Chapter 16 (End)
***
Apa yang saat itu sang dewa kontrak rasakan?
Saat ia 'dibunuh' oleh sosok yang terdekat, satu-satunya orang yang ia percayai dan kasihi dengan segenap hati, Morax tidak dapat merasakan apa-apa kecuali satu hal; terkhianati.
Ah, tidak. Kata terkhianati tidak cocok untuk menggambarkan perasaan Morax. Satu fakta yang Morax akan selalu percaya dan yakini adalah, Guizhong sang God of Dust tidak mungkin mengkhianati sumpah yang telah mereka ikat dalam sebuah kontrak bersama-sama.
Morax yang paling tahu, Guizhong bukanlah dewi yang gila kekuasaan. Berbeda dengan dewa-dewa lain di daratan itu yang ingin menempati takhta dewa.
Takhta dewa ... takhta surgawi. Entah apa itu sebutannya, Morax tidak peduli. Toh, tak pernah sekalipun ia tertarik untuk berada di bawah genggaman dan pengawasan Celestia.
Morax hanya peduli pada dua hal; kamu, dan rakyat serta pengikut kalian.
Ia tidak perlu kekuasaan. Morax hanya perlu bersamamu saja. Sepanjang hidupnya pun ia tahu bahwasannya sang dewi juga tak dibutakan oleh kekuasaan.
Jika ia sampai berubah drastis seperti ini, jawabannya hanya ada satu; ada sesuatu yang memengaruhi sang dewi, sehingga membuatnya berubah jadi seperti itu.
'Tapi, apa ... atau siapa yang membuatnya berubah?'
Morax kira, sampai mati pun ia takkan mengetahui jawabannya. Ia sudah siap pergi ke alam sana. Tubuhnya seolah melayang dalam kegelapan abadi, ia tak lagi dapat merasakan sakit. Kini yang bisa ia rasakan hanyalah kesedihan dan keputusasaan yang menjadi satu.
Ia juga mengira, dirinya mati sia-sia di sini, terbunuh oleh sahabatnya sendiri.
Namun,
"Morax. Bangunlah. Kamu bisa dengar aku?"
suara lembut itu memanggilnya di tengah-tengah kegelapan.
Seperti buaian hangat yang menyertai kelahirannya, seperti hangat dekapanmu saat memeluknya, seperti lembut yang terasa ketika kamu menyentuhnya.
Apakah ini mimpi? Entahlah.
Belaian lembut dapat Morax rasakan di pipinya. Pelan-pelan, Morax membuka kedua matanya dan menemukan sosok itu. Ia terbangun, masih dalam posisi berbaring. Kepalanya ada di pangkuan sang dewi, di tengah-tengah padang bunga glaze lily yang sangat harum.
"Guizhong ...?"
Senyuman lembut terpampang jelas di wajah sang dewi. Morax mengulurkan tangannya, membelai pelan pipinya dengan hati-hati, seolah-olah dia adalah benda rapuh yang dapat hancur kapan saja. "Kau ... sudah tidak apa-apa?"
"Lama tak bersua, Morax." Senyuman sendu terpampang di wajah cantik Guizhong. Guizhong perlahan-lahan mengalirkan berkatnya pada tubuh Morax, membuat tubuhnya beregenerasi.
Jika ini adalah mimpi, maka Morax berharap ia takkan terbangun lagi. Sebab, Guizhong yang ia sayangi sudah kembali seperti biasa, bukan seperti mesin pembunuh yang sudah kehilangan kewarasannya. Sepasang netranya memicing kebingungan pada sosok itu. "Kita bertemu tiap hari, bukannya?"
"Kamu salah, Morax. Aku adalah Guizhong ... yang 'asli'." Guizhong tersenyum sendu, kala berhadapan dengan sosok itu. "Guizhong yang kamu temui, adalah jiwa baru yang aku bawa untuk mengisi tubuhku yang sudah tak memiliki jiwa."
Sepasang netra Morax membulat dengan sempurna kala mendengar jawaban yang diberikan sang dewi. Ia mengangkat kepala, memilih posisi untuk duduk saja di samping Guizhong supaya lebih fokus untuk mencerna. "Apa maksudmu?"
"Morax. Aku sudah mati sejak lama sekali." Senyumannya menyimpan banyak rahasia dan kesedihan, tetapi ada rasa lega yang tersirat--sebab kali ini sang dewi mengutarakan kejujurannya. "Di hari aku mati, anak itu juga mati. Aku menarik jiwanya ke Teyvat, supaya dapat mengisi tubuhku."
"Guizhong. Kau bercanda, 'kan?"
Sosok itu terkekeh geli dan menggelengkan kepalanya. "Sayangnya, saat ini aku tidak sedang bercanda."
"Tidakkah kamu sadari, sejak kamu menemukanku di padang bunga glaze lily waktu itu, sifatku berubah jauh?"
Morax terdiam.
Memang benar. Ia dapat menyadari perubahan sikap Guizhong dengan jelas, meski kamu setengah mati berakting menjadi seperti dirinya. Namun, Morax menolak untuk percaya, sebab ia tak ingin meragukan Guizhong. Ia bergeming, memilih untuk diam mendengar perkataan Guizhong.
"Kami adalah orang yang jauh berbeda. Namanya adalah (Name), remaja dari dunia manusia yang bernama 'bumi'."
Morax awalnya tidak mau percaya. Namun, ia sendiri sudah melihat bukti nyata. Ia tidak bisa lagi menolak atau menyangkal. Ia menatap Guizhong, "Apakah dia datang setelah melihat masa depan? Sebab, terkadang ia seolah sudah mengetahui apa yang akan terjadi."
"Tepatnya, dia melihat kisah kita, penduduk Teyvat dalam sebuah game." Guizhong menjelaskan menurut ceritamu dulu. "Di dunianya, kita adalah karakter game. Makanya dia bisa melihat kisah kita, meski tidak semuanya."
"Saat ini, (Name) sedang dikuasai oleh sesuatu dalam pikirannya." Guizhong menggenggam erat-erat kedua tangan Morax dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku mohon. Selamatkanlah dia. Dia sudah susah payah kembali dari kematian karena aku, aku tidak mau ia juga harus mengikuti takdirku."
"Bagaimana caranya, Guizhong?" Morax memandang Guizhong dengan tatapan pasrah. Ia mengetahui kekuatanmu yang sangat mematikan, dan nyaris tak terpikir cara melawanmu. "Debu hitamnya sangat mematikan ... belum sempat aku menyerang, aku malah akan mati duluan."
"Kamu pasti bisa." Guizhong membelai lembut pipi rekannya itu dengan tatapan menenangkan. "Ambilah bukti sumpah kita darinya. Sebab, Memory of Dust aku ciptakan dengan membawa berkah kekuatan. Kekuatannya akan berkurang jika itu diambil."
Morax tertegun dan segera memutar otak, memikirkan seribu satu cara untuk merebutnya darimu. Guizhong berusaha menenangkan Morax, sembari memberikan beberapa masukan untuk mendukungnya.
"Terima kasih, Guizhong. Kali ini, aku pasti takkan membiarkan orang yang kusayangi mati."
Morax bersumpah dalam hatinya. Ia sudah pernah lalai dengan kehilangan Guizhong--kini, ia tidak boleh kehilanganmu atau dia akan dihantui rasa bersalah seumur hidupnya.
"Aku percaya kamu sanggup menolongnya, Morax." Senyuman itu terpampang sekali lagi. Sekarang, waktu Guizhong sudah benar-benar habis. Perlahan tubuhnya kembali memudar, ia segera menyentuh kedua pipi Morax dan air mata mengalir di pipinya. "Ini adalah permintaan terakhirku. Tolong, jangan biarkan (Name) dikuasai olehnya."
"Pasti. Aku akan menyelamatkannya." Morax menyentuh tangan kanan Guizhong di pipinya. Ekspresi sedihnya tak bisa ia sembunyikan; sebab ini adalah benar-benar perpisahan dengan Guizhong, selamanya. "Guizhong ... maaf, aku tidak bisa melindungimu saat itu."
"Kematian sudah menjadi takdirku, Morax. Kamu tidak perlu merasa bersalah." Guizhong menarik napas dalam-dalam. Air matanya mengalir semakin deras, ia lantas mengucapkan kata-katanya yang sudah ia tahan sejak dulu. "Morax ... aku mau bilang kalau aku mencintaimu."
Ah. Akhirnya dia dapat mengatakannya. Isi hatinya yang selama ini dia pendam sampai mati.
Morax terbelalak mendengar pernyataan cinta tiba-tiba dari Guizhong. Ada rasa senang, tetapi itu bukan cinta--maka dari itu, ia hanya tersenyum sendu sebab ia tidak bisa membalasnya.
Hatinya telah jatuh pada Guizhong yang lain, hanya kamu seorang, (Name).
Sementara Guizhong yang ini, selamanya akan menjadi sahabatnya tersayang.
Sebelum sosok itu benar-benar memudar, Morax menarik tangan kanan Guizhong dan mencium punggung tangannya dengan lembut. "Terima kasih, Guizhong."
Guizhong sudah tahu bahwa perasaannya takkan terbalas, tetapi ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk menyatakan cinta. Ia sudah benar-benar menerima fakta bahwasannya hati Morax sudah dimiliki olehmu. Sosok itu pada akhirnya lenyap, dan suara terakhir yang dapat Morax dengar adalah; 'Aku mendoakan kebahagiaan kalian berdua.'
Debu Guizhong mengudara, ia menggenggam erat-erat berkah terakhir dari Guizhong sebelum ia tebarkan kembali di udara.
"Guizhong ... selamat tinggal."
Perlahan-lahan debu melebur dengan angin, dan begitulah cara Morax kembali hidup dengan satu tujuan; menyelamatkanmu.
***
"Mo ... rax?" Kamu masih menjambak rambutmu dengan frustrasi. Kedua irismu gemetar, rasa pusing tak kunjung hilang dari kepalamu. Napasmu tak keruan, detak jantungmu tidak stabil. "Kau ... tahu aku?"
"Guizhong yang asli ... aku bertemu dengannya," kata Morax dengan tenang, tanpa ada rasa emosi atau apa.
Jantungmu setengah berhenti.
Berarti, apakah ia sudah mengetahui bahwa kamu bukanlah God of Dust yang asli?
Mampus sudah.
"Saat aku berada di ambang kematian, aku bertemu dengan dia dan dia menceritakan kebenaran tentang kau, (Name)." Morax yang berada di sisimu mengusap-usap bahumu, berusaha menenangkanmu yang seolah dihantui mimpi buruk. Kamu dapat melihat ekspresi khawatirnya. "Jangan bicara dulu, (Name). Pejamkan mata, coba atur napasmu."
Masih ada banyak sekali pertanyaan yang ingin kamu tanyakan. Namun, kondisimu belum stabil. Kamu menuruti perkataan Morax.
"Hahh ... hahh ...." Kamu mengikuti instruksi yang diberikan oleh Morax. Perlahan-lahan napasmu menjadi stabil, air mata yang mengalir sebab rasa sakit yang tak kunjung hilang pun berangsur berhenti.
"Bagus. Ulangi terus sampai kau benar-benar stabil."
Kamu harus berterima kasih pada Guizhong yang membawa Morax kembali ke dunia ini. Jika saja Guizhong tidak menyelamatkan Morax, bisa-bisa sekarang Guili Assembly dan seluruh daratan hancur di tanganmu sendiri, tenggelam dalam debu hitam kematian.
Sepuluh menit sudah lewat. Kondisimu semakin membaik. Perlahan-lahan, kamu kembali menatapnya dengan netra yang sudah kembali ke warna semula, tak lagi berwarna merah sewarna api. "Terima kasih banyak ... Morax."
"Tidak perlu sungkan, (Name)."
Morax menarikmu ke dalam pelukannya. Kamu dapat merasakan ia sedikit gemetar, rasa iba, sedih, dan lega bercampur menjadi satu dalam hatinya. "Aku benar-benar bangga padamu, (Name). Pasti berat menjalani kehidupan dengan pura-pura menjadi orang lain."
"Seharusnya, kau jujur saja padaku sejak awal."
Kamu tertawa pelan. "Hehe. Jujur saja, takut dibunuh olehmu, Morax."
"Mana mungkin aku tega melakukan hal sekeji itu?"
"Morax ... sewaktu pertama kali aku hidup di Teyvat, sosokmu dikenal sebagai dewa yang tak kenal belas kasih dan tak kenal ampun." Kamu menjelaskan apa adanya, bahkan Barbatos saja takut pada dewa satu ini. "Aku pikir, siapa tahu kau menganggapku merasuki Guizhong dan memilih untuk membunuhku? Bisa-bisa, aku mati lagi."
Mendengar jawabanmu, Morax tertawa lepas. Mendengar tawanya yang begitu riang, mau tak mau kamu pun ikut tertawa bersama dengannya. Rasanya sangat melegakan.
"(Name), boleh aku tanya satu hal? Apakah di duniamu, Guizhong sungguhan mati?" Morax bertanya dengan penasaran ... ia sungguh ingin tahu, apakah nasibnya berbeda denganmu?
Kamu tersenyum sendu. "Sayangnya, iya. Dia mati di perang ini, Morax."
Morax menundukkan kepalanya. Rasanya pedih ketika mengetahui bahkan Guizhong memang harus mati di tiap takdirnya. Namun, setidaknya Guizhong menjadi tetap 'hidup' dengan adanya kamu.
Menyadari suasana akan menjadi semakin berat, Morax memilih untuk mengalihkan topik.
"Haha. Aku jadi ingat, pantas saja ... dulu kau sempat memanggilku dengan nama 'Zhongli', yang tak pernah aku kenali." Morax tersenyum tipis padamu. "Apakah dia nama yang kupakai di masa depan nanti?"
Ekspresi wajahmu berubah menjadi cerah. "Benar sekali! Kau di masa depan akan--"
Tepat sebelum kamu bercerita dengan sangat antusias, Morax terlebih dahulu meletakkan jari telunjuknya di depan bibirmu. "Ssh. Jika kau memberitahuku masa depan yang akan terjadi, aku akan cepat puas."
"Biarlah masa depan tetap menjadi masa depan. Lagipula, masa depan bisa saja berubah ... sebab, kehadiranmu di sini saja sudah menjadi variabel baru, (Name)." Morax meraih tangan kananmu dan mencium punggung tangannya dengan lembut. "Terima kasih sudah bertahan hidup di sisiku, (Name)."
Wajahmu merona kemerahan dengan sempurna. Dia sangat baik padamu, sampai-sampai jujur saja kamu merasa tidak layak--sebab, kamu membohonginya dari awal tetapi dia masih menyayangimu.
Kamu menarik napas dalam-dalam sesaat sebelum bertanya padanya, "Ngomong-ngomong, Morax. Apa boleh aku menanyakan sesuatu padamu?"
"Tanyakanlah, dan aku akan memberimu jawaban."
Kamu menenggak ludahnya sendiri, ada rasa gugup yang tersimpan jauh di dalam hatimu. "Apa kau menyesal?"
"Menyesal karena apa?"
"Guizhong yang kau cintai, ternyata sebenarnya adalah 'aku', manusia biasa saja yang berlagak menjadi dewi ...." Kamu memelankan suaramu, kamu sungguh tegang saat ini. "Aku bukanlah dewi. Aku sudah berbohong sejak pertama kali bertemu denganmu."
"Aku ini ... tak lebih dari seorang bajingan penipu, yang memanfaatkan nama 'Guizhong' untuk bertahan hidup, Morax."
Morax menggelengkan kepalanya sesaat sebelum mengusap-usap pucuk kepalamu dengan sangat lembut, seperti buaian seorang ibu. "Kau bukanlah penipu, sayangku."
"Aku tidak akan pernah menyesali cinta yang sudah aku pilih." Morax tersenyum lembut, tatapannya yang teduh ditujukan hanya padamu seorang. Ia membelai pipimu. "Satu-satunya orang yang kucintai di dunia ini hanyalah kamu, (Name). Bukan Guizhong."
"Bahkan jika wujudmu bukanlah seperti Guizhong, andaikan kamu hidup sebagai orang yang jauh berbeda sekalipun. Aku bersumpah, hatiku pasti akan berlabuh hanya padamu, (Name)."
Wajahmu merona merah hanya dengan perkataannya itu. Andaikan kamu masih seperti dulu, kamu pasti sudah berteriak seperti orang gila. Seiring waktu berjalan, kamu bertambah dewasa dan mampu menanggapinya dengan tenang. Kamu memalingkan wajah, tidak mau dia melihat kamu yang merona seperti remaja kasmaran ini.
Kamu membaca Morax untuk berdiri dari posisi duduk kalian, lalu kamu menyandarkan tubuhmu pada dada Morax. Sepasang matamu kamu pejamkan sembari berkata, "Aku sungguh sangat mencintaimu ... Morax."
"Aku juga, (Name). Aku cinta kamu." Dengan lembut, ia memelukmu dari belakang dengan sangat erat, seolah-olah tak ingin ia lepaskan sama sekali.
Jantungmu berdebar-debar, wajahmu sudah seperti kepiting rebus sejak tadi. Kamu hampir saja menangis lagi. Namun, kamu tidak mau mengeluarkan air mata di momen bahagia seperti ini.
Ah, iya. Sangat bahagia.
Seandainya ... momen ini bisa bertahan selamanya, kamu akan menjadi gadis paling bahagia di dunia.
"Morax ... tolong dengar permintaanku." Kamu kemudian melepaskan pelukannya, lalu kamu berputar untuk menghadap ke arah Morax. Kamu memejamkan matamu, seiring dengan senyuman pahit terukir di wajahmu. "Jika kau benar-benar mencintaiku, tolong--"
Kamu menarik napas dalam-dalam. Ah, kamu tidak bisa menahannya. Kini air mata benar-benar mengalir sekali lagi dari matamu. Morax terbelalak, ia mengernyit heran; kenapa ... kamu menangis?
"(Name)?"
Senyuman itu menjadi sendu.
Jangan-jangan?!
"--bunuhlah aku."
Satu permintaan terucap, matamu yang sekarang terbuka menyala-nyala merah sewarna api. "Sejak awal, erosi ini sudah menguasaiku. 'Dia' mengizinkanku untuk berbicara denganmu, sebentar saja."
"Jika kamu membiarkan aku hidup ... aku akan menghancurkan seisi Guili Assembly, Morax."
Pengandaian hanya akan menjadi pengandaian. Kamu bertanya-tanya, apakah sebenarnya kamu dikutuk? Bahkan kamu baru merasakan bahagia, tetapi kini kebahagiaan itu dihancurkan sejatuh-jatuhnya. Momen kebahagiaan kalian takkan bisa bertahan lama.
"Lakukan, Morax. Bunuh aku dengan tanganmu sendiri."
Dengan kejahatan yang sama dan tujuan yang sama untuk menduduki takhta dewa, sepasang matamu memicing dengan tajam, memandang Morax bagai musuh yang harus dibunuh secepatnya.
Pedang dari debu kamu ciptakan lagi. Sudah cukup lama kamu mengisi tenagamu sampai ke puncak tertinggi. Debu hitam mulai mengudara, membentuk kubah yang sekali lagi menyelimuti daratan Guili Assembly. Perlahan-lahan, tapi pasti.
Kamu menghunuskan pedangmu ke arah Morax. "Cepat, Morax! Bunuhlah aku! Aku mohon!"
"Aku tidak bisa membiarkan diriku melukaimu lagi, orang yang akan terus kucintai bahkan sampai setelah mati nanti." Tangisanmu kamu hapus dari pelupuk mata. Kamu mengangkat pedangmu tinggi-tinggi, lalu pada detik berikutnya kamu mulai menyerang Morax dengan kecepatan tertinggi. "Morax--!"
Kamu berhasil menusuknya.
Morax dapat merasakannya. Debu itu jauh lebih mematikan dari yang sebelumnya. Matanya kembali memicing tajam, berusaha menghindar dari serangan lanjutanmu. "(Name)!"
Bukan hanya ditemani peluru debu dan pedang, kamu mampu memunculkan kreasi-kreasi lain seperti monster dan rantai-rantai yang mengikat pergerakan Morax.
Morax masih tidak percaya. Ia sudah berkali-kali memanggil namamu, tetapi kamu semakin gila menyerangnya tanpa ampun.
Benarkah ... tidak ada cara lain untuk menyelamatkanmu?
Ia menghindar, terus menghindar. Ia tidak mau membuatmu terluka. Morax sudah berjanji pada Guizhong untuk menyelamatkan kamu. Kamu adalah gadis yang dicintainya. Membunuhmu hanya akan membuat luka yang takkan pernah hilang meski waktu berjalan sekian ribu tahun.
"Hahahaha! Naif, naif sekali, Morax!" Kegilaan itu kembali menguasai dirimu dengan sempurna, saat kamu berhasil menahan pergerakan Morax dengan rantai. Pada detik berikutnya, ia sudah kamu lukai dengan berbagai macam senjata yang kamu ciptakan. Tawa jahat menggema, "Hahahaha! Kau kira, kau bisa menghentikanku?!"
"Bodoh dan menyedihkan, itulah kau, Morax!"
Morax tidak bisa menerimanya. Kamu kembali dikuasai oleh erosi. Tidak bisa. Meski kekuatannya bisa mengakhiri hidupmu ... ia tidak mampu melakukannya.
Celestia, Heavenly Principles, atau entah siapapun yang menciptakan erosi. Morax mengutuknya sampai mati. Dari sekian banyak makhluk hidup di Teyvat, bisa-bisanya mereka memilihmu untuk menjadi korban.
"(Name)! Sadarlah!" Ia mencabut paksa pedang dan tombak yang kamu tusukkan padanya. Darah mengalir dari tiap-tiap luka, dan lagi-lagi regenerasinya menjadi lambat karena kamu sudah menciptakan area debu. Ia menggeram penuh kemarahan--marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa menyelamatkanmu. "Hentikan, (Name)! Kau adalah gadis yang kuat, kau bisa mengalahkannya!"
"Ah, berisik! Mati saja, sana!" Kamu kembali menyerang, tetapi kali ini Morax mulai bereaksi dengan menangkis tiap-tiap seranganmu.
Ia mulai menunjukkan perlawanan. Ini dia, sejak awal seharusnya memang begini. Kamu tidak mau membunuh Morax dengan mudah. Setidaknya, ia harus melawabmu supaya semuanya akan menjadi lebih menarik.
Sambil terus bertarung, Morax memindai ke area sekitar. Ia memandang ke langit, lalu menyadari area debu yang kamu ciptakan semakin lama semakin menyebar. Penyebarannya sangat cepat seperti wabah.
Jika dibiarkan, debumu bisa mencapai tempat pengungsian warga. Apa yang bisa ia lakukan? Tidak mungkin ia membiarkan rakyatnya menderita. Ia berusaha memutar otak, memikirkan opsi terbaik untuk situasi ini.
Suara tebasan pedang dan tombak yang beradu masih terdengar, ketika kamu masih berkali-kali menyerang dia.
Demi Celestia. Jika disuruh memilih antara menyelamatkanmu atau menyelamatkan Guili Assembly, Morax ingin memenangkan keduanya.
Namun, jika terus-terusan bertahan dan diam saja--lama-lama justru semuanya akan hilang ditelan kematian. Baik kamu, maupun Guili Assembly.
Morax memejamkan mata, saat air mata mengalir di pipinya.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sang dewa kontrak menitikkan air mata.
Tidak apa-apa. Dia tidak malu.
"Morax--kenapa kau terdiam?! Lawan aku!" Kamu memprovokasi dan berusaha menyerang lagi. Namun, tubuhmu terpental sebab perisai sudah mengelilingi tubuhnya. Kamu menyadari, aura emas itu melindungi dirinya.
Tangisannya berasal darimu seorang, gadis yang sangat dia cintai. Andai bisa, Morax akan memilih menukar nyawanya sebagai ganti keselamatan dan kesadaranmu.
Sayang, Celestia tidak akan bermurah hati padanya.
Morax mulai melakukan pergerakan, dari tangan kirinya menciptakan rantai geo, serupa dengan miliknya tapi berkali-kali lipat lebih kuat. Ia langsung merantai tubuhmu, supaya kamu tetap diam dan tak melawan.
"Bajingan, Morax!"
Inikah rasanya ketidakberdayaan? Begitu menyakitkan, juga membawa keputusasaan.
Sesaat kemudian Morax kembali membuka matanya dan sudah memunculkan lambang sumpah kalian di tangan kanannya. Pandangannya yang tajam ditujukan untukmu. Ia sudah memantapkan hati ... untuk membebaskanmu dari penderitaan. Perasaan yang ia miliki tidak boleh memengaruhi keputusannya.
Jika gentar, semuanya akan menghilang.
Morax mengangkat Memory of Dust tinggi-tinggi, bersamaan dengan langit yang berubah menjadi warna keemasan, seolah akan muncul hujan meteor dari sana.
'Mari buat pertaruhan.'
Sebelum melancarkan serangan, ia berkata dengan suara berat yang parau "(Name) ... percayalah, selamanya aku mencintaimu."
Langit keemasan bergemuruh, ketika meteor raksasa menciptakan ledakan yang besar di area tempatmu berada--bahkan sebelum kamu memiliki kesempatan untuk menghindar.
Pada detik berikutnya, debu hitam melayang di atas langit dan seribu batu hancur berkeping-keping.
The heavens moves the rest of the world;
admist the glaze lilies--black dust choked the heavens and a thousand rocks splintered.
.
.
.
.
Thanks for Reading!
End
.
.
.
.
Mumpung masih niat nulis, Rashi update hari ini aja deh yaa. Mantep kan nih Rashi beneran kebut nulis ending jadi reader-tachi gak lama-lama nunggunyaa
Hehe. Gimana perasaan reader-tachi dengan endingnya? Semoga ... bisa menghibur ya. Chapter ini panjang banget loh nyampe 3k words. Ayo otsukare in Rashi dong /woi/
JANGAN GEBUKIN RASHI DULU, TURUNIN SENJATA KALIAN--
Sebenernya Rashi mau kasih satu chapter lagi. Epilog. Abis itu bener-bener tamat yahhh~ Eh tapi kayaknya endingnya udah pas sih. Apa gausah pake epilog ya? /dipukulin/
Terima kasih udah mampir di book ini. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote atau komen dan dua-duanya lebih bagus~
See ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top