BAB III - PERSIAPAN

"Nyonya ... Yang Mulia?"

Miranda tertawa pelan. Ia melirik gadis yang berada di sampingnya sekilas sebelum kembali menghadap ke depan.

"Seperti yang tadi disebutkan, sebutan 'Nyonya' dikatakan saat aku sedang berperan sebagai pemimpin klan. Sedangkan, sebutan 'Yang Mulia' dikatakan saat aku sedang berperan sebagai ratu kerajaan. Di Dimensi Bulan, kami sangat menjunjung tinggi gelar dan kehormatan," tutur Miranda. "Khususnya kaum bangsawan," gumamnya.

Portia mengangguk pelan dan kembali membuka suaranya. Ini bagian istana--tadi juga bagian istana--dan kepala Miranda kini berhiaskan mahkota yang Portia tidak tahu kapan munculnya. Berarti sekarang dia menjadi ratu?

Portia menelan ludah. Ia kembali bertanya, "Yang Mulia, ke mana tujuan kita sekarang?"

"Rapat--"

"Lagi?!" potong Portia. Menyadari apa yang telah ia lakukan, sang Putri buru-buru menutup mulutnya dan berkata, "Maafkan saya!"

Mata Miranda sedikit terbelalak sebelum kembali tertawa. "Putri, sepertinya kau suka mengatakan hal yang ada di kepalamu secara spontan. Namun, biasanya kau bergumam," ucap Miranda dengan senyuman lembutnya. "Soal rapat, kita akan menghadiri Rapat Resmi Kerajaan, bukan menghadiri Pertemuan Petinggi Klan. Awalnya pasti membingungkan, tetapi aku harap kau membiasakan diri, Putri."

Helaan napas panjang terdengar. "Rapat ... pertemuan ... klan ... kerajaan ...," gumam Portia yang masih setia mengikuti langkah Miranda. Jadwalnya sungguh padat. Siapa sangka menjadi seorang putri seberat ini?

"Kau bergumam lagi, Putri."

Ah! Portia sontak menutup mulutnya dengan tangan. Ia merutuki kebiasaannya yang muncul sejak ia membuka matanya kemarin.

Langkah Portia tiba-tiba terhenti. "Ah, Yang Mulia ... ada sebuah pertanyaan yang menjanggal pikiran saya sejak tadi--semalam ...."

Miranda menghentikan langkahnya. "Katakanlah."

Portia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Saya tahu ini mungkin pertanyaan konyol, tapi apa dunia ini benar-benar dipenuhi sihir?"

"Sihir?" Sang Ratu termenung. "Dibandingkan dengan sihir, kami lebih sering menyebutnya kekuatan; cahaya. Dan, untuk pertanyaanmu itu, kau benar. Seluruh Dimensi Langit dipenuhi oleh kekuatan, dipenuhi dengan cahaya."

Miranda melanjutkan langkahnya saat mendapati anggukan Portia--cukup lama ia memproses jawaban Miranda. Mereka melangkah dalam diam, hingga berhenti beberapa langkah di depan pintu berwarna abu-abu. Perhatian Portia sontak tertuju pada pintu yang berhiaskan berbagai permata biru itu. Seorang kepala pengurus istana berdiri tegak di samping pintu. Ia sibuk membaca sebuah gulungan, tidak menyadari kehadiran mereka berdua.

"Pertanyaanmu akan terjawab lebih jelas nanti, Putri. Sebelum itu, kau masih ingat akan pesan kami tadi saat pertemuan tadi, bukan?" Suara sang Ratu Bulan terdengar sangat halus nan pelan, hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja.

Portia berpikir sejenak. Hanya anggota inti klan saja yang mengetahui kebenaran puisi kuno itu. Portia mengulang kata-kata yang ia dengar. Seluruh rakyat kerajaan tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu. Kami mengharapkan kerjasamamu, Putri.

Sang gadis mengangguk pelan. Ia menarik napas dalam-dalam, mengatur ekspresinya agar terlihat setenang mungkin. Ia dan sang ratu kembali melanjutkan langkahnya, memasuki ruang rapat diiringi oleh kepala pengurus istana yang entah sejak kapan menyadari kehadiran mereka.

Berperanlah sebagai seorang putri, Putri Portia.

Semua peserta rapat memberikan hormat mereka saat sang Ratu Kerajaan Bulan dan sang Putri Mahkota Kerajaan Bulan memasuki ruangan. Mereka berjumlah sekitar lima puluh orang dengan pakaian yang sangat megah. Beberapa dari mereka berhasil membuat Portia sedikit terkejut; orang-orang yang menyambut Portia di taman kemarin malam.

Miranda duduk di kursinya dan menggesturkan Portia untuk duduk di kursi yang telah disediakan untuknya, di samping Miranda. Semua peserta rapat ikut duduk saat sang Putri Mahkota telah menduduki kursinya.

"Selamat datang di Rapat Resmi Kerajaan Bulan yang pertama di era Bulan Biru Sian. Aku, Ratu Miranda Mona, resmi membuka rapat pagi ini." Suara tepukan tangan memeriahkan ruangan tepat saat Miranda selesai berbicara.

Miranda mengangkat tangannya, membuat ruang rapat kembali hening. "Seperti yang telah ditentukan, era ini menjadi era di mana gelar Istana Utama diberikan ke Kerajaan Bulan untuk seratus gerhana ke depan, menjadikan awal dari era Kepemimpinan Bulan kedelapan belas diseluruh Dimensi Langit! Dan, era ini juga menandakan cahaya kita, sang Putri Ketiga telah datang!" seru Miranda.

Ruangan kembali dipenuhi oleh berbagai suara tepuk tangan yang meriah. Mereka terlihat gembira dan bersorak ria, tetapi tentu tetap menjaga etika dan gerak-gerik mereka yang harus anggun.

Miranda kembali mengangkat tangannya dan berkata, "Sambutanku telah selesai. Untuk itu, mari kita dengarkan sambutan dari sang Putri Ketiga!"

Semua mata tertuju pada Portia. Walaupun telah menjaga ekspresi wajah mereka, entah kenapa Portia dapat melihat berbagai keraguan, keirian, kemarahan, dan kelicikan yang terpampang jelas di mata mereka. Mulut mereka mungkin saja tersenyum, tapi mata mereka tidak. Hah? Portia mengerjapkan mata, tetapi berbagai emosi itu tetap tergambar nyata pada belasan pasang mata itu. Apa yang--

Pandangan Portia terus menyusuri mata orang-orang ini. Tidak semua peserta rapat yang ia lihat begitu, tetapi sebagian besar memang memandangnya dengan emosi yang negatif.

--Terjadi?

Sentuhan hangat pada jemari tangannya membuat Portia menoleh. Miranda menampilkan senyum lembut dengan tatapan yang terlihat menyemangatinya.

Portia memejamkan mata, menarik napasnya dalam-dalam. Sang Putri Ketiga perlahan bangkit dari kursinya. Ia lalu mengingat kembali perkataan para tetua dan saran Miranda. Posisinya di atas semua orang ini, tetapi pengakuan mereka semua sangat penting untuk mengamankan posisi Portia. Kelopak mata putih itu perlahan terbuka, diiringi dengan senyuman paling indah yang bisa Portia buat.

"Aku, sang Putri Ketiga, Portia Mona, memberikan hormatku pada para petinggi Kerajaan Bulan." Portia memberikan hormat sesuai ajaran Miranda tadi pagi. Perlahan, ia kembali berdiri tegak. Mulutnya kembali mengucapkan kata-kata yang sudah ia hafalkan.

"Pertama-tama, selamat aku ucapkan atas gelar Istana Utama yang disematkan di Kerajaan Bulan! Ini menandai awalnya era dari Kepemimpinan Bulan di Dimensi Langit yang ke delapan belas. Lalu, selamat datang di era Bulan Biru Sian! Semoga era ini memancarkan cahaya yang lebih terang dari era-era sebelumnya. Aku harap kita semua bisa bekerja sama untuk membuat era yang lebih baik," lanjut Portia, menatap balik para petinggi kerajaan yang entah sejak kapan emosi di mata mereka sudah menghilang dari pandangan Portia. Aneh. Apa ia salah lihat?

Ruangan menjadi hening sejenak sebelum seorang pria paruh baya berambut perak menepuk tangannya. Pria bermata kelabu yang menyambutnya kemarin. "Panjang umur sang Putri!" Ia tersenyum pada Portia yang dibalas oleh sang Putri. Perlahan suara tepuk tangan pria itu membesar dan diikuti oleh petinggi-petinggi yang lain. Ruang rapat kembali dipenuhi oleh suara tepuk tangan dan sorak-sorak.

"Panjang umur sang Putri Ketiga!"

"Hidup Putri Mahkota!"

***

Lana berjalan cepat menyusuri koridor panjang nan indah Istana Bulan. Langkahnya berhenti saat mendapati sosok gadis yang sedang berdiri di atas balkon. Gadis berambut hitam dengan corak abu-abu dibagian bawahnya itu menghadap ke arah taman umum istana. Penampilan gadis bergaun biru sian itu masih sama saat terakhir kali Lana melihatnya. Hanya saja, sebuah tiara melingkar indah di kepala gadis itu.

"Putri Portia?" tanya Lana saat ia berada di samping belakang Portia.

Portia membalikkan badan saat mendengar suara familiar yang memanggilnya. Matanya yang semula menatap taman istana di bawahnya kini beralih menuju manik kuning Lana. Pikirannya tentang hal aneh yang menimpanya tadi langsung sirna saat mendengar suara Lana.

"Tiara itu cocok sekali di kepala Anda! Mutiara-mutiara dan permatanya bersinar terang di atas rambut hitam Anda! Cocok sekali dengan liontin bulan Anda!" seru Lana dengan penuh semangat. Mata perempuan itu berbinar.

Portia hanya tersenyum dan menyentuh tiaranya. "Nanti malam, ya?" gumamnya.

"Anda mengatakan sesuatu?"

Portia menggeleng pelan. Lalu ia tersadar. "Ah, tunggu, tadi kau bilang Putri Portia. Dari mana kau tahu namaku?"

Semburat merah muda menghiasi pipi Lana untuk beberapa saat sebelum ia berdeham. Ekspresinya yang tenang kembali terlihat. "Jangan katakan ini pada dayang atau pelayan yang lain kalau aku mendengar obrolan mereka tadi." Lana melirik kanan dan kiri, depan dan belakang, juga bawah.

"Setelah pengenalan resmi Anda saat rapat tadi, ada desas desus bahwa nama Anda adalah Portia. Nama Anda langsung jadi perbincangan hangat saat rapat telah usai! Dan ... beberapa petinggi bahkan ikut bergosip dengan dayang-dayang yang lain. Sudah jelas merekalah yang menyebarkannya," desis Lana.

Gosipnya cepat juga menyebar. Portia menggelengkan kepala. "Setahuku ... kalian seharusnya mengetahui namaku nanti malam, benar? Tepat saat penghuni dimensi ini mendengarnya untuk pertama kali."

Lana mengangguk pelan. "Benar. Seharusnya begitu, tapi inilah kehidupan istana, Putri."

Portia mengembuskan napas dan bertanya, "Apa setiap gerak-gerik di sini selalu diperhatikan, Lana?" Ia mengalihkan kembali pandangannya pada taman di bawahnya.

Lana berdeham kecil. "Bahkan tembok memiliki telinga, Putri. Dan, ini bukanlah sekadar perumpamaan."

Portia memperhatikan dayang-dayang, pelayan, dan kesatria yang berlalu lalang di taman. Ada yang membawa berbagai benda yang untuk perayaan besar nanti malam, ada juga yang hanya berjalan-jalan. Ada yang memasang wajah lelah dan senang, ada juga yang bercanda ria dan mengantuk.

"Saya hampir lupa." Ucapan Lana membuat Portia menoleh ke arahnya. "Anda harus segera bersiap-siap, Putri!"

"Bersiap? Sekarang?" Portia mengerutkan kening. "Kalau ingatanku benar, acaranya baru dimulai nyaris tengah malam nanti, bukan?"

Lana menggeleng. "Benar, tetapi menjadi cantik butuh waktu yang lama, Putri!" seru Lana. Sang dayang buru-buru melanjutkan perkataannya saat melihat kerutan di kening majikannya semakin dalam. "Anda memang sudah cantik, tentu saja! Tapi kali ini Anda harus tampil secantik mungkin di hadapan para rakyat. Mereka sudah menantikan kedatangan Anda sejak lama."

Portia terdiam, cukup lama hingga ia membuang napas panjang. Menantikanku, ya? Aku hanyalah gadis tanpa ingatan yang terpilih menjadi sang Putri Ketiga.

Portia mengalihkan pandangannya, menatap langit yang memerah. Rakyatku? Apa aku benar-benar pemimpin mereka?

"Mari, Putri."

Sang putri memejamkan mata. Seulas senyuman terukir manis di bibirnya saat ia membalikkan badan menghadap sang dayang. Ia mengangguk, lalu berjalan mengikuti bawahannya itu. Berjalan meninggalkan perasaan berkecamuk dalam hatinya.

Apapun yang terjadi, sekarang aku harus hidup sebagai Portia.

Berjalan mengikuti arus aneh sang Takdir

***

Suara tawa ria memenuhi pasar di saat senja. Berbagai orang telah menantikan perayaan besar nanti malam. Anak-anak berlarian di tengah padatnya jalan. Wanita-wanita membeli berbagai aksesoris, pakaian, maupun sepatu untuk perayaan nanti. Berbagai petasan dan kembang api diburu habis.
Semua toko-toko dan meja dagangan akan segera ditutup. Semua karena perayaan terbesar Kerajaan Bulan yang akan dilaksanakan pada malam ini.

"Ah, dalam perayaan ini, semua akan berkumpul di Hamparan Bulan, ya?" tanya seorang pemuda berpakaian serba hitam kepada pemilik kedai di sisi pasar.

Pemilik kedai tersebut menggangguk dan menyerahkan pesanan pemuda bertopi hitam itu. "Benar! Dikatakan ini adalah perayaan terbesar Kerajaan Bulan!" jawab pria pemilik kedai. Ia lalu terfokus pada pelanggan misteriusnya. "Ah, maaf jika lancang, Tuan. Apa kau baru saja menikah dengan wanita di sini? Kau sepertinya berasal dari Kerajaan Bintang atau Matahari," lanjutnya sembari memerhatikan tangan cokelat sang pemuda yang sedang menggenggam gelas berisi cairan berwarna ungu gelap.

Pemuda berambut hitam itu hanya tersenyum miring sebelum meminum anggurnya. Ia menghabiskannya dengan sekali teguk dan kembali menuangkan botol yang baru dibawa pemilik kedai itu ke gelasnya. "Paman, era ini adalah era yang besar bagi Kerajaan Bulan, ya?

Membahas tentang perayaan membuat Paman Pemilik Kedai mengangguk dengan antusias, melupakan pertanyaannya yang belum dijawab. "Benar sekali! Era di mana Istana Bulan menjadi Istana Utama selama seratus gerhana! Sang Putri Ketiga juga datang saat era ini! Era Bulan Sian memang benar-benar era yang langka!" serunya penuh semangat.

"Kudengar rakyat berkesempatan memberikan nama kehormatan pada sang Putri?"

Paman Pemilik Kedai tua itu kembali mengangguk mantap. "Pemilihan suara telah dilakukan kemarin pagi di Hamparan Bulan oleh seluruh warga di lima kota!" jawab Paman Pemilik Kedai. Ia lalu mendekatkan kepalanya lebih dekat. "Rumornya, Tuan. Nama yang terpilih adalah ... Sian," bisiknya.

Sang pemuda hanya menggangguk pelan sebelum kembali meminum minumannya.

"Tetapi Tuan, jika kau bukan pasangan baru--karena tidak tahu tentang hal ini, kenapa kau bisa ada di sini? Apa kau seorang pengelana?" tanya Paman Pemilik Kedai, mengingat kembali topik sebelumnya. Ekspresinya dipenuhi oleh rasa penasaran.

Pemuda yang ditanya hanya tertawa sebelum berkata, "Aku telah berada di sini sejak sebelum dimulainya persiapan."

"Ah! Pantas saja! Gerbang telah ditutup sejak awal persiapan. Berada empat bulan di sini sudah membuatmu menjadi warga sementara. Seperti peraturan yang berlaku, perayaan hari pertama tertutup bagi kerajaan lain. Tujuh hari setelahnya baru terbuka untuk kerajaan lain. Tuan, meskipun kau sudah menjadi warga sementara, aku sarankan kau tetap berhati-hati, Tuan. Pakaian serba hitammu terlihat terlalu mencolok untuk sore hari."

Pemuda itu meminum anggur di gelasnya sampai habis. Ia lalu bangkit dari duduknya dan mengeluarkan sebuah keping emas bulan dan menaruhnya di meja kayu tua di tempatnya minum tadi.

Paman Pemilik Kedai langsung mengambil keping emas tersebut dengan ekspresi terkejut.

"Tu-tuan, ini banyak sekali! Total harga minumanmu hanya satu keping perak, Tuan."

"Ambilah kembaliannya, Paman. Juga, terima kasih atas sarannya." Pemuda itu melangkah menjauhi kedai dan menghilang di antara ramainya warga.

Menghilang bagai bayangan.

"Sian, ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top