BAB XVIII - PENERANGAN
Portia tidak bisa tidur. Seberapa pun keras usahanya, otaknya tetap tidak mau istirahat meskipun kelopak matanya tertutup rapat sejak tadi. Sebanyak apa pun ia mengulang membaca dongeng--dari buku pemberian Lana--dalam benaknya, alam mimpi tetap tidak mau menghampiri Portia.
Kelopak mata Portia sontak terbuka. Gelap. Segelap perasaannya. Ia mendesah. Apa yang terjadi di Aula Sabit hingga perbincangannya dengan Alastair benar-benar membuat dirinya tidak bisa menutup mata dengan nyaman.
Sang Putri Ketiga lalu membolak-balikkan badan, kini berusaha mencari posisi yang nyaman di atas kasur empuknya. Namun, dibandingkan perasaan ngantuk, dirinya kini diselimuti perasaan gelisah yang lebih menjadi-jadi.
Portia menarik selimut tebalnya, menutupi kepala. Tidak, ia tidak boleh seperti ini terus. Ia harus tidur. Tidur untuk melupakan semua hal buruk ini. Perlahan, ia kembali menutup matanya.
Tidur, Portia. Ia terus mengulang kata-kata tersebut, berharap perkataannya bisa berubah menjadi mantra tidur. Tidur.
Entah mantranya berkerja atau hanya sebuah kebetulan--mungkin juga rasa frustrasi--kelelahan perlahan menghampiri Portia. Lelah dan lelah, hingga akhirnya ia terdampar ke alam mimpi.
***
Seorang gadis tengah terbaring di hamparan padang bunga krisan. Ia tersenyum lembut seraya membentangkan kedua tangan dan kakinya. Rambut panjangnya yang tergerai, kini terlihat berantakan akibat gerakan-gerakan yang ia buat. Pun gaun yang ia kenakan lecek dikarenakan tubuhnya yang tak berhenti bergerak.
Namun, gadis itu seakan tidak memedulikan penampilannya saat ini. Ia hanya tersenyum dan sesekali bersenandung ria di bawah teriknya sinar mentari. Senandung yang indah, tetapi entah kenapa terdengar sedih.
Portia terdiam melihat pemandangan hitam putih yang membentang sejauh mata memandang. Ia menunduk. Bahkan tubuhnya juga berwarna monokrom.
Apa yang sedang terjadi?
***
Portia terbangun dengan posisi terduduk. Wajah pucatnya dipenuhi bulir-bulir keringat yang entah sejak kapan keluar. Napas sang putri memburu. Pikirannya kacau, berkabut.
Portia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran. Mimpi. Ia yakin tadi ia bermimpi. Seorang gadis. Gadis yang sepertinya seusia dengannya, tetapi Portia tidak bisa mengingat rupanya. Gadis yang ... sedang berbaring? Tersenyum? Atau bernyanyi?
Helaan napas keluar dari mulut Portia. "Mimpi ... yang aneh," gumamnya. Ya, aneh. Portia yakin itu kata yang sangat tepat untuk mimpi aneh tentang hal aneh yang muncul di hari yang aneh di dimensi aneh yang menjadi tempat tinggalnya kini. Benar-benar aneh.
Portia menjatuhkan punggungnya kembali ke atas kasur. Lengan kanannya menutup mata. Dada sang gadis naik turun, merasakan sesuatu yang bergejolak di hatinya. Detakan jantung Portia terasa semakin cepat dan cepat, hingga membuatnya sontak membuka mata.
Portia segera bangkit dari posisinya dengan tangan kanan memegang dada kiri. Portia familiar dengan perasaan ini. Perasaan yang sangat mengerikan.
Tidak! Portia menunduk, napasnya semakin tidak karuan. Ia tidak menyangka akan kembali merasakan sensasi ini. Tidak lagi! Portia yakin sudah berhasil mengontrol cahayanya. Cahayanya hanya pernah sekali lepas kendali lagi sejak insiden dengan Darrel, saat pertama kali mengontrol cahaya dengan Tetua Kedua. Setelah kali pertama itu, hari-harinya berlatih mengontrol cahaya bersama Tetua Kedua lalu berjalan tanpa adanya insiden membahayakan nyawa tersebut. Namun, kenapa kini ia merasakan tanda-tanda cahayanya akan lepas kendali lagi?
Jantung Portia terus berdetak kencang. Rasa sakit perlahan menjalar sekujur tubuhnya. Remasan tangan Portia semakin kuat. Napasnya mulai tercekat. Ia akan ambruk, ia akan lepas kendali. Pandangannya mulai kabur, bersamaan dengan cahaya biru yang tertangkap di pengelihatannya yang mulai menyempit.
"To ... long ...."
"Dikabulkan."
Tamparan keras mendarat di pipi Portia. Sang gadis jatuh tersungkur di atas kasur. Portia membelalakkan mata. Jantungnya mendadak kembali berdetak normal. Sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya sirna, bahkan pipinya tidak terasa seperti habis ditampar.
Apa yang ... terjadi? Belum sempat otaknya memproses hal yang menimpa dirinya, seketika rasa lelah yang begitu besar melanda Portia. Lelah dan lelah, hingga rasa kantuk ikut menghampiri diri sang gadis. Kelopak mata Portia mulai terasa berat, bersiap menyambut bunga tidur. Namun, dengan seluruh tenaga yang tersisa di badannya, Portia menggerakkan kepala ke samping.
Sesaat sebelum matanya tertutup sempurna, ekor mata sang gadis menangkap serbuk cahaya yang jatuh ke atas selimut. Jatuh dari kepakan sayap biru raksasa yang berpendar lembut.
Portia tersentak. Ia terbangun dengan posisi terduduk. Napasnya memburu, wajahnya berpeluh. Matanya membelalak lebar bak orang yang sehabis melihat hal yang mengejutkan.
Ia bangun, ia yakin tadi ia sudah bangun. Portia menunduk, termenung. Ini bukan pertama kalinya, ia pernah mengalami hal ini saat hari pertama ia tidur di Paviliun Bulan. Portia ingat betul sensasi ini, perasaan deja vu ini.
Portia mendesah. Hal aneh apa lagi yang menimpanya? Ia tidak habis pikir. Ini sama, persis sama .... Sang gadis kembali termenung.
Tidak. Ini beda. Kali ini, ia ingat sedikit mimpinya. Kali ini, ia yakin ia benar-benar ditampar. Kali ini, ia ... melihat siapa yang menamparnya.
"Azura ...."
Gumaman Portia menyadarkan dirinya sendiri. Butiran cahaya indah dan sayap biru yang berpendar lembut, itu milik Azura. Meskipun hanya melihat sekilas, Portia yakin itu berasal dari Kupu-Kupu Biru Bulan yang Agung. Portia memejamkan mata. Azura yang menamparnya tadi, berarti Azura juga yang menamparnya dulu?
Kelopak mata Portia terbuka. Ia harus menemui Azura. Ia harus mendapatkan jawaban dari Azura.
Sang Putri Ketiga turun dari ranjang. Dengan cepat, ia meraih dan memakai mantel panjang yang tergantung di tiang gantung. Langkah kakinya tergesa saat berlarian menuju pintu, ia bahkan membuka pintu dengan keras dan langsung bergegas melewati lorong tanpa menutup pintu kamar.
Lorong paviliun sangat sepi, dan Portia sangat mensyukuri hal itu. Hanya dirinya seorang yang menempati Paviliun Bulan, bahkan tidak ada satupun prajurit yang berjaga. Sihir melindungi tempat ini, sihir menjaga tempat ini. Tanpa dijaga pun, tidak ada orang berniat buruk yang dapat memasuki kubah Paviliun Bulan. Dan tanpa penjagaan, Portia kini bebas berlarian menuju pintu keluar.
Suara decitan pintu menandakan bahwa dirinya telah membuka pintu utama paviliun. Embusan angin seketika menyambut wajah Portia. Kepala sang gadis mendongak, menatap bulan yang berpendar lembut di tengah gelapnya langit. Masih malam? Mau subuh? Portia tidak tahu.
Tungkai sang putri kembali bergerak, berjalan cepat menembus kubah. Portia bahkan tidak peduli akan kakinya yang tidak terlindungi oleh apapun, ia terus melangkah dan melangkah. Berjalan meninggalkan Paviliun Bulan, berjalan melewati jalan setapak, berjalan mengabaikan tanaman menjalar yang bergerak menyambutnya, berjalan dan terus berjalan hingga dirinya tiba di Taman Bulan.
Langkah Portia seketika berhenti tatkala matanya menangkap pemandangan taman pribadinya. Tanpa sadar, kakinya membawa Portia menuju tempat sepi ini. Portia akhirnya terdiam. Adrenalin yang sedari tadi mengontrol dirinya mulai menghilang. Dan, Portia sadar bahwa ia tidak tahu di mana keberadaan Azura. Sama sekali tidak tahu.
Tubuh kurus Portia seketika ambruk. Ia menunduk dengan kedua tangan menompang dirinya. Sia-sia ia keluar dan malah terdampar di taman yang sama sekali tidak menunjukkan keberadaan Azura. Perkataan Tetua Pertama kini terngiang di benaknya.
Kupu-Kupu Biru Bulan yang Agung hanya muncul saat ia ingin untuk muncul.
***
"Portia?"
Gerakan tangan Portia seketika berhenti. Ia mendongak, mendapati Alastair yang duduk di seberangnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Kekhawatiran terdengar jelas dari suara pemuda itu.
Sang gadis tersenyum tipis seraya mengangguk kecil. Ia lalu menunduk, mengabaikan tatapan Alastair dan kembali melanjutkan aktivitasnya sejak beberapa menit yang lalu, memainkan sendok sup.
Portia jelas tidak baik-baik saja. Wajahnya bahkan terlihat lebih pucat dari biasanya, terlebih kini ia mengenakan gaun biru pucat. Namun, Alastair tentu tidak bisa memaksa sang putri untuk mencurahkan isi hati yang mengganggunya. Apa karena penjelasan kemarin? Alastair termenung, sebelum mendesah dan menyisir rambutnya ke belakang.
Portia tak acuh. Ia masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Meskipun Miranda akan segera memberinya jawaban, tetap saja dirinya tidak bisa duduk dengan tenang. Ditambah, Azura belum muncul hingga sekarang.
Kedua mata sian Portia melirik ke kanan. Kursi mewah yang terletak di kepala meja itu masih kosong. Sang ratu belum tiba juga di ruang makan. Portia menghela napas. Tidak biasanya Miranda datang telat dari jam yang dijanjikan. Pun tidak biasanya ia mengundang dirinya serta Alastair dalam perjamuan makan siang yang biasanya dilakukan sendirian. Bahkan jauh tidak biasanya makanan pembuka sudah disajikan lebih dulu tanpa menunggu kehadiran pemimpin tertinggi kerajaan bulan itu.
Gerakan tangan Portia kembali berhenti. "Alastair," ucapan Portia berhasil membuat Alastair mencondongkan badan, "apa kau tahu--"
"Maaf aku terlambat." Decitan pintu makan diiringi suara halus Miranda menginterupsi perbincangan dua insan muda di depannya. "Pertemuan dengan petinggi klan selesai lebih lama dari biasanya." Wanita berambut perak itu tersenyum tipis seraya melangkah mendekati tengah ruangan.
Alastair sontak bangkit dari posisinya, diikuti dengan Portia yang turut membalikkan badan. "Yang Mulia." Keduanya memberikan penghormatan.
"Bagaimana kabarmu, Tuan Alastair?"
"Seperti biasanya, Yang Mulia." Alastair menyunggingkan senyuman mempesona andalannya. "Bagaimana dengan kabar Anda? Saya harap kabar Anda selalu seindah bulan purnama, Yang Mulia."
Miranda mengangguk tatkala kakinya berhenti di dekat kursi makannya. "Seperti biasanya, Tuan Alastair. Terima kasih atas doanya, tetapi setiap fase bulan tidak pernah tidak indah, Tuan Alastair." Ia kini menghadap ke arah sang Putri Ketiga. Ekspresi sang ratu tenang seperti biasanya. "Apa tidurmu nyenyak, Portia?"
Portia mengangguk kecil. "Seperti ... biasanya, Yang Mulia."
Miranda tidak menjawab. Ia menatap wajah Portia lebih lama. Sang ratu hendak membuka mulutnya kembali, tetapi ia memilih untuk mengangguk. Dengan gerakan anggun, Miranda lalu menduduki kursinya, diikuti oleh dua orang di sisi kanan dan kirinya itu.
Miranda menarik napas. Seperti biasanya. Itu kata-kata yang sangat dipahami para bangsawan. Mereka bertiga sedang tidak memberikan jawaban pasti atas pertanyaan masing-masing. Dan, ketiganya memilih untuk mengabaikan hal itu, setidaknya untuk saat ini. Pertanyaan basa-basi tadi hanyalah formalitas belaka. Tentu saja tidak ada jawaban yang baik, terlebih sekarang baru terhitung sehari sejak pertikaian Edgar dan Rena.
Sesaat setelah Miranda duduk, para pelayan muncul sembari membawa nampan hidangan utama. Piring perak berisi mangkuk sup Portia yang tersisa setengah dan mangkuk sup Alastair yang tidak tersisa sama sekali sontak diangkat, digantikan dengan piring besar berisikan daging panggang yang berasap biru. Sedangkan piring berisikan daging cincang dengan lumuran saus hitam diletakkan di hadapan sang ratu.
"Silakan dinikmati." Miranda tersenyum tipis. "Aku sedang tidak ingin makan hidangan pembuka," ucapnya saat menyadari pandangan Alastair. Lagipula, dirinya tidak mungkin membuat dua orang di depannya itu duduk diam menunggunya menghabiskan sup sebelum beralih ke hidangan utama.
Alastair memilih untuk mengangguk dan memakan makanan di depannya. Begitu juga dengan Portia. Hanya suara dentingan yang terdengar, ketiga bangsawan itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Alastair tidak dalam posisi untuk bicara sebelum Miranda atau Portia mengajaknya lebih dulu, sedangkan Portia sedang tidak ingin berbicara dan setia menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Miranda. Dan sang ratu, terlihat ingin menghabiskan makanannya lebih dahulu sebelum menjelaskan hal tidak menyenangkan yang pastinya akan merusak suasana makan.
Waktu berlalu. Hidangan utama digantikan hidangan penutup. Aroma nikmat daging tergantikan oleh rasa manis puding. Hingga perlahan, wangi bunga kembali memenuhi rongga hidung Portia tatkala para pelayan sudah selesai membersihkan meja makan di hadapannya.
"Apa kalian menikmati makanannya?"
Portia mengangguk. "Masakan dapur istana selalu lezat." Portia tidak bohong. Itu pertama kalinya ia mencicipi menu daging yang seperti tadi selama tinggal di Istana Bulan. Apa itu menu baru? Atau memang ada banyak makanan yang belum Portia cicipi hingga sekarang?
"Sangat menikmatinya. Terima kasih telah mengundang saya, Yang Mulia," jawab Alastair.
Senyuman terukir di wajah Miranda. "Syukurlah kalian menikmatinya." Ia terdiam sejenak. "Kalian pasti penasaran kenapa aku memanggil kalian."
Alastair melirik Portia. Bahkan dari posisinya ia bisa melihat keresahan dalam gerak gerik sang Putri Ketiga. Portia mengencangkan punggungnya, bibirnya terkatup rapat, dan kelopak matanya mengerjap lebih banyak dari biasanya. "Benar." Suara sang gadis terdengar sedikit bergetar.
Miranda menarik napas panjang. Ekspresi tenang yang sedari tadi terpatri di wajah tirusnya mulai terlihat goyah. Namun, itu tidak berlangsung lama. Wajah sang ratu kembali terlihat tenang dalam satu kedipan mata.
"Istana Langit adalah istana yang terletak di jantung Dimensi Langit--dimensi yang memang bernama Dimensi Langit, bukan sebutan bagi keempat dimensi yang berada di dalam Dimensi Langit," jelas Miranda yang lebih ditunjukkan pada Portia. Alastair tentu tahu info kecil seperti ini. "Setiap seratus gerhana terjadi pergantian era, baik di Dimensi Bulan maupun Matahari. Setiap seratus gerhana juga akan terdapat era yang lebih dominan dibandingkan yang lain. Seratus gerhana yang lalu adalah era Bulan Biru Pirus dan era Matahari Merah Anggur yang menjadi era dominan dikarenakan Istana Utama jatuh ke Kerajaan Matahari, jatuh ke Ratu Elez.
"Setiap seratus gerhana pula gerbang Istana Langit akan terbuka dalam jeda waktu yang singkat. Saat gerbangnya terbuka adalah satu-satunya kesempatan untuk memasuki Dimensi Langit. Sesuai tradisi, siapapun pemimpin Istana Utama akan memimpin perjalanan menuju Istana Langit."
"Untuk apa?" Pertanyaan Portia terdengar seperti desisan.
"Untuk menjaga keseimbangan keempat dimensi."
Portia termenung. Keseimbangan?
Miranda yang menyadari pikiran Portia kembali mengangguk. "Keseimbangan. Aku tidak tahu detail pastinya karena raja-ratu sebelumnya tidak pernah mengatakan apa yang mereka perbuat di dalam Istana Langit ataupun catatan yang mencatat hal itu. Hanya Alterasi Cahaya Kuno, Kupu-Kupu Agung, Azuran dan Ruby-lah yang tahu apa yang terjadi di sana."
"Azura," desis Portia. Nama itu kembali memutar memori yang tidak lama terjadi padanya.
Miranda memejamkan mata sejenak. "Yang kami--para petinggi klan--tahu hanyalah itu tugas mutlak yang harus dijalankan oleh setiap pemimpin Istana Utama. Keberhasilan akan membawa keseimbangan hingga seratus gerhana ke depan, sedangkan kegagalan akan membawa kehancuran hingga seratus gerhana berikutnya." Sang ratu menjeda ucapannya. "Tetapi hingga sekarang, setiap raja-ratu sebelumnya selalu berhasil menjaga keseimbangan Dimensi Langit. Jadi dibanding hal itu, perjalanan menuju Istana Langit lah yang harus dicemaskan."
Seperti kematian. Alastair menelan ludahnya. Seperti dengan sukarela menyerahkan cahayamu hingga redup, setidaknya itu menurut desas-desus yang beredar. Kematian selalu menyertai perjalanan menuju Istana Langit. Kematian selalu mengutuk orang-orang yang nekat memasuki Istana Langit.
"Akan ada banyak ... kehilangan yang terjadi. Perjalanan menuju Istana Langit tidak pernah berakhir mulus." Ekspresi Miranda mengeras. Suaranya mengecil saat melanjutkan, "Tidak pernah ada rombongan yang kembali dalam jumlah yang lengkap."
Apa? Mata Portia membulat. Peristiwa permohonan keluarga Kerajaan Bintang seharusnya sudah membuat dirinya bersiap mendengar kata-kata Miranda. Namun, ia tetap tidak bisa membendung kekagetannya saat mendengarnya langsung dari mulut Miranda. "Tidak ada?" gumamnya.
Miranda menghela napasnya. "Gerbang Istana Langit akan terbuka dalam tiga malam. Sesuai tradisi, siapapun pemimpin Istana Utama akan memimpin perjalanan menuju Istana Langit." Miranda menatap wajah pucat Portia. "Seharusnya aku yang pergi, tetapi karena kau sudah datang, sang Putri Ketiga yang harus berangkat."
Kedua tangan Miranda menggenggam erat tangan Portia. Mata mereka saling beradu, satu terlihat terkejut, sedangkan satunya terlihat sendu. Putri-nya akan melakukan perjalanan berbahaya, dan Miranda harus melihat hal itu dengan mata kepalanya sendiri.
"Bersiaplah, Portia."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top