5.) mahkota lamun peria
Tanjung sisi timur kota pelabuhan akhirnya ambrol berbenam air asin. Bangunan cegak yang sudah berdiri seratus tahun kini tak mampu lagi menahan bobot Sozorien. Gergasi lebih serupa ular raksasa itu begitu beringas dan bersemangat dalam hal membanting apa saja di sana-sini.
Satuan keamanan turut terperosok, alih-alih berhasil menumbangkan gergasi laut itu. Formasi mereka dihancurkan sejurus gempuran oleh tembakan api berdenyar dari moncong Sozorien. Lebih-lebih, gelegar halilintar meluruhkan sebagian endapan es penopang dataran pulau. Terbentuk badai topan mengguncangkan air selat sampai memorak-porandakan stasiun. Warga kota pelabuhan terkepung sempurna di reruntuhan Gapura Selamat Datang. Tak sampai disitu, laiknya hamburan kapas, mereka terpelanting menabrak reruntuhan bangunan. Semburan riak air bergas mencuat melalui celah retakan gletser, menyeret seluruh penumpang yang masih terjebak di dalam gerbong kereta ke selat. Sejurus kemudian sungut-sungut berdenyar Sozorien menebas sisa kesatuan keamanan hingga mati mengering.
Angin malam semakin menusuk sampai ke tulang-tulang ketika semua kawanan ngengat laut telah mencampakkan kota pelabuhan dan berpindah menjarah Krios. Demikian diyakini aman, sisa warga yang bersembunyi di balik puing-puing bergegas menuju pesisir pantai.
"Persetan dengan Perjanjian Setara, cepat atau lambat kita semua habis jadi makan malam berprotein tinggi untuk Iblis Laut itu!" Seorang petani mencak-mencak seraya meremas kepala botaknya. "Mana rumahku ludes, sisa uangku habis-habisan hanya untuk upeti kota pusat! Untung anak dan istriku ada di Krios, mereka pasti aman di sana."
Seorang penjual buah menarik lengan petani untuk merunduk di balik semak-semak belukar. "Diamlah, kecilkan suaramu, jangan sampai monster itu memergoki kita. Lihat apa yang dilakukannya setiap kali melihat yang bergerak, ular raksasa itu akan menggilasnya tanpa ampun. Termasuk ternak kita." Tangannya melambai-lambai pada rombongan warga untuk segera merapat ke galangan kapal.
"Ini buruk! Buruk sekali. Aku tak menyangka migrasi ke kota pelabuhan justru buntung."
"Ini hanya lelucon, 'kan? Kalian tahu simulasi bencana yang dilakukan pemerintah?"
Celoteh warga terus saling sahut.
"Keterlaluan kalau ini memang lelucon. Kalian lihat sendiri banyak kawan kita mati tercabik-cabik, kepala menggelinding? Ugh! Bayangan isi kepalanya yang berdenyut kenapa tidak hilang-hilang juga!" desis seorang wanita memekik tertahan, kedua tangannya mendekap erat tubuhnya sendiri.
"Kubilang tenanglah kalian ini. Aku tahu ini apa yang kalian rasakan, daganganku juga hancur. Ini bukan sekadar gagal panen, kemarau panjang."
"Kiamat, kiamat, kiamat. Kita semua akan mati!"
"Sebenarnya, apa salah kita sampai terjadi malapetaka macam ini?" tanya seorang lansia, pandangannya linglung, sesekali kakinya tersaruk kerikil.
"Kita tidak tahu apa tujuan monster iblis itu menyerang rumah kita, yang pasti kita harus pindah dari sini, sejauh mungkin ...," sahut si penjual buah yang memiliki ide untuk menyingkir ke tepi pantai. "Kita akan gunakan kapal ini untuk mencari pulau baru, dan kita akan membangun peradaban yang lebih baik."
"Lalu bagaimana dengan kesatuan keamanan yang mati-matian mempertahankan hidup kita?" tanya salah satu warga yang membantu para orang tua untuk menaiki kapal.
"Itu sudah tugas mereka."
Tong-tong besi berisi bahan peledak selaku menjaring ikan, mereka lempar ke laut. Layar yang terkatup, mereka rentangkan perlahan. Berikut tali tambat yang terhubung dengan limbung dermaga dipotong untuk meringkas waktu.
"Jadi, kita biarkan mereka sendirian mengalahkan monster laut itu?" sela seorang wanita yang mungkin telah mengalami adegan orang lain mati tercacah-cacah oleh ngengat laut tepat di hadapannya, terlihat dari tubuhnya yang bersimbah darah amis.
"Kau ingin pergi ke sana dan berujung mati juga?" kejar balik si penjual buah tampak prihatin.
Wanita itu tiba-tiba diam terpaku. Wajanya pucat pasi. "S-Suami dan ibuku ada di Krios, bisakah kita mampir ke sana sebentar? Sudah dua tahun belum melihat mereka sejak aku bekerja di salah satu restoran pantai kota ini."
Banyak dari anggota keluarga warga yang tinggal berpencar hanya untuk memenuhi kebutuhan perekonomian itu.
Si penjual buah bergeming sesaat sampai hela napas kasar merebak ke udara. "Baiklah."
Namun, pria paruh baya yang sudah belasan tahun berdagang buah di emperan elite kota pelabuhan itu tampak meragu dengan persetujuannya sendiri. Entah bagaimana nantinya. Apakah masih bisa bertolak ke Krios sementara langit menuju ibukota Ampyr terlihat membara.
Demi menyelamatkan nyawa yang tersisa, mereka memutuskan kosongkan kapal untuk menampung lebih banyak. Meski begitu, mereka juga tidak sanggup jika harus menyisir seluruh sudut kota untuk mencari siapa saja yang masih bernapas. Tidak ada waktu dan kepastian, nyawa mereka sendiri juga menjadi taruhan besarnya.
Tentu saja mereka muak, tercetak jelas gurat-gurat air muka kecewa atas ketidakpuasan terhadap aparat negara. Keputusasaan terpancar nyata pada beberapa wanita yang menggendong bayi dan anak-anaknya. Bahkan ada yang merasa berat hati meninggalkan tanah kelahiran saat melangkahkan kakinya menaiki geladak.
Arus angin yang meniup kapal baru saja melayar, di hadapan mereka muncul sosok gelap. Lambat laun meninggi, seiring gelombang air yang tersedot ke arahnya. Sontak tiga pria dalam kapal membanting roda kemudi untuk bertolak menjauhi pusaran itu. Namun, kapal mereka tidak kuasa menghalau lebih kuat.
Tak disangka-sangka, terdengar gumaman di tengah pusaran gelombang air. Muncul seonggok belut pelikan raksasa. Di ujung kepala gergasi itu berdiri pongah sesosok pemuda. Sebatang tongkat terlihat bersinar zamrud terang di balik kain yang membebat keseluruhan tubuhnya. Serta-merta pemuda itu menyentak kuat tongkat magi ke kepala gergasi, sebentuk congor belah ketupat sekoyong-koyong terbuka lebar sekali lalu menghantam kapal yang bergelut dengan tornado osean. Walhasil, hanya jerit mereka yang tersisa. Hening seketika.
Dolvon menyesali keputusannya karena menghancurkan cincin maginya terlalu cepat. Sebab, benda itu menjadi penghubung satu-satunya pada orang khususnya yang berada di balik pilinan lamun itu. Ia coba lempar batu ke bebatan lamun, tetapi sebentuk congor bergigi laiknya mulut hiu langsung mengoyaknya habis. Sontak dua kudanya berjingkrak ketakutan. Untung saja, ia masih mampu mengendalikannya agar tak kabur.
Perhitungan pria itu meleset, tak disangka-sangka kalau penjemputannya tidak berjalan mulus. Gerbang pipihnya pun memiliki keterbatasan izin dan menggunakan kekuatan bertarungnya untuk memasuki kawasan kerajaan. Wewenangnya hanya sebatas di Krios dan kota pelabuhan. Ia berdecak kesal dengan pola otoritas kurang menguntungkan baginya itu. Padahal ia sudah mengabdi puluhan tahun, tetapi pihak kerajaan tidak pernah mau mengakuinya.
Sekarang ia harus memikirkan cara praktis bagaimana menuju kerajaan tanpa harus menyelam ke laut. Ia tak mau lagi berurusan dengan apa yang ada di bawah pulau itu.
Kecuali, ia harus menggunakan bidak lain.
"Il Yos, sekarang giliran jam kerjamu," bisik Dolvon seraya merogoh bandul botol kaca berisi cairan hitam lengket dari balik kantong mantelnya. Seumpama lelehan lava pekat, cairan tak berbau itu memadat berwujud makhluk bersayap kecil.
Seonggok kelelawar berukuran camar mengepak statis di depan Dolvon. Binatang itu membungkuk dengan tangan kanan di depan dada selaku tanda hormat. "Apa tugasku kali ini, Tuan?"
"Bangunkan bangsa kita di seluruh teritorial kepulauan kerajaan ini," titah Dolvon menegakkan bahunya, memberi kesan bahwa dia masih memiliki prestise. "Sudah waktunya mereka berburu untuk mengisi energi magi yang telah hilang."
"Sebelum itu, Tuanku harus mendengar kabar ini." Taring kuning menyembul dari balik bibir legam itu tatkala senyum tersimpul lebar.
"Katakan, apa itu!?" Nada bicara Dolvon terdengar menanjak tak sabaran.
"Hari ini, Indigo Oseanarium sedang mengadakan pesta panen raya, tapi di pesisir pantai utara juga tengah melaksanakan persembahan Dewa Bulan untuk para wanita yang telah kehilangan bayi baru lahir sebanyak tiga kali dalam masa hidup mereka," urai Il Yos yang sesekali terkikik-kikik.
Dolvon termenung sejenak sembari mengusap jenggotnya.
"Tahukah, Tuanku?" lanjut Il Yos tiba-tiba menambahkan. "Permaisuri Raja juga tengah mengalami duka karena kehilangan bayi ketiga kalinya. Tapi, pihak keluarga inti kerajaan menyembunyikan berita ini serapat-rapatnya. Mana mungkin mereka rela Permaisuri Indigo Oseanarium harus dikorbankan begitu saja."
"Dari mana kau mengetahui ini semua?"
"Kekasih Andalah yang menjadi tabib persalinan langsung kerajaan. Karena Permaisuri mempercayai sekali kemampuan Nyonya."
Mata Dolvon terbeliak. "Kapan kau mulai mendengar informasi ini?"
"Sudah dua hari ini, Tuanku."
"Kau pun sama tak mengabariku!?" Dolvon sontak menembak pertanyaan jitu.
Il Yos belingsatan, tawanya menjadi tawar. "Ah, bukan begitu, Tuan." Kepakkan sayapnya menjadi goyang-goyang oleng.
Dahi lebar penuh kerutan Dolvon kian mengernyit tegas atas warta yang tidak tersampaikan ke telinganya. Aura intimidatif terpancar kuat membuat kelelawar itu merasa tercekik.
"Sebelum Anda menjadikan aku roti lapis, dengarkan aku sebentar, Tuanku." Il Yos berdeham.
"Lanjutkan, aku mendengarkan."
"Jika Tuan menginginkan berita ini tersebar ke luar dinding kerajaan, maka kemungkinan besar kekasih Anda akan menjadi tersangka utama sebagai pengkhianat kerajaan. Lagi pula, masih sedikit yang mengetahui rahasia ini. Posisi Nyonya juga tidak kuat meski kerap menjadi teman ngobrol di waktu Permaisuri kesepian. Kupikir Nyonya memiliki alasan tersendiri tidak mengabari Anda sebelumnya." Seolah mengetahui apa yang dipikirkan Dolvon, kelelawar legam itu melemparkan opini yang selama ini ia amati langsung. "Atau hal yang lebih buruk, apabila Nyonya mengalami masalah, Anda masih bisa kabur."
Rahang Dolvon mengetat seketika. "Lalu bagaimana dengan kondisi rakyat dan dewan elite di kerajaan? Tidak mungkin mereka melupakan upacara kelahiran dari pewaris kerajaan yang sudah lama ditunggu-tunggu. Mengingat kematian bayi pertama dan kedua menjadi pukulan telak bagi kerajaan. Sial, berita ini lolos dari media Krios."
"Tentu saja, mereka setiap hari terus saja mendesak keluarga kerajaan untuk segera mengumumkan kapan bayi pewaris akan lahir. Sayangnya, juru bicara keluarga raja hanya menggunakan alasan lemah tentang kesehatan Permaisuri yang rawan untuk ditekan berbagai kepentingan." Il Yos menyeringai lebar seraya mengedikkan bahu.
"Kapan bayi pewaris kerajaan seharusnya akan lahir?"
"Dua hari lagi, Tuanku."
Dolvon memejamkan matanya sejenak, bersambung kedua tangannya bersedekap. Jeda keheningan menerpa hingga pria itu membuka suara lagi. "Apakah berita bencana ngengat laut yang menghanguskan kota pelabuhan dan Krios telah sampai ke kerajaan?"
"Seorang dewan elite sengaja mengulur waktu hanya sampai di mulutnya dulu, entah apa yang dia pikirkan," jawab Il Yos kembali menyeringai lebar.
"Fraksi oposisi tidak berhasil membuat kerajaan bocor juga?"
Il Yos lagi-lagi terkikik-kikik sambil menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, kita gunakan kondisi penguluran ini untuk mengganggu persembahan Dewa Bulan." Telunjuk berkuku runcing Dolvon mengacung. "Dimulai dari lamun brengsek ini."
"Laksanakan! Demi kebangkitan Ampyr kembali!" Il Yos menempelkan tangan berjari tiganya ke dada seraya membungkuk. "Aku tahu siapa yang bisa menaklukan lamun beracun ini. Sebab, kerajaan hanya meminjam kontrak pada Alam."
"Lakukan! Sampai esok pagi tidak ada perbuahan, kau yang akan jadi kudapan lamun beracun itu." Dolvon menghujamkan sorot mata setajam kilat badai tepat pada sepasang mata ungu bidak kelelawarnya.
Il Yos terkikik-kikik masam.
Terbaring di ranjang bertimbun-timbun bulu angsa serta dibalut sutra bukan pilihan yang menyenangkan kalau di luar tembok istana dipenuhi semarak lampion kertas yang memenuhi kanvas mendung. Tubuh kuyu Amarilla masih terkulai lemas. Kendati telinganya mendengar jelas deru ingar bingar rakyat memadati sepenjuru ruas wilayah kekuasaan Indigo Oseanarium.
"Ramai sekali di bawah sana. Ada apa dengan hari ini?" Jemari rapuhnya mengusap-usap tangan dingin Ilona yang duduk bersimpuh merapat tepi ranjang.
"Rakyat Indigo Oseanarium tengah merayakan rasa syukur atas panen raya ikan mereka, Yang Mulia," balas Ilona mendekat ke wajah wanita muda yang masih merasakan nyeri pada daerah peranakannya.
"Aku ingin sekali melihat tawa bahagia rakyat-rakyatku. Bisakah kaumau memperlihatkannya padaku?"
Ilona terpekur sejenak. Ia memahami betul tatapan penuh asa pada wajah jelita Permaisuri Indigo Oseanarium. Rasa-rasanya tidak tega apabila menolak keinginannya selama ini untuk keluar dari lingkungan istana. Ditambah dengungan yang terlontar mengenai bagaimana keadaan bayinya, sudah pasti akan kembali menyayat dalam-dalam hatinya yang baru saja pulih dari histeria. Namun, dengan berat hati ia tetap menggelengkan kepala. Atas perintah Raja Oseanarium untuk tetap menjauhi sang Permaisuri dari khalayak haus kabar kaum ningrat.
"Kalau begitu, keluarlah, kau pantas menikmati kejayaan Maritim Indigo Oseanarium. Lalu ceritakan padaku apa saja yang terjadi di luar sana." Amarilla memaksakan satu tarikan senyum pada bibir kelabunya.
Ilona membalas dengan senyum teduh menenangkan.
"Aku akan kembali dengan membawakan buah Indigo terbaik seantero Oseanarium." Kemudian Ilona menghampiri para pelayan rumah tangga untuk memberi mandat penjagaan dan meninggalkan cara untuk mengatasi kalau-kalau histeria Amarilla kambuh.
Sebelum dua daun pintu ulir berkayu basah itu menutup, Ilona lagi-lagi meninggalkan tarikan manis pada bibir ranumnya pada kelima pelayan beserta Permaisuri Amarilla.
Sejauh mata memandang menara-menara beton kebanggan Oseanarium menjulang angkuh. Pun kerap bersinggungan petir dan badai tornado saking menggagahi Kerajaan Indigo Oseanarium lainnya yang masih berkembang dengan rata bangunan karang tak lebih dari setengah kepadatan penduduk Kepulauan Ampyr. Sayangnya, Ampyr menjadi nama yang terlupakan. Hampir semua penghuni ditulikan oleh sejarah muda. Persisnya, pada masa kelahiran Tahun Aeriot. Kini, mereka lebih bergengsi dengan menyebut diri sebagai manusia masa peradaban Indigo Oseanarium.
Telah tiba masanya, penantian pesta puja Dewa Bulan digelar di jantung otoritas kerajaan yang sebentar lagi juga mewariskan dinasi ke sembilannya. Meski belum tersiar warta bahwasanya, garis keturunan pertama dinasti ke delapan lahir, para warga sangat antusias dalam menyiapkan segala persembahan dan ritual upacara suci.
Gulita malam memekat. Gemuruh ruas pejalan kaki kian hiruk-pikuk. Stan-stan mulai menyalakan lampion kerang untuk menerangi kudapan manis pada etalase kristal. Mereka berkilau dan menguarkan wewangian khas lada bercampur kecap bakar. Ronanya yang ranum berminyak tentu saja menjadikan ludah siapa pun yang melihatnya menetes di sudut bibir. Tak jarang beberapa anak kecil yang lebih mudah tergoda menggaet tangan orang tua untuk memasuki kedai salah satunya.
Emperan elite selalu riuh pengunjung maupun pelancong. Perputaran niaga di kalangan burjois tak pernah gagal menyeret animo semua pejalan kaki yang energinya telah terkuras sepanjang hari. Pun pada akhir masa bakti mereka pada kerajaan. Menjadi negeri diburu tombak waktu, tak lantas membuat mereka melupakan kehangatan secangkir kopi tubruk, dengan gemulai penari yang mengiringi irama musik perkusi.
Demi rehat sejenak, sepuluh Dewan Elite Kerajaan memesan ruangan mewah dengan pemandangan kota dari sudut jalur elang laut. Seluruhnya laki-laki berusia senja, tetapi keriput yang menghiasi wajah-wajah letih itu memperlihatkan kalau pancaran mata mereka masih dipenuhi gejolak ambisi.
Salah satunya membuka suara setelah kepulan nikotin menguap lenyap di langit-langit tembok dengan ukiran dedaunan. "Apa kalian tak merasa janggal dengan sikap juru bicara kerajaan akhir-akhir ini?"
"Kenapa memangnya?" sahut laki-laki yang lebih memilih leha-leha di sofa malas. Sementara, mulutnya sibuk mengunyah kacang badam.
"Apa pendapat kalian tentang ketidakjelasan berita kondisi bayi yang dikandung sang Permaisuri?
Lenggak-lenggok penari perut tiba-tiba saja menjadi hambar. Dewan Elite Kerajaan pun mengusir wanita berselendang penuh kerlip itu untuk memberikan mereka ruang privasi.
"Aku selama wira-wiri belum berjumpa lagi dengan Yang Mulia Raja secara langsung. Apalagi istrinya. Dari raut wajah pelayan keluarga raja, aku menduga ada hal buruk yang terjadi."
"Apa itu?"
Semua pasang mata bertatapan satu sama lain.
"Kalian ingat bahwa sang Raja Indigo Oseanarium telah kehilangan pewarisnya dua kali selama tiga tahun lalu berturut-turut?"
"Berita itu langsung lenyap. Salah satu peliput yang berani mengulik kabar lebih dalam itu menghilang. Aku tak suka arah pembicaraan ini," sela laki-laki yang semula mengunyah kacang batam, kini mulutnya dipenuhi buah zaitun.
"Kita tunggu saja nanti dua hari kemudian. Hari kelahiran sang Pewaris Indigo Oseanarium dinasti ke sembilan."
Tak ada lisan meluncur lagi selain decap dari potongan buah segar dalam mulut.
"Kalian dengar, istri dari pengusaha tembakau yang dekat dengan keluarga raja menjadi persembahan tolak bala Dewa Bulan?" sela seorang Dewan Elite bertubuh kerempeng memupus keheningan.
"Pengusaha tembakau yang dekat keluarga raja? Keluarga Gied? Dia telah hilangan bayinya tiga kali?"
"Iya, istri Asheron Gied yang baru saja melahirkan, bayinya tiba-tiba membiru dan tidak terselamatkan."
"Sebagai Raja Indigo Oseanarium, kau memiliki hak untuk mempersunting gadis lebih dari satu dalam satu masa perwakinan. Dinasti kita membutuhkan pewaris langsung dari anak dari para Ayah dan Ibu selaku Raja dan Ratu. Amarilla sudah seharusnya memenuhi bakti takdirnya dan kau mau tidak mau harus segera mencari Ibu dari keturunan sahmu." Ibu Suri sang raja telah berkehendak.
Di tengah danau yang dipenuhi lamun wilis, terdapat seorang bayi keturunan raja tengah terbujur kaku di wadah tembikar.
Lima kepala keluarga kerajaan menghadiri upacara pemakaman tertutup guna meredam gejolak publik. Meski hal itu malah menjadi api dalam sekam yang bisa meledak sewaktu-waktu. Masing-masing mengenakan jubah sutra hijau. Tudung berkalung kerang laut itu menutupi hampir sebagian wajah mereka sebagai bentuk penghormatan ritual upacara perpisahan pada jiwa yang telah tiada.
"Tidak, Amarilla tetap menjadi Permaisuri negeri ini. Apa pun yang terjadi!" Ketika ego sang Raja lebih mengendalikan mantiknya, kelima pasang mata kepala keluarga mendelik ke arahnya.
"Apa kaumau main-main dengan nubuat Dewa Bulan? Sungguh, kekanak-kanakkan kau ini! Berani sekali kau yang baru saja naik takhta menginjak-injak cita-cita luhur leluhur yang sudah abadi dari dinasti pertama hingga kau dilahirkan!" Ibu Suri menggeram. Kemelut dalam tubuhnya menguarkan deburan ombak dalam danau yang mengguncangkan altar dalam gua laut itu.
Tiga kepala keluarga serta-merta menahan bahu Ibu Suri untuk tidak menghancurkan pemakaman sakral turun-temurun itu.
"Aku tidak sembarangan menginginkan sesuatu." Sang Raja tetap bersikap tenang dengan dada yang membusung. Jeda sejenak untuk menghela napas.
Ibu Suri tampak hendak menyela. Namun, mulutnya kembali membungkam kala melihat tangan sang Raja Indigo Oseanarium terangkat memberi isyarat untuk didengarkan lebih lanjut.
"Aku akan mengakhiri siklus persembahan Dewa Bulan. Jika kita terus melakukan ritual tolak bala seperti ini, bangsa kita akan punah. Dari tahun ke tahun tidak ada perubahan siginifikan atas pengorbanan para wanita muda yang masih layak berjuang hidup dan memberikan keturunan," ungkap sang Raja.
"Apa kaubilang? Kauingin mengubah takdir mutlak dari Dewa?" cerca Ibu Suri.
"Benar. Kita sebagai manusia harus berkembang dalam membenahi kelestarian. Seperti ikan yang berevolusi dari lingkungan tak ramah bagi mereka."
"Lalu apa rencanamu untuk melawan suratan takdir Dewa?" Ibu Suri pun bersedekap congkak menantang sang putra semata wayangnya.
Sang Raja pun menolehkan kepalanya ke permukaan danau. "Melakukan Pertukaran Setara dengan sang Kehidupan Laut, Lentina."
Semua pasang mata di altar turut mengikuti ke mana arah pandang sang Raja.
Tak lama kemudian gemericik dari dalam danau membubung. Tercipta bulir-bulir cahaya yang membebat lamun dari dasar danau. Pusaran air yang beriak membentuk wujud seorang gadis remaja.
"Siapa pun yang telah memanggilku akan terikat sumpah abadi: Perjanjian Setara dengan Kehidupan Laut." Tubuh gadis itu perlahan memadat seumpama kulit manusia. Pelupuknya terbuka perlahan. Iris cokelat kemuningnya memancarkan kehangatan yang jernih. "Namaku, Lentina. Siapa di antara kalian yang ingin diberikan anugerah Alam?"
7 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top