6.) memorat
Satu demi satu kerakah terguling dari jalur ombak osean. Bukan badai yang sedang melumat sepuluh kapal penjarah lautan, melainkan tentakel cumi-cumi kolosal yang meremas bahtera mereka.
Pada masa itu para Penjelajah Pustaka antusias terhadap temuan ajaib. Di gulungan kulit lembu, mereka torehkan rute gografi suatu benua selaku kertas pemetaan. Tak berlangsung lama, warta yang tersembuyi itu tertiup juga ke sepenjuru peradaban kurang dari seminggu. Lebih-lebih Penjelajah Pustaka yang masih berkerabat dengan ahli magi telah mengumbar eksistensi relikui magis. Kelompok yang duduk di piramida elitis tentunya ingin lebih dahulu menggagahi pulau-pulau perawan. Namun, para manusia itu salah memilih waktu.
Telur-telur yang menyerupai buntalan kenyal ubur-ubur tengah berarak-arakan di balik permukaan laut, siap menetas. Kapal bertiang rangkap para manusia menggilas hidup-hidup sebagian besar benih kehidupan baru itu. Mereka pikir entitas itu hanyalah segelintir hewan laut yang memiliki insting akan menyingkir apabila ada benda asing lewat. Selaku induk, cumi-cumi kolosal seketika menyemburkan cairan cahaya hitam ke seluruh kapal kerakah yang melintas. Laju berombaknya terhambat, seolah terdapat sulur amat lengket yang menjerat liat.
Di sisi yang bertentangan, salah satu kerakah mampu menandingi lumatan cumi-cumi kolosal. Sebagaimana Hulu Kapal tak jeri menantang maut, Urix dengan kepala yang tertutupi tengkorak hiu—hasil dari buruannya—terangkat bangga. Seraya memberi kesan tangguh sebagai patron, ia mengacungkan pedang sabelnya sejurus mendaki tiang utama kerakah. Para awak kapal siap menerjang dengan tombak yang teracung.
"Ini seperti memancing hiu martil! Kita serang serempak!" seru Urix membakar semangat. Salah sudut bibirnya tertarik penuh hasrat.
Pria perawakan segagah cagak beton itu mengarahkan bilah runcing lurus tertuju mata sebesar piring makan pada gergasi laut. Namun, cumi-cumi itu bergeliat menjauhi tiang-tiang penyangga layar. Sekali lalu berputar membuka lebar mulut berparuhnya yang tersembunyi di balik lengan bertentakel menjengkelkan itu. Serta-merta semburan gas panas membekap Urix. Tampak bagian putih mata memerah keruh hingga makin cokelat gosong kulit tubuhnya. Urix dan para awak kapal lainnya tersedak, seiring uap panas yang disemburkan oleh mulut cumi-cumi telah mengotori udara.
Asam laut pun kian menyengat oksigen yang dihirup para manusia. Beberapa dari mereka kehilangan daya pandang. Akan tetapi, dalam keadaan terdesak demi memenangkan ego, mereka bergelatungan menggunakan tali tambat lalu melompat guna menebas tentakel dengan pedang saling terayun. Tak luput sang Hulu Kapal memimpin di garis pertahanan paling depan, untuk menumpas gergasi tersebut, dan menuntaskan secepatnya.
Sudah ribuan kali Urix beserta awak kapalnya berhadapan dengan momok osean, termasuk cumi-cumi sebesar perahu nelayan. Namun, kini bukan sekadar monster biasa yang menyambut pelayaran mereka. Kepala lonjong cumi-cumi kolosal itu segembung lambung kapal, seluruh tentakelnya dua kali lebih besar dari tiang-tiang penyangga layar kerakah mereka.
Napas yang saling mengepul berlarut-larut kemudian kian terkikis. Sementara, tentakel cumi-cumi itu kembali tumbuh secepat kilat. Tembakan meriam yang dilontarkan hanya mampu memberi luka tembus tak serius pada badan berlendir gergasi tengik itu. Malahan cairan yang terus-terusan dikeluarkan kini menguarkan racun halusinasi.
Satu per satu awak kapal berkeriau kehabisan taktik. Mereka jumpalitan dan beberapa di antaranya tercebur oleh hantaman ombak yang diciptakan cumi-cumi kolosal itu.
"Ini tak ada habisnya! Kita semua akan jadi santapan hidup-hidup sebelum sampai tujuan!"
Dari sisi geladak lain, seorang awak kapal terlihat kelimpungan menyumbat lubang-lubang dampak dari serangan brutal gergasi laut. Sebelum kapal mereka tenggelam perlahan.
"Tuan, bagaimana membunuh monster itu kalau setiap serangan kita lancarkan tidak ada yang berhasil!?"
Urix menancapkan belati ke lantai geladak. Dahinya makin mengernyit. Ketika matanya menjumpai seorang Penjelajah Pustaka yang malah bersembunyi di balik tong-tong mesiu, tangan beruratnya menarik serban yang berjuntai ke leher. "Kau pasti tahu bagaimana mengalahkan monster cumi-cumi bertangan sepuluh itu!? Bukankah kalian bersinggungan dengan kekuatan di atas manusia biasa, hah!?"
"Ummh, i-ilmu sihir kami ... ha-hanya sebatas pemetaan geografi. Ya-Yang kalian lawan adalah Induk Osean. Pasti ada yang membuatnya begitu murka," jawab Penjelajah Pustaka selaku navigator pelayaran ke tempat asing. Nada bicaranya terdengar goyah ditatap begitu menusuk oleh Urix. Ia khawatir apabila jenggot kebanggaannya tercabut di dalam remasan tangan pria kesetanan itu.
"Apa maksudmu!?" sentak Urix, menggeram.
"Uhm, sepertinya kita s-salah waktu mengambil rute ..., saat ini musim kelahiran benih osean," ucapnya terbata-bata. Ia menyengir kecut memperlihatkan gusi-gusi lapuknya yang ompong.
"Kautahu, aku telah kehilangan banyak awak kapal!" Urix mendelik sejadi-jadinya. "Dan armada pelayaran tinggal yang kita pijak ini. Apa aku harus mengatakan bahwa ini misi bunuh diri?"
Pria sepuh itu kesulitan menelan ludahnya hingga tersedak. "Kau harus mendekati kepala cumi-cumi itu dan menikam inti kehidupan di dalam matanya itu."
Urix tergemap. Tubuhnya terpaku sejenak. "Kenapa kau tak katakan sejak awal!?" teriaknya teredam oleh rahang yang mengetat kuat. Ia lempar tubuh si Penjelajah Pustaka hingga tersungkur.
"Ini hanya perkiraanku, Tuan. Aku baru teringat saat menjelajah, kami sempat menyaksikan pertikaian antarmonster di osean." Kepala Penjelajah Pustaka menunduk. Kedua tangannya terangkat sebagai antisipasi bilamana Urix menghantamnya.
Urix membuang ludah. Ketika berlari menghampiri para awak kapal, ia lempar belati kecil sekali pelesat, tetapi meleset. Ujung runcing itu nyaris melewati samping telinga Penjelajah Pustaka, berakhir menancap kayu tiang layar. "Simpan dongengmu!" imbuhnya penuh intimidasi seraya mencabut sabelnya sekali entak.
Penjelajah Pustaka meringkuk gemetaran sembari memegangi kepalanya.
Urix pun membagi formasi penyerangan dengan awak kapal. Mereka kini tidak menyerang bersama dalam sekali waktu. Puluhan orang tersebar menjadi kelompok kecil. Sebagian membuat sibuk lengan-lengan bertentakel dengan melancarkan tebasan penuh tenaga. Lantas menjadi beberapa orang, menggiring serangan masif menjauhi posisi Urix, sekaligus guna mengalihkan atensi mata besar cumi-cumi. Kelompok lain memberi tembakan meriam untuk mengacaukan minda, sisanya memberi jalan tanpa hambatan agar Hulu Kapalnya bisa mendekat ke mata tunggal cumi-cumi tanpa disadari. Serangan pasif nan lambat gergasi laut menguntungkan mereka untuk membalikkan keadaan.
Setiba di pucuk kepala, tiba-tiba embusan angin terhenti. Gema suara riuh senyap senada dengan nuansa penglihatan Urix memirau terang. Lengan kukuhnya yang siap menujah segaris lurus dengan belakang titik mata, mematung begitu saja.
"Kenapa kau membunuhnya, Tuan? Untuk apa?"
Sepintal suara menyesaki isi kepala Urix.
"Siapa di sana!? Keluarlah secara jantan!" Ia tolehkan kepala menyapu sepenjuru ruang. Namun, tidak terlihat apa pun atau siapa si pemilik suara tak berwarna tadi.
"Apakah kau yakin, apa yang kaulakukan ini benar, Tuan?"
Suara itu makin terdengar nyata. Kian dekat seiring udara dingin bercampur panas tertiup menyentuh punggung Urix. Pria itu tersentak. Instingnya yang kuat mampu membalikkan tubuh sejurus menebas sesuatu yang ada di belakangnya.
Mata kelabu Urix memelotot ketika menyaksikan sosok yang ia serang.
Cakrawala langit mendadak berputar mengoyak visualisasi yang dipaparkan. Urix lagi-lagi tersentak ketika ia merasakan seperti kembali ke tubuhnya yang sedang menusukkan sabel ke dalam kepala, di mana segaris lurus dengan posisi mata cumi-cumi di seberang kepala.
Sekelebat hadir nun di kaki langit, seseorang berjubah cokelat dengan menggenggam tombak zamrud berkilatnya, sekonyong-konyong dalam satu tarikan napas menusuk dada Urix. Ia terkesiap, seolah ada ribuan pedang bergumul petir menikam serentak tubuhnya. Tombak lekas ditarik kembali. Darah yang menyimbahi mata tombak itu mengeluarkan bulir-bulir putih. Lambat laun mengeras dan memuntahkan ribuan telur segenggam tangan.
Meski kesulitan bernapas dan nyeri luar biasa, Urix tak buang kesempatan untuk segera mencengkeram tombak berdenyar, lalu menariknya. "S-Siapa kau!?"
Dapat dijumpai sosok pemuda di balik tuduh cokelat itu tengah menggerakkan bibirnya. "Lingkaran malapetaka akan tercipta, dimulai dari darah kotormu." Netra sepirus kelereng pemuda itu menjerat kesadaran Urix pada gulungan kabut memoar yang tidak ingin ia ingat. Sekelebat sosok wanita bersanggul diadem permata laut muncul, kemudian lenyap.
Tembakan cahaya menyentak Urix terjun bebas, bersama meleburnya tubuh cumi-cumi kolosal itu, disertai turunnya hujan darah kebiruan.
"TUAN URIX!!" Para awak kapal berdatangan hendak menyangga tubuh lunglai Urix agar tidak terjun ke laut.
"Kita berhasil, Tuan! Akhirnya, kita berhasil!" seru mereka bergantian.
Dalam keadaan linglung, sontak Urix mencengkeram zirah yang melindungi dadanya. Tidak ada luka gores apa pun kendati napasnya masih memburu. Ia menatap nanar telapak tangannya yang ternyata hanya terdapat bekas luka kering. Padahal ia yakin betul bahwa tubuhnya telah terkoyak. Arah pandangnya tidak menemukan sosok asing yang menyerangnya tiba-tiba di sudut langit mana pun. "M-Mustahil ...."
Salah satu dari mereka mengangkat sabel dengan penuh hormat, lalu ia kembalikan pada sang Hulu Kapal. Namun, Urix tak begitu menghiraukannya.
"Apa yang kaugenggam itu, Tuan?" Seorang awak kapal lainnya memotong keriuhan ketika menyoroti sebongkah batu berpendar yang tergenggam di tangan kiri Urik.
Kontan, tangan kiri Urix bergetar.
"Tuan?"
Tak pedulikan sorak-sorai awak kapal, Urix menepis uluran tangan mereka dan berjalan menghampiri si Penjelajah Pustaka.
"Apa kau masih mengingat pertarungan antarmonster yang pernah terjadi sebelumnya? Dan apakah kau pernah bertemu dengan monster cumi-cumi ini?" Urix tanpa tedeng aling-aling menodong pertanyaan yang kini mulai menghantui benaknya.
Tubuh Penjelajah Pustaka terguncang dengan wajah pucat pasi begitu Urix melemparkan batu kristal ke hadapannya. Sedangkan, ia menatap ngeri cipratan darah biru kehitaman yang menyimbahi keseluruhan wajah Urix.
"Uhm, sa-salah satu monster itu lebih serupa putra dewasa mudamu, Tuan. Kami terjebak badai, lalu muncul monster seperti ular laut dengan tembakan listriknya, anak itu muncul entah dari mana menolong kami." Si Penjelajah Pustaka menatap Urix takut-takut. Tubuhnya masih meringkuk menempel tong mesiu.
"Seorang pemuda? Bagaimana dia mengalahkan monster dan menolong kalian?" Urix menyalangkan mata seolah tak percaya.
Penjelajah Pustaka terdiam sejenak. "Dia punya tombak yang seperti mengeluarkan petir dari langit dan mengendalikannya."
"Menurutmu benda apa itu?" tanya Urix melemparkan tatapan pada batu kristal di lantai kayu bersambung memicingkan mata ke pria sepuh itu.
"Uhm, itu adalah inti sari kehidupan cumi-cumi yang kaukalahkan tadi, Tuan." Penjelajah Pustaka menyentuh perlahan batu kristal yang pendarnya meredup, lalu menghilang. "Sepertinya sekarang sudah menjadi batu biasa."
"Kita kembali melanjutkan pelayaran!" seru Urix yang disambut sorak para awak kapalnya. "Kali ini tunjukkan jalan yang benar atau akan kupastikan kau mendekam di penjara bawah tanah kastel hidup-hidup!"
Penjelajah Pustaka termenung ketakutan.
"Apa kau mendengarku!?" ulang Urix mengentak sabelnya ke lantai geladak.
"I-Iya, Tuan."
Urix pun memberikan kertas peta pada Penjelajah Pustaka. Ketika si pak sepuh itu berdiri di anjungan, ia membelalakkan matanya pada siluet hitam memanjang di sisi berlawanan kapal mereka berlayar.
"Ada masalah?"
"U-Uhm, tidak."
Jarum kompas kehabisan medan magi, tak bergerak seolah mati, kendati wadah kaca bundarnya sudah dipindah ke berbagai arah. Pengarungan pun terpaksa dihentikan. Tak disangka pola garis-garis yang bersumpu pada satu titik pusat di kertas kulit peta tiba-tiba kosong. Lantas tidak ada lagi yang bisa menerangi kawasan di mana kapal mereka mengapung. Sudah berkabut ditambah genangan osean tampak meraksasai ruang lapangan tak berujung.
Untuk sementara, Urix hanya bisa menggeram, dan menghujani tatapan menerkam seperti jaguar kelaparan pada Penjelajah Pustaka. Namun, ia harus lekas bertindak mencari jalan keluar. Dengan suara lantang, pria itu menitahkan para awak kapalnya kembali melaju.
"Cuaca di osean seperti wanita, Tuan. Sulit diprediksi," kata Penjelajah Pustaka, buru-buru ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Urix mendengkus. "Ikuti terus arah pergerakan angin dan burung elang ekor biru itu!" tunjuknya ke kaki langit. "Dia pasti tak akan berlama-lama terbang di atas laut."
Mereka sekoyong-konyong disambut oleh pergumulan halimun aneh. Udara menjadi lebih pengap. Semakin berlayar terus, halimun kian pekat membungkus. Hal itu makin menyulitkan awak kapal yang sudah berpikir ruwet memikirkan keselamatan pencernaan mereka. Bagaimana pula mengemudikan kapal seirama angin meniup layar.
Berujung mereka memaksakan berlayar. Tanpa disadari dan tahu-tahu saja kapal mereka menghantam sesuatu yang terasa padas. Seperti gundukan batu yang menyembul dari dalam laut. Tak sampai di situ kerakah mereka yang sudah ringsek berderak penuh guncangan mengkhawatirkan.
"Berhenti! Jatuhkan jangkar sekarang!" Urix memberi perintah pada awak kapal untuk menepi ke sisi landai, sejurus menghentikan kapal berlayar.
"Tuan, kita berhenti di sini?" Para awak kapal saling lempar pandang meragu.
Pedang lengkung yang kembali terbungkus di sabuk pinggang jubah berlapis zirah Urix siap terangkat dari sarungnya.
"Aku tak ingin lambung bahtera kita makin ringsek! Atau kalian mau tenggelam hidup-hidup, hah!?" Suara Urix bak singa jantan kembali mengaum banglas.
Bulu kuduk para awak kapal berdiri kaku seperti duri kaktus. Mereka akhirnya mengangguk patuh.
Urix berdiri menjulang di haluan. Matanya awas mengamati setiap pergerakan awan kendati sinar matahari mulai menyebar tak jelas. Burung elang ekor biru sebagai kompas alami para penjelajah lautan tak lagi melintas. Ia pun menurunkan perintah saat bertumpu pandang pada salah satu awak kapal cekingnya yang sedang membenahi kekusutan tali tambat seusai melawan cumi-cumi.
"Hei, kau!" seru Urix yang menimbulkan semua pasang mata tertuju pada siapa yang dipanggil Hulu Kapal.
Laki-laki yang rusuknya terlihat menonjol itu menoleh.
"Kau turun dengan sampan! Periksa sekitar! Jangan kembali sampai kau menemukan daratan atau mara bahaya!"
"Aye, Tuan!"
Kendati perintah Urix kerap terdengar represif dan tidak masuk akal, para awak kapalnya sudah tertanam insting patuh.
Awak kapal kurang nutrisi lemak itu bergegas mendayung sampan sampai tertelan oleh halimun aneh. Sementara, Penjelajah Pustaka menatap ragu kalau laki-laki itu akan kembali utuh.
"Yang di sini tetap waspada! Hanya tertinggal kita saja yang masih diandalkan kembali membawa sejarah peradaban baru!" Urix menyemai pelototan sangar pada satu per satu awak kapalnya. "Karena kita tidak paham seluk-beluk sudut laut ini. Apakah akan muncul monster seperti yang telah meluluhlantakkan sembilan kerakah rekan-rekan kita? Atau monster ular yang menghanguskan kapal-kapal militer? Apa pun itu kita harus berhasil menaklukkannya!"
Awak kapal mengheningkan cipta sejenak.
"Mana semangat kalian yang telah tertanam di dalam jiwa raga kalian!?" seru Urix mengentak sabelnya hingga lantai geladak berderak.
"AYE, HULU URIX!"
"Bagaimana dengan kesiapan meriam?" Urix pun menghampiri juru meriam yang tengah menegakkan moncong-moncong meriam ke arah osean lepas.
"Hanya tersisa tiga tong mesiu, Tuan. Untuk meledakkan satu cumi-cumi raksasa seperti sebelumnya, tembakan harus langsung mengenai titik vital. Kita sudah tidak bisa menggunakan meriam. Semua peluru telah habis menghajar monster tadi. Kita berdoa saja tidak akan bertemu monster yang lebih menyulitkan," sahut juru meriam.
Urix mendebas pesimis.
Berlanjut giliran Hulu Kapal itu membayangi Penjelajah Pustaka sebagai momok. "Kau masih belum bisa memperbaiki kompasnya?"
Belum sempat pria sepuh itu menjawab, Hulu Kapal memotong lagi.
"Apa memperbaiki kompas kau juga tak mampu?" tukas Urix penuh sarkasme.
"Sedang saya usahakan, Tuan." Penjelajah Pustaka hanya menatap sekilas Urix sekali lalu memutar gerigi cahaya yang macet.
Urix telah mengepalai sepuluh armada kerakah dalam pelayaran pustaka sejak remaja. Kini tindak tanduk pria berusia pertengahan kepala empat itu telah diyakini sebagai panutan oleh anak buahnya. Mereka tumbuh bersama dalam naungan beringasnya osean. Tak luput menyisakan tragedi tinggal nama. Pun tak sedikit yang jeri untuk tetap loyal berada di sisinya. Ketimbang menggadaikan nyawa secara brutal, beberapa di antaranya memilih banting setir menjadi petani darat, kuli bangunan, makelar tanah.
Di sisi lain, sang penantang maut jiwanya seolah telah terpanggil. Kendati mati terkoyak taring-taring monster laut dan tergilas badai ombak osean, kekerabatan mereka pada momok laut menjadikan bahtera Hulu Kapal Urix sebagai rumah kedua penuh kenangan yang membanggakan. Para laki-laki haus perkelahian itu hanyalah segelintir petarung kengerian osean sebagaimana manusia yang diciptakan oleh api petualang.
Semburat matahari semakin layu. Berlarut-larut kemudian, para awak kapal mulai dijerat rasa bosan. Berkali-kali menguap hingga menyelonjorkan kaki secara ogah-ogahan di lantai geladak. Ada pun yang menghitung rentengan semut pada tiang lalu dikunyah.
"Sang Prajurit datang membawa pedang. Drap, drap, drap. Pedang terayun memenggal musuh. Drap, drap, drap."
"Diam kau! Suara lembumu jauh lebih merdu!" potong awak kapal lainnya yang memecah gelak tawa.
Alih-alih bersenandung mengusir keheningan yang mencekam, suara awak kapal berkumis miring itu justru lebih mengerikan ketimbang syair tokek jantan yang mengundang betina untuk kawin.
"Tapi sayang, yang terpenggal bukanlah musuh, melainkan anakm—"
"Kubilang diam!"
Awak kapal berkumis miring tadi mengakhiri nyanyianya dengan mengerutu.
"Apa yang kaunyanyian tadi?" Seorang awak kapal berotot kuat seperti kuda lain tampaknya penasaran dengan lirik lagunya yang terdengar mistik.
"Hanya lagu pemakaman laut," jawabnya terkekeh. Ia pilin-pilin ujung kumisnya seraya menahan sensasi pedih di tenggorokan dan berisiknya bunyi tabuh dalam perut. "Untuk jaga-jaga kalau kita akan mati mengenaskan dan menyisakan tulang belulang kering dipatuk setan laut."
Semua awak kapal lainnya membanjiri tatapan ingin menendang bokongnya hingga terjungkal dari dek kapal.
Sedangkan, bagi Urix saat ini bukan waktunya leha-leha. Melalui teropong kulit kerang, ia tetap membeliakkan mata dengan berdiri gagah di cucur haluan.
"Keterlaluan! Lama sekali si Tulang Rusuk itu! Apa saja yang dia lakukan di sana!"
"Dia pasti sudah terkencing-kencing dikejar hiu martil! Tembakan meriamnya saja selalu meleset, heran Tuan Urix masih berbelas kasih."
Suara-suara serak kelaparan mereka mulai mencuat.
"Mana ada hiu doyan tulang!"
"Jangan-jangan dia kepincut pesolek duyung di dasar laut! Mabuk diperkosa ramai-ramai, menemukan harta karun, ogah bagi-bagi dengan kita!"
"Mustahil, apa menariknya si Rusuk itu! Duyung-duyung itu pasti buta!"
Akhirnya kelakar mereka sahut-sahutan memecah kesunyian beku.
"Aku berharap dia diperkosa habis sama ngengat laut jika tak mau membagi harta temuannya," seloroh juru masak. Ia turut nimbrung karena dapurnya sudah tidak ada bahan makanan selain sisa tulang ikan yang telah dikeroyok belatung. "Lumayan untuk mengurangi jatah air bersih."
"HUS! Jangan kausebut setan laut itu!" tukas Penjelajah Pustaka. "Mereka bisa mendengar apa yang kita omong dan mengetahui apa saja di seluruh osean ini."
Keheningan membali menyelimuti geladak ketika pria sepuh itu bersuara dengan lantang pula.
"Hei, Kakek, memangnya benar ada? Bukankah itu hanya dongeng mistis untuk menakut-nakuti anak-anak yang berenang ke laut tanpa pengawasan?"
"Belasan tahun aku berlayar bersama Tuan Urix belum pernah sekalipun bertemu ngengat laut."
Penjelajah Pustaka kembali membisu.
"Tanyakan saja pada Tuan Urix. Tuan, apakah kau pernah melihat langsung atau bertemu dengan ngengat laut?"
Para awak kapal cekakak-cekikik.
Sementara itu, Urix tidak menghiraukannya. Sekarang antensinya masih terpusat menelanjangi sepenjuru osean. Di sisi lain pikirannya masih bergumul dengan memoarnya ketika mengalahkan cumi-cumi kolosal. Ia kembali memeriksa zirah yang menangkup rapat abdomennya. Tetap saja, tidak ada bekas luka menganga seperti waktu itu. Di tengah lamuannya, sayup-sayup terdengar lengkingan yang kadang tertelan oleh larikan halimun aneh ini.
"... an ... U ... RI ... X ...!"
Teriakan yang lebih menyerupai gumaman itu masih tersamarkan oleh gebyuran ombak dangkal.
"TUAN ... URIIX ...!"
Kian dekat, suara itu tercetak jelas. Semua awak kapal berentengan di samping kapal.
"Si Rusuk itu kembali!"
"Dia masih hidup?"
"TUAN URIX! AKU TEMUKAN DATARAN SERBA HIJAU DI UJUNG SANA!"
"Kalau begitu, pandu kapal ini menuju temuanmu itu!" titah Urix tanpa mengulur waktu.
"Aye, Hulu!"
Tangan Urix langsung teracung. Ia tiup trompet kulit kerangnya. "Angkat jangkar sekarang juga! Seluruh awak kapal, kita menuju dataran serba hijau di ujung sana!"
Kain layar kembali diturunkan. Kerakah pun melajur pesat. Tak membutuhkan waktu lama, kapal mereka melabuh pesisir pantai pasir putih yang dipenuhi rumput basah.
"Akhirnyaaaa! Daratan! Aku masih hidup! Aku masih hidup!"
Begitu kaki menapak pada pasir lengket penuh kungkungan lamun wilis, jerit parau membuncah. Belasan pasang kaki para awak kapal menyaruk antusias hamparan kerikil karang. Beberapa di antaranya bersujud, tangannya meraup aroma lamun basah bercampur asin lengket itu, lalu meremas gemas.
"Tetap waspada baik di dataran maupun lautan!" teriak Urix menggelegar. "Di mana pun kalian berada!"
"Aye, Hulu!" Kontan para awak kapalnya kembali siaga.
"Demi perut-perut cengeng kalian, kali ini aku yang akan berburu untuk persediaan makannya. Aku tak yakin kalian mampu membedakan otak monyet dengan anus babi." Tak di sangka si juru masak yang lebih memilih merebahkan punggung di kabin geladak, kini turut turun tangan. Ia membawa parang yang diikat tergantung pada punggungnya. Juru masak adalah satu-satunya awak kapal yang mengenakan pakaian tipis—bagian dada terbuka lebar—tidak begitu melindungi anggota badannya secara sempurna.
Para awak kapal akhirnya berpencar sekaligus memeriksa pulau tropis itu. Tanpa komanda berlebih, mereka tahu betul apa yang harus dikerjakan saat itu juga. Ada pun kesigapan awak kapal yang membagi menjadi kelompok kecil untuk mengumpulkan buah kelapa segar. Lainnya lekas mengambil perkakas untuk membenahi kerakah mereka yang penyok, khususnya lambung kapal. Terbagi pula kelompok yang menebangi kayu-kayu sepeluk lengan manusia dewasa tepi pantai.
Sementara itu, si Penjelajah Pustaka yang telah usai menghimpun energi magi ke dalam gerigi, jarum kompas telah merespon medan magi di sekitar. Namun, keanehan kembali muncul. Pria sepuh itu dikejutkan oleh getaran kompas yang mengakibatkan jarum berputar terus tanpa henti. Intuisinya mendongakkan kepala, menyapu pandang pada perawakan pulau asing di depan sana. Pulau tropis yang terlihat seperti dataran biasanya. Benarkah begitu?
Titik hitam hanya tampak serupa longgokan batu di tengah laut, seakan-akan menjadi harapan bahwa adanya peradaban manusia di tengah genangan raksasa osean. Meski Urix telah mengitari garis bibir pantai dari ujung ke ujung, tetapi tak menemukan eksistensi manusia, maupun peradaban suatu makhluk lain. Rasa-rasanya cukup tentram sampai entah mengapa membuat mata Urix berair dan tak pelak menguap juga.
Seperti tak menyimpan prahara laiknya pertarungan antarmonster di tengah badai osean. Akan tetapi, kerisik pucuk-pucuk pohon yang menyembul tinggi seolah mencakar langit, meniupkan angin untuk menghasut siapa saja; menantang nyali siapa pun yang berani menginjakkan kaki ke tanah mereka.
Termasuk titik hitam di balik rerimbun rambut-rambut pohon di dalam sana. Sumbu intuisi Urix sebagai petualang berjolak untuk menenggelamkan diri di larikan batang-batang beringin penuh akar merambat. Selangkah demi selangkah, tiba-tiba kakinya terhenti. Ia berbalik sejenak dan berpikir untuk membiarkan awak kapalnya berleha-leha sebentar bukan masalah. Laju tapaknya makin dalam menjelajah. Seperti hutan-hutan yang kerap ia jumpai. Hanya disambut oleh barisan siluet pepohonan berdaun lebar mengungkungnya. Pun, cakar-cakar ranting perdu merambat turut meraup tubuh kekar Urix, seolah-olah menghalanginya untuk memasuki lebih dalam.
Sayu-sayup, telinganya menjala suara gerisik yang sepertinya tak jauh darinya berdiri. Spontan, remasan pada gagang sabelnya kian kuat.
"Apa yang sedang kaucari, Tuan?"
Sorot mata setajam tombak Urix sontak bertumpu pandang pada sumber suara. Ketika sabel ditarik, nyaris saja menebas gadis kecil yang tengah membawa habung. Tak ubahnya, gadis itu terkesiap di tempat. Bulatan-bulatan lembayung dalam habung itu bergelundungan hingga terhenti di samping sepasang sepatu besi Urix. Bilah runcing hanya berjarak dua ruas jari tangan dengan dahi si gadis.
"Manusia?" terka Urix, sebelah alisnya berkedut heran. "Kau ... tinggal di sini?"
Kepala gadis itu mengangguk bimbang seraya memunguti bulatan-bulatan lembayung itu hati-hati.
"Pulau ini berpenghuni?" Urix memicingkan mata pada perempuan yang hanya dibalut kain tenun putih tulang, sembari mendebas lirih. Ia pun membungkus sabelnya meski tatapannya masih terpaku pada gerak-gerik gadis itu.
"Tentu saja, di mana ada sumber air, di situ pasti ada yang menghuni."
Kaki Urix hampir menginjak bulatan ungu, jika gadis itu tidak memekik pelan. Lantas diambilnya bulatan halus yang tak lebih besar dari genggaman. Lalu ia menerawang benda itu tinggi-tinggi yang rupanya diselimuti seperti bedak tipis, sebelum dikembalikan pada si gadis. "Apa ini?"
"Itu Buah Indigo, Tuan." Gadis itu takut-takut menerima bantuan dari Urix.
"Benarkah? Seperti persik." Urix menangkup salah satu tangan gadis itu yang sedari tadi gemetaran. "Aku Urix, siapa namamu?"
"Lentina," jawab gadis itu tersenyum tipis, saking tipisnya dekik pada pipinya tidak begitu tercetak. Arah pandangnya terjatuh pada telapak tangan Urix yang dipenuhi bekas carut-marut. Namun, buru-buru ia menepis. Kakinya mundur beberapa langkah sembari mendekap habung yang hampir menutupi sebagian dada hingga lingkar pinggul sintalnya. Kendati demikian, siluet bak jam pasir yang membungkus rangka molek gadis itu tak luput dari mata elang Urix.
"Nama yang indah seperti pemiliknya." Salah satu sudut bibir Urix terangkat penuh makna. Dengan gegap tegap, ia mengurangi jarak keduanya. Ujung-ujung rambut jelaganya berkilau ditimpa cahaya yang mengintip di balik bayang-bayang pohon.
"Aku harus pergi. Permisi."
"Tunggu, apa ada manusia selain dirimu yang tinggal di sini?"
Jarak semakin dirapatkan, agar Urix mudah berlama-lama mengamati wajah oval yang menyempit sampai sudut dagu Lentina. Lalu turut berjumpa pada sepasang katup bibir seperti daging kacang badam. Mungkin sekali waktu ia perlu mengecup bibir mungil itu, tetapi impresinya teralihkan oleh titik hitam lainnya. Iris seabu batu kuarsa milik Urix terpaku pada setitik landang yang sejajar vertikal tepat di bawah mata sebiru samudra. Tebersit netra pirus tahu-tahu muncul menyalang, membekukan aliran darah Urix. Seolah-olah dirinya terisap ke dalam pusaran tornado dan menyedot seluruh jiwa sampai-sampai celoteh nyaring awak kapalnya tertelan entah ke mana.
"TUAN URIX!"
"Sepertinya ada yang sedang mencari Anda." Lentina sesekali memalingkan wajah ke arah lain.
Urix berkedip sekali. Sembari mengumpulkan kesadaran, ia merasai rintik hujan berjatuhan agak deras.
"TUAN URIX, KAU DI MANA?"
"Tuan? Anda baik-baik saja?" ulang Letin, alis kecokelatannya tertaut ke atas.
Urix merasa kepalanya terus dikocok. Bahkan masih terasa kesulitan mencerna panggilan sederhana itu, belum lagi siapa yang harus ia sahut dahulu.
Beberapa awak kapal berdatangan. Mereka tampak beringas ketika membabati julai sebesar ular piton yang bergelatungan menjerat kepala dan kaki siapa pun yang melintas.
"TUAN URIX! Ooou ..., apakah aku ada di surga?"
Urix berdeham. Ia tatap garang awak kapalnya dan berbalik menghadap mereka dengan dada membusung.
"Tuan Urix, kompas sudah diperbaiki meski jarumnya terus berputar, tetapi Penjelajah Pustaka sanggup menanganinya. Persediaan makanan sudah terkumpul banyak. Kita akan segera melanjutkan pelayaran," terang Marou, seorang awak kapal yang memiliki lengan sekokoh otot kuda. Arah pandangnya bergulir di balik punggung Urix, ia melirik sinis pada gadis di belakang Hulu Kapalnya.
Urix berlalu bersama para awak kapalnya, tetapi sesekali ia menoleh pada Lentina yang tengah memeluk erat habung itu.
Gelegar halilintar bersahutan mencakar langit. Awak kapal Urix seketika terhenti. Mereka menatap ragu ke osean sana. Padahal seluruh persediaan telah dikemas sesuai kebutuhan.
"Tuan, aku rasa akan ada badai dahsyat. Sebaiknya, kalian singgah sebentar di sini," sergah Lentina begitu mengetahui Urix beserta awak kapalnya tetap menghampiri kerakah di tengah guyuran hujan deras.
"Kami sudah terbiasa dengan badai, laut rumah kedua kami," tukas Marou.
Namun, Urix menyela dengan mengangkat telapak tangan. Seluruh pasang mata berlabuh padanya.
"Kau tadi berkata ada penghuni lain selain dirimu. Kami ingin mengenal penduduk di pulau ini," balas Urix dengan menuangkan senyum beramah-tamah, kendati intonasi suaranya terdengar tidak mau dibantah.
"Baiklah," sahut Lentina kalem. Gadis itu tampaknya mulai mengikuti gestur Urix. "Tapi, tolong, jangan bawa senjata apa pun. Hal itu akan membuat para penduduk pulau ini merasa terancam. Mereka sudah turun-temurun hidup damai," imbuhnya ketika awak kapal Urix siap menenteng segala macam senjata tajam, meskipun hanya segenggam pisau.
"Tapi, Tuan, bagaimana bisa kita percaya begitu saja dengan orang asing ini?" potong Maraou. Ia tak habis pikir dengan perubahan sikap Urix yang tidak biasanya gampangan seperti ini.
"Apa yang bisa dilakukan oleh gadis tak bersenjata ini?" timpal Urix. "Atau kau meragukan kepiawaianku mengalahkan musuh dengan tangan kosong?"
Maraou hanya mendecih.
Awalnya, air muka kesangsian terlukis kentara pada masing-masing wajah, lantas Urix mengiyakan meski para anak buahnya tampak keberatan. Mereka tampak memprotes kala Urix meninggalkan sabelnya pada awak kapal yang memilih menunggu di geladak. Namun, apa daya.
Mereka pun meninggalkan kapal yang teronggok di pesisir pantai, bersama Urix mengekori Lentina mengelilingi rawa-rawa payau. Sedangkan, satu juru masak, tiga juru meriam, dan Penjelajah Pustaka memilih untuk tetap berjaga di kapal. Khususnya Penjelajah Pustaka sempat berserobok dengan Lentina tepat sebelum mereka menghilang ke dalam kegelapan hutan terdalam.
Selama menelusuri jalan setapak sempit nan becek, para awak kapal di belakang tengah berkasak-kusuk ria. Marou memilih bungkam ketika dimintai pendapat tentang betapa montoknya bokong Lentina jika dilihat dari belakang.
"Hei, Nona," salah seorang awak kapal berjalan di samping Lentina. "Apa yang ada di keranjang besar itu?"
"Buah Indigo, buah khas tempat ini, Tuan mau? Ini manis." Lentina mengambilkan satu Buah Indigo pada pria itu. Pun, para awak kapal lainnya ikut kepincut karena kawannya mengigit besar untuk sekali telan. Giliran Maraou yang ditawarkan, pria itu memilih membuang muka.
"Penduduk macam apa yang mendiami pulau ini? Dan apa nama pulau ini?" tanya Urix memecah degungan tidak jelas dari mulut-mulut kotor anak buahnya.
"Mereka seperti kalian, tentu saja." Bibir Lentina tersimpul senyum tipis. "Sebenarnya tempat ini bukan satu pulau saja. Melainkan tersusun dari gugusan pulau kecil-kecil ...."
Begitu Lentina menyiah rerimbun pelepah pohon menjari, tetapi lima kali lebih besar dari telapak tangan manusia, semua mata Urix dan awak kapalnya terbeliak.
"Kepulauan Ampyr."
Dari arah berlawanan terdengar derap tapak sepasang kaki bocah. Napasnya tersengal-sengal diselingi isakan merintih. Bocah laki-laki yang hanya dibalut oleh rajutan enau menutupi pinggul hingga dengkulnya menabrak Urix.
"Siapa bocah tengik itu!?" sentak salah satu awak kapal Urix.
Hulu kapal itu mengangkat tangannya untuk memberi isyarat tenang. "Dia hanya bocah."
"Novlod?" seru Lentina. "Kenapa kau kemari? Kau kenapa?"
Bocah yang disapa itu beranjak dari terjerembapnya dengan uluran tangan Urix. Namun, tak lama bocah itu kembali ambruk.
"Kenapa dia? Aku bahkan hanya membantunya berdiri?" Urik tampak kalang kabut.
Lentina mengernyitkan alis ketika melihat gumulan kabut hitam membelenggu pergelangan kaki kiri Novlod. "Astaga! Dia tergigit ular hantu!"
"Apa? Ular hantu?"
"Ini gawat, aku harus menemukan ular itu. Satu-satunya penawar ada pada empedunya.
"Mari kubantu dan ajari aku mengolah penawaarnya," tawar Urix menahan bahu Lentina yang hampir menghilang di balik perdu belukar.
Tak membutuhkan waktu lama mereka berdua menemukan ular hantu melalui ceceran cairan kental hitam di tanah yang sekiranya setapak bocah itu lewati. Kemudian, Lentina mengajarkan cara meramu penawar. Usai membuahkan hasil lantas Novlod berhenti kejang-kejang. Lentina kembali membeberkan warta ajaib lain pada Urix bahwasanya, ular hantu memiliki magi yang justru meracuni alamiah penduduk endemik pulau tersebut.
"Aku semakin penasaran dengan tempat ini."
"Ayo, kita segera melanjutkan perjalanan sebelum benar-benar gulita."
Mereka pun kembali mengekori Lentina.
"Di mana bocah itu?" tanya Urix menyisir rombongannya.
"Ah, anak seusianya pasti tidak bisa diam sebentar saja, mungkin dia sedang bermain dengan teman seusianya. Tenang saja, jika waktunya tiba, elang laut akan menyuruhnya pulang."
"Oh, ya?" Alis Urix terangkat sebelah. "Mereka bisa berkomunikasi dengan burung laut?"
Lentina hanya tersenyum tipis.
Nun di balik arakan mendung tipis, menyuguhkan deretan pulau hijau kecokelatan yang menyambung satu sama lain. Berjajarlah ngarai karang berbedak salju, tetapi anehnya rerumputan menyuburkan berjalar-jalar bunga peria.
"Salju? Salju di tengah tanaman bersemi?" gagap Urix melangkah lebih maju mendekati bibir tubir.
"Tuan, berhati-hatilah!" Tangan Lentina menahan bahu tegap Urix sebelum kaki kanannya menapak angin.
Decak kagum terus bersahutan seiring mereka menyapu pandang sekitar. Di setiap bebatuan ceruk mengguyurlah jalur air tejun yang mengaliri masing-masing anak sungai. Meski demikian, bangunan rata yang tersusun di lembah masih serupa kanopi-kanopi dari rajutan enau.
"Lalu bagaimana cara kita turun ke bawah?" tanya Urix seraya menekuri tebing yang terlalu curam untuk dilalui dengan tangan kosong. "Jangan katakan kita harus melompat."
Lentina terkekeh merdu.
"Kita akan menaiki itu."
Mereka mengikuti arah telunjuk gadis mungil itu, sekoyong-koyong, para awak kapal menjerit pada sosok yang tengah merayap di ceruk tepat samping mereka. Terdengar auman yang menggegarkan endapan tanah di mana kaki mereka berpijak.
"Makhluk apa itu!?"
Tahu-tahu, sorot mata bengis seranum biji saga gergasi itu terkunci pada sepasang mata abu-abu Urix. Tangannya bergetar hebat, bukan karena takut melainkan terpecik setitik ambisi mulai berjolak. Lentina melirik secercah kilat membentuk bilah sabel hadir di pinggang pria itu. Gadis itu tersenyum penuh makna.
"Makhluk itu berapa usianya?"
Dahi Lentina mengernyit mendengar pertanyaan Urix. Ia terdiam sejenak, salah satu ujung bibirnya tertarik perlahan.
"Apakah kau pernah mendengar Perjanjian Setara, Tuan Urix?"
Urix menggeser posisi untuk lebih dekat dengan Lentina.
"Apa yang diuntungkan kalau aku ingin tahu tentang apa yang kaukatakan tadi?"
"Legenda tentang Kepulauan Ampyr." Lentina mendongak untuk berserobok pada pria yang cukup tinggi baginya memandang.
Urix tersenyum simpul, bahunya bergetar menahan derai tawa.
"Semua tempat memiliki legenda. Apa istimewanya Kepulauan Ampyr ini?"
Lentina beranjak menuju ujung tubir. Arah pandangnya jatuh ke bawah Pemukiman Ampyr sana.
"Menjadi Raja Kehidupan dengan menguasai sejarah peradaban." Lentina berbalik sembari tangan terjulur pada Urix. Senyum simpulnya merekah perlahan. "Mau mencobanya?"
Tawa Urix pupus seketika, rahanya mengetat. Ia baru menyadari kalau angin di sekeliling tak lagi berembus. Semua awak kapalnya mematung, berikut para camar seperti menempel kaku pada kaki langit. Arus air terjun terhenti ketika tengah mengguyur lereng.
Belum sampai di situ, makhluk seumpama ular laut menjulang tegak di hadapannya. Gergasi yang lebih meraksasai deretan ngarai itu membuka moncong berlendirnya lebar-lebar. Bertepatan dengan gerak tangkas tangan Urix lekas menarik sabel sejurus sabetan kuat melancar pada moncong makhluk bersisik kehijauan itu. Cipratan darah nenyeruak membasahi tubuhnya. Tidak sampai di situ, tiba-tiba saja kaki Urix jatuh lemas di atas pola magi yang melayang di tengah danau. Entah apa yang terjadi. Namun, belum usai, lagi-lagi tangan kirinya menggenggam sebongkah batu kristal yang berdenyar kuat. Sampai-sampai sekujur tubuhnya mengejang seperti tersambar petir.
25 Juli 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top