BAB XVII - PENJELASAN
Embusan angin menerpa wajah tirus Portia. Gadis berambut hitam dengan sentuhan keperakan di bagian bawahnya itu mendongakkan kepala. Cahaya biru sian berpendar lembut dari bulan yang terlihat tepat berada di atas sang gadis. Absennya gemerlap bintang yang lain membuat sang rembulan yang hanya terlihat setengah itu menjadi bintang utama di tengah gelapnya bumantara. Sungguh malam yang cukup hampa bagi dimensi yang selalu bermandikan kilauan cahaya. Seakan-akan langit tahu betapa murungnya hari istimewa ini.
Betapa muramnya suasana hati sang Putri Ketiga.
Helaan napas terdengar. Netra sian sang gadis kini mengarah pada hamparan rumput yang membentang sepanjang mata memandang. Bunga-bunga malam bermekaran indah, tetapi entah kenapa rasanya bunga-bunga tersebut tidak secerah biasanya. Seakan kilauan-kilauan yang memenuhi sari mereka tidak seindah malam-malam sebelumnya. Portia bahkan tidak melihat seekor pun serangga cahaya yang berterbangan, seperti tidak tertarik mengunjungi Taman Bulan seperti biasanya.
Benar-benar hampa.
Portia mendesah. Ia mendudukkan bokongnya di atas empuknya rumput. Gadis itu lalu berbaring, menghadap bulan yang membasuh seluruh tubuhnya dengan cahaya biru.
"Bulan setengah."
Seulas senyuman tipis terukir di bibir merahnya. Sudah berapa lama ia berada di tempat ini? Portia merentangkan tangan kanannya ke atas, jemari-jemari lentik sang gadis menutupi sang rembulan. Gerakannya sontak membuat wajah Portia tertutup bayangan.
Bayangan ....
Suara terbukanya pintu kayu memotong pikiran Portia. Suara yang sangat samar, tetapi tentu berhasil ditangkap oleh indra pendengarannya di tengah kesunyian taman. Ia menarik tangannya kembali, sebelum merubah posisinya menjadi posisi duduk. Sang Putri Ketiga menoleh, bertepatan dengan tertutupnya pintu.
Seorang pemuda dengan seragam yang sangat Portia kenal melangkah mendekat. Emblem bulan purnama di dada kirinya bersinar tatkala terkena cahaya bulan. Rambut merahnya berkibar, menari-nari mengikuti irama angin. Dan tanpa basa-basi, ia ikut duduk di samping Portia.
"Alastair."
Sang pemilik nama tersenyum, senyuman andalannya. "Tebak siapa yang habis dimarah?"
Portia menggeleng kecil. Selepas kejadian menegangkan tadi, semua sibuk pada urusan masing-masing. Pertemuan khusus diumumkan, kali ini mengajak Si Kembar Bintang dan Edgar. Portia tidak diajak, ia ditinggal sendirian di Aula Sabit. Miranda mengatakan akan menjelaskan padanya, tetapi hingga jamuan malam tiba, sang ratu belum menjelaskan apapun. Besok, kata Miranda. Portia harus menunggu esok tiba. Lagi-lagi hal aneh terjadi dan ia tidak mendapatkan jawabannya.
Namun selain para keluarga kerajaan, Alastair dan Darrel juga menghilang sangat lama--bahkan sampai melewatkan jamuan malam. Portia tentu tahu apa yang mereka bahas. Dan, ia tentu tahu apa yang Alastair inginkan sekarang.
"Paman memarahiku habis-habisan saat tahu aku meninggalkanmu sendirian di Aula Sabit tadi." Alastair menghela napas. Itu memang salahnya, ia akui. Apalagi ia pergi begitu saja tanpa meminta anggotanya untuk menggantikannya. "Aku hanya meninggalkanmu sebentar ke kamar mandi dan saat aku balik, tahu-tahu Raja Ken, Ratu Hana, dan Pangeran Ren sudah bersujud di hadapan anak pemarah--maksudku--Pangeran Edgar!"
Portia mengangguk. Alastair sempat izin pergi padanya. Kepergian sang pemuda bermata kelabu itu berjarak beberapa saat sebelum kedatangan Edgar yang entah dari mana. Kedatangan yang menyebabkan petaka di hari yang seharusnya menggembirakan.
"Apa yang terjadi?" Bola mata abu-abu Alastair menatap tepat iris sian Portia. Tatapan intens yang tidak pernah Portia lihat selama ia mengenal Alastair. Portia bahkan tidak tahu bahwa pemuda itu dapat memberikan tatapan yang ... sepertinya dapat membuat para gadis bersemu.
Portia mengalihkan pandangannya. Ia kembali menatap sang rembulan dengan sendu. Gadis itu tidak menjawab dan malah balik bertanya, "Bukankah tadi Pangeran Ren sudah menjelaskannya?"
Alastair mendesah. Ia tidak menyangka Portia benar-benar menganggapnya bodoh. "Kau pikir aku percaya pada alasan salah paham karena bercandaan dalam permainan anak-anak itu? Apalagi dengan Edgar?" tanyanya retoris. "Tidak, aku tidak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi, Portia? Hanya kau, Pangeran Edgar, dan Si Kembar Bintang yang tahu."
Hening.
Sang Putri Ketiga tidak menjawab. Ia masih termenung menghadap bulan. Membiarkan Alastair yang masih menunggu jawaban.
Namun, tentu sang pemuda tahu apa yang sedang ada dalam pikiran sang Putri Ketiga. Mungkin karena Alastair sering bergaul dengan bangsawan Matahari, ia menyadari bahwa putrinya ini tidak sesulit itu untuk dibaca. Beberapa hari terakhir yang Alastair habiskan dengan Portia sudah cukup untuk membuat dirinya mengetahui kebiasaan sang Putri. Termasuk ekspresi di wajah Portia sekarang.
Portia menimang. Memberi tahu Alastair yang sudah ia percayai atau kembali berbohong. Melanggar janjinya pada Ren atau tetap menepatinya. Ia menjatuhkan pandangannya pada hamparan rumput, lalu menatap tepat ke iris kelabu pengawal pribadinya.
"Berjanji padaku jangan sampai ada yang tahu."
Alastair mengangguk. Ia meletakkan tangan kanannya di depan dada. "Aku berjanji."
Portia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali membuka mulutnya. Ia menceritakan semuanya. Semuanya. Dari antusiasme si Kembar Bintang hingga cibiran Edgar. Dari bunga krisan yang menjadi akar masalah hingga sindir menyindir yang berakibat penyerangan.
Alastair terdiam, mendengar penjelasan Portia dengan seksama. Sesekali ia mengangguk, sesekali ia menghela napas, dan berulang kali ia menggumam--mengutuk Edgar.
"Sudah kuduga," ucapnya setelah mendengar kejadian yang sebenarnya. "Sudah kuduga pasti Edgar yang memulai. Anak itu benar-benar menyebalkan." Ia menggelengkan kepala sembari menghela napas.
"Ada satu hal yang tidak aku mengerti."
Gumaman Portia berhasil mendapat perhatian Alastair. Alastair mendengarnya dengan jelas. Sang pemuda mengangkat sebelah alis seraya bertanya, "Apa?"
"Kenapa Pangeran Ren merahasiakan kejadian sebenarnya?" Kening Portia mengerut. "Ia bahkan sampai memohon padaku untuk tutup mulut."
Alastair terdiam. Merahasiakan keadaan yang sebenarnya dan berbohong di depan para petinggi keempat kerajaan adalah jalan yang dipilih Ren. Ada yang percaya, ada yang tidak. Alastair bahkan ingat seberapa mengerutnya dahi paman tersayangnya saat mendengar alasan yang sangat tidak dapat diterima oleh otak mereka berdua.
Helaan napas kembali terdengar. "Menurutmu kenapa?" Alastair balik bertanya.
Menurutku? Portia menggeleng pelan. Tentu dia tidak tahu. Untuk itu dia bertanya. "Aku tidak tahu, tetapi bukankah mereka akan lebih dimaafkan jika tahu kejadian yang sebenarnya? Posisi mereka akan jadi lebih aman, bukan?"
"Kebalikannya. Posisi mereka akan jauh lebih berbahaya."
"Bahaya? Kenapa?"
"Akan terjadi perang."
Portia mengerjap beberapa kali. Apa ia tidak salah dengar? Tidak, kupingnya masih berfungsi dengan normal. Perang? Bagaimana bisa? pikirnya. Kening Portia semakin mengerut. Jawaban Alastair benar-benar tidak bisa ia pahami. Sang Putri Ketiga terus berpikir, tetapi tidak ada perubahan. Ia belum menemukan benang merahnya.
Sang kesatria yang menyadari akan hal tersebut segera menambahkan, "Penghinaan yang dilontarkan Edgar hanya diketahui oleh kalian berempat, bukan?" Pertanyaan Alastair mendapat anggukan sang lawan bicara. "Jika si Kembar Bintang melaporkannya, apa para pemimpin kerajaan akan percaya?"
"Mungkin?" jawab sang gadis--yang lebih menyerupai pertanyaan.
Seulas senyuman terukir di wajah Alastair. Senyuman yang kecut. Sepertinya pamannya itu belum mengajari betapa rumitnya hubungan politik antar kerajaan. Ia menilik mata sang Putri. Mata yang begitu murni dan polos, belum terkontaminasi oleh bobroknya sifat yang harus dimiliki para keluarga kerajaan. Dan sekarang, mata itu akan tercemari oleh kebusukan yang akan keluar dari mulut Alastair.
"Kedua orang tua mereka kemungkinan besar akan percaya. Lalu yang lain?" Kepala pemuda itu menggeleng pelan sebagai jawaban. "Ratu Miranda akan berada di pihak netral--tidak bisa percaya atau membantah tanpa bukti--dan Pangeran Salju juga sama--apa gunanya suara pangeran dari dimensi yang bahkan belum diakui?
"Yang tersisa adalah suara Kerajaan Matahari, Portia. Edgar akan membantah dan mau tidak mau Ratu Olivia dan Raja Rowan akan mempercayai ucapan pangeran mahkota. Menurutmu, apa mereka akan tinggal diam setelah dituduh seperti itu?"
Alastair memandang langit malam. Warna sian yang berpendar lembut dari sang rembulan benar-benar berbanding terbalik dengan warna rambut merahnya.
"Tidak. Mereka akan anggap itu sebagai penghinaan, terlebih tidak ada bukti yang kuat; hanya pernyataan dari dimensi rendahan. Mereka akan marah, tentu saja."
"Tetapi," sela Portia sebelum Alastair membuka mulutnya lagi, "bukankah ... tembok memiliki telinga? Aku terus memikirkan hal itu, jadi bukankah percuma untuk berbohong?" Perkataan Lana yang dulu sempat ia dengar kembali terputar di benaknya. Darrel juga sempat menjelaskan hal ini, mengatakan bahwa tembok memiliki semacam rekaman suara. Hanya anggota klan yang dapat mendengarnya, tetapi belum tentu si tembok mau memperdengarkannya.
Alastair menggeleng. "Tembok Aula Sabit tidak memiliki telinga, tidak lagi. Sang Putri Kedua menitahkan untuk menghilangkannya."
Portia terdiam. Ia tahu tidak semua tembok memiliki telinga, tetapi Darrel tidak pernah mengatakan bahwa Aula Sabit termasuk ke dalamnya. Atau, Portia yang tidak fokus? Portia menggeleng. "Kalau begitu, aku bisa memberi kesaksian, Alastair."
Alastair tersenyum tipis. Ia kembali menghadap Portia. Gadis yang baik. Namun, tentu Alastair tahu bahwa itu adalah hal yang naif bagi seorang yang memiliki mahkota di kepalanya.
"Maka kau hanya akan menyiram minyak dalam kobaran api, Putri."
Mata Portia membulat lebar. Dirinya tidak menyangka akan ucapan Alastair. Ia tidak mengerti. Mi ... nyak?
"Kerajaan Bintang akan memegang erat-erat kesaksianmu dan Kerajaan Matahari yang sudah terlanjur murka tentu tidak akan mengalah. Di mana mereka taruh harga diri mereka? Mereka akan semakin murka, Portia."
Alastair mengembuskan napas panjang. Memikirkan ego Kerajaan Matahari yang terluka itu membuat bulu kuduknya sedikit merinding. Ia melirik Portia, melihat ekspresi yang ditunjukkan sang Putri sebelum melanjutkan, "Lalu Edgar bisa saja mengatakan bahwa si Kembar Bintang mengancammu untuk berbohong, atau lebih buruknya ia bisa saja mengatakan kau ikut berbohong."
"Karena tidak ada bukti kuat dari ucapanku," gumam Portia. Ia memejamkan mata. Bukti adalah hal yang vital. Darrel selalu mewanti-wanti bahwa bukti sangat dijunjung tinggi di seluruh Dimensi Langit. Ia lalu teringat. Ucapan petinggi juga bukti yang kuat. Portia membuka matanya kembali. "Meskipun aku sang Putri Ketiga?"
Alastair mengangguk. Ia menebak ke mana arah pikiran Portia sekarang. "Meskipun kau sang Putri Ketiga. Hanya Dimensi Bulan yang memujamu, Portia, bukan Dimensi Matahari. Ucapanmu sangat kuat di sini, tetapi tidak berarti di luar sana. Kau tidak punya kekuasaan dalam urusan Dimensi Matahari." Alastair mendesah.
Ia melirik Portia. "Tetapi tenang saja, Edgar akan memilih opsi pertama. Ia tidak akan mengatakan kau benar-benar berbohong." Menjadi satu-satunya teman Edgar yang masih hidup sampai detik ini, Alastair yakin akan ucapan yang baru saja ia lontarkan. Selain itu, tidak ada gunanya bermusuhan dengan Dimensi Utama saat ini. Edgar tidak segegabah itu.
"Jika aku ... masih membantah?" tanya Portia, ragu.
Alastair tersenyum tipis sembari menggeleng. "Skenario pertama, Ratu Miranda akan akan melindungimu, tentu saja. Dan cara tercepat untuk melindungimu adalah dengan menyuruhmu untuk mengakui ucapan Edgar.
"Setelah itu Kerajaan Matahari akan menganggap Kerajaan Bintang sebagai musuh, benar-benar musuh. Karena belum menginjak seribu gerhana, Dimensi Matahari dapat mencabut dukungan mereka pada Dimensi Bintang sehingga Dimensi Bintang tidak lagi menjadi bagian dari dimensi yang diakui. Dengan status Dimensi Bintang yang seperti itu, Kerajaan Matahari bisa dengan mudah menghukum Kerajaan Bintang."
Portia terdiam. Dimensi Bintang adalah dimensi rendahan sedangkan Dimensi Matahari termasuk dimensi resmi. Kerajaan di dimensi rendahan tidak punya hak untuk menghukum keluarga kerajaan di dimensi resmi. Sedangkan sebaliknya .... Mata Portia kembali membulat, lebih lebar dibandingkan sebelumnya.
Alastair mengangguk, dengan mudah membaca pikiran Portia lagi. "Hukuman Kerajaan Matahari tidaklah remeh, apalagi sang Pangeran Mahkota terluka. Putri Rena sudah dipastikan akan dihukum mati, atau lebih buruk satu keluarga itu bisa dihukum mati. Bangsawan dan rakyat Dimensi Bintang tentu tidak akan menerima hal itu, mereka akan melawan. Dimensi Matahari juga pasti akan melawan balik dan ... kita sudah tahu hasil akhirnya, bukan?"
Portia memejamkan mata. Perang. Perang antara dua dimensi di saat yang harusnya menjadi penyatuan dimensi.
"Lalu skenario kedua," ucapan Alastair sontak membuat kelopak mata Portia terbuka, "Ratu Miranda akan melindungimu juga, tetapi kali ini ia akan mempercayai kesaksianmu. Ia tidak bisa mendukung kesaksianmu karena posisi Kerajaan Bulan sebagai Istana Utama yang harus bersikap netral, tetapi ia bisa mengusulkan jalan tengah. Menggunakan kesaksianmu dan Si Kembar Bintang yang berbanding terbalik dengan kesaksian Edgar, Ratu Miranda akan mengusulkan Kerajaan Matahari untuk mengambil pemeriksaan secara hukum.
"Karena Dimensi Bintang belum melewati seribu gerhana menjadi dimensi resmi, maka Dimensi Matahari yang mengadakan pemeriksaan. Di Kerajaan Matahari ada satu hukum yang di pakai di kalangan bangsawan jika kita tidak mengetahui pihak mana yang salah atau benar. Apa kau tahu apa itu, Portia?"
Portia mengingat kembali pelajarannya dengan Darrel. Sang Tutor pernah membahas tentang hukum Kerajaan Matahari. Namun seingat Portia, Darrel tidak pernah menjelaskan tentang hukum yang itu.
Melihat diamnya Portia, Alastair yakin bahwa pamannya itu tidak mengajarkan sampai sedetail itu. Lagipula tidak ada yang tahu akan hal itu di Dimensi Bulan. Alastair bahkan tidak mengingat kapan terakhir kalinya Kerajaan Matahari menggunakan hukum itu.
"Pengadilan dengan pertempuran."
Ucapan Alastair membuat kening Portia mengerut. "Pengadilan dengan pertempuran?" ulang sang Putri Ketiga.
Alastair mengangguk mantap. Ia kembali menjelaskan, "Jika yang terlibat adalah perorangan, masing-masing pihak akan memilih jawara untuk bertarung hingga mati di arena. Namun, jika yang terlibat adalah antar kerajaan ...." Alastair menggantung kalimatnya.
"Sama saja dengan perang!"
"Benar."
Portia menutup mulutnya. Hukum macam apa itu? Itu nama lain dari kekerasan! Di mana adilnya? Portia tidak tahu, sangat tidak mengerti. Kedua skenario akan berakhir dengan perang.
"Tidak ada skenario ketiga?"
"Sayang sekali tidak ada," ucap Alastair dengan enteng. "Itu sebabnya Pangeran Ren berbohong. Aku tidak tahu otaknya menjurus ke skenario pertama atau kedua, tetapi hasilnya juga sama. Harga diri Si Kembar Bintang akan jatuh sejatuh-jatuhnya, benar. Namun, setidaknya tidak akan terjadi perang berkepanjangan."
Ini gila! Portia tidak habis pikir. Situasi yang menimpa hari ini lebih rumit dari dugaannya. Bagaimana bisa cemoohan Edgar dapat berakhir menjadi pertumpahan darah sebesar itu?
Embusan angin malam terasa lebih kencang tatkala keheningan melanda dua insan tersebut. Helaian rambut panjang Portia terkena imbasnya, membuat wajah sang gadis tertutup. Namun, dirinya tidak merasa terganggu. Portia masih sibuk dengan pikirannya.
Meskipun sang empunya tidak peduli, pemandangan itu jelas mengganggu Alastair. Sang pemuda meraih beberapa helai rambut hitam keperakan itu dan menyelipkannya di belakang telinga Portia. Sentuhan hangat yang tiba-tiba dirasakan indera peraba Portia, berhasil membuat sang gadis sadar dari lamunannya. Kedua mata mereka bertemu, terkunci begitu lama dalam keheningan taman.
Seulas senyuman manis tersungging di bibir Alastair. Ia menjadi orang pertama yang memecah keheningan. "Jangan terlalu di pikirkan, Portia. Semua itu sudah berlalu," ucapnya, berusaha menenangkan gadis di hadapannya. "Menyesali itu semua akan membuatmu lelah, lelah membuatmu sakit, dan sakit tidak akan menolongmu saat perjalanan ke Istana Langit nanti."
Mendengar nama Istana Langit membuat mata Portia menerawang. Percakapannya dengan Miranda kembali terputar di kepalanya. Namun, itu percakapan yang sia-sia. Miranda tidak menjawab pertanyaannya, mengatakan bahwa esok ia akan mendapatkan jawabannya. Lagi-lagi ia harus menunggu. Dan lagi-lagi, ia tidak mengetahui jawabannya.
"Portia?"
Suara Alastair membawa Portia kembali ke kenyataan. Portia tersadar. Benar, Alastair pasti bisa menjawabnya.
"Alastair."
"Ya?"
"Mengapa perjalanan ke Istana Langit sangat penting?"
Alastair melepas genggamannya pada rambut Portia. Ia terlihat kaku. Alastair tidak siap dengan pertanyaan yang baru saja didengarnya. Apa Darrel belum menjelaskan? Ia menilik ekspresi Portia. Ekspresi yang kebingungan bercampur keingintahuan dan ... lelah.
"Aku ingin menjawab, tetapi aku sendiri tidak begitu tahu akan hal itu." Gadis di depannya segera bereaksi kecewa, membuat Alastair buru-buru mengoreksi, "Aku hanya tahu kalau perjalanan ke sana berbahaya. Tetapi, jangan khawatir! Aku dan yang lainnya akan selalu melindungimu!"
Portia menjatuhkan pandangannya ke bawah. Ia tidak mendapatkan hal yang baru. Ia tahu itu berbahaya--keluarga Kerajaan Bintang terang-terangan memohon agar Rena tidak ikut. Hanya itu.
"Aku mengerti," desahnya. Ia menatap Alastair dan tersenyum tipis. Senyuman palsu. Gadis itu lalu mendongakkan kepala, menghadap langit. Sepertinya Portia benar-benar harus menunggu penjelasan para petinggi; Miranda dan para tetua.
Pemuda berambut merah itu terdiam beberapa saat, menatap sisi samping wajah Portia. Ia lalu merebahkan dirinya di samping Portia dengan kedua lengan menompang kepala. Empuknya rumput segera menyambut punggung sang kesatria.
Kepala Alastair menengok, menghadap sang Putri. Kulit putih pucat Portia terlihat semakin pucat. Sinar yang biasa terpancar di wajahnya pun sirna. Dan, punggungnya terlihat ... rapuh. Amat rapuh. Seakan-akan Portia dapat ambruk begitu saja.
Alastair mengerti. Penjelasan yang disampaikannya tentu bukan hal yang bagus. Ini informasi yang sangat buruk bagi gadis yang masih asing akan kehidupan di sini. Dirinya juga tidak memiliki jawaban yang diinginkan sang Putri Ketiga, itu pasti menambah kekecewaan Portia. Lebih buruk lagi, ia bahkan malah menghaluskan jawabannya pada Portia.
Alastair mengalihkan pandangannya, kini ikut menghadap langit. Istana Langit. Apa yang terjadi hari ini adalah hal yang buruk, tentu saja. Namun, ulah Edgar menghasilkan sesuatu yang menarik. Alastair tidak pernah menyangka, dimensi yang tidak diberkahi cahaya itu ternyata memiliki seorang pemuda yang bahkan memiliki kekuatan elemen. Dan kini, ia akan melihat orang itu. Orang itu akan ikut dengannya untuk mengawal Portia dan Edgar menuju Istana Langit.
Ikut mengawal mereka melewati kematian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top