BAB XI - MERAH

Matahari mulai terbenam, membuat cahaya merahnya perlahan redup. Suara hiruk pikuk kegembiraan semakin menjauh, menandakan bahwa sudah cukup lama kaki pemuda bermata merah itu berjalan. Temperatur udara perlahan meninggi, memberi tahu akan tujuan sang pemuda yang tidak jauh lagi.

Tidak lama, langkah pemuda itu melambat, sebelum akhirnya terhenti sempurna. Kepalanya mendongak perlahan, menatap langit merah yang mulai memunculkan rona biru. Burung-burung sore berterbangan, kembali pulang ke sarang hangat mereka di balik pegunungan pasir. Bulan sebentar lagi akan tiba, menggantikan Matahari yang bertakhta di langit.

Sang pemuda mengalihkan pandangan, kini mata tajamnya bergerak melirik sekeliling. Melihat, menginspeksi, membaca berbagai aura pohon yang mengelilingi lahan kecil tempatnya berdiri. Dirinya mencari, membuka semua aura yang dapat memberikan petunjuk akan tujuannya.

Lama waktu berlalu. Begitu lama. Warna biru sudah menyebar lebih luas di langit merah yang menggelap. Begitu luas hingga kini warna merahlah yang terlihat seperti bintang-bintang kecil di dalam lautan. Sang Bulan akan muncul, dan masih belum ada tanda-tanda akan tujuan sang pemuda.

Sang pemuda memejamkan mata. Mengosongkan pikiran adalah hal yang kini harus dilakukannya. Membiarkan ketenangan menyelimuti pikirannya. Ketenangan yang murni.

"Ruby."

Hening.

Matanya perlahan terbuka, memperhatikan pemandangan yang sama. Tidak ada tanda-tanda kemunculan Alterasi Cahaya yang ia sebut namanya. Sang pemuda menarik napas panjang, masih menunggu dengan tenang. Harus tetap tenang.

"Jangan menguji kesabaranku."

Sunyi.

Beberapa saat telah berlalu. Namun, tetap saja tidak ada tanda-tanda yang ia tunggu. Sang pemuda terdiam, bahkan napasnya serasa berhenti sejenak. 'Dia' benar-benar sedang mempermainkannya. Hal yang sangat menyebalkan bagi sang pemuda.

Benar-benar menyebalkan.

Suara ledakan tiba-tiba terdengar dengan begitu cepat, tepat terjadi di belakang sang pemuda. Sensasi panas sontak merambat menyelimuti punggung tegaknya. Sedetik kemudian, ledakan lain kembali terdengar, kini meledak secara acak di berbagai arah mengelilingi tempat sang pemuda. Dalam sekejap, lapangan tempatnya berdiri di selimuti cahaya merah.

Api.

Kobaran api mengelilingi daerah ini, menari-nari mengikuti irama angin yang berdansa dengannya.

Sang pemuda menarik napas, menghirup udara dengan rakus, membiarkan gumpalan asap merah memasuki rongga hidungnya. Ah, ia menyukai hal ini. Begitu suka. Aroma api yang membara adalah hal yang begitu lezat.

Ledakan kembali terdengar, membuat warna merah benar-benar mewarnai tempat sang pemuda berdiri. Kobaran api perlahan membesar, mengelilingi seluruh lapangan dengan utuh. Asap-asap merah mengabutkan pemandangan. Pemandangan yang sungguh kontras dengan birunya langit.

Namun, kegembiraannya tidak berlangsung selama yang ia harapkan. Perlahan, sensasi aneh menerpa wajah pemuda. Sensasi dingin, sungguh berbeda dengan rasa panas yang menyelimutinya. Udara di sekitar pemuda mulai bergerak di luar jalur yang ia tetapkan. Seketika, sebuah pusaran angin melingkari diri sang pemuda, membentuk perisai yang menyelimuti tubuhnya. Angin berembus semakin kencang, dengan pusaran angin lainnya yang kini bergerak memutari kobaran api, dengan sigap berusaha mematikan lautan merah ... tidak, pusaran angin bukan berembus menerjang api, tetapi sebaliknya. Api-api di sekitar sang pemuda mengecil akibat kehilangan udara yang bernari bersamanya. Angin ribut itu menyerap udara yang berada dalam api.

Angin ribut yang menyebalkan.

"Kau berniat membakar lapangan ini, hah?"

Suara yang menyebalkan itu kembali muncul di telinga pemuda. Selalu datang di saat yang tidak diperlukannya. Mengganggu diri sang pemuda. Sangat.

"Kau itu benar-benar tidak ada kerjaan, ya?"

Sang pemuda membalikkan badan, menghadap sang pengganggu yang berdiri di ujung lapangan. Melihat ekspresi menyebalkan yang ditampilkan sang pengganggu itu membuat seringaian di wajahnya merekah. Matanya mengilat. Merah.

"Menyebalkan seperti biasanya, Alastair."

***

Suasana halaman Istana Matahari terlihat lebih ramai dari biasanya. Para pelayan berlalu lalang membawa berbagai barang. Para bangsawan laki-laki dan petinggi berbincang ria, entah saling menyombongkan posisi dan kekayaan mereka. Sedangkan para bangsawan perempuan saling merendahkan maupun mengagungkan gaun, perhiasan, maupun prestasi putra-putri mereka satu sama lain.

Pemandangan yang biasa bagi pemuda berambut emas yang baru menginjak usia dewasa menurut peraturan yang berlaku. Mata merah darahnya mengerling, mengeluarkan aura superior bagi yang berani menatapnya. Aura yang begitu menusuk, sepadan dengan panasnya matahari pagi yang menyapa tempat itu.

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Langkah yang tergesa-gesa.

"Hei, Tuan Muda. Tidak baik meninggalkan orang yang telah susah payah menjemputmu. Kau tahu bagaimana repotnya aku?" gerutu pemuda yang berjalan mendekat dari arah belakang.

Pemuda yang disapa hanya mengangkat bahunya, tidak sekalipun melirik ke arah belakang. "Yang kau lakukan hanya datang ke lapangan tanpa diundang dan memadamkan apiku dengan santainya." Suara yang berat dan dalam keluar dari mulutnya, kontras dengan wajah muda layaknya anak laki-laki. "Sungguh menyebalkan, Alastair."

Alastair tersenyum, senyuman yang sangat menyebalkan di mata lawan bicaranya. "Untuk informasimu, Tuan Muda, pertama, aku datang ke hutanmu atas undangan Ratu Olivia. Kedua, aku menyelamatkan lapangan kesayanganmu itu dari api tuannya. Percayalah, aku tidak akan repot-repot memadamkan apimu itu dan membiarkan dirimu terlahap api jika kau memilih tempat yang lain." Ia mengangkat kedua bahu. "Berani juga kau membakar Lapangan Agung, Tuan Muda Edgar."

Edgar memicingkan mata, melirik tajam pemuda berambut merah yang kini berada di hadapannya. Namun, sepertinya usaha Edgar gagal, Alastair tidak terlihat ketakutan, malah terlihat semakin menyebalkan dengan senyumnya yang kian menyebalkan.

"Kau tahu, kau terlihat semakin menyeramkan saat menatap orang dengan tatapan seperti itu. Bagaimana kau bisa mendapatkan seorang gadis jika terus-menerus seperti ini?" Alastair terkekeh. Ia mengibaskan tangan kanannya, terlihat seperti sedang mengipas. Namun, sebenarnya ia sedang menunjuk sederet gadis yang mencuri pandang dari jarak jauh dengan gerakan tangannya.

"Untuk informasimu juga, Tuan Sok Tampan, seluruh gadis yang selalu melirikku sepertinya memiliki pandangan yang jauh berbeda darimu," balas Edgar santai. Sorot matanya menunjukkan para gadis bangsawan yang ketahuan mencuri-curi pandang ke arahnya.

Alastair ikut melirik sekelilingnya. "Maaf untuk mengacaukan ilusi indahmu, Tuan Pemarah. Namun, sepertinya mereka sedang melirikku, Alastair Ashnight." Alastair melambaikan tangannya ke arah segerombolan putri bangsawan yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Gadis-gadis itu membalas sapaan Alastair, menampilkan senyuman anggun yang telah mereka pelajari sejak kecil. Tak lupa, si Pemuda Bermata Kelabu itu menebarkan pesona mematikannya, membuat gadis-gadis bergaun mewah itu membalikkan kepala mereka atau menutupi wajah mereka dengan kipas berwarna-warni yang mereka genggam. "Lihat itu?" Alastair mengangkat sebelah alisnya.

"Bangsawan macam apa kau ini?" cibir Edgar.

"Bangsawan perhatian impian para gadis," jawab Alastair dengan bangga.

Edgar mengabaikan ucapan yang baru saja ia dengar. Kepalanya menoleh ke arah kiri, arah yang berlawanan dari 'penggemar' Alastair. Mata merah pemuda itu beradu pandang dengan beberapa gadis yang melirik ke arahnya. Gadis-gadis yang terlihat sedang pura-pura berbincang itu langsung memutus kontak mata mereka, memberikan hormat, menghindari tatapan sang Pangeran Mahkota.

"Tadi sudah aku katakan bukan? Tatapanmu itu menyeramkan. Kau membuat gadis-gadis itu ketakutan." Alastair menggelengkan kepalanya. "Sebaiknya kau belajar cara untuk tersenyum lembut daripada cara untuk tersenyum miring, Tuan Muda."

"Aku tak butuh saran darimu," cemooh sang Tuan Muda. "Dasar menyebalkan."

"Kau sudah mengatakan itu ratusan kali. Tidak ada kata lain, hmm? Kau mungkin bisa menggantinya dengan 'dasar mempesona' dan sebagainya." Alastair membusungkan dadanya.

"Dasar sok mempesona."

Alastair tertawa kecil. Sudah lama ia tidak menggoda pangeran mahkota kesayangan Kerajaan Matahari itu. Ia sangat senang. Sungguh.

Edgar memutar bola matanya. "Kau tahu kalau aku bisa menghukummu dengan mudah karena bersikap tidak hormat padaku, bukan?" Ia tersenyum miring.

Alastair mengangguk senang. "Dan, kau juga tahu kalau kau tidak akan pernah melakukan itu padaku, bukan?" jawab pemuda berambut merah itu dengan cepat. Alastair mengedipkan matanya. Lagi.

Edgar menghela napasnya. Tiga hari ini suasana hatinya sedang tidak baik. Buruk. Begitu buruk. Lawan bicaranya pun tahu betul akan hal itu. Lalu kenapa pemuda di depannya ini malah berusaha merusak suasana hatinya lagi?

"Alastair Ashnight, kenapa kau belum pergi juga?" Edgar melangkahkan kakinya, berjalan meninggalkan Alastair.

Alastair berlari kecil sebelum mensejajarkan langkahnya dengan Edgar. "Mengusirku begitu cepat, Tuan Muda?"

"Tanganmu sudah sembuh. Kau sudah berminggu-minggu bermanja di sini. Waktu yang kau habiskan dengan ibumu juga sudah lebih dari cukup." Ia melirik Alastair yang kini berjalan sejajar dengannya. "Tidak ada alasan bagimu untuk tetap berada di Dimensi Matahari lebih lama lagi."

"Itu tidak sepenuhnya salah." Alastair mengangkat bahu. "Sedikit pembelaan, seperti yang aku bilang tadi, Ratu Olivia secara personal mengundangku ke Perjamuan Pagi sebelum aku kembali ke Dimensi Bulan sebentar sore," jelas Alastair. Ia memerhatikan ekspresi datar Edgar. "Apa kau tidak sedih aku akan pergi? Aku hanya dapat mengunjungimu setiap tiga purnama sekali, lho."

Tatapan sinis Edgar sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pemuda berambut merah di sampingnya.

Alastair mengembuskan napas. "Kau benar-benar membenci kehadiranku ini, ya? Padahal aku satu-satunya temanmu, Tuan Muda."

Langkah Edgar terhenti. "Kau sudah tahu jawabannya." Kini, kedua pemuda berusia delapan belas gerhana itu telah memasuki pintu istana.

Alastair berdecak sembari menggelengkan kepala. "Kau seharusnya beruntung memiliki teman yang sangat populer di Dimensi Bulan!" Ia kembali tersenyum. "Bahkan aku juga lebih populer di sini banding--"

"Bicara soal dimensi itu," sudut bibir pemuda berpakaian emas itu tertarik, "membuatku mengingatnya lagi. Kau tahu, dibandingkan berada di Dimensi Matahari, bukankah kehadiranmu lebih diperlukan di Dimensi Bulan? Era Bulan Biru Sian telah dimulai sejak kemarin."

Edgar menyeringai lebar. "Sang Putri Ketiga sudah datang, bukan?"

***

Beberapa meja besar dan panjang membentang dengan kokoh, memenuhi ruang makan istimewa. Para pelayan berjalan ke berbagai arah, membawa berbagai hidangan kecil ke meja yang telah ditugaskan. Aroma lezat tercium, menggugah selera makan yang telah dinantikan.

Edgar menatap gelas anggurnya, melihat pantulan mata merahnya. Kehilangan waktu tidur adalah hal yang ia sesalkan saat berlama-lama di Lapangan Agung. Matanya menajam. Etiket memaksa dirinya untuk mandi, meskipun sedikit waktunya yang tersisa itu dapat digunakan untuk tidur sebentar. Namun, tidak ada gunanya menyesalkan hal itu lagi. Ia memejamkan mata sejenak. Ruby harus membayar pada Edgar.

Pandangannya perlahan beralih, melirik ke arah kiri, kursi sang ratu. Kursi merah berlapis emas itu belum tersentuh sama sekali. Kosong tanpa kehadiran tuannya. Perjamuan ini tidak dapat di mulai tanpa kehadiran sang ratu, menyebabkan para tamu senantiasa harus menahan rasa lapar mereka lebih lama lagi untuk mencicipi hidangan utama khas yang hanya terdapat pada perjamuan ini.

Edgar kembali mengalihkan pandangannya, melirik ke arah kanan, kursi-kursi yang diduduki oleh para bangsawan tinggi yang mendapat kehormatan untuk duduk di meja utama bersama sang ratu dan dirinya. Pria dan wanita berpakaian mewah itu saling berbincang ria dan tertawa, entah saling memuji atau menjatuhkan satu sama lain. Beberapa dari mereka sempat berbincang kecil dengan sang pangeran sebelum berakhir dengan singkat seperti biasanya.

Pandangan Edgar mengarah ke meja panjang yang tersebar di seluruh penjuru ruangan, sebelum akhirnya ia membuat kontak mata dengan seorang pemuda yang sedang bercanda ria dengan bangsawan kelas menengah di meja mereka. Mata kelabu terang yang kontras dengan mata cokelat yang mengelilingi meja makan itu semakin memudahkan Edgar untuk menemukan Alastair dengan cepat di antara lautan merah. Baju sang pemuda telah berganti dengan baju yang lebih mewah. Alastair tersenyum lebar saat mendapati tatapan sang pangeran sebelum menebarkan senyuman manisnya pada seorang gadis yang sedang berusaha menarik Alastair dalam percakapan kecilnya dengan teman-teman perempuannya.

Edgar memutar bola matanya. Ia lalu melirik dua bangsawan muda yang berkesempatan duduk di mejanya. Mereka terlihat asyik berbincang, tanpa sedikitpun melirik ke arah Edgar--dan Edgar tahu betul, mereka menyadari tatapan matanya. Apa aku terlalu menyeramkan untuk diajak bicara oleh bangsawan muda lainnya?

Edgar menutup matanya. Sejauh ini hanya Si Penebar Pesona dan para bangsawan tua atau petinggi istana yang berani memulai percakapan dengannya, itupun hanya para bangsawan tinggi yang sering keluar masuk istana dengan santainya. Bahkan saat orang tua mereka--para bangsawan tinggi--telah bersusah payah untuk menjalin hubungan dengan penerus kerajaan ini dan membuka jalan bagi anak-anak mereka, lalu kenapa tidak ada satupun anak yang mengambil jalan berbunga itu?

Edgar penasaran. Apa anak-anak mereka terlalu takut dengannya sehingga mengabaikan kesempatan emas mereka? Atau mungkin mereka bersekongkol dan berniat menggulingkan dirinya kelak? Entahlah. Memikirkan itu membuat rasa lapar Edgar semakin menjadi-jadi.

Edgar mengembuskan napasnya. Demi api Ruby, kenapa Ratu Olivia lama sekali datangnya?

"Pangeranku." Sebuah suara berat berhasil menarik perhatian Edgar. Sang pangeran mengalihkan perhatiannya menuju sumber suara, menatap seorang pria paruh baya berambut merah yang duduk di seberangnya. Pria paruh baya yang ditatap tajam oleh Edgar tersenyum tipis, terlihat sudah biasa menghadapi aura superior sang pangeran. "Putriku akan segera memasuki usia dewasa dalam tiga hari. Pelayan Anda yang rendah hati ini ingin mengundang Anda pada perayaan itu," lanjutnya pelan. Ia menyerahkan sebuah perkamen kecil.

Edgar menerima perkamen merah itu dengan kesopanan palsu. Tatapan tajamnya kian mengeras. Ah, putri keduanya yang tempramental. Terakhir kali Edgar bertemu dengannya, ketidaksukaan jelas tergambar saat melihat kehadiran Edgar yang merusak suasana pestanya.

"Tuan Leo, kau telah melayani kerajaan dengan baik. Aku pasti akan datang." Edgar menutup perkamen yang diberikan Leo, menaruhnya di bawah meja--di atas pangkuannya--dan menghilangkan perkamen merah itu dalam sekejap.

"Terima kasih telah menerima undangan kami, Tuan Muda." Mata cokelat Leo menatap ekspresi pemuda di hadapannya. "Putriku pasti akan senang sekali mendengar kabar ini."

Putrimu akan marah mendengar kabar ini.

Suara pintu terbuka memotong percakapan Edgar dengan Leo. Sang ratu, Olivia telah tiba di ruang perjamuan. Rambut merah Olivia tersanggul rapi, dilingkari oleh sebuah mahkota emas kesayangannya. Mata cokelat indahnya menyusuri penjuru ruangan. Para tamu bangkit dari kursinya dan memberikan penghormatan. Olivia merekahkan senyuman menawannya dan melangkah pelan memasuki ruangan, membiarkan gaun merah darahnya menyapu lantai.

Olivia berjalan menuju meja utama, berdiri di depan kursi sang ratu. Ia memberikan senyumannya pada Edgar, mengisyaratkan Maaf, kau pasti sudah lapar, bukan?

Edgar membalas senyuman sang ratu. Senyuman miring andalannya seakan sedang berkata, Ya. Sangat.

Olivia mengalihkan perhatiannya, dengan sengaja menghindari tatapan Edgar. Para tamu yang hadir tetap terdiam di tempat mereka. Pandangan para tamu menghadap Olivia.

"Terima kasih atas kehadiran kalian di Perjamuan Pagi," buka sang Ratu. "Seperti yang kita tahu, kemarin adalah Hari Pertama bagi Dimensi Matahari. Untuk itu, mari kita rayakan kedatangan era baru bagi dimensi ini. Era Matahari Kedelapan Belas." Tangan Olivia bergerak, mengambil gelas emas yang telah disiapkan di sisi kanan area mejanya. Segel yang melindungi minuman Olivia terbuka tepat saat jemari sang ratu menyentuh ganggang gelas bermotif matahari miliknya. Dengan gerakan anggun, ia lalu mengangkat gelas anggurnya ke atas. "Era Matahari Merah Bata!"

"Era Matahari Merah Bata!" Para bangsawan mengangkat gelas mereka.

"Era Matahari Kedelapan Belas." Edgar bersulang. Ia mendekatkan gelas emas yang ia genggam pada bibirnya. Sudut bibirnya tertarik.

"Hidup Kerajaan Matahari!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top