BAB IV - PERAYAAN
Hamparan Bulan terlihat bagaikan sebuah lautan cahaya biru di bawah sang Bulan. Daerah yang terletak di perbatasan antara wilayah ujung Dimensi Bulan dengan Hutan Cahaya dan Samudra Langit. Tempat yang juga merupakan rumah bermain untuk berbagai binatang cahaya dan hewan langka lainnya.
Hewan-hewan mulai bermunculan dan mendekati Hamparan Bulan. Tubuh mereka yang dibalut cahaya membuat daerah ini semakin bersinar. Seiring bertambahnya waktu, rakyat Dimensi Bulan datang dari berbagai kota mereka dan berkumpul bersama di Hamparan Bulan.
Para rakyat dan binatang berinteraksi bebas. Anak-anak berlarian ke sana kemari mengikuti serangga-serangga yang mengajak bermain. Ular-ular beracun maupun tidak, menggantungkan dirinya di sisi-sisi pohon, beberapa kali membantu warga yang ingin memetik buah atau bunga. Kadang-kadang menjahili anak-anak yang bermain di dekat pohon.
Berbagai jenis burung langka atau tidak langka, terbang rendah, kadang hinggap di bahu orang dan bermanja-manja. Naga-naga mengecilkan ukuran mereka dan berjalan-jalan di atas tanah. Ikan besar maupun kecil berenang bebas mendekati permukaan. Mereka membawakan mutiara-mutiara indah dan memberikannya pada orang-orang yang sedang bermain air.
Berbagai binatang darat dan laut lainnya perlahan muncul dan menyusul teman-teman mereka. Alterasi Cahaya yang sudah bertuan menampakkan diri mereka dan bermain bersama pemiliknya. Sedangkan Alterasi Cahaya yang masih bebas, menampakkan wujud mereka dalam bentuk cahaya abstrak.
Semua penghuni Dimensi Bulan berkumpul bersama untuk menyambut perayaan terbesar ini.
Suara khas terompet mengalihkan perhatian semua makhluk. Sebuah kereta kencana berwarna perak yang ditarik oleh dua ekor pegasus bercahaya senada meluncur tinggi dan mendarat di area yang telah disediakan.
Pintu kereta terbuka, memperlihatkan seorang wanita berambut dan bergaun perak yang perlahan turun dari kereta dengan anggun. Ia lalu menjulurkan tangan kirinya yang disambut oleh tangan kanan seorang gadis yang hendak turun dari kendaraannya. Semua pasang mata berfokus pada dua orang yang berdiri di depan kereta tersebut.
Miranda tersenyum lembut dan melangkah beberapa langkah. Mahkota yang dikenakannya bersinar terang di bawah cahaya bulan. Tatapannya menyusuri semua makhluk hidup yang telah berkumpul di Hamparan Bulan. Mereka memberikan hormat secara serentak.
"Selamat malam dan selamat datang di perayaan penyambutan pada Dimensi Bulan! Aku, Miranda Mona, Pemimpin Dimensi Bulan, menyambut kalian semua di tempat ini!"
Berbagai sorak-sorak dan tepuk tangan memeriahkan Hamparan Bulan. Sebelum berhenti sejenak saat Miranda mengangkat tangan kanannya.
"Kita semua berkumpul di tempat ini untuk menyambut era Bulan Biru Sian yang telah tiba sejak kemarin! Juga, untuk merayakan pergantian kekuasaan Empat Dimensi, membuat gelar Istana Utama berada di tangan Dimensi Bulan!" seru Miranda penuh gairah. Ia lalu menatap semua penghuni Dimensi Bulan secara bergilir sebelum melanjutkan, "Kabar gembira bagi kita semua bukan saja sampai di sana. Sesuai puisi kuno yang ditulis oleh Pemimpin Pertama Klan Bulan, sang Putri Ketiga yang telah diramalkan telah datang!"
Sorak-sorak kembali memenuhi pendengaran. Semua menjadi lebih semangat saat mendengar pidato yang disampaikan oleh Miranda.
"Panjang umur Yang Mulia Ratu!"
"Hidup Dimensi Bulan!"
Miranda mengangkat tangannya. "Sang Putri Ketiga!" Miranda memberikan senyumannya dan berjalan mundur beberapa langkah. Ia lalu mengangguk saat matanya beradu pandang dengan Portia.
Portia menutup matanya dan menarik napasnya. Ia perlahan melangkah maju dan berhenti tepat di tempat Miranda tadi berpidato.
Keheningan melanda. Para penghuni Dimensi Bulan terpana akan sosok Portia. Cahaya bulan yang tepat jatuh di atas Portia membuatnya semakin bersinar di tengah daerah yang mulai menggelap, menambah kecantikan dari gadis yang berdiri dengan anggun itu.
Tiara perak sang Putri Ketiga memantulkan cahaya yang menyinarinya. Rambut hitamnya dengan corak kelabu dibagian bawah yang biasa ia biarkan tergerai, kini tersanggul dengan beberapa rambut pendek di sisi kiri dan kanan wajahnya yang dibiarkan tergerai. Leher jenjangnya dihiasi oleh sebuah liontin berbentuk bulan yang selalu ia kenakan. Tubuh mungilnya dibalut dengan gaun A-line berwarna senada dengan sang Bulan, membuat kulit putih pucatnya bersinar bagaikan mutiara. Gadis yang baru tiba kurang dari sehari itu telah bertransformasi menjadi seorang putri.
Portia menatap semua penghuni Dimensi Bulan yang berada di sekitarnya. Keheningan terjadi selama beberapa saat, sebelum bibir mungil Portia perlahan terbuka.
"Aku ...." Mata biru sian Portia tidak sengaja beradu pandang dengan seorang anak perempuan yang sedang menggendong seekor kucing kecil. Anak itu memandang Portia dengan tatapan penuh harap. Mata kelabunya berbinar penuh kekaguman dan kebahagiaan.
Portia mengalihkan pandangannya, menatap orang-orang dan binatang yang berada disekitar anak kecil itu. Mereka semua memandanginya dengan ekspresi yang hampir sama satu sama lain dengan anak perempuan tadi. Tangan Portia terkepal kuat, meremas gaun yang ia kenakan.
"Aku, sang Putri Ketiga, penerus Kerajaan Bulan, memberikan seluruh cahayaku untuk Dimensi Bulan!" Sudut bibir sang Putri Ketiga perlahan tertarik. "Banyak peristiwa penting yang telah terjadi dalam era yang baru dimulai ini. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat era ini menjadi era yang telah kalian harapkan! Mohon bimbingannya!" Portia membungkuk hormat.
"Hormat pada sang Putri Ketiga!"
"Sang Putri Ketiga telah tiba!"
"Cahaya kerajaan akan bersinar kembali!"
Para penghuni Dimensi Bulan kembali bersorak gembira. Suara tepuk tangan juga tidak kalah meriahnya. Beberapa saat kemudian, suasana perlahan hening.
"Sang Putri Ketiga, sesuai tradisi yang telah ada sejak era sang Putri Pertama, kami, akan memberikan Anda hadiah atas kedatangan Anda." ucap salah satu pria yang berdiri di barisan depan.
"Sebuah nama, cahaya dari rakyat Anda, cahaya dari kami," lanjut seorang wanita yang berdiri di ujung dekat samudra.
"Kami memberikan nama ...."
"Sian!" ucap para warga secara serentak. Wajah mereka dipenuhi senyuman.
Para binatang menyinarkan cahayanya lebih terang, membuat tubuh mereka semakin bersinar. Perlahan, cahaya-cahaya tersebut meluncur ke atas dan bersatu sebelum berubah menjadi butiran-butiran cahaya yang memandikan tubuh Portia.
Azura perlahan muncul dan membelah dirinya menjadi ratusan kupu-kupu kecil dan terbang bebas mengelilingi Hamparan Bulan, membiarkan serbuk-serbuk cahaya di sayapnya menghiasi langit malam dan menghujani seluruh hamparan ini.
Portia memandang haru kerumunan di depannya. Matanya tersenyum. "Portia Sian Mona mengucapkan terima kasih atas hadiah yang telah kalian berikan." Ia memberikan hormatnya sekali lagi.
Miranda melangkah maju dan memegang pundak Portia. Ia lalu menghadap ke rakyat di hadapannya. "Mari perayaan ini dimulai!"
Kembang api berbagai warna bermekaran indah di langit yang menggelap. Bunyi terompet, gendang, nyanyian kebangsaan, dan berbagai suara lainnya bersatu padu membentuk sebuah irama merdu yang memanjakan telinga.
Mereka menari, bernyanyi, bermain alat musik, dan bercanda tawa satu sama lain. Para rakyat dan para binatang, semua berinteraksi dengan harmoni.
Setetes air mengalir dari sudut mata Portia. Miranda menepuk pelan punggung gadis bergaun biru sian itu sebelum berkata, "Sekarang kau mengerti jawaban dari salah satu pertanyaanmu itu, bukan?"
Portia mengangguk pelan. Jemarinya menghapus setetes air mata yang membasahi pipi kirinya. "Ya."
"Portia." Miranda menyentuh pipi gadis di hadapannya. "Aku harap kau melupakan semua hal yang mengganggu pikiranmu untuk saat ini. Jadilah seperti gadis remaja berusia enam belas gerhana pada umumnya yang tengah berada di sebuah perayaan besar. Nikmati perayaannya, bersenang-senanglah dengan bebas, Portia."
Portia membalas tatapan Miranda. "Bolehkah saya memeluk Anda, Ratu?" tanyanya pelan. Miranda tersenyum lembut dan membawa Portia ke dalam dekapannya. Portia membalas pelukan Miranda, memeluknya dengan erat. Portia lalu melepaskan pelukannya dan sebuah senyuman terukir manis di bibir mungilnya. "Terima kasih."
"Yang Mulia ...."
Sebuah suara mungil berhasil menarik perhatian Miranda dan Portia. Mereka menoleh ke arah suara dan mendapati seorang anak kecil perempuan bergaun merah muda dengan panjang selutut yang berjalan pelan menuju tempat mereka berdiri. Seekor kucing bercahaya merah muda berada di gendongan anak itu.
"Yang Mulia Ratu Miranda, Yang Mulia Putri Portia." Anak berambut biru gelap itu membungkuk hormat ala bangsawan, meskipun postur kakinya sedikit salah.
Dia gadis yang berbinar tadi! Pupil Portia membulat sejenak sebelum kembali normal. Ia lalu mendekati gadis kecil tersebut.
Sebuah senyuman seketika muncul di wajah gadis kecil itu saat Portia bertanya, "Dan, siapa nama gadis cantik ini?"
"Alice, Yang Mulia," jawab Alice penuh semangat. Iris abu-abunya berbinar.
"Halo, Alice. Apa ada yang bisa aku bantu?" Portia tersenyum dan berjongkok agar posisi kepalanya setara dengan Alice.
"Miaw."
Portia mengalihkan perhatian menuju kucing merah muda yang menatapnya dengan pupil merahnya. "Ah, maafkan aku. Siapa namamu, kucing manis?" tanya Portia lembut.
"Amora, Putri!" ucap Alice sambil mengangkat Amora ke hadapan Portia. "Amora, beri salam pada Putri Portia."
Amora menaikkan salah satu kaki depannya. Portia terlihat sedikit terkejut sebelum ia menyambut kaki kucing Alice dengan kedua tangannya lalu menggerakkannya perlahan.
"Senang berkenalan denganmu, Amora."
"Oh, benar!" seru Alice tiba-tiba. Sang Putri menatapnya dengan penuh pertanyaan. "Aku kemari untuk memberikanmu hadiah, Putri!"
"Hadiah?" Alice mengangguk seru. Ia lalu menurunkan Amora dan mengatupkan kedua telapak tangannya. Tangan Alice perlahan mengeluarkan cahaya merah muda kecil. Cahayanya menghilang diikuti dengan terbukanya telapak tangan gadis bermata kelabu itu.
"Ta--da! Aku membuat ini khusus untuk sang Putri!" Alice menggenggam sebuah gelang bunga warna-warni yang terangkai dengan indah. Ia lalu menyerahkannya kepada Portia.
"Kau membuatnya sendiri?" Alice mengangguk. Portia mengambil gelang buatan gadis kecil itu. "Indahnya! Terima kasih--"
"Alice!"
Sesosok laki-laki dengan ciri fisik mirip dengan gadis bergaun merah muda itu berlari menjauhi kerumunan, menuju tempat Alice, Portia, dan Miranda berada. Ia lalu memeluk Alice, tidak menyadari bahwa kini ia berada di hadapan sang Putri Ketiga dan sang Ratu Bulan.
"Alice! Berapa kali Kakak katakan untuk tidak pergi sesuka hati tanpa memberitahu dulu?" Laki-laki berambut biru gelap itu mengomeli sikap adik perempuannya yang telah pergi tanpa sepengetahuannya.
"Kak Nico! Aku terlalu bersemangat untuk--"
"Kau tahu betapa khawatirnya kakakmu ini, kan?"
"A--"
"Kakak baru saja berbicara dengan Bibi dan kau sudah hilang dari keramaian!"
"Maafkan aku, Kakak!"
Portia yang melihat pertengkaran dua saudara itu, bangkit dari posisinya dan mundur beberapa langkah untuk memberikan mereka privasi.
Nico yang merasa diawasi segera membalikkan badannya. Mulutnya terbuka lebar.
"Yang Mulia?!" Mata kelabu Nico membesar. Pemuda berpakaian sederhana itu segera memberi hormat pada dua orang tertinggi di dimensinya tersebut. "Ma--maafkan kelancangan saya!"
"Bangunlah, Anak Muda," ucap Miranda lembut.
Nico perlahan mengangkat badannya dan beradu pandang dengan Portia. Ekspresi Nico membatu.
Nico segera membalikkan badannya dan mengatur napasnya. Ia lalu menghadap adik tersayangnya. "Alice! Gelang itu ... kau bilang gelang itu ketinggalan di rumah, bukan?" Alice mengangguk pelan. "Lalu, kenapa gelang itu ada di tangan Putri Portia?"
Wajah Alice memucat. "Aku ... aku ...."
"Kau tidak menggunakan kekuatanmu ... cahayamu .... Alice, kau--"
"Tunggu, Anak Muda." Miranda segera memotong percakapan dua bersaudara itu. "Adikmu memang telah menggunakan kekuatannya, tetapi," Miranda tersenyum lembut sebelum melanjutkan, "tengah malam telah lewat. Khusus malam ini Jam Utama memang tidak dibunyikan. Adikmu tidak melakukan kesalahan."
Nico kembali menatap Alice dan memeluknya erat. "Alice ... maafkan kakak yang menuduhmu tanpa bertanya terlebih dahulu. Kakak takut ... takut kau akan--"
Alice menggeleng lemah. "Tidak, Kak."
Nico dan Alice lalu kembali menghadap Miranda dan Portia. "Maafkan kami yang telah banyak menyita waktu Anda, Ratu, Putri. Izinkan kami mundur diri." Kedua saudara itu kembali memberikan penghormatan. "Bercahayalah Dimensi Bulan!"
Nico lalu membawa Alice dan Amora kembali ke kerumunan. Alice melambaikan tangan mungilnya dan kembali menggendong Amora. Mereka berdua hilang di dalam kerumunan.
Portia memandang mereka berdua sebelum memfokuskan perhatiannya pada Miranda. "Ratu Miranda ... soal tadi, apa hubungannya kekuatan dengan tengah malam? Kenapa Nico begitu takut?"
"Salah satu tradisi untuk menghormati kedatangan sang Putri dan saat awal lahirnya era bulan yang baru adalah dengan cara tidak menggunakan kekuatan selama satu hari. Dan, karena kedua hal itu terjadi secara berdekatan, kami baru boleh menggunakan kekuatan saat hari ketiga sejak awal era bulan baru," jawab Miranda pelan. "Namun, seperti yang kau lihat sebelumnya, aku dan para tetua telah menggunakan kekuatan kami di hadapanmu sebelumnya. Jadi ...."
"Itu tidak memiliki dampak apapun?"
"Terkait tentang penghormatan sang Putri? Tidak ada dampaknya. Saat pertemuan dengan para tetua, kami sudah mengatakan bahwa Dimensi Bulan menghormati tradisi, bukan?" Miranda terdiam sejenak. "Namun, jika terkait dengan awal era bulan baru, penggunaan kekuatan memiliki dampaknya."
Sang Ratu Bulan mendongakkan kepala, menatap rembulan yang bersinar terang. "Pergantian bulan terjadi setiap seratus gerhana. Bulan yang baru lahir akan memiliki warna biru yang berbeda dari bulan sebelumnya." Ia menilik manik sian Portia.
"Sekarang era Bulan Biru Sian," gumam gadis yang ditatap.
Miranda mengangguk. "Cahaya bulan baru tidaklah stabil. Energinya sangat besar dan rapuh. Jika orang di luar klan Bulan menggunakan kekuatannya, cahaya mereka akan saling beradu dengan cahaya bulan," lanjut sang Ratu. "Energi mereka pasti akan kalah, menyebabkan cahaya mereka akan ... meredup."
Portia terdiam. Meredup?
Miranda mengerti akan tatapan penuh penasaran yang tergambar jelas di wajah sang Putri. Suaranya mengecil saat mengatakan, "Jika cahaya terus meredup, ujung-ujungnya pasti padam." Ekspresi sedih kini terlihat di wajah Miranda yang biasanya terlihat tenang. "Padam; mati."
Mata Portia membola.
Raut muka Miranda perlahan kembali seperti sedia kala. "Jangan khawatir. Itu jarang terjadi."
Belum sempat Portia membuka mulut, tangan Miranda terlebih dahulu menyentuh pundaknya. "Kau masih baru dan ada banyak hal yang belum kau ketahui, Portia. Kau belum melihat dimensi ini yang sebenarnya. Saat hari telah terang, kau akan melihat warna asli dari Dimensi Bulan, betapa ajaibnya tempat yang akan kau pimpin." Miranda menyunggingkan senyum.
"Yang Mulia ...."
"Aku ingin bercerita lebih lama, tetapi maafkan aku, ada hal yang membutuhkan perhatianku sekarang. Nikmatilah perayaannya, Portia." Sang ratu menggenggam tangan Portia untuk terakhir kalinya sebelum melangkah pelan meninggalkan sang Putri Ketiga.
Portia menatap punggung sang Ratu yang kian menjauh. Lama ia terdiam. Jemari sang gadis tanpa sadar meremas ujung gaunnya.
"Nikmatilah perayaannya, katanya." Portia mengalihkan pandangan menuju perayaan di depannya. "Mereka terlihat sangat bahagia. Kenapa aku merasa bersalah, ya?"
"Mungkin karena kau tidak pantas, Putri?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top