lelaki dalam balutan hoodie hitam beserta celana training senada, rambut hitamnya jatuh tepat di depan mata sedikit acak-acakkan.
Dari penampilannya, Renja menebak lelaki itu tengah berlari. Di tengah pagi buta.
Bukankah sama gilanya?
Dia mengulas senyum tipis, melompat turun diiringi tatapan membelalak lelaki bersurai hitam itu.
"Sorry, sorry. Lo..., gapapa?"
Kali ini, nada lawan bicaranya terdengar lebih halus, jauh lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Seolah takut melukai, merasa bersalah telah melayangkan kata-kata kasar sebelumnya. Merutuki diri yang tidak dapat mengendalikan mulut, terlampau kehilangan akal begitu melihat tindakan nekat Renja.
Renja menarik napas, berusaha mengisi pasokan oksigen dalam dada sebelum menuturkan jawaban, mencoba mengabaikan apa pun yang sedari tadi merasuki pikirannya, hampir-hampir menenggelamkan jiwa. "I'm fine. Tenang aja lagian," ucapannya terhenti sesaat selagi dia memasukkan tangan ke dalam saku hoodie, "gue gak berniat mati." Senyum di bibir berubah masam, tidak berani lebih tepatnya. Sekali pengecut, akan selamanya menjadi pengecut.
Renja mengangkat wajah untuk memperhatikan bulan yang mulai mengabur dari pandangan, rupanya dia menghabiskan waktu lebih lama dari yang diharapkan di tempat ini, kedua manik cokelat itu kemudian bergulir mengikuti arah pandang lelaki tadi. "Jaraknya gak cukup jauh untuk ngebuat lo mati," tukas Renja, seolah mengerti maksud dari tatapan lelaki itu. Membuat sang lawan bicara menggaruk tengkuk.
Renja kembali terkekeh. "Gue gak mau hidup dalam penderitaan karena hal bodoh, kalo langsung mati bagus, kalo gak?" Dia mengendikkan bahu. Selama ini dia berpikir lebih baik lenyap saja ketimbang hidup dalam penderitaan. "Lagian, kalo mati gue kalah."
Menelan saliva, lelaki itu hanya tersenyum kaku. Mencoba menerka-nerka ucapan Renja yang begitu lugas dan santai, seolah menganggap kematian adalah musuh yang harus dikalahkannya. Sekilas, hanya dalam sekelebat, dia dapat melihat kobaran api di balik netra sang gadis. Ambisinya yang menyala sebelum padam dalam satu tarikkan senyum dan langkahnya yang menjauh. Dia menggigit bibir.
"Lo tinggal di sekitar sini? Mau cari angin bareng?"
Pertanyaan itu lolos dari bibir lebih cepat dari yang diinginkannya, membuat dia merutuki diri.
Renja menoleh, menaikkan alis, mempertimbangkan tawaran dari sosok asing yang sudah menyelamatkan nyawanya sebelum mengangguk ragu. "Boleh." Lagipula, dia membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya meski sejenak. "Lo abis olahraga?"
Mengangguk, dia menoleh pada Renja yang berjalan pelan di sisinya. "Lebih enak olahraga malem 'kan?"
Renja tersenyum. Mengakui pernyataan itu, ketika semuanya terlelap, tidak ada mata yang mengawasi. Hanya dirimu. Tidak ada lagi semesta yang menggila, seolah kau satu-satunya di dunia ini. Tidak ada yang lebih menenangkan ketimbang perasaan itu.
"Lo sendiri?"
"Cuman cari angin," gumamnya, menendang pelan kerikil yang berada di hadapannya. Berusaha tidak bersitatap dengan lawan bicara, membuat lelaki itu mengangguk. Tidak menuntut lebih jauh.
"Gue Aksa, btw."
Renja terdiam selama beberapa saat, mengukir senyum tipis ketika menyadari arti nama tersebut. "Renjana, but people often called me Renja." Nama yang menyulitkan baginya. "Kenapa?" Senyumnya berubah menjadi seringai kecil ketika melihat ekspresi Aksa. Membuat Aksa langsung menggeleng.
"It suits you well." Melihat raut tidak percaya, Aksa menghela napas, menggaruk kepalanya, membuat beberapa helai rambut hitam itu jatuh menutupi mata. "Berambisi." Pandangan mereka saling beradu, Aksa kembali melihat letupan emosi yang merangkak naik di balik manik sewarna kopi.
Tawa renyah perlahan terdengar, merambat masuk ke telinga. Membuat dia menghela napas, setidaknya pilihan katanya tidak salah. Tidak menyakiti perasaan sosok yang baru saja ditemuinya. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama yang meruntuhkan dunianya.
Aksa tersenyum masam, benar. Alasan kakinya berpacu begitu cepat, mulut terbuka tanpa dapat dia perhitungkan lebih dahulu adalah karena dia pernah menyaksikan hal serupa. Pemandangan yang masih menghantuinya hingga detik ini.
"Ambisi ya," ucap Renja. Dia sendiri tidak terlalu mengerti apa alasan dibalik usahanya yang begitu keras, mencoba untuk bertahan, mencoba untuk menjadi yang terbaik hingga menghancurkan dirinya sendiri. Selama ini dia hanya menjalani hidupnya dengan berpegang pada sesuatu yang rapuh selagi berharap cemas pijakannya tidak akan runtuh.
"Menurut gue itu bukan sesuatu yang buruk." Aksa menunjuk satu mini market yang terletak tidak jauh dari taman, membiarkan Renja berjalan lebih dahulu ketika mendapat anggukan kepala. Walau tidak melihat wajahnya, Aksa mengetahui gadis itu menunggu balasan dari gerak-gerik tubuhnya.
Dia mengikuti Renja menuju lemari pendingin dan meraih satu kopi dengan cepat, seolah hal ini adalah rutinitasnya. Aksa membasahi bibir selagi memilih salah satu susu di dalam dan mengekori Renja menuju kasir.
"Biar gue aja," tawarnya menahan Renja yang langsung ditolak halus.
"Gapapa kok, malah sekalian aja punya lo." Renja menyodorkan tangannya, membuat Aksa mendengus, menggeleng pelan, menggunakan tangannya untuk mengusir gadis itu. Renja ingin membalas sebelum suara seorang perempuan dengan nada tertahan menginterupsi, membuat dia berdeham pelan, dengan cepat menyerahkan miliknya.
"Kena marah kan," kekeh Aksa sambil menjatuhkan tubuhnya di kursi depan, menjadikan taman sebagai pemandangan mereka. Lampu-lampu taman sudah mulai dimatikan bersamaan matahari yang mulai merangkak naik, memperindah lanskap itu. Seandainya Aksa membawa kamera, dia akan mengabadikannya.
Renja mengerut kesal. Menegak pelan kopi yang dibelinya beberapa saat lalu, tersenyum kecil ketika rasa pahit itu menyebar di dalam mulut.
"Jadi, kenapa menurut lo ambisi bukan hal yang buruk?" Renja menggoyangkan minuman dalam genggam. "Padahal kalo gak bisa dikendaliin hal itu akan menenggelamkan pemiliknya." Di bawah cahaya samar-samar, bibir pucat itu tertarik.
Seluruh hal yang disaksikannya untuk sesaat, hanya sesaat, membuat Aksa terhipnotis. Membuat jantungnya berdetak terlalu cepat, tercekat. Sorot mata yang sama yang disaksikannya di bawah rembulan. Seperti predator yang hendak menangkap buruannya. Aksa tersenyum kecut, sangat kontradiktif dengan nada yang digunakan. Seolah terdapat dua jiwa yang berbeda di dalam gadis itu.
Aksa membenarkan posisi duduknya, mengalihkan pandang dari Renja. "Selama gak bisa dikendalikan," ulangnya, pelan tetapi jelas. Membuat Renja mengangkat wajah, memperhatikan figur Aksa dari samping. Lelaki itu memiliki sorot yang lembut, walau garis wajahnya tinggi dan terlihat tegas, segala hal tentang lelaki itu seperti secangkir kopi hangat di pagi hari.
"Kalo bisa dikendalikan, hal itu akan jadi salah satu senjata terkuat." Aksa tersenyum, rasanya seperti kembali pada momen itu dengan situasi yang sedikit berbeda. "Kayak badai salju? Pastiin aja gak akan merugikan orang lain." Dia terkekeh di akhir.
Renja membasahi bibirnya. Perkataan Aksa tidak salah, walau baginya ambisi adalah api. Entah membakar habis atau dibakar habis. Renja menghela napas, sepertinya dia menikmati hal ini lebih dari yang seharusnya.
Maniknya bergerak menuju jam dinding di belakang mereka, memperhatikan jarum panjang yang menyentuh angka empat membuat Renja mengumpat. Merapihkan rambutnya dan menegak habis minuman, gadis itu bangkit berdiri. "Kayaknya gue harus balik sekarang."
Aksa ikut menjatuhkan pandang pada jam dinding di belakang. Mengangguk. Ikut bangkit berdiri. "Bareng aja, masih sepi jam segini."
Renja mengibaskan tangan. "Udah ada matahari."
Mengangguk, Aksa memperhatikan punggung Renja yang menjauh sampai benar-benar lenyap di ujung jalan. Merasa gelisah akan kekeras kepalaan gadis itu sebelum mendecak, merutuki dirinya sendiri dan segera berlari menuju rumahnya. Berharap cemas belum ada yang terbangun dan menyadari kepergiannya.
Dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit hingga dia dapat mencapai pintu masuk, hendak melepaskan sepatu yang melekat diam-diam sebelum suara yang tidak asing menyapa indra.
"Dari mana Sa?"
Membasahi bibir, Aksa melemparkan senyum lebar. "Eh, udah bangun Oma?"
Wanita itu merotasikan mata. "Ilangin kebiasaan kamu yang itu, makin tua, makin parah aja." Tangannya bergerak untuk memukul belakang kepala Aksa, membuat lelaki itu mengaduh pelan. "Mau kopi Oma? Kakek mana?"
"Jangan dialihin gitu topiknya," protes Natasha seraya menghela napas. "Masih tidur."
Aksa hanya terkekeh, bergerak cepat menuju dapur.
"Sa."
Panggilan itu hanya ditanggapi gumaman, selagi Aksa sibuk menuang biji kopi. Begitu kalimat lanjutan yang biasanya menyertai tidak kunjung datang, Aksa mengangkat kepala. Dia dapat melihat ekspresi wanita yang sudah merawatnya beberapa tahun belakangan ini mulai berubah, membuat bibirnya tertarik. Dia berusaha tersenyum, menahan perasaannya yang bergejolak. Rasanya dia sudah memperkirakan topik apa yang akan diangkat.
"Ini soal-"
"Oma, mau tambah susu?"
Hanya saja, lelaki itu belum siap. Tidak saat ini.
NOTES:
Ada yang mau nebak kira-kira pembahasan tentang apa?👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top