BAB XVI - MANDAT

Ketukan terdengar dari luar pintu rapat, membuat dua insan yang sedari tadi beradu mulut mendongakkan kepala mereka. Sayup-sayup, terdengar ucapan kalang kabut yang masuk ke telinga Miranda. Suara sang penasihat.

Pintu sontak terbuka, tepat saat mendapatkan izin sang ratu. Wajah Darrel benar-benar terlihat sangat kesusahan. Bulir-bulir keringat mengalir membasahi pipinya. Ia terengah-engah. "Yang ... Mulia." Sang penasihat menunduk hormat.

"Katakan," ucap Miranda tanpa basa-basi, tahu betul ada hal yang tidak beres. Sangat jarang ia mendengar degup jantung Darrel seberdebar itu. Benar-benar ada masalah.

Rowan tidak berkata apa-apa. Ia bahkan tidak mempermasalahkan penghormatan Darrel yang tidak lengkap padanya. Tanpa bakat spesial milik klan yang memiliki telinga super tajam pun Rowan tahu betul ada masalah yang sedang terjadi.

"Yang Mulia," Pemuda berambut perak itu kembali berdiri tegak, matanya melirik Rowan dan Miranda bergantian, "Anda berdua harus ke Aula Sabit sekarang. Putri Rena menyerang Pangeran Edgar--"

Rowan menggebrak meja. "Gadis rendahan itu menyerang putraku?" Mata merahnya mengilat.

Penasihat paruh baya itu menundukkan kepala. Gestur tubuhnya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Rowan, tetapi ia tetap membuka mulut dan berkata, "Pangeran Edgar terluka."

Miranda segera bangkit dari kursinya sebelum Rowan bertindak lebih jauh. Tanpa basa-basi, sang ratu melangkah cepat meninggalkan ruang rapat, meninggalkan Rowan yang masih berdiri dan Darrel yang segera menyusul di belakang sang ratu. Miranda menarik dalam-dalam napasnya. Darah telah menetes. Dan, ia harus segera mengambil tindakan.

Menghentikan Matahari sebelum menelan Bintang.

***

Pintu berkayu hitam itu terbuka dengan kencang. Namun, tidak ada yang peduli. Semua pasang mata masih tertuju pada pria buncit yang tengah bersujud.

Suasana Aula Sabit sangat tegang. Aula kecil yang biasa menjadi tempat diadakannya acara privat itu tidak pernah menjadi sesuram kini. Bahkan langkah Miranda terdengar berat di tengah keheningan yang terjadi.

Sang Ratu Bulan melirik Portia yang mematung menatap peristiwa yang terjadi. Kebingungan dan keresahan tergambar jelas di mata sang Putri Ketiga. Matanya lalu menghadap Ken yang masih bersujud dengan kepala mendongak, menatap horor. Entah apa yang pria itu dengar dari mulut pemuda yang tengah tersenyum miring di depannya. Pastinya, Miranda tidak menyukai hal ini. Dan, darah yang mengalir dari pipi Edgar adalah hal terakhir yang Miranda harapkan.

"Apa yang sedang terjadi?" Miranda akhirnya membuka mulut. Suaranya tegas, dengan tatapan mata tajam yang sangat jarang ditunjukkan.

"Miranda!" Sang Ratu Matahari, Olivia, adalah orang pertama yang bereaksi atas ucapan Miranda. Segera, ia melangkah mendekati teman wanitanya itu. "Raja Ken menyerang putraku," volume suaranya mengecil, "tolong selesaikan kasus ini, Miranda."

Edgar memiringkan kepala. Telinganya menangkap ucapan ibu tirinya. Iris merah sang Pangeran Mahkota Matahari mengilat menatap iris perak milik sang Ratu Bulan. Tatapannya tajam, kontras dengan seringaian yang ia tunjukan. Pandangan Edgar lalu bergeser ke arah wanita di samping Miranda.

"Kau mungkin lupa, Ratu Olivia, bahwa Aturan Lama sudah tidak berlaku sejak seratus gerhana yang lalu. Ratu Bulan tidak berhak menyelesaikan kasus ini," Edgar menjeda kalimatnya, "meskipun dia pemimpin Istana Utama."

Mendengar perkataan pemuda berambut pirang itu membuat Miranda menarik napas panjang. Benar, ia tidak memiliki kuasa di sini. Penyerangan terhadap masing-masing anggota kerajaan hanya bisa diselesaikan oleh pihak yang terlibat meskipun sekarang mereka berada di wilayah kerajaan Miranda. Jadi meskipun ia pemimpin Istana Utama yang memimpin keempat dimensi, kekuasaan terbesarnya saat ini hanya bisa membatasi gerakan Edgar dan Ken agar tidak terjadi pertumpahan darah lebih lanjut hingga Kerajaan Matahari membuat keputusan. Kerajaan Bulan hanya bisa menjadi pengamat yang tidak boleh memihak siapapun. Nasib Ken, bukan, nasib seluruh Dimensi Bintang ada di tangan Edgar. Miranda membuang napas. Aturan Baru benar-benar membatasi gerak-geriknya.

Sang Ratu Bulan kembali memandang Ken yang masih setia di posisinya. Tangannya meremas gaun mewah yang ia kenakan. Susah payah ia mengajukan pakta perdamaian dalam agenda rapat esok jika sekarang saja pewaris Kerajaan Matahari di serang oleh putri Kerajaan Bintang. Demi Azura! Miranda benar-benar berharap Azura muncul untuk kedua kalinya. Setidaknya, kupu-kupu itu tidak terikat aturan apapun dan kuasa Azura berada di atas keempat dimensi. Namun, sepertinya itu hanya menjadi angan biasa. Alterasi Cahaya Kuno itu tidak pernah muncul lagi dalam jeda waktu yang singkat.

Seringaian di wajah Edgar melebar saat mendengar degup jantung Miranda--ia tentu memiliki kekuatan spesial keturunan klan, kekuatan yang sama baik bagi klan Matahari maupun Bulan. "Ini urusan Kerajaan Matahari dan Bintang, bukan begitu, Raja Ken?" Edgar memutus kontak mata dengan Olivia, balik menatap pria di bawahnya.

"Yang Mulia," suara Ken bergetar, "tolong berikan syarat yang lain."

Kedua alis Miranda mengerut. Syarat apa yang dibahas Ken? Ia melewatkan hal yang penting, sudah pasti. Pikiran wanita itu terus berputar hingga remasan tangannya perlahan melemah. Syarat pengampunan. Sang Ratu Bulan tersadar. Kerajaan Matahari memberi pengampunan secepat itu? pikirnya.

Kekehan keluar dari mulut sang pangeran berambut emas. Penawaran? Edgar menyeringai. Tentu saja. Mari kita kabulkan.

"Tidak," jawab sang Pangeran Mahkota Matahari. "Aku menginginkan Putri Rena."

"Yang Mulia--"

Kini Hana ikut bersujud. Gerakan wanita paruh baya itu berhasil membuat suaminya menggantungkan ucapannya. "Yang Mulia," ia menundukkan kepala dalam-dalam hingga menyentuh lantai, "putri hamba tidak memiliki kemampuan untuk menjaga Anda maupun sang Putri Ketiga selama perjalanan. Cahayanya kecil dan kemampuan bela dirinya masih di bawah standar. Temperamennya buruk dan kondisi kesehatannya lemah. Putri hamba hanya akan menjadi beban dalam perjalanan nanti. Tolong pikirkan kembali syarat Anda."

Melihat orangtuanya yang memohon penuh pada sang Pangeran Matahari, Ren turut melakukan hal yang sama, membuat Rena terlalu syok hingga tidak bisa mengatakan sepatah katapun. "Tolong pertimbangkan lagi, Yang Mulia."

Ren telah gagal melindungi kembarannya, jadi apa guna harga diri saat ini. Ia dengar itu perjalanan yang sulit, dan permintaan Edgar sudah pasti agar Rena terluka--atau lebih buruk, meninggal--selama perjalanan suci itu.

Pemandangan menyedihkan keluarga Kerajaan Bintang yang tidak berdaya di hadapan Edgar membuat Portia benar-benar seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Perjalanan menuju Istana Langit, itu hal yang baru pertama kali ia dengar. Terlebih, sedari tadi namanya di bawa-bawa. Ia akan pergi ke Istana Langit? Pertanyaan itu terus berputar di kepala sang gadis. Aku dan Pangeran Edgar?

Portia lalu melirik Rena yang berdiri di belakang ketiga anggota keluarganya, terlihat sangat pucat. Pangeran Edgar meminta Rena dan Kerajaan Bintang menolak mati-matian. Hal tersebut membuat Portia benar-benar memikirkan, seberapa bahayanya itu hingga mereka bersujud memohon? Irisnya kini beralih pada mata perak Miranda yang menatap tajam, memandang ke depan. Tatapan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sebenarnya apa yang terjadi?

Di tengah murungnya keadaan yang menimpa Aula Sabit, satu-satunya pemuda berambut pirang itu malah terlihat sangat terhibur. Satu-satunya orang dengan senyum yang terukir di wajahnya, Edgar kini bersenandung kecil. "Aku tersentuh akan ucapanmu, Ratu Hana. Baiklah, aku ubah syaratnya. Putri Rena tidak akan ikut, tetapi sebagai gantinya aku mau orang terkuat yang kalian miliki. Mudah, bukan? Segera putuskan sebelum aku berubah pikiran."

Kelegaan terpancar dari wajah pasangan Bintang itu. Ken menundukkan kepala. Dari awal, Kerajaan Bintang memang berniat untuk mengirimkan kesatria terbaik mereka, jadi ini bukan syarat yang sulit. "Baik, Yang Mulia. Saya akan mengirimkan seluruh kesatria terbaik--"

"Tidak, Raja Ken." Ucapan Miranda berhasil membuat sang Raja Bintang menatapnya. Tatapan tajamnya menghilang, tetapi kini lebih buruk. Pandangan sang Ratu Bulan tidak terbaca sama sekali. "Azura baru memberikan perintah. Istana Langit baru memberikan mandat. Baik Dimensi Bintang maupun Dimensi Awan yang harusnya mengirimkan empat utusan, sekarang kalian hanya dapat mengirimkan satu utusan saja."

Pernyataan yang terlontar dari mulut sang Ratu Bulan membuat seluruh pasang mata menatapnya tak percaya, khususnya Olivia yang berada tepat di sampingnya. Sebagai sang Ratu Matahari, ia tentu tahu risiko perjalanan kelak. Perintah Azura adalah perintah teraneh yang pernah ia dengar selama wanita itu memakai mahkota di kepalanya. Bahkan, jauh lebih aneh dari ucapan Ruby yang selalu berputar-putar.

Istana Langit bersuara? Edgar memiringkan kepalanya. Kenapa Ruby tidak memberikan kabar apa-apa? Alterasi Cahaya Kuno itu mempermainkan Edgar lagi rupanya.

Ken terbelalak. Apa ia tidak salah dengar? Apa perintah itu masuk akal? Ken tidak tahu. Ia hanyalah raja dari dimensi 'rendahan' yang tidak akan pernah menjadi pemimpin keempat dimensi dan pastinya tidak tahu bagaimana atau apa yang akan terjadi sepanjang perjalanan menuju Istana Langit. Namun, meskipun begitu, satu hal yang pasti yang dapat ia simpulkan selama melihat sejarah Dimensi Bulan maupun Matahari, perjalanan itu berbahaya. Dimensi Bulan dan Matahari tidak pernah menganggap remeh hal tersebut. Perjalanan itu adalah satu-satunya kerjasama yang selalu mereka lakukan sejak dahulu kala, meskipun saat terjadi perang di antara mereka. Apa yang sedang terjadi?

"Begitu rupanya," Edgar melipat tangannya, "apa boleh buat. Berarti kalian hanya dapat mengirimkan satu orang." Selain melirik Ken, ia juga menatap pemuda berbaju putih yang menonton dari kejauhan. "Syaratku masih sama, aku meminta orang terkuat yang kau punya, Raja Ken. Dan, karena hanya satu, harus yang paling terkuat."

Ken melirik Hana yang masih bertahan di posisinya. Namun, kini kepala wanita itu terangkat. Iris kuning sang Raja Bintang segera di sambut oleh sang istri. Hana mengangguk dengan pandangan yang masih sarat akan kekhawatiran. Tatapan sang istri seakan memantulkan gambaran wajah seseorang--orang pilihan Hana untuk diserahkan pada Edgar.

Namun, Ken tidak menyetujui pilihan ratunya. Sang Raja memejamkan mata sembari menjawab, "Saya akan mengirimkan jenderal terbaik saya. Kesatria paling hebat yang pernah dimiliki Kerajaan Bintang."

"Jenderal Ley?" Edgar menggelengkan kepala, ekspresinya tidak tertarik. "Lemah."

Ken terbelalak. Dari mana Edgar tahu nama asli jenderalnya? Jenderalnya hanya di kenal dengan nama resminya, bahkan rakyat Dimensi Bintang juga mengenalnya dengan nama resmi itu. Namun, belum sempat ia bertanya lebih lanjut, sang Tuan Muda kembali membuka mulutnya.

"Cahayanya lemah. Dia juga tidak punya kekuatan elemen." Sang Pangeran Mahkota Matahari tersenyum miring. "Kau bercanda?"

"Yang ... Mulia, tentu saja itu hal yang pasti. Kami--penghuni Dimensi Bintang--tidak lahir dengan berkah cahaya murni. Cahaya kami saja lemah, apalagi kekuatan elemen?" Ken mengurungkan niatnya untuk bertanya perihal informasi jenderalnya yang diketahui Edgar. Bukan saatnya. Ia lebih dulu menjelaskan, "Meskipun begitu, Jenderal kami menguasai seni bela diri yang luar biasa--"

"Aku," Mata merah Edgar mengilat, "ingin orang yang terkuat. Seni bela diri--apapun yang kalian banggakan itu--akan selalu kalah dengan cahaya yang kuat. Ah, bahkan cahayamu putrimu lebih kuat banding Jenderal Menyebalkan itu."

"Tidak ada kesatria kami dengan cahaya kuat seperti itu, Yang Mulia!"

"Aku tidak meminta kesatriamu--kapan aku bilang harus kesatria? Aku minta orang terkuat dari dimensimu. Kuat seperti apa? Tentu saja orang yang lahir dengan berkah cahaya," potong Edgar. Pandangannya menajam. "Entah orang itu jelata, bangsawan, atau anak angkat. Aku tidak peduli statusnya. Aku menginginkan orang dengan kriteria seperti itu."

"Yang Mulia--"

"Raja Ken, jika kau tidak punya orang yang seperti itu, maka Putri Rena yang akan menemani kami dalam perjalanan." Cahaya merah perlahan berpendar di telapak tangan Edgar. Ia membalikkan telapak tangan, menghadap atas. Perkamen perlahan terbentuk dari cahaya Edgar. "Waktu habis. Sebagai hukuman atas kesalahan Putri Bintang, Rena Kira, maka aku, Edgar Soleia Redd--"

Ucapan keputusan yang akan dicetuskan Edgar berhasil membuat Hana membuka mulutnya. Sang Ratu Bintang mengabaikan tatapan suaminya dan berseru, "Ada!"

Hana menatap lurus mata pemuda di hadapannya. Cahaya di tangan Edgar meredup, membuat perkamen setengah jadi itu berubah menjadi abu saat mendengar kelanjutannya perkataan wanita itu. "Kerajaan Bintang akan mengirim satu-satunya orang kami yang diberkahi cahaya."

"Hana--"

Mengabaikan ucapan Ken, Hana kembali melanjutkan, "Satu-satunya pengendali elemen dalam sejarah Dimensi Bintang."

Seringaian terukir di wajah Edgar.

"Neo."

***

Matahari, Matahari, tinggi di Langit
Bercahaya, bersinar, berkilau selalu
Bulan, Bintang, Awan di Langit
Tunduk, bungkuk, hormat padamu

--Lagu anak-anak Dimensi Matahari.

*****

Halo!

Semoga semua dalam keadaan sehat selalu

Sebelumnya, mohon maaf atas keterlambatan update Reigns. Ada beberapa hal mendadak yang harus saya prioritaskan terlebih dahulu, sehingga bulan lalu saya belum bisa mengupdate Reigns sama sekali

Ada yang kangen Portia? Bab ini menandakan berhentinya intrik sang Matahari, jadi mulai bab berikutnya kita akan kembali fokus pada sang Putri Bulan kita, Portia! \^o^/ (Hingga Matahari kembali menyerang oho)

Saya punya pertanyaan untuk kalian. Penasaran sih XD Sejauh ini, siapa tokoh favorit dan tokoh tidak begitu favorit kalian? Kenapa?

Oke, sampai jumpa di bab selanjutnya!

:D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top