BAB VIII - PENYERANGAN

Portia membentangkan kedua tangannya, menghirup udara segar dengan rakus. Entah kapan terakhir kali ia menghirup udara segar. Semenjak ia terbangun dari pingsannya, ia harus kembali melanjutkan pelajarannya yang tertinggal bersama Darrel--dengan lebih cepat dan sedikit tergesa-gesa.

Waktu Portia begitu padat, ia bahkan sampai lupa akan tujuan sebenarnya untuk tinggal di sini. Hingga sekarang, Portia belum menemukan petunjuk--apalagi jawaban--akan takdir anehnya. Belakangan ini ia sibuk menghafal ini dan itu, juga berlatih mengontrol cahayanya.

Dan kini, selesai sudah hari-hari belajarnya yang menyenangkan, tetapi kadang membosankan. Berkat daya ingatnya yang kuat, Portia telah menguasai segala hal yang ia perlukan. Ia juga mulai berhasil mengontrol cahayanya dan sekarang dapat mengeluarkan kekuatan berwarna sian tersebut secara sadar meskipun, ia selalu pingsan setelah mengeluarkan cahayanya. Hal yang memalukan bagi seorang bergelar Putri Ketiga tersebut. Namun setidaknya, Portia kini pingsan setelah mengeluarkan sihir, bukan sebelum mengeluarkannya seperti pertama kali.

Senyuman manis merekah di bibirnya saat mengingat hal-hal yang ia pelajari. Setidaknya, ia sudah menyerupai seorang putri sekarang. Dan kini, Putri Mahkota Kerajaan Bulan itu memiliki setengah hari bebas sebelum perayaan besar yang terbuka untuk umum tiba. Kebebasan sebelum ia berhadapan dengan utusan atau bahkan penguasa dimensi lain.

Kebebasan sebelum esok tiba.

Portia menutup pintu di belakangnya. Ia lalu menatap sekeliling. Sebuah taman yang tidak asing bagi matanya. Taman Bulan. Taman miliknya. Keindahan taman mungil di sudut Istana Bulan ini hampir setara dengan Hamparan Bulan, baik saat pagi maupun malam hari. Salah satu tempat di mana--kecuali hari tertentu--hanya sang Putri Ketiga saja yang boleh memasukinya dengan bebas. Tempat berlindung di tengah dimensi asing yang terbentang di matanya.

Tempat di mana ia terbebas dari segala aturan sebagai sang Putri Ketiga.

Portia melangkah pelan, bersamaan dengan cahaya pagi yang menerang. Sinar hangat mentari membiasi taman mungil ini. Membuat bunga-bunga pagi di taman ini mulai bermekaran, menghiasi indra penciuman gadis berambut hitam itu. Berbagai serangga cahaya mulai berterbangan, terpikat oleh aroma manis yang dipancarkan oleh bunga-bunga yang terbangun dari tidurnya. Bunga-bunga malam mulai menguncup, menyembunyikan sari mereka dan kembali tidur hingga malam hari.

Damai sekali! Portia memejamkan mata, mendengarkan alunan melodi yang berasal dari para serangga melodi yang berterbangan di sekitar taman. Alunan yang memanjakan telinga membuat pikiran gadis bergaun selutut itu menjadi sangat santai. Langkahnya pelan, mengikuti irama melodi. Maju dan mundur. Seakan-akan sedang menari.

"Andai waktu bisa berhenti--"

Sang Putri Ketiga membuka kembali matanya dengan cepat saat punggung gadis bergaun itu menabrak salah satu pilar gazebo yang berdiri di tengah taman. Ia segera membalikkan badannya. Matanya terbelalak.

"Aneh sekali." Mata biru siannya menelusuri gazebo kecil yang berdiri kokoh di depannya. Gazebo yang berada tepat di tengah taman. Empat pilar gazebo itu berpendar, memancarkan cahaya hitam dari ukiran-ukiran rumit yang terukir.

Sejak kapan ada gazebo di Taman Bulan?

Portia melirik sekitar sebelum kembali menatap gazebo ajaib. "Jika ingatanku benar, maka saat itu ... aku pertama kali terbangun di tempat ini, tepat di sini." Portia melangkah memasuki gazebo dan berdiri di tengah-tengah, di antara empat bangku yang saling berseberangan, membentuk sebuah lingkaran sempurna.

Portia lalu mendudukkan dirinya pada salah satu bangku gazebo, mengingat kembali memori yang selalu terbayang saat ia lengah. Ingatan akan kedatangannya. Tidak ada gazebo apapun, ia ingat betul. Taman ini hanya dipenuhi rumput dan tanaman bunga-bunga, ia membayangkan kembali hari itu.

Apa aku salah lihat? Portia termenung. Saat itu gelap, tetapi bagi mata Portia, cahaya bulan sudah cukup untuk menerangi tempat ini.

Keanehan apa lagi ini?

Decitan pintu memotong pikiran Portia. Suara yang terdengar sangat samar, tetapi berhasil ditangkap oleh indra pendengarannya. Portia bangkit, menoleh ke arah sumber suara. Ia melangkah kecil--empat, lima langkah--menuju arah pintu yang berada di ujung kanan taman.

Pintu kembali tertutup, memperlihatkan seorang pemuda berpakaian biru navy dengan corak perak yang sangat mewah. Sebuah motif ukiran bulan purnama terjahit rapi di sisi tengah belakang pakaiannya. Mata kelabu pemuda itu melirik ke berbagai arah, sebelum akhirnya bertemu dengan gadis pemilik mata sian yang menatapnya dengan tatapan keheranan. Senyumnya mengembang penuh warna, entah karena ia akhirnya beradu pandang dengan gadis yang dicintai oleh seluruh rakyat dimensi ini atau karena aksi cerobohnya ketahuan dengan bodohnya dan gagal dalam sekejap. Ia melangkah pelan menuju tengah taman, masih setia dengan senyum konyolnya.

"Sang Putri Ketiga." Pemuda berambut merah itu membungkukkan badannya, memberi hormat. "Suatu kehormatan dapat bertemu dengan gadis secantik dirimu."

Portia merendahkan badannya, membalas hormat pemuda di depannya. Sudut matanya menangkap berbagai pangkat yang menghiasi pakaian mewah yang dikenakan lawan bicara. Seorang bangsawan. "Suatu kehormatan juga dapat bertemu denganmu, Tuan ...?"

"Alastair Ashnight, Kesatria Tingkat Lima, Pengawal Pribadi Putri Mahkota, siap melayani Anda." Alastair tersenyum kikuk. "Maafkan kelancangan saya memasuki taman ini tanpa izin, Putri."

Portia terkekeh. "Ternyata rumor itu benar." Ia akhirnya bertemu dengan bangsawan campuran yang namanya sangat sangat sering ia dengar. Bangsawan dengan reputasi yang campuran juga--setengah terdengar baik, setengah terdengar buruk.

Alastair tersenyum kecut. "Dan dari mana Anda mendengar rumor tentang saya?"

"Para dayang dan pelayan," sahut Portia dengan polosnya. "Ah, Tuan Darrel juga."

Alastair menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sepertinya ada banyak kesalahpahaman di sana, Putri."

Portia menggelengkan kepala. "Sepertinya." Tawanya terhenti. "Mari duduk."

Kening Alastair mengerut. "Duduk?" tanyanya, yang segera disambut dengan anggukan.

Portia membalikkan badan, menghadap tengah taman sebelum berhenti dengan mendadak.

"Duduk di bawah? Maksud saya, duduk di atas hamparan rumput?"

Hening. Tidak ada balasan atas pertanyaan Alastair.

"Ah, ya, tentu saja." Portia membalikkan badannya dan kembali tersenyum. Gazebo itu menghilang. Menghilang tanpa jejak. Benar-benar aneh.

Dengan ragu, Alastair ikut menjatuhkan dirinya di atas empuknya rumput saat melihat Portia melakukan hal yang sama. Untung saja rumput-rumput ini tidak bernyawa seperti tanaman lainnya, jadi Alastair tidak perlu merasa bersalah saat menimpa mereka ataupun mereka yang bergerak-gerak tidak terima saat diduduki. Rumput-rumput yang memang berfungsi sebagai tempat pijakan kaki ini telah dilindungi oleh cahaya; sebuah selimut yang melindungi mereka dari seberapapun berat beban yang menimpa, juga selimut yang menyembunyikan gerak-gerik mereka.

Ia melirik Portia. Gadis itu tidak bersuara, membuat Alastair juga ikut diam. Keduanya terserap pada lamunan masing-masing. Satu memikirkan keanehan gazebo yang sangat aneh, sedangkan satunya lagi mencoba membaca pikiran lawan bicaranya.

Alastair berdeham, akhirnya memecah keheningan yang menyelimuti taman. "Anda tahu, awalnya saya tidak begitu menyukai posisi ini. Menjadi pengawal pribadi Anda, sama saja dengan terikat dengan aturan yang lain lagi." Sorot matanya terarah pada gadis di samping kirinya. "Namun, sepertinya Anda ... unik, Putri." Sudut bibirnya tertarik, tersenyum penuh arti.

Portia tersadar dari lamunannya. "Mungkin ... karena aku baru lahir di sini." Ia mengalihkan pandangannya menuju Alastair. Mata mereka kembali bertemu. "Kenapa kau tiba-tiba menceritakan ini?" tanyanya pelan.

Alastair kembali berdeham. "Ah, maafkan saya."

"Kenapa kau meminta maaf?"

Mata Alastair mengerjap. Tidak menyangka bahwa Portia membalikkan permintaan maafnya. "Karena saya baru saja mengeluh tentang posisi ini?" jawabnya yang lebih menyerupai pertanyaan. "Banyak kesatria yang menginginkan posisi ini, dan saya malah mengatakan bahwa saya tidak menyukai posisi yang telah dipercayakan pada saya, di depan atasan saya sendiri bahkan! Saya sama saja seperti menghina gelar ini, bukan, ini lebih buruk, secara tidak langsung saya menghina Anda, Putri!"

"Begitu?" Portia tersenyum. Sepentingkah gelar itu? Portia bertanya-tanya. Lalu, pembelajarannya dengan para tetua dan petinggi istana kembali berputar di benak sang Putri. Ah, tentu saja itu penting.

Kepala Portia menggeleng pelan. Ia lalu teringat dengan gosip-gosip tentang pemuda di hadapannya. Seulas senyuman terukir di bibir merahnya. "Apa benar kau adalah Tuan Alastair Ashnight? Bangsawan yang senang menantang aturan?" Iris Portia berpendar lembut. Sebuah rencana kecil tersusun di otaknya.

"Katakan, Tuan Alastair. Seberapa jauh kau dapat menantang peraturan ini?"

"Apa?" Mulut Alastair terbuka. Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ia sangka akan keluar dari mulut sang Putri. Ia mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap iris sian Portia. Gadis itu masih tersenyum, menanti jawaban sang pemuda berambut merah.

Alastair berdeham pelan, mengatur posturnya. Iris kelabunya mengilat. Ia terdiam sejenak, memilih kata yang tepat, sebelum menjawab, "Sepertinya sejauh yang sedang kau pikirkan, Portia."

Pupil Portia membulat. Rumor itu benar rupanya. Alastair tidak seperti bangsawan lainnya yang gila akan kehormatan, pun tidak masalah untuk mencampakkan gelar seseorang. Kekehan kecil keluar dari mulut Portia.

"Selamat datang di rombonganku, Alastair."

Alastair tertawa masam. "Aku tak menyangka kau akan memancingku untuk membuang gelarmu itu. Tatapanmu tajam sekali tadi! Seberapa banyak gosip yang telah kau dengar, Portia?"

"Mungkin sebanyak yang kau kira."

"Kalau begitu kau pasti mendengar gosip tentang pesonaku ini, kan?" Alastair mengedipkan sebelah matanya.

"Itu hal yang paling pertama kali kudengar."

Mereka kembali beradu pandang kemudian tertawa lepas.

"Terima kasih," gumam Portia, amat pelan yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri.

"Kau tahu," Alastair menghentikan tawanya, "tidak banyak orang yang senang dipanggil tanpa gelar di istana ini, di lingkaran sosial kita lebih tepatnya. Lalu, kenapa kau ... berbeda? Ya, kau memang masih baru di sini, tetapi kau telah diikat dengan segala aturan, bukan?" Ia merentangkan kedua tangannya ke hadapan Portia. "Kau adalah sang Putri Ketiga!"

Portia mengangkat wajahnya, menatap matahari yang menyinari langit. Matanya terpejam, menikmati kehangatan yang terpancar dari sang mentari. "Taman Bulan. Kita sedang berada di taman ini, salah satu area pribadiku. Tidak ada orang yang mendengar maupun melihat gerak-gerik kita di sini. Tembok tidak memiliki telinga di sini, Alastair."

Kini Portia merebahkan badannya. Matanya yang terbuka pelan segera di sambut oleh kepala Alastair yang membelakangi matahari, membuat setengah wajahnya ditutupi siluet. "Kau ... memiliki darah Kerajaan Matahari, bukan?" tanya Portia yang segera mendapat anggukan Alastair. "Lalu kenapa kau berbeda?"

Alastair terdiam. Senyum yang menghiasi wajahnya memudar. Ia tidak menyangka Portia akan membalik pertanyaannya. Perlahan, senyuman putra kedua keluarga Ashnight itu kembali merekah. Senyuman yang penuh arti.

"Entahlah. Mungkin karena aku tidak menyukainya? Kadang aku merasa bahwa kehidupan ini tidak begitu cocok denganku." Ia tertawa hambar.

Mendengar jawaban sang kesatria membuat Portia kembali memperlihatkan senyumannya.

Alastair terdiam, memperhatikan senyuman gadis di sampingnya. Senyuman yang indah, namun entah kenapa hatinya terasa sedikit sesak. Senyuman lembut yang penuh dengan kesedihan.

"Kalau begitu, kita berdua memiliki alasan yang sama, Alastair."

***

Sore yang cerah, waktu yang sangat tepat untuk berjalan-jalan. Sore ini, sesuai dengan agenda sang Putri Ketiga yang terakhir, hari ini adalah hari di mana Portia mengunjungi pusat kota. Kehadirannya diperlukan untuk membangun ikatan antara para rakyat dengan calon pemimpin mereka. Ia harus menemani rakyatnya sebelum perayaan besok resmi dimulai.

Portia menyandarkan badannya, menikmati embusan angin yang masuk dari sela-sela jendela kereta yang tertutup gorden tipis. Kereta kudanya melaju pelan, membawa para penumpang menuju Luneter, pusat kota Dimensi Bulan.

Portia menyibak gorden keretanya, menahannya dengan tangan kirinya. Mata gadis itu menangkap pemandangan alam yang menyambutnya. Kereta kudanya melaju di atas jembatan besar, melewati sungai luas yang memisahkan dataran istana dengan dataran kota-kota yang lain. Ikan-ikan melompat dengan gembira, menyapa sang Putri Ketiga dengan hangat. Portia menampilkan senyumannya, melambaikan tangan kanannya pada kerumunan ikan beraneka ragam itu.

Kereta masih melaju dengan tenang, pemandangan air berganti menjadi tanah. Hutan kecil mengapit jalan yang dilalui rombongan Putri Mahkota Kerajaan Bulan itu. Salah satu jalan yang menuju Luneter, jalan yang cukup sepi dibandingkan jalan-jalan lain menuju pusat kota.

"Ah, aku hampir lupa." Tangan kiri Portia melepas gorden biru, menutup pemandangan yang memanjakan matanya. "Sudah lama aku ingin mengatakan ini." Ia mengalihkan pandangan, menatap perempuan yang duduk sopan di seberangnya.

Portia terdiam sejenak, mengingat kembali sifat penghuni Dimensi Bintang. "Apa kau bisa bersikap tidak terlalu formal padaku? Maksudku saat hanya ada kita berdua saja," tanya Portia. Pertemuannya tadi dengan Alastair semakin menguatkan tekadnya.

Lana mengerutkan kening. Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ia duga. "Apa yang Anda--"

"'Kau'. Pakai 'kau' saja. 'Anda' terlihat begitu kaku. Kau adalah dayang pribadiku, kan? Lagipula sepertinya umur kita tidak jauh berbeda," potong Portia.

"Putri, saya--"

"Bagaimana dengan 'aku'? Lalu cukup 'Portia' saja." Portia kembali memotong ucapan dayangnya. "Ah, ini perintah, Lana."

Bibir Lana kembali tertutup. Putrinya baru saja mengeluarkan perintah pertama untuknya. Ia menghela napas pelan. "Anda yakin?" Portia mengangguk. Lana membuang napasnya sebelum berkata, "Baiklah. Namun, itu hanya berlaku saat kita berdua saja dan di tempat yang seharusnya, Pu--Portia. Jika yang lain tahu, saya dan mungkin dirimu juga akan dihukum karena melanggar berbagai etiket."

Portia mengangguk. Ia tersenyum sumringah. Ternyata ini hal yang tidak sulit. Harusnya ia pinta saja sejak dulu.

Lana kembali melanjutkan, "Lalu, untuk kata 'saya' sepertinya akan sulit karena saya telah biasa mengucapkannya sejak kecil dan saya nyaman menggunakannya dibanding kata 'aku'. Dan, kata 'kau' bolehkah saya ganti dengan 'kamu'? Kami rakyat Dimensi Bintang lebih terbiasa dengan itu ...."

Portia kembali mengangguk. "Baiklah, Lana. Senyamannya kau saja." Portia tersenyum. "Terima kasih."

"Tuan!"

Blam!

Suara ledakan terdengar sangat dekat di telinga Portia. Kereta kudanya berhenti secara paksa, hampir membuat Portia terjatuh dari kursinya.

"Lindungi sang Putri Ketiga!"

Para kesatria yang mengawal kereta Portia segera berjaga di posisi mereka, melingkari kereta kencana dengan siaga.

"Putri!" Lana yang tidak kehilangan keseimbangannya segera membantu Portia menyeimbangkan tubuhnya kembali. "Putri--Portia, apa kamu baik-baik saja?"

"Apa yang terjadi?" gumam Portia. Ia lalu membuka tirai jendela keretanya. Pupilnya membesar, melihat jalan di sekelilingnya hancur. Penerangan jalan padam dan beberapa ambruk. "Tadi ... ledakan?"

Belum sempat Lana menahan tangan Portia, sang Putri Ketiga dengan cepat membuka pintu keretanya.

Kesatria di dekatnya terkejut dan segera memberikan hormat. "Apa yang Anda lakukan? Tolong kembali ke dalam kereta, Putri!"

"Apa yang terjadi?" tanya Portia. Ia berusaha mengontrol nada suaranya. Seperti yang Darrel katakan, dalam setiap situasi, apapun yang terjadi, ia harus bersikap tenang.

Sikap seorang pemimpin sangat berpengaruh pada rakyatnya. Jika kau terlihat takut saat bahaya mengancammu, maka rakyatmu akan jauh menjadi ketakutan, Putri.

Portia menarik napas panjang dan menatap sekelilingnya sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada kesatria yang siaga di dekatnya.

"Sepertinya penyerangan, Putri," jawab kesatria itu. "Ada kabut aneh yang disadari Ketua tadi, pergerakan-pergerakan mencurigakan. Dalam sekejap Ketua berlari ke depan lalu ledakan--"

Alastair! Portia melangkah dengan cepat ke sisi depan kereta kencananya.

"Putri!" desis Lana dan prajurit itu bersamaan.

Langkah Portia terhenti. Ia terdiam. Matanya menyusuri pemandangan di depannya.

Seorang pemuda berdiri dengan tegak di tengah kabut hitam tipis, membelakangi kereta kuda. Sebuah pedang bercahaya merah tergenggam erat di tangan kirinya. Bilah pedangnya ternoda dengan warna hitam. Tanah di sekitarnya dipenuhi warna hitam, seperti air. Warna hitam menyelimuti daerah tempatnya berdiri. Perlahan, kabut hitam yang menyelimutinya menghilang. Air-air hitam yang mengelilinginya menguap. Noda hitam di pedangnya memudar.

Alastair terdiam, menatap hilangnya musuh yang telah ditebasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top