BAB XIV - AMUKAN
"Kerajaan Matahari telah tiba!"
Pintu ruangan terbuka, menampilkan para bangsawan yang didominasi dengan pakaian merah. Rombongan Kerajaan Matahari melangkah dengan penuh percaya diri memasuki aula. Rowan dengan pakaian merah beludru berlapis benang emas dan berbagai permata yang senada dengan mahkota besarnya menggandeng tangan Olivia yang dibalut gaun merah berbenang emas serta berbagai perhiasan permata berwarna senada yang menghiasi kulit kremnya. Mereka berjalan paling depan, memimpin para bangsawan diikuti Edgar yang berada selangkah di belakang raja dan ratu tersebut. Sang Pangeran Mahkota yang Ketiga itu mengikuti dengan malas.
"Selamat datang di Dimensi Bulan, Yang Mulia Raja Rowan, Ratu Olivia yang Terhormat, dan Pangeran Mahkota Edgar," sambut wanita berambut perak yang berdiri dengan anggun. Miranda. Sang Ratu Bulan merendahkan badannya, memberikan hormat pada keluarga Kerajaan Matahari.
Mata merah Edgar yang sedari tadi melirik ke kanan dan ke kiri berhenti bergerak saat menangkap sesosok gadis bergaun biru sian yang ikut memberikan penghormatan di samping Miranda. Gadis bermata senada dengan gaun sutra yang ia kenakan. Tidak salah lagi, itu sang Putri Ketiga. Sudut bibir Edgar tertarik.
Akhirnya ada hal yang menarik juga.
"Yang Mulia Ratu Miranda, Putri Mahkota Portia. Terima kasih atas sambutan kalian." Suara berat Rowan menggema. Ia menundukkan badannya, diikuti oleh Olivia dan Edgar untuk membalas penghormatan Miranda dan Portia.
"Senang dapat bertemu lagi denganmu, Miranda." Olivia tersenyum anggun, memperlihatkan lengkungan senyum yang menawan. "Selamat atas era Kepemimpinan Dimensi Bulan."
Miranda ikut tersenyum. "Terima kasih, Olivia."
Pandangan Olivia beralih, menuju gadis bergaun biru di samping kanan Miranda. "Melihat sang Putri Ketiga berdiri langsung di depan mataku, aku tidak menyangka hari ini akan datang. Kau manis dan anggun, cantik sekali, Putri Portia," puji Olivia. Suara sang Ratu Kerajaan Matahari bagaikan madu di telinga pendengarnya.
"Terima kasih. Anda terlalu baik, Yang Mulia," balas gadis yang dipanggil dengan sebutan Putri Ketiga itu. Matanya terlihat berbinar. Kagum. Portia tidak pernah melihat wanita seanggun Olivia. Sang Ratu Kerajaan Matahari benar-benar bersinar, seperti matahari. Bahkan mahkota emas yang dikenakan Olivia saja cukup untuk menandingi cahaya chandelier di aula ini.
"Semoga di awal era ini, hubungan kedua kerajaan bertambah erat," ucap Rowan dengan tenang. Rambut emas gemerlapnya bertolak belakang dengan rambut merah gelap Olivia. Mata merah Rowan mengilat.
"Kepemimpinan Kerajaan Bulan tidak akan mengecewakan Dimensi Langit," jawab Miranda. Suaranya lembut, namun tegas.
Edgar memutar bola matanya. Para petinggi kerajaan itu akan mulai berbincang tentang hal-hal membosankan. Ia kembali mengalihkan pandangannya menuju kerumunan orang yang berada di aula. Menyebalkan.
Embusan angin menerpa rambut emas Edgar. Pelan dan tipis. Pandangan sang pangeran sontak terarah ke depan. Ke arah pilar di ujung ruangan. Hmm? Pilar berwarna putih itu berpendar halus. Warna yang dingin, kontras dengan bayangan hitam yang bersembunyi di balik pilar. Bayangan yang seakan sedang menatap dalam dirinya. Gelap.
Edgar mengerjapkan mata, memutus kontak mata dengan bayangan aneh itu sebelum kembali melihat ke arah pilar. Hilang. Hah. Edgar tertawa sinis dalam hati. Dirinya sedang dipermainkan. Menyebalkan sekali. Pandangan sang Pangeran Mahkota masih lurus ke depan. Ia menunggu. Menunggu dengan tidak sabar. Benar-benar menyebalkan.
Edgar akhirnya menyerah dan mengalihkan perhatiannya menuju kumpulan orang dewasa di sekelilingnya yang sepertinya masih sedang membahas hubungan antara kedua dimensi sebelum mata merah Edgar beradu dengan mata biru sian yang sangat jernih.
Dia melihat ke arahku? Portia tersentak, menguatkan dugaan Edgar. Apa dia menyadarinya juga? Gadis berambut hitam itu buru-buru memutus kontak matanya, mengalihkan perhatiannya pada lantai. Edgar menyeringai. Sepertinya tidak.
***
"Putri, kulit Anda putih dan halus sekali! Bahkan salju dan angsa mungkin akan cemburu melihatnya!" Rena menyentuh lembut pipi kanan Portia. "Anda seperti tidak pernah terkena sinar matahari. Begitu murni!" Iris kuning Rena berbinar-binar. Yang dipuji hanya tersenyum kecil, sedikit terkejut akan sikap terus terang Rena.
"Rena, kamu hanya akan membuat dia terkejut lagi." Ren menggelengkan kepalanya. Ia menjentikkan jari, mengeluarkan sebuah bunga berkelopak putih dari dalam telapak tangannya. "Bunga yang indah untuk gadis yang cantik." Ren mengembangkan senyuman manisnya.
Portia menerima bunga pemberian Ren dan tersenyum tipis. Ini bunga yang sama, bukan? "Terima kasih, tetapi bukankah kau telah memberiku bunga di aula tadi? Kenapa kau memberiku lagi?"
Ren kembali tersenyum. "Apa saya tidak boleh memberikan Anda bunga lagi?"
Portia tersentak. "Ah, bukan begitu. Maafkan aku, aku hanya bingung saja ...."
Ren tertawa kecil. Sungguh tawa yang indah. "Tidak perlu meminta maaf, Putri. Itu hanya kebiasaan saya saja. Saya tidak tahan untuk tidak memberikan bunga pada gadis cantik seperti Anda. Jadi, bersiaplah untuk menerima beberapa biji, bukan, puluhan bahkan ratusan bunga lagi dari saya."
Mendengar jawaban pangeran dari Dimensi Bintang itu membuat Portia hanya bisa tertawa dan kembali membalas pujian Ren. Dan entah kenapa, Ren sedikit mengingatkan dirinya akan Alastair. Mungkin karena sikap ramah mereka?
"Saya sedikit cemburu." Rena mengerucutkan bibirnya.
"Cemburu?" Portia menatap Rena. "Kenapa?"
Rena menjentikkan jarinya ke arah tangan sang Putri Ketiga. "Karena bunganya! Ren tidak pernah memberikan bunga itu sebagai hadiah untuk gadis lain, bahkan untuk saya!" Gadis bermata kuning itu kini menatap saudara kembarnya. Seulas senyuman jail terukir di bibir sang putri. "Apa ini seperti yang aku pikirkan, Pangeran Ren?"
Ren hanya memberikan senyum tipis. "Sepertinya kamu salah tangkap, Rena ...."
"Oh ya?" kembaran pangeran bintang itu mengangkat sebelah alisnya, "Lalu kenapa saudara saya yang jelek ini memberikan bunga krisan kita yang berharga pada Putri Portia kita? Dua kali berturut-turut, hmm?" tanya Rena dengan nada menggoda.
"Bunga ... krisan?" Portia memandangi bunga putih di telapak tangannya. Itu nama yang baru pertama kali ia dengar. Namun, entah kenapa ada rasa familiar yang menyelimutinya. "Nama yang indah, seindah bunganya."
Rena membulatkan mata. Mulutnya terbuka. "Anda tidak tahu itu bunga krisan?"
"Rena," Ren memandang Portia dengan tatapan mata yang sayu, "Putri Portia adalah sang Putri Ketiga. Dia baru lahir di Dimensi Langit." Ren memegang bahu Rena sebelum kembali menatap Portia. "Bunga krisan adalah bunga resmi Kerajaan Bintang. Salah satu simbol dari Dimensi Bintang, Putri."
Mata Portia sedikit membulat. Kenapa ia bisa melupakan fakta itu? Ia sedikit meringis. Aku sepertinya tidak fokus. "Tolong maafkan kelancanganku, Putri Rena, Pangeran Ren." Refleks, Portia menundukkan kepala. Namun, perkataan para tetua terlintas di benaknya. Ia akhirnya hanya sedikit menundukkan kepalanya--posisi Portia jauh di atas Dimensi Bintang. "Seharusnya aku mengetahui hal dasar seperti ini sebelumnya--"
"Tidak perlu meminta maaf, Putri Ketiga. Tidak ada gunanya mempelajari sejarah Dimensi Bintang." Suara yang cukup asing terdengar. Edgar melangkah mendekat, diiringi dengan tertutupnya pintu ruangan. Ketiga pasang mata yang berada di tengah Aula Sabit yang kosong itu sontak memandang sang Pangeran Mahkota Matahari. "Lagipula itu hanya bunga pemberian, bukan asli dari Dimensi Bintang maupun di seluruh Dimensi Langit ini, bukan begitu?" tanyanya saat langkahnya berhenti di samping Portia. "Bunga pendatang yang hina."
"Pangeran Edgar, tolong jaga perkataan--"
"Tidak ada yang salah dengan perkataanku, Putri Ketiga," potong Edgar. Mata merahnya menajam, menghadap pemuda yang berdiri di depan Portia. "Bukan begitu, Pangeran Ren?"
Ren hanya memberikan senyuman tipisnya sebelum menjawab, "Benar, Pangeran Edgar. Bunga krisan bukan berasal dari Dimensi Bintang maupun Dimensi Langit ini. Itu bunga dari dimensi luar yang nenek moyang kami menyebutnya Dimensi Thersaga. Itu bunga yang dibawa oleh--"
"Aku hanya menginginkan jawaban 'ya' atau 'tidak'. Aku tidak ingin mendengarkan dongeng membosankan itu," potong Edgar. Nada bicaranya terdengar bosan.
Rena mengepalkan tangan. "Saya tidak peduli jika Anda adalah Pangeran Mahkota yang Terhormat dari Kerajaan Matahari, Tuan Muda." Ia menarik napas panjang. "Jadi, tolong perhatikan perkataan Anda pada kembaran saya dan pada sejarah Dimensi Bintang! Jangan lupa, kami juga termasuk anggota keluarga kerajaan di Dimensi Langit ini, Pangeran Mahkota Edgar Soleia Redd yang Terhormat dari Kerajaan Matahari."
Edgar mengangkat sebelah alisnya. "Kau hafal nama lengkapku? Bahkan gelar lengkapku juga? Aku terkesan, Putri Rena," ucap Edgar dengan nada terkejut yang dibuat-buat--terdengar sangat mengejek.
Rena menggertakkan gigi.
"Sepertinya kau tidak sebodoh yang kudengar."
Mulut Rena terbuka lebar. Apa yang baru saja ia dengar? Ia bodoh? "Cukup sudah!" Ini sudah kelewat batas! "Saya tidak terima lagi!"
"Lalu? Kau mau menyerangku? Dengan apa? Dengan cahaya kecilmu yang hanya bisa melakukan hal-hal kecil itu?" tanya Edgar. Suaranya benar-benar menyebalkan kini.
Portia yang menyadari panasnya keadaan segera berusaha menjauhkan Edgar dari Rena. "Pangeran Edgar, tolong ikut aku sebentar." Ia melirik ke arah Ren.
Ren segera mengambil kesempatan ini untuk menenangkan saudarinya. Rena memiliki temperamen yang buruk dan Ren tidak ingin saudarinya mendapatkan masalah sekarang.
"Tunggu sebentar, Putri Portia. Aku masih memiliki urusan di sini. Putri Rena belum menjawab pertanyaanku." Edgar menahan tangan Portia. Pandangannya masih terfokus pada Rena. "Jadi, apa yang akan kau lakukan hanya dengan cahayamu yang kecil itu?"
"Pangeran Edgar, saya rasa pembicaraan ini telah berakhir--"
Edgar bersedekap. "Aku tidak bertanya padamu, Pangeran Ren. Jangan ikut campur, cahayamu bahkan lebih kecil dari kembaranmu itu. Kau hanya bisa memunculkan dan menghilangkan benda, hal yang bahkan rakyat jelata bisa melakukannya--"
"Tutup mulutmu, Pangeran Edgar!"
"Rena, tenanglah--"
"Tenang?! Dia menghina kita, menghina kerajaan, bahkan menghina Dimensi Bintang, Ren!"
"Rena--"
Terlambat. Sebilah belati kecil melesat melewati kepala Edgar, menggores pipi sebelah kanan. Ren membulatkan matanya. Saudarinya telah melukai Edgar.
Darah telah menetes.
Darah menetes di hari negosiasi penyatuan keempat dimensi.
Edgar menyentuh pipinya yang terluka. Luka yang lebih kecil dari dugaannya, tetapi cukup untuk melanjutkan rencananya. Edgar menyeringai. "Itu lemparan yang buruk."
"Buruk?! Pangeran Edgar--"
"Rena!"
"Jangan ikut--Ayah?" Mata Rena membulat sempurna. "A ... Ayah sudah selesai rapat?"
Pintu ruangan terbuka, menampilkan raja dari Dimensi Bintang. Ken berjalan mendekati Rena, disusul oleh Hana, Olivia, dan Salju yang jauh di belakang.
"Keributan apa ini, Rena?" Ken menatap putri satu-satunya. "Katakan!"
"Ayah ... Ayah, saya--"
"Putri Rena berniat menyerangku, bukan, Putri Rena telah menyerangku, Raja Ken," potong Edgar. Ia melangkah mendekati Ken hingga jarak mereka hanya sebatas satu langkah. Tangannya perlahan menjauh dari pipinya, memperlihatkan luka yang telah Rena perbuat.
"Edgar!" Olivia segera menghampiri Edgar. Ia menyentuh pipi putra tirinya. "Kau terluka!"
Edgar menghiraukan Olivia dan masih menatap mata Ken. "Kau tahu akibatnya jika Pangeran Mahkota Matahari terluka, bukan?"
Mulut Ken terbuka lebar sebelum mengalihkan pandangannya ke lantai, menunduk dalam-dalam. "Tolong maafkan kelakuan putri hamba, Yang Mulia!"
Hana ikut berdiri di samping Ken dan segera menunduk. "Yang Mulia! Saya benar-benar minta maaf atas perlakuan putri saya!"
Edgar tersenyum miring. "Maaf? Apakah memberi maaf semudah itu?" Suaranya mendingin.
Ken menjatuhkan tubuhnya, bersujud. Aksinya itu berhasil membuat seluruh pasang mata di ruangan ini membeliak--kecuali Edgar.
"Ayah!" Rena segera menghampiri Ken. "Apa yang Ayah lakukan?!"
"Raja Ken ...." Olivia menggantungkan kalimatnya, kehabisan kata-kata. Buku-buku etiket Kerajaan Matahari yang ia pelajari tidak pernah membahas seorang raja yang bersujud pada pangeran. Posisi Dimensi Bintang memang di bawah Dimensi Matahari, tetapi apa ini pantas? Olivia tidak tahu. Ia menghadap Edgar. Namun, Edgar malah melebarkan seringaiannya.
"Raja Ken, kau beruntung aku sedang baik hari ini." Ucapan Edgar membuat pria buncit itu mendongak. Netra kuning sang Raja Bintang segera disambut oleh netra merah darah Edgar. "Putri Rena aku maafkan ... dengan satu syarat."
"Satu ... syarat?" ulang Ken. Suaranya nyaris bergetar.
Edgar mengangguk. Mata merahnya mengilat. "Dimensi Bintang akan mengirimkan Putri Rena untuk menemani aku dan sang Putri Ketiga dalam perjalanan menuju Istana Langit."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top