BAB V - PERTEMUAN
Portia menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia saat mendapati seekor kupu-kupu kecil. Kupu-kupu bercahaya biru itu hinggap di tumbuhan gantung yang berada tak jauh dari Portia. Kupu-kupu yang sangat familiar.
Portia menoleh ke kanan dan kiri. Nihil. Hanya ada sang kupu-kupu. Itu berarti ....
"A ... zura?"
"Kenapa kau terlihat begitu terkejut, Putri?" tanya suara misterius itu.
Portia mengerjap beberapa kali. Apa ia tidak salah dengar? Seekor kupu-kupu bisa berbicara? Sang putri mencubit pipinya, sebelum segera merutuki kelakuannya barusan. Pipi pucatnya kini mengeluarkan warna merah dan rasa perih yang cukup menyakitkan.
"Kau terlihat seperti orang bodoh. Kau beruntung hanya kami saja yang melihat kebodohanmu itu," lanjut suara yang berasal dari tempat Azura. Suara yang tidak bisa Portia kategorikan sebagai suara perempuan maupun laki-laki. Suara yang aneh.
"Kau benar-benar Azura? Kau bisa berbicara?" tanya Portia kagum. Ia mengabaikan ucapan Azura dan berlari kecil menuju tumbuhan gantung berbunga abu-abu tersebut.
"Kau sekarang berada di tempat yang penuh dengan sihir. Apa yang kau harapkan, hmm?" tanya Azura. Ia mengepak-ngepakkan sayap kecilnya yang bercahaya terang, menyebabkan butiran-butiran cahaya membasahi tanaman dan tanah di bawahnya.
"Aku tahu, tetapi ... aku tidak menyangka dapat menjadi segila ini! Ah, apa tumbuhan ini bisa berbicara juga?" Portia meneliti tumbuhan gantung berdaun hitam yang berayun-ayun terkena embusan angin.
"Semua tumbuhan dapat berbicara, Gadis Kecil. Hanya saja, tidak semua tumbuhan dapat didengar suaranya." Azura kembali mengepakkan sayap. "Satu hal yang pasti dapat memuaskan rasa ingin tahumu itu adalah semua tumbuhan dapat bergerak bebas jika mereka menginginkan berinteraksi. Bukan 'bergerak' seperti tumbuhan biasa, tetapi memang 'bergerak' bebas."
Tumbuhan panjang berdaun hitam tersebut perlahan mengangkat salah satu sulurnya dan mengarahkannya menuju Portia, seakan ingin berjabat tangan dengan gadis bermata sian itu. Portia terlihat sedikit terkejut, sebelum menggerakkan tangannya perlahan, menjabat tumbuhan di depannya. Kuncup-kuncup bunga berwarna kelabu tumbuhan berdaun panjang nan gelap itu perlahan terbuka saat terkena sentuhan sang Putri. Bermekaran bagai kipas, beraroma manis bagai gula. Bunga yang sangat unik nan cantik.
"Senang berkenalan denganmu ... um ...."
"Sulura," ucap Azura.
"Senang berkenalan denganmu, Sulura." Portia memberikan senyuman kagumnya pada tanaman merambat yang sedang ia jabat sulurnya.
"Ia juga senang berkenalan denganmu, Putri," tutur Azura.
Portia mengelus-elus daun panjang Sulura sembari mengalihkan pandangannya menuju Azura. "Kau benar-benar dapat mendengar suaranya, Azura?"
Azura mengepak-ngepakkan sayap indahnya lagi seraya berkata, "Kau pikir siapa yang sedang kau ajak bicara, Putri? Aku adalah Alterasi Cahaya yang pertama. Aku adalah pecahan pertama dari inti cahaya yang membentuk Dimensi Langit. Aku Kupu-Kupu Biru Bulan yang Agung. Berterimakasihlah karena aku telah memberikan cahayaku padamu, Portia."
Kening Portia mengerut. Ia kembali teringat akan penjelasan Miranda saat pertemuan klan pertama kali. "Benar, katanya kau yang pertama." Ia terdiam sejenak. "Berarti kau pertama yang pertama?"
Sayap Azura berkepak semakin kencang. "Bodoh. Aku heran kenapa kau adalah sang Putri Ketiga. Dirimu jauh sekali dibandingkan dengan Putri Pertama yang cerdik dan Putri Kedua yang pemberani. Mengecewakan sekali."
Mata Portia membulat sempurna. "Kau ... sedang membicarakan sang Putri Pertama dan sang Putri Kedua? Kau mengenal mereka?" tanya sang Putri Ketiga, mengabaikan ejekan yang dilontarkan oleh sang Kupu-Kupu Agung. Tangannya terlepas dari sulur Sulura, perhatiannya telah sepenuhnya berfokus menuju Azura.
Kupu-kupu kecil itu perlahan terbang, mengelilingi Portia dengan santainya. "Semua penghuni dimensi ini mengenal mereka berdua. Mereka berada dalam sejarah, baik sebagai pahlawan maupun--"
"Bukan! Bukan itu yang aku maksud!" sela Portia. Volume suaranya perlahan mengecil saat melanjutkan, "Maksudku adalah apa kau mengenal mereka secara personal? Kau bilang kau adalah Alterasi Cahaya yang pertama, berarti kau telah melihat semuanya. Kau mengetahui sejarah, bukan, kau melihat sejarah! Para tetua mengatakan mereka hanya mengetahui sedikit kebenaran tentang puisi kuno itu, tetapi kau pasti mengetahui kebenaran puisi itu, jadi ...." Sekilas, sebuah harapan muncul di mata Portia. Mungkin Azura tahu jawaban atas takdir anehnya. Mungkin Portia akan menemukan jawaban lebih cepat dari perkiraannya. Mungkin ... ia akan bebas dari sini.
"Ya atau tidak. Jawaban mana yang ingin kau dengar?" tanya Azura saat ia tepat berada di samping telinga Portia.
"A-apa?"
"Jawaban yang menyenangkan atau jawaban yang menyakitkan?"
Mulut Portia ternganga. Kebingungan dengan jelas tertulis di wajah sang Putri. Ia tidak mengerti. Apa maksudnya?
"Kita akan bertemu kembali, Putri. Kuharap kau menjadi sedikit lebih pintar saat kita bertemu lagi." Azura terbang beberapa jarak ke belakang, menjauhkan dirinya dari Portia. "Ah, sedikit saran dariku, Putri. Jangan biarkan cahayamu teredup." Cahaya yang mengelilingi tubuh Azura semakin bersinar terang, membuat Portia terpaksa mundur beberapa langkah.
"Tunggu, Azura! Apa maksudnya itu? Ah, jangan menghilang dulu!" Cahaya Azura semakin membesar. "Kalau begitu, kapan kita akan bertemu lagi?"
"Saat kita bertemu lagi," jawab sang Kupu-Kupu Agung sebelum menghilang, meninggalkan butiran-butiran cahaya yang kini terbawa angin.
Hening.
Kemeriahan dan keributan perayaan yang berada tidak jauh dari tempat Portia seakan kalah oleh keheningan yang melanda dirinya.
Mata Portia terkejap saat mendengar suara kembang api yang bermekaran di langit malam. Ia lalu membuang napasnya. Tangannya meremas kuat gaun yang ia kenakan. Dirinya menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur posturnya. Ia harus kembali bersikap sopan dan terhormat sesuai protokol singkat yang diajarkan Miranda padanya tadi. Ia masih berada di tempat umum. Dan, itu berarti Portia harus mematuhi segala peraturan yang mengikat dirinya, bukan, peraturan yang mengikat posisinya.
Portia lalu mengalihkan pandangannya menuju sang Bulan yang bersinar terang di atasnya. Cahaya biru siannya entah kenapa berhasil menghangatkan diri sang Putri Ketiga. Cahaya dengan warna yang sama seperti warna matanya. Warna yang tertulis dalam takdirnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Portia menarik napas panjang.
Apa kau tahu tentang diriku, Azura?
Perlahan, genggaman sang Putri mengendur, menyebabkan bekas kerutan pada gaun indahnya. Ia lalu menyiapkan senyuman terbaiknya dan melangkah menuju kerumunan, melewati dinding sihir yang dibuat oleh Azura tanpa sepengetahuan dirinya. Dinding yang membuat pertemuannya tadi dengan Portia seharusnya tidak terlihat oleh orang lain.
Namun, tanpa Portia sadari, di balik gelapnya bayangan, seorang pria sedang memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi. Mata kuningnya senantiasa mengikuti kemanapun Portia melangkah. Sebuah sobekan terlihat di lengan pakaian gelap yang ia kenakan. Bercak darah memenuhi lengan kremnya. Bibirnya memucat. Tetapi, terlepas dari semua itu, ekspresi wajahnya berbanding terbalik dengan kondisi tubuhnya. Bahkan, sudut bibir lelaki itu tertarik, membentuk sebuah senyuman misterius.
"Ketemu."
Senyuman misterius pemuda itu perlahan luntur, berubah menjadi sebuah seringaian.
***
"Apa kau paham akan semua hal-hal yang telah kami berikan, Putri?"
Portia mengangguk pelan, berusaha mengingat kembali pelajaran yang diberikan para tetua.
"Kau yakin? Ekspresimu terlihat tidak meyakinkan," ucap Tetua Ketiga.
Tetua Pertama berdeham. "Jangan terlalu keras padanya, Tetua Ketiga," ujarnya. Tangan kanannya masih terus menggerakkan pena berbulu hitam kesayangannya, menuliskan sesuatu di atas perkamen tua.
"Ah, Tetua Pertama. Saya lihat Anda terus menulis sejak pagi tadi. Saya sebenarnya penasaran sejak tadi ... apa yang sedang Anda tulis?" tanya Portia. Matanya berfokus pada meja sang Tetua. "Bahkan saat istirahat juga," gumamnya.
"Ini?" Beberapa perkamen tua di atas meja kerja Tetua Pertama itu tiba-tiba melayang. "Hanya urusan biasa, tentang klan dan sejenisnya. Kenapa kau bertanya, Putri?"
Portia menggeleng. Sejujurnya ia tidak begitu tertarik. "Begitu. Saya hanya penasaran saja, Tetua Pertama. Anda tidak berkutik dari kursi Anda sejak awal pengajaran dimulai," jawab Portia pelan. "Apa tugas klan lebih banyak dari tugas kerajaan?"
Mulut tetua berambut putih itu terbuka lebar. "Putri--"
Tetua Kedua tertawa hebat, memotong ucapan Tetua Ketiga. "Haha, sudah lama aku tidak melihat ekspresi Tetua Ketiga itu. Sepertinya aku harus berterima kasih kepada dirimu, Putri."
Mata Tetua Ketiga menajam.
"Sudahlah, jangan terlalu ditanggapi serius, Tetua Ketiga," potong Tetua Kedua lagi. "Dia masih baru di sini. Ini baru hari ... kedua? Semuanya masih terasa asing baginya."
"Tetapi, dengan segala pelajaran yang kita ajarkan itu dia masih juga belum bisa mengerti tugas antara klan dengan kerajaan. Beberapa kali sudah aku katakan bahwa posisi klan Bulan lebih tinggi dari Kerajaan Bulan!" jelas Tetua Ketiga yang lebih cocok menyerupai seruan.
Tetua berambut putih itu menghela napas sebelum kembali melanjutkan, "Sudah kujelaskan tadi bahwa Dimensi Bulan memang dipimpin oleh pihak kerajaan, tetapi pihak kerajaan diawasi oleh pihak klan. Apapun yang kerajaan lakukan harus berkonsultasi dengan klan. Status kami lebih tinggi." Ia menekankan dua kata terakhir.
"Anda hanya mengatakannya ... ya, menjelaskan sedikit, tetapi tetap bukan menjelaskannya secara rinci," gumam Portia sembari mengalihkan pandangannya ke arah mana saja, tentu selain ke bawah.
Tetua Kedua tergelak. Suara tawanya malah membuat Tetua Ketiga memelototinya. "Ia benar. Kau sedari tadi hanya memfokuskan tentang klan Bulan saja, sedikit sekali tentang hubungan klan dengan kerajaan," balas Tetua Kedua. Ia kembali tertawa lebar. Tawa yang sangat lepas hingga rambut hitam keritingnya bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepala pria itu. Pun, membuat beberapa cangkir ikut bergoyang-goyang.
Tetua Ketiga membuang napasnya. "Demi cahaya Azura! Tugasku hanya untuk menjelaskan tentang klan! Apa aku perlu menjelaskan kembali--"
"Lalu," potong Portia ragu-ragu, "siapa yang akan mengajari saya tentang hubungan keduanya?" Ia tahu betul bahwa memotong ucapan sang Tetua tidaklah sopan, tetapi jika ia tidak menghentikannya sekarang, Portia yakin dirinya akan tetap duduk di kursinya sampai jam makan malam berakhir.
Belum sempat Tetua Ketiga membalas, ucapan pria berambut putih itu kembali dipotong. Lagi.
"Ah, lihat jam berapa ini. Makan malam istana akan dimulai satu jam lagi, bukan?" potong Tetua Pertama. Mata peraknya masih tetap berfokus pada perkamen di depannya. Sedangkan tangan kirinya menunjuk jam dinding yang berada di atas kepalanya.
Tetua Kedua mengangguk. Tawanya sudah mereda. Ia menambahkan, "Benar. Sebaiknya kau bersiap, Putri. Sebagai seorang anggota keluarga kerajaan, bukankah kau seharusnya berada lima belas menit sebelum jam makan dimulai?"
"Benarkah?" Portia tidak tahu.
"Itu adalah sikap yang baik bagi seorang putri. Etiket yang harus kau ingat," jawab Tetua Pertama. Pandangan pria itu akhirnya lepas dari pekerjaan yang menyita waktunya sejak tadi. Ia menatap Portia dengan ekspresi lembut. "Putri, kau telah mengetahui hal-hal dasar tentang klan Bulan. Itu cukup untuk bertahan dari pertanyaan-pertanyaan formal yang mungkin akan kau hadapi nanti.
"Karena, enam hari lagi perayaan akan terbuka untuk umum, kau pasti akan bersosialisasi dengan anggota kerajaan dimensi lain. Untuk itu, mulai besok kau akan dilatih oleh pihak kerajaan. Kami akan tetap melatihmu, tentu. Namun, mungkin itu masih lama akan terjadi. Kerajaan lebih membutuhkan dirimu untuk beberapa saat ini," tutur tetua berambut kelabu tersebut.
"Pihak kerajaan?" Portia memutar otaknya. Jika ia tidak salah ingat, maka .... "Tunggu, kalian mengatakan bahwa hanya para petinggi klan saja yang mengetahui kondisi saya yang sebenarnya. Jika pihak kerajaan yang akan mengajari saya, mereka akan mengetahui kondisi saya ini, bukan?"
"Itu benar." Tetua Pertama mengangguk. "Namun, pihak kerajaan yang akan melatihmu adalah pengecualian dari yang lain. Dia adalah salah satu orang di luar para petinggi yang mengetahui tentang kondisimu," jelas Tetua yang berumur paling tua itu.
Tetua Pertama bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati sang Putri. "Putri, apa kau ingat peraturan penting yang dikatakan Nyonya saat kalian berada di Paviliun Bulan dan saat Pertemuan Petinggi Klan kemarin?"
Portia menutup matanya sejenak. Bagaimana bisa ia lupa? Ucapan itu terus terngiang di kepalanya. "Jangan biarkan orang lain mengetahui kondisi saya. Bersikaplah dengan normal seperti seorang pemimpin yang dinantikan oleh puisi," ucap gadis berambut hitam itu.
Tetua Pertama kembali mengangguk. "Benar sekali. Seperti yang kami katakan saat Pertemuan Petinggi Klan kemarin, menurut puisi kuno, hanya sang Putri Ketiga saja yang benar-benar kehilangan ingatannya secara total. Dengan kekuatan yang kau miliki, ini adalah kondisi yang fatal jika sampai tersebar. Tolong mengertilah bahwa kami berusaha melindungi Dimensi Bulan, Putri," papar Tetua Pertama.
Sejenak, Portia mengalihkan pandangannya menuju jendela besar yang berada di sisi kiri ruangan. Tangannya memainkan renda yang terjarit di bagian bawah gaun dengan panjang selutut yang ia kenakan.
"Apa," Portia kembali menatap para tetua, "ada puisi lain yang memiliki jawaban atas kondisi saya ini?"
Para tetua terdiam.
"Tidak ada," jawab Tetua Pertama setelah keheningan yang cukup panjang. Ekspresi tetua berambut kelabu itu terlihat iba. "Sama sekali tidak ada, Putri."
Portia menjatuhkan pandangannya. Sama sekali tidak ada? Apa ia tidak akan mendapatkan jawabannya?
"Kami telah menyita waktumu lebih lama dari seharusnya. Tolong segera bersiaplah untuk makan malam. Dayangmu telah gelisah menunggu dirimu di luar," jelas Tetua Kedua.
Portia kembali menatap para tetua. Apa yang mereka ucapkan kembali mengejutkannya. Lagi. "Dari mana ... Anda tahu?"
Tetua Kedua terkekeh. "Sepertinya kau lupa bahwa dimensi ini dipenuhi dengan kekuatan, Putri." Ia tersenyum dan mengambil cangkir berwarna perak yang melayang di depannya, meminum teh yang belum ia sentuh sedari tadi. "Kau mungkin belum mengetahuinya, tetapi kami dapat merasakan cahaya milik dayangmu itu tidak stabil sejak beberapa menit yang lalu. Ah, rakyat Dimensi Bintang benar-benar memiliki kepekaan yang tinggi."
"Dimensi Bintang?" tanya Portia.
Tetua berambut hitam itu mengangguk dan melepaskan pegangannya pada cangkir, menyebabkan gelas kecil bertelinga itu kembali melayang di atas permukaan meja. "Dayangmu. Ia berasal dari Dimensi Bintang," jelasnya.
Alis Portia berkerut. Lana bukan penghuni asli Dimensi Bulan?
Tetua Kedua kembali mengangguk, membaca pikiran Portia. "Apa kau belum menyadari perbedaannya? Bahkan setelah bertemu dengan seluruh rakyat kemarin?" tanyanya yang diikuti oleh gelengan kepala Portia.
Tetua Ketiga mengembuskan napas gusar. Ia kira ia tidak perlu menjelaskan. Namun, sepertinya sang Putri Ketiga adalah orang yang sangat tidak peka. "Salah satu ciri khas kami, rakyat Dimensi Bulan mempunyai warna mata kelabu untuk anggota di luar klan dan warna mata perak untuk anggota klan," jelasnya dengan nada yang antara terdengar sebal dan senang.
"Setiap dimensi memiliki warna mata yang khas yang hanya terdapat di dimensi tersebut. Kau memang masih belum tahu tentang ciri khas setiap dimensi, tetapi setelah melihat semua rakyat kemarin, apa kau benar-benar belum menyadari perbedaannya juga?" Tetua Ketiga mengetuk-ngetuk kulit dekat matanya.
Ah! Portia mengingat kembali sosok Lana dengan Alice dan Nico. Warna mata mereka berbeda sekali. Portia lalu mengingat kembali warna mata para rakyat yang lain dan menyadari bahwa sebagian besar dari mereka memiliki warna yang sama dengan Alice dan Neo. Benar, warna mata Dimensi Bulan dan Dimensi Bintang memiliki ciri khasnya masing-masing.
"Saya baru menyadarinya ...."
"Jangan khawatir, pihak istana akan mengajarimu hal-hal dasar yang perlu kau ketahui besok," tutur Tetua Kedua sebelum tetua berambut putih di sampingnya itu mulai mengoceh panjang lebar mengkritik Portia.
Mata Portia membulat. Apa ia tidak salah dengar? Besok? Ia akan belajar lagi? Dengan pihak istana?
"Putri, sebaiknya kau segera bergegas. Waktu terus berjalan. Kau tak ingin terlambat, bukan?" potong Tetua Pertama. Ia melirik pintu yang berada di seberangnya.
Portia menutup kembali mulutnya, mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Perlahan, ia bangkit dari kursi dan menatap ketiga pasang mata perak yang balik menatapnya. Ini pengusiran secara halus, pikirnya.
"Saya ... permisi. Selamat sore." Portia memberikan hormat sebelum melangkah pelan menuju pintu keluar, meninggalkan para tetua dan pertanyaan-pertanyaan baru yang bermunculan.
Gadis bergaun biru itu membuka pintu berwarna perak di ujung ruangan dan menutupnya perlahan saat ia telah berada sepenuhnya di luar. Ia lalu mendapati dayang pribadinya sedang menunggunya dengan tenang.
"Putri!" Lana segera mendekati Portia dan membungkuk hormat sebelum berkata, "Saya kira terjadi sesuatu di dalam. Anda seharusnya keluar sepuluh menit yang lalu, Putri. Saya khawatir sekali."
"Khawatir?" Portia mengerutkan alisnya, teringat perkataan para tetua tadi. Ia memperhatikan raut muka dayangnya. "Tetapi, kau terlihat sangat tenang."
Lana menggeleng pelan. "Ini sikap khawatir saya, Putri."
"Ah, kalau begitu, maaf telah membuatmu khawatir, Lana." Portia tersenyum tipis. Ia lalu menarik napas panjang. "Mari kita jalan."
Portia kembali melanjutkan langkahnya yang diikuti oleh dayang berambut hitam tersebut. Langkah sang Putri terhenti saat menyadari sebuah siluet berada di ujung lorong. Mata sang Putri menyipit, berusaha melihat lebih jelas sosok bayangan tersebut.
"Siapa itu?"
Lana mengalihkan pandangannya menuju tempat yang ditunjuk oleh Portia. Ia menggeleng lemah. "Siapa yang Anda maksud?"
"Itu."
Lana kembali menatap ujung lorong yang dimaksud sebelum kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak ada siapa-siapa di sana, Putri." Ekspresi dayang itu terlihat sedikit khawatir. "Mungkin Anda lelah karena belajar hampir seharian ini. Apa perlu saya panggilkan tabib?" tanyanya pelan.
Portia terdiam, memejamkan matanya dan membukanya kembali.
Hilang.
Siluetnya menghilang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top