BAB VII - PERINGATAN

Miranda menghela napas. Mata peraknya masih setia memandangi tubuh Portia yang tergeletak tak berdaya. Tangan kanan wanita itu bergerak, memunculkan sebuah cahaya pucat yang perlahan membentuk sebuah siluet tabung. Cahaya sang Ratu memudar, memperlihatkan sebuah tabung berwarna hitam yang berada di atas telapak tangannya.

Miranda menggenggam tabung yang berpendar, memerhatikan sejenak sebelum jemari panjangnya menggerakkan ukiran-ukiran rumit yang terpasang di seluruh badan tabung misterius itu. Jemari sang Ratu berhenti, diikuti dengan sebuah cahaya hitam yang muncul saat ukiran-ukiran rumit di tabung telah sepenuhnya bersatu, membentuk sebuah gambaran bulan.

Cahaya dari tabung yang dimunculkan Miranda semakin menerang sebelum hilang dalam sekejap.

Tabung itu telah terbuka.

"Sudah lama."

Miranda tidak membalas. Ia mengambil benda yang tersimpan di dalam tabung, mengeluarkannya perlahan. Sebuah belati tergenggam oleh sang Ratu.

"Sudah kuduga kau akan menggunakanku lagi."

Miranda memerhatikan belati yang ia genggam. Sebuah belati berhiaskan batu-batu permata berwarna hitam dengan ukuran yang beragam. Bilahnya berwarna biru tua, terlihat tipis dan kuat, namun juga tebal dan rapuh. Ujung belati mengilat, memantulkan sinar lampu gantung yang berada di langit-langit ruangan.

Tangan kanan sang ratu bergetar pelan. Telapak tangan sang ratu menghitam. Dengan cepat, ia lalu mendekatkan belati beraura misterius menuju dada kiri Portia. Menuju jantung sang Putri Ketiga.

"Miranda."

Portia membuka matanya, tersentak. Bibirnya terbuka, telapak tangannya terkepal.

Gadis itu melirik ke arah kiri, menyadari sensasi dingin yang menyelimuti dada kirinya. Matanya membulat saat melihat sebuah belati misterius yang berada beberapa jarak di dekatnya. Pupilnya semakin membesar saat melihat sebuah tangan yang menghitam, tangan yang menggenggam erat bilah dari belati tersebut.

"Yang ... Mulia?"

Miranda tersenyum lembut, menjauhkan tangannya dan memasukkan kembali belati yang ia genggam ke dalam tabung. Efek belati yang digenggamnya ternyata masih sangat kuat, ia bahkan tidak perlu sampai menusuk jantung Portia--dan Miranda sangat mensyukuri hal itu. Miranda lalu menutup tabung tersebut, diikuti oleh cahaya pucat yang bersinar terang sebelum menghilang bersama tabung.

Portia memperhatikan gerak-gerik sang Ratu, bukan, lebih tepatnya tangan kanan Miranda. Bibir merah mudanya kembali terbuka. "Yang Mulia ...."

"Putri, bagaimana perasaanmu?" tanya Miranda. Terdengar sedikit getaran dalam suara lembutnya, membuat Portia sedikit cemas akan kondisi sang ratu. Terlebih lagi wajah Miranda terlihat redup, tidak bercahaya hangat seperti biasanya.

"Saya ... apa Anda baik-baik saja?" Portia memandang cemas Miranda. Melihat kondisi sang ratu membuat hatinya berdenyut, seakan ia dapat merasakan hal yang Miranda rasakan.

Yang ditanya hanya terdiam, terkejut akan pertanyaan yang dilontarkan Portia. Sesaat kemudian, ia akhirnya membuka mulut. "Putri, orang yang pingsan adalah kau, tetapi kau malah mengkhawatirkan wanita tua ini--"

"Tidak," potong Portia, "Anda belum menjawab pertanyaan saya."

Miranda kembali terdiam. Bibir merah mudanya terkatup rapat. Sedetik kemudian sudut bibirnya tertarik. "Terima kasih telah mengkhawatirkan wanita tua ini, Putri. Keadaanku akan kembali seperti semula dalam sekejap. Kau tidak perlu khawatir." Tangan kirinya mengelus pelan kepala Portia, memberikan kehangatan pada tubuh dingin sang Putri Ketiga.

Dengan perlahan, Portia bangkit, mengubah posisinya, membiarkan punggung kakunya menyandar pada papan kepala kasur empuknya. Ia kembali menatap mata sang ratu, lalu mengalihkan perhatiannya pada tangan kanan Miranda yang mulai kembali memutih.

"Apa yang terjadi pada tangan Anda, Yang Mulia? Mengapa ... tadi Anda menggenggam sebuah belati?" tanya pelan Portia. Terdengar keraguan dalam suara sang Putri Ketiga. Ia menyentuh dada kirinya, mengingat kembali sensasi dingin yang menusuk jantungnya. Sensasi yang terlalu dingin.

Miranda menghela napasnya. Ia tahu apa yang sedang Portia pikiran. Meskipun ia menggenggam erat bilah belati itu, membalikkan posisi belati sehingga ganggangnya yang mendekati Portia, tetapi saat melihat posisinya tadi, sangat wajar jika Portia berpikir bahwa ia akan menusuknya. Bahkan, ia memang hendak membalikkan bilah belati dan menusuk Portia.

"Apa para tetua atau Tuan Darrel pernah bercerita tentang sang Putri Kedua saat mereka melatihmu?" Portia mengangguk pelan.

"Sang Putri Kedua?" ulang Portia. "Ah ... dia adalah putri yang membawa Kerajaan Bulan pada masa jayanya. Jika ingatan saya benar, dialah orang pertama yang mendukung Kerajaan Bintang untuk mengangkat dimensinya menjadi salah satu bagian dari Dimensi Pemimpin Langit, membuat derajat Dimensi Bintang setara dengan Dimensi Bulan dan Dimensi Matahari. Putri yang menyebabkan terjadinya hubungan kerjasama antara Dimensi Bulan dan Dimensi Bintang sampai saat ini. Juga putri yang memperburuk hubungan Dimensi Bulan dengan Dimensi Matahari." Ekspresi Portia menghitam saat mengingat kelanjutannya. "Dia ... mati dalam perang."

Miranda mengangguk. "Apa yang kau jelaskan memang benar. Kau memiliki ingatan yang kuat." Ia menuangkan teko berisi cairan berwarna hijau ke dalam gelas yang telah disediakan. Sang Ratu lalu memberikan gelas itu pada Portia, mengisyaratkan untuk meminumnya.

"Sang Putri Kedua menyukai pertarungan, sangat. Mungkin bisa dikatakan bahwa dia adalah orang yang haus akan kekuatan. Dia juga gemar mengoleksi senjata cahaya. Dan, belati yang tadi kau lihat adalah salah satu contohnya. Belati itu berfungsi untuk menyembuhkan, bahkan dapat menghidupkan kematian." Kalimat terakhir Miranda membuat mata Portia membulat sempurna.

"Luar biasa, bukan? Namun, tentu ada harga yang harus dibayar untuk menggunakan belati itu. Salah satunya adalah ini." Miranda mengangkat tangan kanannya. Hanya jemari sang Ratu saja yang masih menghitam. "Untuk membangunkan dirimu, belati ini menyerap cahaya dari tanganku. Cahayamu lepas kendali saat belajar dengan Tuan Darrel. Berkat kemampuan alaminya dalam hal defensif, Tuan Darrel berhasil menyegel cahayamu, tetapi itu belum berhasil untuk meredakannya. Cahayamu masih lepas kendali, namun itu terjadi di dalam tubuhmu, mengincar jantungmu," lirih Miranda. Sorot matanya menunjukkan penyesalan dan kesedihan.

Portia terdiam, berusaha mencerna penjelasan sang ratu. Ia berusaha mengingat hal yang terjadi di ruang belajarnya. Namun, itu semua sia-sia. Hal terakhir yang dia ingat di sana adalah ketika ia menangis tersedu-sedu dan ... detak jantungnya berdetak sangat kencang.

Miranda kembali melanjutkan, "Seluruh tabib istana telah merawatmu selama dua hari ini, tetapi tidak ada kemajuan yang terjadi. Semakin hari, bukan, setiap detik kau semakin meredup. Dan semakin lama, cahayamu semakin mendekati jantungmu. Itu memaksaku untuk menggunakan belati sang Putri Kedua." Miranda menutup matanya. "Aku tidak ingin istana ini merasakan kehilangan lagi," lirihnya. Ia lalu merentangkan kedua tangan, memeluk Portia ke dalam dekapannya.

"Aku sangat khawatir, Portia."

***

Seorang pemuda berperawakan tinggi melangkah santai menyusuri lorong panjang. Langkahnya terlihat sangat ringan, seakan-akan kakinya tidak menyentuh karpet sama sekali, melayang di udara. Ia bersenandung kecil, pun tak lupa memberikan senyuman khasnya pada para pelayan yang lewat. Mereka memberikan hormat seraya membalas senyuman memesona pemuda berambut merah tua itu. Tak sedikit pula para perempuan itu menebar pesona mereka, berharap dapat menarik perhatian salah satu pemuda paling dipuja di Dimensi Bulan.

Tangan kanan Alastair bergerak merapikan poni merahnya, membuat mata kelabu beningnya terlihat dengan sempurna. Langkah kakinya masih setia bergerak mengikuti karpet biru tua yang terbentang hingga ujung lorong, tempat yang ia tuju.

Langkah pemuda berbaju gelap itu terhenti beberapa jarak dari pintu besar berwarna hitam. Ia merapikan penampilannya sebelum mengetuk pelan pintu besar di hadapannya.

"Masuk."

Sebuah suara berat menyambut telinga Alastair. Tangannya kembali bergerak, mengibas udara di depannya. Mengikuti gerakan tangan yang ia buat, pintu di depannya itu perlahan terbuka. Kakinya kembali melangkah, dan pintu tersebut perlahan tertutup saat ia sepenuhnya berada di dalam ruangan.

"Tuan Alastair, kedatanganmu telah ditunggu," ucap Darrel. Pria paruh baya itu melepas kacamata yang ia kenakan dan bangkit dari kursinya. "Silakan duduk." Ia mengisyaratkan Alastair untuk duduk di sofa yang berada di hadapannya.

Alastair menggangguk dan bergerak menuju tempat yang telah disediakan. Saat mendekati sofa, kursi berbantal empuk itu sontak bergerak, melebarkan ruang bagi Alastair. Alastair mendudukkan bokongnya di udara, yang segera disambut oleh sofa yang bergerak mendekat hingga akhirnya sang bangsawan merasakan sensasi empuknya sofa berbahan bulu angsa biru raksasa tersebut.

Darrel hanya menghela napas melihat kekuatan elemen yang ditunjukkan Alastair. "Apa kondisimu telah membaik? Maafkan aku yang belum sempat menjengukmu, Tuan." Darrel mengangkat teko kecil yang berada di atas meja, menuangkan teh bulan pada dua cangkir di depannya.

Alastair kembali tersenyum. Senyuman yang sangat Darrel hafal. "Kondisiku telah membaik. Penyembuhanku berjalan dengan baik. Terima kasih atas perhatiannya, Tuan Darrel. Kau tidak perlu repot-repot, urusan istana lebih penting dibandingkan dengan diriku ini." Alastair menerima cangkir bermotif bunga lily putih itu. Ia meminumnya sedikit sebelum membuat cangkir itu melayang kembali ke atas meja. "Tetapi, tidak biasanya kau menyuruhku langsung menuju ruanganmu dibanding menuju ruang takhta."

Darrel menggeleng lemah. "Yang Mulia Ratu sedang tidak sehat. Beliau sedang istirahat hingga kondisinya membaik."

Alis Alastair terangkat. Apa ia tidak salah dengar? Orang terkuat nomor dua di Dimensi Bulan itu sedang sakit? Ini tidak pernah terjadi. Alastair hendak bertanya, tetapi wajah Darrel menyuruhnya untuk bungkam. Sang pemuda meneguk ludahnya dan memutuskan untuk mengubah topik.

"Jadi, kenapa kau memanggilku?"

Darrel meminum teh bulannya. "Aku memanggilmu untuk bicara tentang sang Putri Ketiga."

Alastair mengangguk. Tentu saja orang di depannya ini akan membahas tentang kedatangan sang Putri yang ia lewatkan. "Sang Putri Ketiga telah datang, ya? Sayang sekali aku tidak bisa menemuinya saat perayaan. Kudengar ia mewarisi kecantikan yang luar biasa, seperti sang Putri Pertama," kekeh Alastair. Ia memandang lengan kirinya. "Andai saja aku tidak terluka, aku mungkin bisa menemuinya lebih awal atau bahkan menjadi calon tunangannya saat ini. Bukan begitu, Tuan Darrel?"

Darrel berdeham. "Selera humormu belum hilang rupanya."

Senyuman merekah di bibir Alastair. Senyuman yang lebih lebar dari biasay. "Oh, ayolah! Santailah sejenak, Paman!" Ia tertawa kecil. "Kau terlihat sangat lelah. Lihat kerutan-kerutan di wajah tampanmu itu! Apa Bibi tidak pernah memberikanmu ramuan awet mudanya? Atau apa kau yang tidak pernah memakainya?" tanyanya, membuang semua formalitas.

Darrel mengembuskan napas, tidak terpengaruh sama sekali dengan candaan Alastair. "Kita sedang berada di area istana. Berapa kali harus kuperingatkan dirimu tentang eti--"

"Etika, protokol, peraturan, gelar, blablabla," potong Alastair, meniru gaya bicara Darrel. "Aku tahu, tetapi apa kita tidak bisa beristirahat sejenak?"

Darrel memijat keningnya yang tidak sakit. "Bisa, namun kau mengajak orang yang salah. Aku adalah Penasihat Kerajaan, tentu aku harus menjadi panutan." Ia melirik netra kelabu Alastair. "Lagipula, ibumu berasal dari Dimensi Matahari, seorang bangsawan bahkan. Lalu mengapa kau malah menjadi orang yang senang melanggar? Harusnya kau menjadi orang yang lebih mematuhi aturan."

Alastair mengangkat bahunya, tidak acuh. "Aku memang memiliki darah Dimensi Matahari, bukan berarti sifatku mirip dengan mereka." Ia kembali bmemberikan senyuman lucunya. "Lama-lama aku ingin pindah ke Dimensi Awan."

Darrel membuka mulut, namun dengan cepat dipotong kembali oleh keponakan tersayangnya. "Baiklah. Ada apa kau memanggilku ke sini, Tuan Darrel?" Pemuda berambut merah itu mengedipkan sebelah mata.

"Aku hampir lupa dengan urusanku karenamu," gerutu Darrel.

"Aku tahu rasanya. Pesona seorang Alastair memang tidak tertahankan." Alastair mengangguk mantap. "Tetapi, kenapa semua gadis lebih memilih kakak, ya?"

Darrel membuang napas. Ia tidak mungkin meladeni pertanyaan keponakannya itu saat ini. Bisa-bisa waktunya habis untuk menjabarkan jawaban dari pertanyaan Alastair dan akhirnya Darrel akan terlambat untuk menghadiri rapat pentingnya. "Alasan pemanggilanmu," Darrel berdeham, "adalah karena kau baru saja mendapat promosi."

Mata Alastair berbinar. Ekspresinya menerang. "Promosi? Apa aku akan menjadi Kapten Utama Pasukan Elit Cahaya?" Terdengar kesenangan dalam suara madunya.

Darrel tersenyum, membuat senyum Alastair semakin bermekaran. "Tuan Alastair Ashnight, selamat atas posisi barumu sebagai Pengawal Utama Putri Mahkota."

Tepukan tangan Alastair tertahan.

"Apa?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top