Chapter 14
***
"Kalau aku jadi kau, aku memilih untuk menyerah." Sang kabut yang serupa dengan sosokmu itu tertawa mengerikan, kala kamu yang kini sudah tergeletak di atas tanah dengan darah yang mengalir di sekujur tubuhmu.
Napasmu terasa sangat berat, sesak sekali rasanya, seperti dicekik oleh kabut itu. Paru-parumu sudah tertusuk sejak tadi--tetapi, untungnya kamu terlahir dengan tubuh ilahi. Kamu perlahan-lahan beregenerasi, meski sangat lambat. "Hahh ... hahh ... sialan sekali ... kau--!"
Setengah mati kamu berusaha untuk bangkit, mengulurkan tanganmu ke arahnya. Meski harus merangkak sampai mati pun, kamu tak peduli. Kamu tak ingin kalah dengan memalukan begini. "Bajingan ... keparat!"
Sosok itu tidak terusik dengan makianmu. Alih-alih terganggu, ia malah semakin asik menghinamu. Langkahnya tertuju ke arahmu, ia kemudian berjongkok di hadapanmu dengan tatapan menghina. "Aku lihat kau berjuang keras dilatih oleh si adepti naga itu, 'kan?"
"Kira-kira bagaimana perasaannya kalau melihatmu tergeletak tak berdaya begini? Kasihan sekali dia harus melatihmu, buang-buang waktu saja."
Kamu tersulut kala sang kabut memprovokasi kamu. Dengan paksa, kamu mengulurkan tanganmu ke wajahnya, dan pada detik berikutnya menembakkan peluru debu ke arahnya.
Sang kabut sangatlah gesit, ia menghindar dan pelurumu hanya menggores sedikit pipinya, yang bahkan tidak memberi pengaruh apa-apa. Ia pun berdiri tepat di depanmu yang masih jatuh di tanah, sembari berkacak pinggang. "Aku apresiasi kegigihanmu yang sia-sia itu."
"Tetap saja, yang namanya sampah ya sampah."
Nada bidara sang kabut sangat menghinamu, dan ia menendang perutmu dengan kasar. "Menyedihkan, God of Dust."
"Argh--!" Sudah berapa banyak luka yang kamu dapatkan darinya, kini kamu memuntahkan darah.
Ini adalah akhirnya.
Kamu tak bisa lagi melawan. Kamu membiarkan tubuhmu jatuh ke atas tanah seutuhnya. Perutmu sangat terasa sakit. Lidahmu kelu. Napasmu sesak. Pikiranmu melayang, bahkan kamu bisa saja pingsan detik ini juga. "Bunuh ... saja ... aku."
Sang kabut kembali berjongkok di depanmu, kemudian mengangkat dagumu supaya ia bisa memandang wajah menderitamu lekat-lekat. "Tadinya aku memang mau membunuhmu. Namun, aku punya ide yang lebih bagus."
"Sebelumnya, apa kau sudah paham siapa 'aku' yang sebenarnya, God of Dust?"
Kamu memandangnya dengan lemah, sembari menggeleng pelan.
"Anggap saja aku sedang murah hati padamu yang sekarat ini, akan kujelaskan siapa aku yang sebenarnya." Sang kabut menyeringai sinis. "Apa kau pernah dengar yang namanya 'erosi'?"
Kamu tercekat.
Pernah, kamu pernah mendengarnya. Kamu ingat dahulu kamu pernah mengerjakan quest story Zhongli yang kedua, dan Azhdaha adalah salah satu rekan yang sudah tenggelam dalam erosi.
Namun--erosi akan terjadi seiring waktu berjalan, dan yang kamu yakini adalah Guizhong takkan mengalami erosi secepat ini.
Lagipula, erosi kebanyakan hanya akan membuat entitas menderita lupa ingatan dan mengubah sifat.
Bagaimana bisa, erosi Guizhong begitu kuat sampai-sampai menjelma menjadi sosok yang hidup? Kamu tidak bisa mempercayai ini. Ini adalah fakta yang baru saja kamu ketahui bahwasanya erosi bukan semata-mata 'takdir' yang mengganggu pemikiran seseorang.
"Hmm. Melihat perubahan ekspresimu, sepertinya kau tahu apa itu 'erosi'." Sang kabut menyeringai.
Kabut itu mengangkatmu untuk berdiri, menopangmu supaya kamu tidak terjatuh. Ia memandangmu lekat-lekat. "Aku ingin kau menjadi 'aku', Guizhong. Jadilah sepertiku. Tinggalkanlah sosok konyol God of Dust yang lemah itu."
"Terima aku dalam hatimu! Dengan begitu, kau akan menjadi sehebat aku, God of Dust!"
Kamu memicing tajam. Kamu sangat mengetahui bahwasannya sang kabut bukanlah sosok yang baik hati--ia lebih seperti parasit yang memiliki kepribadian terbalik dengan Guizhong asli. Jika kamu menerimanya, entah apa yang akan ia perbuat? Bisa-bisa, akan terjadi bencana besar di Guili Assembly. "Aku ... menolaknya."
"Lebih baik ... kau bunuh aku ... sesuai rencana awalmu."
Sang kabut tampak tak menyenangi jawaban yang kamu berikan. Kamu kira, ia akan membunuhmu saat itu juga. Namun, alih-alih serangan, kamu dapat merasakan sang kabut memelukmu dengan erat.
"Kau kira, kau punya opsi untuk menolak?"
Perlahan tapi pasti, sang kabut mulai melebur jadi satu dengan tubuhmu. Kamu berusaha mendorongnya, menyerangnya, meronta-ronta pula supaya ia tidak akan merasuki tubuhmu itu.
Namun, tidak bisa. Tak ada gunanya kamu melawan lagi. Sosok itu telah melebur sempurna denganmu. Dengan cepat, semua luka di tubuhmu sudah beregenerasi dengan sempurna.
Kemudian, kamu mendengar suara teriakan.
Teriakanmu sendiri.
Guili Assembly dalam bahaya.
***
Langkah laki-laki itu tidak berhenti. Napasnya tersengal-sengal pun ia tak peduli. Morax sudah mengetahui ada sesuatu di tempatmu berada. Sepasang netra emasnya tadi sudah melihat sebagian area Guili Assembly yang diselimuti debu hitam.
Gawat, gawat! Gawat sekali.
Untungnya, Morax sudah memberikan perintah baru, ia menyuruh beberapa adeptus untuk mengevakuasi warga menjauh dari pusat Guili Assembly. Sebagian besar warga selamat sebelum debu hitam meracuni mereka. Namun, tak sedikit juga yang gugur, dan Morax sangat menyesali itu. Ia lantas memberikan komando pada seluruh anak buahnya untuk memprioritaskan keselamatan warga, dan ia sendiri yang akan berdiri di garis depan untuk pertahanan nanti.
Fokusnya hanya satu, mencari tahu keberadaanmu; Guizhong.
"Guizhong!" Ia berteriak-teriak memanggil namamu. Bisa gila dia nanti jika harus kehilangan dirimu. "Di mana kau, Guizhong?! Jawab kalau kau mendengarku!"
Ia berlari seperti orang kesetanan. Semakin memasuki pusat kota Guili Assembly yang dipenuhi debu hitam, napasnya terasa sesak. Debu itu seperti racun dan polusi yang menyerang pernapasan juga mengurangi kemampuan orang lain.
Sepasang netra Morax terus memindai area sekitar, mencari-cari sosokmu. Namun, yang ia temukan hanyalah beberapa mayat warga yang bergelimpangan di jalan.
"Guizhong ... kumohon!"
Ia nyaris putus asa. Mengejar jejakmu terasa sangat sulit. Demi Celestia, Morax akan menyesal seumur hidup dan mengutuk dirinya sampai mati jika sampai kamu tiada. Ia menyesal meninggalkanmu sendirian. Kalau bisa memutar waktu, ia akan menyerahkan wilayah tadi pada Alatus dan Ganyu saja.
Napasnya semakin sesak. Ia berhenti sejenak untuk mengatur pernapasannya yang semakin pedih seiring menghirup debu hitam itu.
Namun, rasa sesaknya tak lagi ia rasakan kala sudah menemukanmu, permata di tengah-tengah debu.
"Guizhong ... syukurlah ...." Jika bisa, ia ingin menangis. Dia menemukanmu yang berjalan dengan gontai, sembari terus menatap ke bawah. Morax menghampirimu dengan tatapan lega. "Syukurlah ... kau baik-baik saja, Guizhong. Apa kau terluka?"
"...." Kamu hanya terdiam, tak sedikitpun kamu memandang ke arahnya.
Morax membawamu ke dalam pelukannya, ia sangat bersyukur menemukanmu yang selamat. "Ah. Kita harus segera pergi dari sini Guizhong, sebab--"
Crash!
Perkataan Morax terhenti, ketika ia menyadari;
"Gui ... zhong?"
kamu telah menusuknya dengan pedang hitam yang terbuat dari debu. Dengan tanganmu sendiri. Tanpa ampun, seiring kamu menariknya untuk memperbesar luka tusuk yang kamu buat.
Darah mengalir dari perut Morax, ia memegangi lukanya bersamaan dengan kamu yang mendorongnya untuk menjauh. Sepasang netramu kini berwarna merah, menyala terang dalam gelapnya Guili Assembly yang diselimuti kabut. "Jangan sentuh aku, God of Contract."
Perlahan-lahan kamu mengangkat kepalamu, menampilkan seringai mengerikan di wajahmu. Sudah tak ada lagi 'kamu' yang dulu.
Kesadaranmu sudah melebur dengan sang erosi.
Kini, dalam hatimu hanya terlintas satu hal; Bunuh Morax, kuasai daratan dan duduki takhta dewa.
"Apa yang terjadi padamu, Guizhong ...?" Morax menatapmu dengan tak percaya, sembari mengalirkan kekuatan ke bekas tusukanmu supaya dapat bergenerasi. Debu hitammu membuat proses regenerasi sangat melambat. "Jangan ... kehilangan akal sehatmu."
"Kehilangan akal sehat?" Kamu tertawa-tawa menggelegar seperti orang gila. Sungguh menyenangkan melihat Morax yang menderita seperti itu. "Tak pernah aku merasa sewaras ini, God of Contract!"
"Tidak ... tidak mungkin. Guizhong, kendalikan dirimu." Morax perlahan-lahan mendekatimu dengan tertatih. Debu di udara membuatnya seperti tercekik. Jika bisa, ia ingin merengkuhmu, tetapi demi Celestia dia seolah tak berdaya karena ini. "Guizhong .... Apa yang terjadi denganmu?"
"Ini bukanlah kau ... Guizhong. Aku mohon ... sadarlah."
Kamu dapat melihat sepasang netranya berkaca-kaca. Pemandangan itu terkesan sangat menghibur untukmu, kamu tertawa-tawa geli. "Bagaimana, Morax? Melihat sosok terkasihmu berbalik menjadi pengkhianat, menyakitkan, bukan?"
"Daripada menderita, kenapa kau tidak mati saja?"
Kamu melesat ke arahnya, kemudian sekali lagi menikamnya tanpa kenal ampun. Pedang itu kamu ciptakan lagi, lalu kamu menusuknya.
Sekali lagi.
Dan lagi.
Pada saat itu, kamu dapat melihat Morax yang menatapmu dengan putus asa, terjatuh ke atas tanah, membiarkan darah segarnya mengalir dari empat tusukan pedangmu.
Ia memuntahkan darah.
Semudah itu.
Jika dia masih hidup pun, lama kelamaan napasnya akan berhenti sebab menghirup debu hitammu yang beracun dan mampu melemahkan lawan.
"Menyedihkan, Morax."
.
.
.
.
.
.
.
.
HALO, mood Rashi sedang bagus dan hari ini Rashi gak sibuk, maka Rashi memutuskan buat update book ini! ASIKK, tumben banget nih Rashi update cepet ((biasanya lelet))
Gimana chapter kali ini? Semoga bisa menghibur ya heheheHEHEHE MORAX MATI-- /dihajar reader/
Anyway. Rashi abis revisi chapter di awal sampe sekarang. Meski telat banget, sekarang Rashi nyebut Zhongli jadi Morax aja yah karena ... dipikir-pikir kan ini emang Morax, belum jadi Zhongli hahhaha
Dann, kabar baiknya, sebentar lagi akan menuju ending, nih! Mungkin gak sampai 5 chapter? Tapi entah ya, manatau Rashi mendramatisir suasana jadi agak bisa lebih panjang lagi dikit /woi/
Terima kasih udah mampir ke book Rashi! Jangan lupa tinggalkan jejak, vote atau komen, dua-duanya lebih bagus! Jejak dari reader akan semakin membuat Rashi semangat updatenya!
See ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top