BAB II - PERESMIAN

Seorang gadis kecil terbaring di hamparan padang bunga yang sangat luas. Ia tersenyum polos seraya membentangkan kedua tangan dan kakinya. Rambut pendeknya yang dibiarkan tergerai, kini terlihat berantakan akibat gerakan-gerakan kecil yang ia buat. Pun gaun yang ia kenakan menjadi lecek dikarenakan tubuhnya yang tak berhenti bergerak.

Namun, gadis itu seakan tidak memedulikan penampilannya saat ini. Ia hanya tersenyum dan sesekali bersenandung ria di bawah gemerlapnya langit.

Aku terdiam melihat pemandangan hitam putih ini.

Apa yang sedang terjadi?

***

Portia terbangun dengan posisi terduduk. Bulir-bulir keringat menghiasi wajah pucatnya. Napasnya memburu, tetapi ia tidak ingat apa yang membuatnya sampai terlonjak bangun seperti itu. Pikirannya mendadak kacau.

Apa ... kenapa?

Ia memejamkan mata. Gadis itu berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam. Satu menit, dua menit, tiga menit, jantungnya terus berdetak dengan kencang, tidak, bahkan detakannya terus mengencang. Semakin cepat dan cepat. Tangannya sontak meremas baju bagian dada, merasa jantungnya akan meledak. Sakit. Sangat sakit.

To ... long.

Pandangan Portia mulai kabur. Warna biru mulai memenuhi indera penglihatannya. Ia termengap-mengap, berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Namun, semua sia-sia. Tenaganya mulai habis. Kesadarannya mulai menipis. Portia bersiap akan kemungkinan terburuk, hingga sesuatu menampar wajahnya.

Mata Portia terbuka, terlonjak bangun dari posisi tidur. Gadis itu terdiam, memproses keadaan yang terjadi. Jantungnya berdegup kencang, hingga perlahan melambat ... dan akhirnya kembali berdetak dengan normal.

Mata sang Putri Ketiga mengerjap beberapa kali, hingga memastikan bahwa ia benar-benar sadar. Bukankah tadi ia sudah bangun? Portia tidak tahu. Ia merasa bahwa tadi ia sudah bangun, lalu ... ia tidak ingat kelanjutannya. Portia memegang kepalanya. Ia bangun, lalu selanjutnya buram ... hingga ada yang menamparnya.

Tangan Portia sontak beralih ke pipi. Pipi kanan, ia yakin tadi pipi kanannya ditampar. Namun, tidak ada rasa perih. Apa ia benar-benar ditampar? Portia menarik napas panjang. Mungkinkah tadi itu hanya mimpi? Portia memijat keningnya yang mulai berdenyut. Apa yang terjadi?

Suara dentingan memecah pikiran sang Putri. Sontak, Portia menoleh, melirik jam perak yang terpasang di dinding sebelah kiri. Penerangan yang padam membuat sang Putri Ketiga kesulitan untuk melihat angka jam. Ia lalu teringat ucapan Miranda. Dengan ragu, ia berkata, "Lampu nyala."

Seketika, seluruh sudut ruangan menyala. Lampu-lampu kecil yang tergantung di dinding kini berpendar lembut. Warna biru terang kini menyinari kamar Portia. Mata Portia membola. Ia sudah melihatnya kemarin saat Miranda mendemonstrasikan caranya, tetapi Portia tetap saja terkejut untuk kedua kalinya.

Tempat ini benar-benar ajaib!

Cukup lama dirinya mengagumi hidupnya lampu-lampu itu, hingga ia sadar akan tujuan sebelumnya.

"Tujuh," gumam Portia saat melihat angka yang ditunjukkan jam berbentuk bulan purnama tersebut. "Tujuh lebih."

Mata Portia lalu bergerak ke samping, memandang sekeliling. Ia berada di sebuah kamar yang sangat luas. Kertas dinding bernuansa biru melapisi ruangan ini. Gorden-gorden berwarna senada menutupi berbagai jendela dan sudut yang ada. Furnitur-furnitur bergaya klasik juga menghiasi pemandangan Portia. Tak lupa terdapat sebuah kasur empuk berukuran besar yang sedang ia duduki.

Perkataan Miranda tiba-tiba terputar dalam benaknya.

"Paviliun Bulan kini menjadi milikmu, Putri."

Portia tersenyum kecut.

"Paviliun ini adalah satu-satunya bangunan yang terpisah dari tembok istana, jadi ini salah satu tempat dengan privasi teraman. Kau bebas di sini."

Portia menghela napas. Ia tidak bermimpi, juga tidak kehilangan akal. Kejadian kemarin memang nyata rupanya. Ia benar-benar menjadi seorang putri yang kehadirannya ditunggu-tunggu di dimensi antah berantah ini.

Benar-benar aneh.

Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar, membuyarkan lamunan sang gadis.

"Putri." Suara seorang perempuan memanggil. "Apakah Anda sudah bangun?" tanyanya dari balik pintu.

Portia masih terdiam. Pikirannya memutar kembali perkataan Miranda yang lain ... dan menggeleng pelan. Tangannya lalu merapikan rambut hitamnya yang berantakan.

"Putri?"

Portia menarik napasnya dalam-dalam. Sepertinya ia harus terbiasa dengan panggilan 'sang Putri'.

"Aku sudah bangun," balas Portia, nyaris berteriak--karena ia tidak tahu sekecil apa suaranya yang terdengar dari balik pintu besar itu.

Pintu terbuka, memperhatikan seorang perempuan bergaun polos dengan panjang semata kaki berwarna abu-abu. Gaun itu berbentuk H-line dengan lengan panjang. Renda biru muda terjahit di bagian kerah, lengan, dan bawah. Motif sebuah bulan sabit tersulam rapi di bagian tengah pita berwarna hitam yang terikat di lingkar pinggangnya. Rambut hitamnya disanggul rapi dengan pita biru muda. Sebuah kalung berhiaskan sebutir mutiara terkalung di leher jenjangnya.

Perempuan itu tersenyum tipis. Ekspresi lega terpampang jelas di wajah bulatnya. Kehangatan terus terpancar dari sorot mata kuningnya.

"Selamat pagi, Putri. Apa tidur Anda nyenyak?"

"Selamat pagi," jawab Portia. Intonasi suaranya berbanding terbalik dengan perempuan tadi. "Iya, sepertinya," gumamnya.

Kasur ini empuk dan nyaman, jadi aku tidak sepenuhnya berbohong, kan?

"Apa ada sesuatu yang kurang pas, Putri?" tanya perempuan itu. Nada suaranya terdengar tenang, tetapi sekilas terlihat kekhawatiran pada iris kuningnya.

Portia buru-buru menggelengkan kepala. "Tidak! Semuanya pas. Ah, maksudku, tidak ada yang kurang dari ruangan ini. Kamar ini sempurna. Aku sangat menyukainya," balas Portia. Intonasi suaranya yang awalnya tidak beraturan berubah menjadi tenang.

Oh! Aku pandai juga merangkai kata.

Sang gadis menyempatkan dirinya untuk mengagumi pilihan katanya. Ia lalu kembali menghadap perempuan yang baru memasuki kamarnya. Perempuan itu melebarkan senyumnya, terlihat lega.

Melihat senyumannya, entah kenapa membuat Portia ikut mengukir senyum. Namun, senyumnya perlahan sedikit memudar. Siapa perempuan ini?

Perempuan bergaun kelabu itu terlihat menyadari tatapan Portia. Ia membungkuk hormat. "Kepala Dayang Pribadi Putri Mahkota, Dayang Tingkat Empat, Lana, selalu siap melayani Anda."

Portia mengangguk. Tentu saja seorang putri memiliki dayang. "Kepala Dayang Lana, senang bertemu denganmu," ujar Portia lembut.

"Cukup Lana saja, Putri." Lana mengangkat badannya. Senyumannya masih setia mengembang. "Sekarang adalah waktunya sarapan. Saya tidak tahu makanan apa yang Anda sukai, jadi ...." Lana mengeluarkan sesuatu dari kantong seragam dayangnya. Benda itu sontak memantulkan cahaya biru yang indah saat terkena sinar lampu. Sebuah lonceng. Lonceng kecil yang mirip seperti bola kristal mini itu kini mengalunkan nada aneh saat Lana menggoyangkannya.

Seketika, seorang perempuan bersanggul dengan pita hitam memasuki kamar sang Putri. Ia mengenakan gaun polos seperti Lana, tetapi kainnya berwarna hitam. Renda abu-abu terhias di bagian kerah, lengan, dan bawah. Pita warna hitam dengan motif bulan sabit terikat di pinggang, bersinar saat terkena pantulan cahaya. Ia mendorong troli perak yang setiap tingkatannya dipenuhi penutup makanan, mendekati kasur megah Portia.

"Selamat pagi, Putri." Pelayan bergaun hitam itu membungkukkan badannya. Belum sempat Portia membalas, ia dengan cekatan membuka masing-masing penutup di setiap tingkatan troli perak tersebut.

Tingkatan paling atas berisi berbagai macam makanan pembuka yang menggugah selera. Sup labu, salad buah, dan lainnya berhasil membuat perut Portia meronta liar.

Lalu tingkatan kedua dihiasi dengan berbagai jenis roti, selai dan madu yang memberikan aroma yang khas.

Tingkatan ketiga dipenuhi oleh berbagai bentuk kendi, guci, dan teko. Benda-benda dari keramik itu diperindah oleh berbagai motif yang dilukiskan secara teliti. Portia yakin, dia bisa menjadi kaya dalam sekejap hanya dengan menjual keramik-keramik itu.

Dan, tingkatan paling bawah berisi sebuah meja kecil berwarna silver dan kotak-kotak kecil dengan berbagai macam sendok, garpu, pisau, dan peralatan makan lainnya. Alat-alat makan itu terbuat dari perak dengan ukiran-ukiran cantik yang ada di ujung ganggangnya.

"Silakan dinikmati sarapannya, Putri." Sang pelayan tersenyum ramah sebelum kembali membungkuk dan undur diri dari hadapan Portia.

Namun, Portia terlihat tidak begitu menghiraukan pelayan tanpa nama itu. Pandangannya belum lepas dari troli makanan sejak penutupnya dibuka. Tanpa sadar, sepertinya perutnya sudah kelaparan. Mulut Portia terbuka. "Dayang Lana-- Lana, semua ini untukku?"

Lana mengangguk sopan. "Benar. Seperti yang tadi saya katakan, saya tidak tahu makanan apa yang Anda sukai, jadi saya mempersiapkan beberapa menu sarapan spesialis koki istana untuk bulan ini. Seperti biasa, dari kemarin hingga kedepannya kemungkinan cuaca akan bertambah dingin, itu sebabnya saya memilih makanan yang dapat menghangatkan tubuh."

"Saat kemarin aku datang ...." gumam Portia, mulai tersadar dan melepas pandangannya dari makanan beraroma lezat itu.

"Kemarin adalah pergantian bulan, hari pertama era bulan yang baru, era Bulan Sian. Cuaca di seluruh Dimensi Bulan akan lebih dingin dari biasanya," jelas sang dayang. "Jika saja kemarin tidak bersamaan dengan Hari Pertama, maka mungkin saya bisa memetiknya ...," gumam Lana.

"Hari Pertama?" gumam Portia.

"Ah, maafkan saya yang mengomel ini. Anda pasti sudah lapar, benar?" Lana yang tidak mendengarkan gumaman Portia, membungkukkan badannya untuk mengambil sebuah meja kecil yang berada di tingkatan troli paling bawah dan menempatkannya di hadapan sang Putri. Keempat kaki meja mengapit paha Portia yang masih terbungkus selimut. Dayang tingkat empat itu dengan ahli mengatur meja makan berwarna perak itu agar tidak bergerak.

Portia hanya memandangi setiap gerak-gerik dayang pribadinya itu. Entah mengapa, ia tidak merasa canggung atau aneh dengan perlakuan dayang pribadinya yang sedang mempersiapkan meja makan untuknya.

"Makanan apa yang ingin Anda makan terlebih dahulu, Putri?"

Aku tidak akan pernah terbiasa dengan panggilan ini ....

Portia membuang pikirannya jauh-jauh. Ia lalu melirik makanan-makanan lezat yang ditunjuk Lana. "Apa aku harus menghabiskan semua itu?"

Lana sedikit terkejut dan terkekeh. "Saya akan sangat terkejut jika Anda berhasil menghabiskan semua ini, Putri. Pilih saja makanan yang Anda sukai dari makanan pembuka hingga makanan penutup."

"Ah, kalau begitu, bisa tolong ambilkan sup labunya?"

***

"Nyonya."

Para tetua yang sedang duduk di kursi mereka segera bangkit dan menundukkan kepala saat Miranda memasuki ruang pertemuan Klan Bulan.

"Selamat pagi." Miranda beranjak menuju kursinya yang berada di depan jendela besar. Tidak ada basa basi panjang seperti biasanya, Miranda ingin segera membahas hal-hal yang amat penting bagi kelangsungan Dimensi Bulan ini.

Para tetua kembali duduk dan menghadap Pemimpin Klan Bulan yang sangat mereka hormati. Meja berbentuk lingkaran membuat mereka harus menggerakkan leher mereka agar dapat melihat Miranda.

"Sang Putri Ketiga telah tiba. Maafkan kami tidak dapat ikut menyambutnya, Nyonya." Para Tetua kembali menundukkan kepalanya. "Kemarin bertepatan dengan Hari Pertama. Kami tidak bisa meninggalkan Hutan Cahaya."

Miranda menatap ketiga pria di hadapannya. Hari Pertama. Hari di mana bulan baru pertama kali muncul. Ketiga orang di depannya pasti sangat kelelahan saat menjaga kestabilan energi Hutan Cahaya yang selalu lepas kendali setiap Hari Pertama.

Miranda tersenyum tipis sebelum berkata, "Tidak masalah. Kemarin adalah hari yang melelahkan. Tiga peristiwa penting terjadi di hari yang sama." Ia lalu menatap tetua berambut abu-abu. "Bagaimana dengan upacara kemarin?"

"Berjalan lancar, Nyonya. Keseimbangan akan tetap terjaga," jawab pria tua itu. "Bagaimana dengan sang Putri Ketiga, Nyonya?"

Miranda tersenyum lembut saat mendengar nama lain Portia. Ia mengangguk mantap. "Cahaya Dimensi Bulan telah datang. Aku harap kalian bisa membimbingnya dengan baik." Miranda terdiam sejenak. "Dia sangat ... lembut."

Sebelum tetua berambut kelabu itu kembali membuka mulutnya, pria di sampingnya lebih dahulu mengambil kesempatan. "Ramalan Pemimpin Klan Bulan Pertama yang Agung telah kembali terwujud. Tetapi, Nyonya ... apa kita bisa memercayainya?" tanya tetua berambut putih panjang itu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang besar.

"Nyonya," tetua berambut hitam keriting ikut menimpali, "maafkan kelancangan kami, tetapi apa tragedi akan datang?"

Miranda tidak menjawab.

"Kalian berdua benar." Tetua berambut abu-abu akhirnya kembali membuka mulut. "Kita tidak dapat memprediksi kejadian selanjutnya. Namun, kita tidak dapat memutuskan secara langsung seperti itu. Kita tidak tahu takdir apa yang memilihnya. Takdir sang Putri Pertama atau takdir sang Putri Kedua," sanggahnya.

Miranda mengangguk lemah. "Posisinya bagaikan pedang bermata dua." Ia menatap tetua-tetua berambut putih dan hitam. Tatapannya lalu beralih menuju tetua berambut abu-abu. "Namun, bagaimana jika sang Putri Ketiga memiliki takdirnya sendiri?"

Kini, para tetua terdiam.

"Nyonya, apa Anda menyetujui posisi sang Putri Ketiga?"

Miranda menghadap tetua berambut putih sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke depan. "Aku setuju. Aku telah memasangkan Liontin Bulan ke lehernya. Meskipun belum resmi, ia telah menjadi Putri Mahkota Kerajaan Bulan."

"Apa Anda menaruh kepercayaan kepada sang Putri Ketiga, Nyonya?" Tetua berambut hitam menatap lekat-lekat mata sang Nyonya.

Cukup lama keduanya beradu pandang hingga Miranda menjawab, "Aku percaya."

Kesungguhan dalam ucapan Miranda berhasil mendapat anggukan sang penanya. Pria berambut hitam itu dapat melihat jelas kepercayaan Miranda di pupil perak sang Ratu. Ia memutus kontak mata diiringi dengan senyuman tipis.

Miranda kembali melanjutkan, "Aku dapat melihat cahaya di matanya. Tentu sang Putri Pertama dan sang Putri Kedua pasti juga memancarkan cahaya yang besar--meskipun aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun, aku merasa cahayanya berbeda. Cahaya sang Putri Ketiga miliki unik dan berhasil menarik perhatianku. Ini mungkin alasan yang cukup lemah, tetapi ini cukup untuk membuatku menaruh kepercayaanku padanya saat pertama kali aku menatap matanya."

Sudut bibir tetua berambut kelabu tertarik, membentuk sebuah senyuman hangat. "Anda mengingatkanku pada ayah Anda, Nyonya. Aku memercayai penilaian Anda."

Kedua tetua yang lain mengangguk setuju.

"Terima kasih."

Suara ketukan pintu menggema menghiasi ruang pertemuan klan. Keempat pasang mata berwarna perak memfokuskan pandangannya pada pintu berukuran sedang di ujung tengah ruangan.

Pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sesosok gadis berambut hitam dengan corak kelabu dibagian bawahnya. Mata biru sian sang gadis seindah cahaya bulan yang bersinar kemarin malam. Ia mengenakan gaun berwarna senada, berhiaskan berbagai motif bulan yang dijahit dengan benang perak.

Miranda bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Portia. Para tetua juga melakukan hal yang sama.

"Selamat datang, sang Putri Ketiga!"

Portia tersenyum kikuk, ragu tentang apa yang harus ia lakukan.

Lana mengatakan aku akan menghadiri rapat dengan para tetua klan. Posisi tetua adalah posisi yang tinggi bukan? Aku harus memberi hormat, tapi hormat yang bagaimana?

Portia merendahkan badannya dan memberi hormat seperti seorang bangsawan yang ia pelajari dari gerakan Miranda semalam.

"Putri, kau terlihat bimbang, tetapi tetap memberikan hormat pada kami. Kau memiliki sikap yang baik, tapi kau melakukan posisi yang salah." Tetua berambut hitam tersenyum kecil.

"Salah?" Portia mendongakkan kepalanya dengan ekspresi gabungan kebingungan dan ketakutan.

"Penghormatan yang kau lakukan tidak salah, kesalahan berada pada orang yang kau tuju. Penghormatanmu tadi berlaku bagi kehidupan istana. Klan Bulan cukup dengan menundukkan kepala saja, Putri," jawab tetua berambut abu-abu.

Sekilas, semburat merah muda muncul di pipi Portia. Portia buru-buru memperbaiki posisinya dan berkata, "Maafkan aku--saya! Saya tidak mengetahuinya!"

Tetua berambut hitam terkekeh. "Kau baru tiba kemarin malam atau bisa dibilang dini hari tadi. Itu hal yang wajar, Putri."

Portia tetap gugup dan tanpa sadar mengedarkan pandangannya ke lantai. Sebuah tepukan ringan mengagetkan dirinya. Portia sontak menoleh dan mendapati Miranda sedang tersenyum lembut, selayaknya senyuman seorang ibu. Sang Putri Ketiga mengangguk kecil saat dituntun oleh Miranda menuju kursinya. Liontin bulan yang menghiasi lehernya sontak berpendar lembut tatkala terkena pantulan sinar lampu yang melayang-layang di sekitar ruangan.

"Sang Putri Ketiga telah tiba. Aku, Miranda Mona, menyambutmu di sini sebagai Pemimpin Klan Bulan yang Kelima Puluh."

"Terima kasih, Yang Mu--"

"Kau melakukan kesalahan lagi, Putri," potong tetua berambut putih, tepat saat bokongnya menyentuh bantalan kursi. "Sebagai seorang Ratu di Kerajaan Bulan, 'Yang Mulia' adalah panggilan yang benar. Namun, sebagai seorang Pemimpin di Klan Bulan, 'Nyonya' adalah panggilan yang benar," lanjutnya.

Portia tertunduk malu. Ia tidak tahu akan hal itu. Tanpa sadar, ia meremas rok gaunnya. Ia lupa bahwa menyetujui posisi sebagai sang Putri Ketiga tentu saja sama dengan menyetujui segala aturan yang berlaku di sini. "Maafkan saya."

"Angkat kepalamu, Putri. Jangan pernah menundukkan kepalamu selain saat memberi hormat. Ingat, kau sekarang adalah sang Putri, cahaya bagi Kerajaan Bulan," tutur tetua berambut hitam. Kata-katanya terkesan keras, tapi terdapat kelembutan di dalamnya.

"Kau dipanggil kemari untuk meresmikan posisimu di hadapan para petinggi klan Bulan," ucap Miranda, mengabaikan adegan yang baru saja terjadi.

"Meresmikan, Nyonya?" tanya Portia, kini dengan sebutan gelar yang benar.

"Benar." Miranda menghadap para tetua dan bertanya, "Apa kalian telah memutuskannya?"

Para tetua mengangguk.

Tetua berambut putih menghadap Portia. "Aku sebagai Tetua Ketiga dari klan Bulan memberikan cahayaku." Sebuah cahaya biru muda mengelilingi tempat Portia. Mulut gadis itu sedikit terbuka melihat kejadian di depannya. Sekilas sebuah bayangan terbang di antara cahaya yang tetua.

Tetua berambut hitam memejamkan matanya. "Tetua Kedua, memberikan cahaya diriku pada sang Putri." Cahaya berwarna senada mengelilingi Portia, menambah cerahnya cahaya sebelumnya. Lagi, sebuah bayangan berbentuk seperti kupu-kupu bersayap panjang terbang mengelilingi cahaya Sang Tetua.

Tetua berambut abu-abu memberikan sebuah senyuman sebelum berkata, "Aku, Tetua Pertama klan Bulan, memberikan cahayaku kepada sang Putri Ketiga." Cahaya yang dikeluarkan Tetua Pertama meluncur menuju Portia. Seekor kupu-kupu bersayap cahaya muncul dan terbang mengikuti arah cahaya.

Ketiga cahaya tersebut bersatu dan menghilang saat bersentuhan dengan liontin bulan yang terkalung di leher Portia yang sedang terkejut itu. Ketiga kupu-kupu bercahaya itu menari-nari di atas kepala Portia, menyebabkan sang Putri Ketiga bermandikan serbuk-serbuk cahaya akibat kibasan sayap mereka. Ketiga kupu-kupu biru itu perlahan menjadi serbuk dan menghilang.

"Apa yang--"

"Kupu-Kupu Biru Bulan yang Agung! Azura," ucap Tetua Ketiga.

"Kau berhasil memanggil Alterasi Cahaya, Putri. Cahayamu menarik perhatiannya. Azura memilihmu. Selamat!" lanjut Tetua Kedua.

"Alterasi Cahaya? Azura?" Portia menoleh ke arah Miranda, mencari jawaban.

Miranda mengangguk. "Alterasi Cahaya adalah cahaya--kekuatan--yang memiliki jiwa. Azura adalah Alterasi Cahaya yang paling pertama saat pembentukan Dimensi Bulan."

"Alterasi Cahaya datang di saat yang tepat! Azura merestuimu, Putri." Tetua Pertama menunjukkan senyumannya. "Namun, hadiahmu masih berlanjut, Putri. Meskipun kau bukan termasuk anggota klan Bulan, tetapi kau akan diberikan kehormatan memakai nama belakang dari pemimpin klan Bulan yang berkuasa di era ini sebagai bentuk penghormatan kami pada sang Putri. Hadiah kami yang terakhir," lanjut Tetua Pertama.

Miranda memberikan senyuman lembutnya.

"Selamat atas peresmianmu, sang Putri, Portia Mona."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top