BAB I - KEDATANGAN

"Selamat datang, sang Putri Ketiga!"

Pu ... tri?

Aku membuka mata dengan pelan. Hmm? Mataku mengerjap beberapa kali sebelum pandanganku akhirnya terfokus. Di mana ini?

"Sang Putri Ketiga!"

Kepalaku perlahan bergerak, menoleh ke sumber suara. Seorang pria paruh baya membungkuk hormat di hadapanku. Rambut peraknya bersinar terkena pantulan cahaya bulan, sekilas menyebabkan warnanya membiru.

Biru ...?

"Selamat datang, sang Putri!"

Belum selesai memandangi pria di depanku, pandanganku kini beralih ke arah suara yang lain. Beberapa, bukan, belasan orang mengelilingi kami berdua. Mereka mengenakan pakaian yang senada, jas dan gaun bernuansa biru gelap. Midnight Blue. Namun, bukan itu yang membuat mataku membulat. Mereka bersujud, mengarah padaku dengan kepala yang menyentuh tanah.

Aku mematung, terpaku melihat suasana ini. Siapa mereka? Mengapa mereka bersujud padaku? Siapa 'sang Putri' yang mereka maksud? Kenapa ... aku bisa berada di sini?

"Putri?" Ucapan itu berhasil membangunkan lamunanku. Aku kembali menghadap pria berambut perak dan terkejut melihatnya masih berada pada posisi yang sama.

"Ah! Tolong bangunlah!" Aku bergegas menghampiri pria yang berjarak beberapa langkah di depanku ini. Namun, belum ada satu langkah, badanku terasa sangat berat. Berat dan kaku, seakan ada beban yang mengikat seluruh tubuhku. Seakan sudah lama aku tidak menggerakkan badan.

Kenapa?

Aku memaksa berjalan dan perlahan, sedikit demi sedikit, kurasakan beban di kakiku mulai meringan. Ringan dan semakin ringan, hingga akhirnya tanganku berhasil meraih pria itu. Dengan tenaga yang tidak seberapa, aku menggoyang pelan lengannya. "Tuan ...."

"Putri?" Pria itu mendongakkan kepala, membuat mata kami bertemu. Ah! Bola matanya berwarna kelabu. Sungguh warna abu-abu yang jernih. "Apa Anda baik-baik saja?"

Aku kembali tersadar. Mataku mengerjap. "Tolong bangunlah, Tuan, dan," aku mengalihkan pandanganku menuju orang-orang yang mengelilingi kami, "ah! Kalian semua juga! Tolong bangunlah ...."

Orang-orang yang mengelilingiku hanya mendongakkan kepala mereka. Mereka menatapku dengan raut wajah keheranan. Ekspresi yang sama dengan pria di depanku.

"Tolong bangunlah--" Ucapanku terpotong saat aku menyadari bahwa suaraku tidak terdengar. Mataku membeliak. "Suaraku ...." Aku kembali membuka mulut sebelum menutupnya dengan cepat. Apa? Kenapa?

"Anda baik-baik saja?" Aku menolehkan kepala saat mendengar ucapan pria bermata kelabu itu. Ia menatapku penuh kekhawatiran.

Mataku kembali mengerjap. Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Suaraku menghilang! Kenapa? Kenapa aku tidak bisa berbicara?

"Apa yang terjadi?!" Tanpa sadar, aku berteriak. Dan, mataku kembali membulat. Aku menatap sekeliling, wajah penuh kekhawatiran mereka semua berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa.

Tadi itu suaraku ... kan?

"Putri." Pria berambut perak itu kembali bersuara. "Anda baik-baik saja?" tanyanya lagi, mengulang pertanyaan sebelumnya yang belum kujawab.

Aku masih tidak baik-baik saja. Namun, aku malah menggelengkan kepalaku dan membalas tatapannya sembari berkata, "Aku ... baik-baik saja."

Aku terdiam sejenak dan kembali menatap sekelilingku. Orang-orang itu telah bangkit dari sujudnya dan kini membuat barisan di sebelah kanan, membuat pemandangan di sekitarku kini terlihat lebih jelas. Aku, bukan, kami semua berada di sebuah ... taman? Taman ini bagaikan sedang bermandikan cahaya biru dari bulan purnama yang berada tepat di langit di atas kami. Tidak ada siapapun di sini selain ... aku dan mereka. Apa mungkin?

"Tunggu, Tuan," aku akhirnya tersadar, "mengapa Anda dan semua orang ini memanggilku ... 'Putri'? Kenapa kalian memberi hormat padaku?"

Pria paruh baya di hadapanku menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Putri, apa yang Anda bicarakan? Tentu saja kami harus hormat pada calon pemimpin sekaligus penerus kerajaan ini. Dan, itu adalah Anda."

Jawaban pria itu membuatku kembali membulatkan mata. Aku apa?

Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, pintu besar yang berada di belakang pria itu terbuka. Orang-orang yang berbaris di kananku serentak membungkuk hormat ke arah orang yang baru tiba itu. Ke arah ... seorang wanita?

Cahaya biru bulan yang begitu terang membantuku melihat lebih jelas sosok wanita yang perlahan berjalan keluar dari pintu berwarna perak tersebut. Ia berjalan ke arahku. Langkahnya tegas, tetapi anggun. Rambut peraknya tersanggul rapi, dilindungi oleh sebuah mahkota berwarna putih dengan berbagai permata bercorak biru yang melingkari kepalanya dengan indah. Leher jenjangnya dihiasi oleh sebuah kalung dengan berbagai permata indah dan ukiran-ukiran rumit. Tubuh putih pucatnya dibalut oleh sebuah gaun putih bermotif bulan yang menyapu tanah.

Aku terpana. Wanita yang sungguh cantik.

"Sang Putri Ketiga." Wanita itu tersenyum lembut. "Selamat datang di Dimensi Bulan!" ucapnya saat ia berhenti beberapa langkah di depanku.

Aku kehilangan kata-kata. Terpaku. Terpaku saat melihat wajahnya. Mata kami beradu pandang. Mata peraknya sangat-sangat jernih. Aku bahkan bisa melihat dengan sangat jelas pantulan mata biru sianku.

Siapa wanita ini?

Perasaan aneh apa ini? Apa aku mengenalnya?

Wanita itu memberikan senyumannya. Senyuman yang sangat lembut. "Aku tahu kau mempunyai banyak pertanyaan," ucapnya pelan. Ia lalu menjulurkan tangan kanannya ke arahku dan berkata, "Putri, aku akan memberikan jawaban yang kau inginkan, tetapi untuk sekarang, kita harus menuju ke Paviliun Bulan."

Apa?

Aku terdiam, memandang tangan wanita tersebut. Apa maksudnya? Dia tahu apa yang sedang terjadi? Aku mendongak, kembali menatapnya. Apa aku dapat mempercayaimu? Pertanyaan itu terus terngiang dalam kepalaku. Atau aku tetap diam di sini saja dengan orang-orang yang tidak aku kenal ini? Aku tidak tahu.

Atau ... aku lari secepat mungkin dari tempat ini?

Aku menjatuhkan pandangan. Tidak. Tidak mungkin aku memilih pilihan yang terakhir, terlebih aku sendiri tidak tahu tempat macam apa ini.

Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata, berusaha bersikap tenang. Tidak ada gunanya panik dalam situasi yang benar-benar aneh ini. Tenang ....

Aku kembali membuka mata. Tetap di sini atau meraih tangannya, pilihanku hanya itu. Kepalaku mendongak, menatap wajah wanita di depanku. Aku ... aku menginginkan jawaban. Dan, wanita ini menawarkannya padaku.

"Baiklah."

***

Wanita itu akan membawaku menuju sebuah paviliun yang letaknya tidak jauh dari taman tadi, katanya. Lama kami berjalan, menyusuri jalan setapak yang dihiasi oleh berbagai tanaman merambat yang sama sekali tidak familiar. Kadang, aku seperti melihat gerakan aneh yang tiba-tiba muncul pada tanaman merambat di sekelilingku ini, seakan-akan mereka bisa bergerak. Namun, setiap aku menoleh untuk memastikannya lagi, mereka seakan terdiam seperti tanaman biasa. Sepertinya aku salah lihat.

Langkahku terhenti mendadak saat hampir menabrak punggung wanita di depanku. Astaga, sejak kapan ia berhenti?

"Paviliun Bulan."

Ya?

Aku memiringkan kepala, berusaha melihat paviliun yang dimaksud. Lama aku terdiam. Kosong ...?

"Maju sedikit, Putri. Kau masih di luar kubah."

Aku menatap wanita itu sebelum mengikuti sarannya. Kakiku melangkah kecil, menuju samping sang wanita ... dan merasakan sensasi dingin yang menerpa wajahku. Mataku sontak menutup sebelum kembali membuka pelan.

Ya ampun!

Mataku membulat menatap bangunan yang tidak jauh berada di depanku.

Paviliun Bulan. Bangunan berbata biru tua dengan ornamen-ornamen berbentuk lingkaran berwarna abu-abu. Tanaman-tanaman melingkar berwarna hitam memagari tempat ini. Kolam yang mengelilingi bangunan bagai cermin yang merefleksikan segala yang ada di atasnya. Cahaya biru bulan seakan menambah keindahan dari Paviliun Bulan.

"Indahnya," gumamku.

Wanita itu melirikku sambil tersenyum lembut. Ia menyentuh pundakku sebelum melanjutkan langkahnya ke dalam paviliun. Aku mengikutinya, tentu sambil mengagumi keindahan yang mengelilingi tempat ini.

Langkahku terhenti seketika tatkala melihat sebuah cahaya biru abstrak yang bergerak bebas di atas kolam. Cahaya itu perlahan membentuk sebuah siluet, seperti seekor kupu-kupu raksasa. Sayap panjangnya bagaikan bermandikan cahaya biru bulan. Ia terbang bebas bagai alunan melodi. Kadang ia memutari kolam, kadang ia terbang ke atas dan ke bawah. Ia seperti sedang mengadakan sebuah pertunjukan yang ditontonkan kepadaku. Aku menontonnya dengan saksama hingga ia perlahan terbang ke arahku.

Tanganku bergerak, berniat menyentuhnya. Namun, kupu-kupu besar itu menghilang, berubah menjadi butiran-butiran cahaya. Butiran-butiran menyilaukan itu terbang dan menabrak tubuhku, membuatku memejamkan mata saat cahayanya menerpa wajahku.

Saat aku membuka kembali mataku, cahayanya menghilang. Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Tadi itu apa?

Suara pintu membuyarkan pikiranku. Aku menoleh ke arah sumber suara dan melihat wanita itu sudah memasuki paviliun. Dengan tergesa, aku mempercepat langkahku, memasuki bangunan di depanku ini.

Sesuai dugaanku, ruangan di dalam paviliun sama indahnya dengan bagian luar. Biru, abu-abu, dan hitam mewarnai berbagai kertas dinding, furnitur, dan lantai kayu.

Wanita itu sudah duduk dengan anggun di atas sofa hitam yang berada di tengah ruangan. Ia menggesturkanku untuk duduk di seberangnya. Aku mengangguk pelan lalu mendekati tengah ruangan, duduk di sofa yang telah ditetapkan.

Satu menit, dua menit, keheningan melanda kami berdua. Wanita berambut perak itu hanya menatapku dalam diam. Tatapannya intens, seakan sedang menyelusuri pikiranku. Mata kami kembali beradu pandang.

Sebuah senyuman menghiasi wajah wanita itu.

"Sang Putri Ketiga, izinkan aku memperkenalkan diriku dengan benar." Wanita itu bangkit dan mulai memberikan hormat. Kepalanya menunduk dengan punggung yang condong ke depan. Tangannya meraih ujung gaun dan mengangkatnya dengan perlahan. Sungguh gerakan yang sangat anggun!

"Namaku Miranda Mona, Pemimpin Kelima Puluh Klan Bulan, Ratu Kedua Puluh Empat Kerajaan Bulan, Penguasa Tertinggi Dimensi Bulan." Miranda tersenyum lembut. "Selamat datang di Dimensi Bulan!"

Apa?

"Dimensi ... Bulan?" gumamku. "Kerajaan Bulan? Klan Bulan? Ratu?"

Aku berusaha mencerna perkataan wanita yang berdiri di seberangku.

Tunggu ... tidak mungkin!

Setelah semua menjadi lebih jelas, aku segera bangkit dari sofa. "Sebentar! Em ... Yang Mulia? Apa maksudnya semua ini? Mengapa Anda dan orang-orang tadi memanggilku 'Putri'? Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!" pekikku.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak aku membuka mata ... benar, sejak aku membuka mataku tadi. Aku tiba-tiba berada di taman itu. Berdiri di tengah kerumunan orang yang menyambutku tadi. Bagaimana bisa aku berada di sana?

"Aku tahu kau pasti sangat bingung dengan semua ini, tetapi pertama-tama, apa kau ingat siapa namamu?" tanya Miranda lembut.

Nama? Namaku ....

Aku terdiam.

Namaku siapa?

"Apa kau ingat darimana asalmu?" tanyanya lagi.

Asal ... ku?

Aku memejamkan mata. Aku tidak tahu. Seberapa keras aku berusaha, aku tidak mengingat apapun. Memori terakhirku hanyalah adegan penyambutan tadi. Aku ... siapa aku?

Perlahan, kelopak mataku kembali terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah netra perak Miranda.

Miranda mengembuskan napasnya pelan sebelum memejamkan matanya. Seketika, sebuah cahaya biru muncul, menyelimuti meja di depanku.

Apa itu ... sihir? Tidak. Tidak mungkin. Mataku pasti sedang mempermainkan pikiranku. Aku sontak memejamkan mata sebelum membukanya kembali.

Cahaya tadi menghilang? Sepertinya aku benar-benar kehilangan akalku.

"Ada sebuah puisi kuno yang melegenda di Dimensi Bulan." Miranda membuka gulungan di depannya.

Sejak kapan gulungan itu ada?

"Puisi yang di tulis oleh pemimpin klan Bulan yang pertama. Puisi yang indah. Puisi yang menceritakan tentang kedatangan 'sang Putri' ...."

Deg!

Jantungku seakan berdetak lebih cepat dan cepat saat mendengar isi puisi kuno yang dilontarkan oleh Pemimpin Dimensi Bulan di hadapanku. Entah kenapa aku merasakan perasaan ... familiar. Aneh.

"... Sang Putri Ketiga ... era Bulan Sian datang ... dua belas dentingan." Miranda memejamkan matanya sejenak bersamaan dengan selesainya puisi tersebut.

"Jadi," aku berusaha mengendalikan suaraku yang sedikit bergetar, "aku adalah gadis yang diramalkan oleh puisi itu? Gadis yang datang dari dimensi lain, gadis yang terbangun tanpa memori ...."

"Sang Putri Ketiga."

Sang Putri Terakhir.

Suaraku seakan menggema di ruangan yang sunyi ini. Aku menatap mata perak Miranda. Ia mengangguk pelan.

Aku menutup mulutku yang menganga lebar. Semua informasi ini terlalu banyak. Aku tidak tahu apa ini adalah kebohongan, tipuan, atau bahkan mimpi. Tetapi ... ini semua terasa nyata. Terlalu nyata.

Berbagai emosi menyelimuti diriku. Kesedihan, kebingungan, kemarahan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bahkan tidak mengetahui siapa diriku!

Miranda menatapku dengan tatapan khawatir. "Aku tahu ini semua sangat berat untukmu. Kau menanggung takdir yang telah lama ditunggu dan berada di posisi yang sulit." Ia lalu menggenggam tangan dinginku. "Tetapi, ingatlah, Putri. Aku akan membantumu sebisa kekuatanku. Cahayaku selalu ada di belakangmu."

Aku membalas tatapan Miranda. Ia memancarkan cahaya yang hangat. Kehangatan yang berhasil menenangkanku. Seperti kehangatan seorang ibu.

"Apa," aku meneguk ludah, "apa aku-- saya ...."

"Tidak apa, bersikap santailah."

Aku menatapnya. "Apa aku akan terus seperti ini?"

Kini, Miranda mengalihkan pandangannya. Tatapannya sayu saat menjawab, "Aku tidak tahu. Kondisimu berbeda dari sang Putri Pertama ataupun sang Putri Kedua." Sang ratu menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Satu hal yang pasti, takdir kalian sudah lama terikat di Dimensi Bulan ini."

Aku memejamkan mata. Hal yang pasti? Takdirku terikat di sini? Kenapa dia begitu yakin? Apa karena puisi yang secara ajaib meramalkan masa depan itu? Hanya karena sebuah perkamen kuno?

"Kau akan menghabiskan seluruh hidupmu di sini, seperti sang Putri Pertama dan sang Putri Kedua."

Seluruh hidupku? Apa selamanya aku terperangkap di tempat ini? Apa selamanya aku akan hidup tanpa ingatan? Apa ... apa aku harus mengikuti takdir aneh ini?

Mungkin karena melihat kegundahanku, Miranda kembali mengucapkan perkataan yang seharusnya dapat menenangkan diriku. Namun, aku malah membenci perkataannya--

"Aku mungkin tidak mempunyai seluruh jawaban atas pertanyaanmu, tetapi aku yakin jawabannya pasti akan segera terkuak, Putri."

--yang terasa seperti sebuah harapan semu.

Kelopak mataku perlahan terbuka kembali. Harapan palsu, ya? Aku memandang netra perak sang ratu yang menatapku dengan raut tenangnya. Bisakah aku memegang harapan palsu itu? Atau ... bisakah aku menolak takdir ini?

Belum sempat aku mengajukan penolakan, Miranda kembali berucap, "Aku hanya tidak menyangka sang Putri Ketiga akan semuda ini." Wanita itu tersenyum tipis. "Kau terlihat seperti gadis remaja berusia lima belas hingga enam belas gerhana. Tidak ingat apa-apa adalah hal yang sangat kejam." Senyuman di wajahnya luntur. "Takdir memang tidak memiliki belas kasih."

"Enam belas gerhana?" ulangku. Perkataannya membuatku bertanya hal yang lain.

Miranda mengangguk. "Perkiraanku. Jika dari dulu kau lahir di sini, mungkin kau sudah melewati lima belas atau enam belas gerhana. Wajahmu masih sangat muda," paparnya dengan lebih jelas dari sebelumnya.

"Apa," alisku mengerut, "maksud gerhana? Bukannya gerhana adalah fenomena alam," tanyaku, yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang kuucapkan.

"Benar, gerhana adalah fenomena di mana baik bulan dan matahari kehilangan cahayanya selama sehari penuh. Sebelum gerhana terjadi, kami akan melewatkan dua belas purnama. Purnama dan gerhana, kami memakai fenomena itu dalam penanggalan."

Itu ... aneh. Entah kenapa aku merasa aneh, tapi apa yang aneh?

"Putri?"

Panggilan Miranda kembali menyadarkanku. Aku menggeleng.

Miranda menatapku penuh cemas. "Sepertinya kau harus istirahat. Mendengar semua informasi ini pasti membuatmu ... tertekan, Putri. Paviliun Bulan ini akan menjadi--"

"Tunggu, Yang Mulia." Mendengar ucapan Miranda membuatku tersadar akan pertanyaanku yang tadi gagal kulontarkan. "Apa ... apa aku bisa menolak posisi ini?" tanyaku dengan perlahan, berusaha agar tidak menyinggung Miranda.

Kecemasan di wajah Miranda sontak digantikan oleh ekspresi kaget. Ia terdiam cukup lama sebelum raut mukanya kembali seperti semula, wajah tenang yang tidak dapat kubaca.

"Ini takdirmu. Kau ditakdirkan untuk menjadi sang Putri Ketiga."

Aku menggeleng pelan. Takdir macam apa ini? Bisa saja ini karangan orang yang disebut pemimpin klan yang pertama itu! Namun, aku tidak mengatakan hal tersebut. Aku malah berkata, "Takdirku? Takdir yang ... ditulis di gulungan perkamen? Bagaimana jika ... ada kesalahan dan aku bukan sang Putri yang dimaksud, Yang Mulia?"

Kini, Miranda yang menggeleng. "Kau muncul saat seluruh jam menyentuh angka dua belas, terlebih di dentingan kedua belas. Kau juga muncul di tengah Taman Bulan yang dijaga ketat. Memorimu hilang dan warna matamu persis seperti sang rembulan. "Ia menjeda kalimatnya, menilik ekspresiku. "Kau sang Putri Ketiga."

"Itu ...." Benar. Itu masuk ke dalam ciri-ciri sang Putri Ketiga seperti yang ada pada puisi. Sangat-sangat masuk. Aku tidak bisa membantahnya.

Miranda tersenyum tipis. "Ini semua pasti masih membingungkanmu. Seperti yang aku katakan tadi, aku mungkin tidak mempunyai seluruh jawaban yang kau inginkan sekarang, tetapi jika kau mau tinggal di sini, kau mungkin akan mendapatkan jawabannya. Aku akan membantumu sebisaku."

Aku menghela napas berat. Jawaban ... aku benar-benar membutuhkan itu. Aku harus mendapat jawabannya.

Cukup lama aku terdiam, berpikir dan mencerna keadaan. Hingga akhirnya mataku jatuh pada wajah Miranda. Aku menelan ludah. Jika menjadi sang Putri Ketiga akan membawaku menemui jawaban atas takdir aneh ini, maka aku akan mengambil peran ini.

"Baiklah." Aku mengangguk mantap. Suka tidak suka, aku akan menjadi putri itu. "Aku akan tinggal di sini. Aku akan menjadi sang Putri Ketiga."

Senyum Miranda merekah indah. "Terima kasih telah menerima takdirmu, Putri."

"Tetapi," ucapanku membuat senyum Miranda sedikit luntur, "seperti yang kita tahu, aku tak memiliki memori yang tersisa. Aku tidak tahu siapa namaku, jadi apa aku akan terus dipanggil ... sang Putri?"

Wanita bermata perak itu kembali melebarkan senyumannya. "Tidak selalu. Lagipula kau tidak mungkin hidup tanpa sebuah nama, Putri." Miranda lalu merubah posisi tangannya. Ia mengambil pelan tangan kiriku dan mengatupkannya dengan telapak tangan kanan miliknya. "Sang Putri selalu diberikan sebuah nama kehormatan. Dengan nama itulah kau akan dipanggil."

Sebuah cahaya biru kembali menyelimuti telapak tangan kami yang terkatup. "Seharusnya kau akan mengetahui nama itu besok secara formal saat Pertemuan Petinggi Klan," ia terdiam sejenak, "tetapi kurasa kau berhak untuk mengetahuinya sekarang."

Mataku kembali membulat, entah untuk berapa kalinya.

Apa aku tidak salah lihat?

Sihir? Ini benar-benar sihir?!

Mengabaikan kekagetanku, Miranda tetap berfokus pada tangan kami. Cahaya itu perlahan meredup. Miranda membuka tangannya, memperlihatkan sebuah liontin berbentuk bulan purnama yang terbagi menjadi bulan sabit yang terukir rumit. Liontin itu berwarna abu-abu, bukan, berwarna biru, juga hitam. Warna liontin itu berbeda-beda tergantung dari sisi mana yang dilihat, mirip seperti hologram.

Miranda bangkit dari sofa dan membawa liontin itu. Ia berjalan ke belakangku. Tangannya bergerak memasangkan liontin bulan ke leherku.

"Yang Mulia?" Aku sedikit terkejut saat sang ratu sendiri yang memasangkan liontin itu.

"Liontin ini menandakan bahwa kau telah mendapatkan persetujuanku untuk menduduki posisi Putri Mahkota Kerajaan Bulan," tutur Miranda saat ia selesai memasangkan liontin itu.

"Portia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top