3.) tarikh kerajaan indigo oseanarium


Riak hulu sungai yang menjalar dari bendungan pusat kerajaan menuju titik penyatuan osean kembali beraroma tengik. Acap kali malam menjelang, angin laut memancing burung bangkai berlabuh. Mereka mengerubuti sisa-sisa makanan manusia yang dibuang sembarangan. Sekalipun seolah dimanjakan, tetapi kawanan kondor pilah-pilih santapan. Sebab, arus sungai selaku penggerak turbin pembangkit listrik seringkali meninggalkan potongan daging utuh yang lebih menggiurkan. Lebih-lebih buruh rumah tangga dari Kerajaan Indigo Oseanarium menjadi tersangka utama tatkala pesta gemerlap usai tergelar menghibur para borjuis. Tidak hanya itu, penyedia layanan medis memiliki andil besar dalam penimbunan limbah anak sungai. Tidak ada jaminan dari otoritas pengairan dalam mengendalikan ekosistem. Lagi pula, itu sudah menjadi budaya sebagai tempat pembuangan sampah paling cepat. Tentu saja mereka beranggapan oseanlah yang akan mengolahnya sendiri.

Di balik halimun osean, sesosok bayangan hitam memanjang tengah menerkam kondor-kondor. Makhluk itu sekali lalu menelannya hidup-hidup. Tak ada sisa jejak, selain gebyuran ombak yang menyelaraskan masa air pasang. Lantas, timbunan limbah menutup saluran pembuangan air sungai menuju dermaga pembuangan.

Berbarengan dengan riuh rendah pekan raya panen ikan, mega mendung membawa duka nestapa. Lima Ibu yang telah kehilangan bayi ketiga kalinya masa panen ini harus membuang sial dengan mengakhiri hidup. Keluarga tak berdaya. Hukum kerajaan sudah berbicara.

Usai dari persalinan, wanita itu menatap sayu cukup lama pada pria calon Ayah dari anak-anaknya yang sudah tiada. Ada pancaran dari mata penuh harap untuk mempertahankannya. Akan tetapi, si Suami hanya mematung kala pendeta kerajaan telah hadir di kediaman selaku penjemputan.

"Kau tak ingin mengatakan sesuatu, Sayang?" Bibir wanita itu bergetar. Tangan kurusnya hendak meraih sang Suami yang hanya bergeming, tetapi pendeta langsung menggiringnya keluar. "T-Tunggu, aku belum mencium tangan suamiku."

"Maaf, Nyonya, masa baktimu pada Dewa Bulan Osean tidak bisa ditunda lagi. Kerelaanmu menjadi sesembahan tolak bala akan memberikan kemuliaan Kerajaan Indigo Oseanarium selama seratus tahun Aeriot kemudian." Si pendeta perawan lekas mendudukkan wanita itu ke kursi kereta kuda.

Tak berselang lama, iring-iringan kuda berderap menarik kayu kereta.

"Kau bisa mencari yang lain, Anakku. Tidak ada perempuan di luar sana yang menolak juragan tembakau tampan sepertimu," ucap si wanita tua seraya mengusap bahu putranya kala pertemuan dua pasang mata yang masih saling mengasihi itu terputus.

Roda kayu kereta kuda berputar menjauhi pelataran kebun mawar, tak lama kemudian lenyap di persimpangan.

"Tidak ada yang bisa menggantikan dia," sahut pria itu seolah tidak memiliki tenaga untuk mengeluarkan suara.

"Kau tidak perlu mengganti, cukup mencari yang baru. Bahkan bisa memilih yang lebih baik, dan tentunya akan memberimu keturunan. Lalu mewarisi usaha kita," pungkas si Ibu sepuh. "Ini sudah takdir. Kita tidak bisa membantah kerajaan. Uangmu akan habis jika berani memperkarakannya."

Lutut pria itu terjatuh. Derai mengalir bebas dari kedua pelupuk mata. Ia memeluk erat kaki ibunya bersama erangan serak yang mengganjal dari lubuk hati terdalamnya.

"Jangan menangis, aku tak membesarkan seorang laki-laki cengeng! Bangun dan raih kembali hidupmu!" Si Ibu Sepuh menepis dekapan pria itu. Ia meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Dinginnya lantai pualam menambah sesak suasana di tempat itu, meski langit-langit rumah penuh lukisan spiritual dirancang setinggi mungkin untuk sirkulasi udara segar.

Mulanya purnama yang bertengger di langit memancarkan cahaya kemuning jernih. Jauh di bawahnya memantulkan bayangan gelap di balik permukaan osean.

Lukisan pola magi dari biji-bijian meronai seluruh tubuh, tersampirkan pula untaian kalung tulang leluhur pada leher. Segala sesuatu dipersiapkan sebaik-baiknya sesuai amanat leluhur. Kini kedua kaki gemetarnya berdiri menjulang di tepi longgokan karang pemecah ombak.

Air muka berseri-seri tak lagi singgah di wajah kempot wanita itu, bahkan corak mata jelitanya redup. Hidup segan, mati pun masih meragu. Ia menggigiti bibirnya penuh gelisah. Melirik sekilas para wanita yang menatap kosong ke cakrawala maya. Mereka terlihat siap mati karena api hidupnya semakin memudar.

"Ini akhirnya." Sebuah suara serak muncul dari salah satu bibir penuh pewarna wanita persembahan itu. Relitzia menolehkan wajah sekaligus menyemai tatapan mencemooh. "Takdir seorang perempuan yang lahir di tanah Indigo Oseanarium. Apakah benar, jiwa seorang Ibu yang kehilangan bayi tiga kali setelah melahirkan akan memuliakan tempat terkutuk ini?"

Tak pelak, empat wanita persembahan lainnya yang mendengar terkesiap.

"Jika benar, mengapa negara ini tetap saja begitu menyedihkan?" Salah satu bibir Relitzia tertarik miring. Ia mengamati wajah-wajah pucat pasi keempat wanita persembahan itu.

"J-Jangan bercanda! Kau seharusnya bersyukur telah mendapatkan takdir untuk persembahan Dewa Bulan!" sanggah wanita lainnya yang paling pendek. Dahi Datura mengernyit tajam.

"Bersyukur?" Relitzia, selaku pembuka suara pertama kali tadi terkekeh. "Apakah kalian juga bersyukur?"

Keempat wanita itu tergaguk-gaguk sesaat.

"T-Tentu saja!" sahut Datura cepat. "Kalian juga begitu, 'kan?"

Semilir angin malam bertiup menyentuh tubuh mereka yang hanya berbalut belacu tipis.

"Aku ... bahkan belum mengucapkan perpisahan pada ibuku." Suara lain dari wanita berambut ikal hitam arang turut meluncur. "Dia tidak tahu kalau aku telah kehilangan bayiku tiga kali. Dia pasti mengira, aku sudah bahagia bersama suamiku di kota lain. Aku tidak perlu lagi melayani minuman para tamu di bar untuk mendapatkan daging asap dan selimut tebal." Dalam keadaan air mata yang menggenangi pelupuk, Paphio menunduk sembari mengusap perut agak gemuknya.

Kemudian, Relitzia menjatuhkan atensi pada seorang wanita paling ujung. Ia tersenyum meledek. "Nyonya Gied? Tak kusangka seorang kapitalis membiarkan istrinya menjadi tumbal kerajaan."

Serta-merta semua pasang mata teruju pada wanita yang tengah dibicarakan. Wanita itu tergugu-gugu.

"Kehadiranmu di sini atas kerelaan rasa syukur sebagai persembahan tolak bala? Ataukah karena kau dibuang?" lanjut Relitzia mencibir.

"J-Jangan sembarangan, tidak ada yang dibuang di sini! Dari tadi kau selalu bicara seenaknya!" tukas Datura.

Seorang pendeta tua hadir di pesisir pantai bersama merenteng jemaat. Kelimanya membawa wadah sesajen yang akan dilarungkan ke laut. Lantunan mantra menyeru lirih dari masing-masing bibir jemaat. Poros gelombang berputar cepat di ujung samudra.

Begitu sesajen melayar ke tengah pusaran tornado, salah satu Ibu menjerit sekencang-kencangnya. Tercetak uap air dari mulutnya ketika suhu udara semakin rendah. Dalam keadaan terayan-rayan, ia terseret pilinan sinar yang tercipta dari pusaran tornado. Serentak empat Ibu di sebelahnya memekik histeris. Sontak saja mereka yang masih selamat meloncat turun menepi ke sisi gubuk pantai, menjauhi pilinan sinar yang mengejar keempat wanita persembahan itu.

"Apa yang kalian lakukan!?" Sang pendeta tua memekik-mekik. " Kejar mereka! Jangan biarkan Dewa Bulan murka dan menjatuhi malapetaka pada Indigo Oseanarium!" perintahnya pada jemaat.

Tak ada yang tahu-menahu, bahwa permukaan air laut perlahan mengalami penyusutan. Terlihat samar-samar sosok gelap yang melintang sepanjang pegunungan laut di ujung osean, tampaknya tengah berenang ke arah pantai, di mana tempat persembahan kerajaan dilaksanakan.

Satuan keamanan yang tersisa bersikukuh memuntahkan peluru magi yang diarahkan ke kepala gergasi. Geliat Sozorien pun mulai terhambat ketika salah satu sungut di sekitar moncongnya putus. Tanpa disangka-sangka halilintar yang menyambar mulai berkurang.

Tidak mau kehilangan kesempatan, kesatuan keamanan mulai membentuk formasi penyerangan lebih solid yang semula hanya menyerang acak. Meski masih belum mendapat kepastian atas dugaan yang diperoleh saat ini. Melalui jari-jari membentuk diagram magi, pemegang otoritas memberi kode rekan-rekannya untuk berpencar.

"Sepuluh satuan keamanan Sayap Kiri, tahan sungut-sungut makhluk itu! Delapan inti bersamaku tumbangkan dari bawah! Sisanya, Sayap Kanan kepung dari atas dengan jaring!" perintah kepala satuan keamanan.

"SIAAAP!"

"Jangan biarkan sampai menyeberang menuju Krios!"

Gerak tangkas mereka terasah begitu melompati reruntuhan pemukiman. Kesatuan Sayap Kanan bersiap merogoh buntalan karet dari kantung celana bertugasnya. Mereka saling bertemu padang dengan gestur menangguk sebagai isyarat sekarang waktunya. Sekali lalu melempar gumpalan karet, seketika mekar dan menjerat tubuh gergasi laut.

Sozorien memuntahkan api berdenyar melalui mulutnya ke segala penjuru. Rantai pengikatnya bereaksi memberikan tusukan bertubi-tubi. Tubuhnya mengejang, ekor bersirip itu melebas ke sembarang arah. Tim Inti satuan keamanan kewalahan saat mereka hendak mendekati gergasi laut itu dari bawah.

Dalam usaha terakhirnya, mereka siap mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan sisa warga kota pelabuhan.

Sedangkan di tanjung selat, sang masinis berupaya keras mempertahankan kereta tetap mengapung. Sementara, warga yang telanjur tak sanggup berpikir jernih, hanya memaki-maki untuk segera berjalan. Sama halnya dengan sulur-sulur yang semakin banyak mencuat dari dalam permukaan air selat. Dengan alat potong serupa parang, juru langsir membabati sulur-sulur. Namun, laiknya ular, sulur itu membebat kereta hingga penyok. Beberapa juru langsir turut terseret dan tenggelam. Warga yang berkeriau tak keruan nekat turun dari kereta dan malah tersangkut rel. Tubuh mereka terlindas kereta. Darah memercik menyimbahi kaca jendela kereta, semarak jerit merebak memenuhi ruang gerbong.

Atensi satuan keamanan yang berurusan dengan Sozorien terbelah, formasi agresinya buyar. Gergasi laut itu menyentak kuat tubuhnya hingga menggilas Sayap Kanan, terpelanting menghantam reruntuhan. Sebagian tubuhnya bercerai-berai. Namun, masih ada beberapa yang sanggup menjatuhkan diri ke tempat minim risiko cedera.

Gergasi laut itu memberontak, kilatan zamrud pada rantai menumbuhkan sungut baru. Sekali entak, tubuh panjangnya terempas maju. Ia mendarat tepat di tanjung selat. Guncangan kembali hadir, sulur-sulur penjerat kereta mencuat dari tanah rengkah. Rupanya sulur-sulur tersebut terhubung dengan sungut lentur bagian perut Sozorien. Kepalanya dibanting menghantam gerbong kereta, seiring sungut-sungut selaku tangan mengangkat lokomotif itu tinggi-tinggi. Moncongnya yang terbuka lebar siap memasukkan kereta. Masinis menodong bedil tepat ke arah mulut menganga gergasi laut. Detus berkali-kali terdengar, tetapi sia-sia. Malahan, sang masinis lebih dahulu meluncur memasuki kerongkongan selebar palung laut.

Dari arah berlawanan, kesatuan keamanan berdatangan menghujani tembakan magi habis-habisan, meski Sozorien telah mengunyah sebagian lokomotif.

Akan tetapi, mereka tak mengira bahwa sebagian ngengat laut berhasil lolos terbang menyeberangi Krios.




4 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top