Regretful; Tired

Roni menggenggam jari mungil Nara, menatap wajah wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Namun, Roni merasakan sia-sia saja ia mengikat janji suci dengan wanita itu, karena perasaan ini hanya perasaan sepihak.

Nara kembali menangis, kembali histeris, hanya karena Deeka.

Wanita itu rela menyayat tangannya dengan silet atau beling, rela meminum obat tidur dalam jumlah banyak, hanya karena Deeka.

Semua buku yang ditulisnya tentang dirinya dan Deeka.

Nama anak mereka juga Deeka. Oh, jangan lupakan juga Deera, singkatan dari nama Deeka-Nara.

Deeka. Deeka. Deeka.

Hanya pemuda itu saja yang selalu berada di benak dan hati Nara, ia tak sadar Roni semakin lelah dengan semua yang mereka jalani bersama.

Ya... Roni lelah. Ia lebih lelah menghadapi Nara daripada berjam-jam di ruangan operasi. Mentalnya jauh lebih lelah daripada fisiknya.

Apa yang tidak dimiliki Roni tapi dimiliki Deeka?

Apa Roni bukanlah orang baik di mata Nara?

Kenapa Nara selalu memikirkan Deeka?

Seandainya waktu bisa diputar, Roni memilih tidak pernah mengenal Deeka, tidak mengenal Nara. Mungkin Roni bahagia, ia tak akan selelah ini. Ia tak perlu mengurus wanita yang depresi hanya karena laki-laki lain.

Roni tahu Deeka sahabatnya yang paling baik, bahkan ia merasa bersalah seolah-olah dirinya merebut Nara dari sahabatnya. Namun, Deeka sudah pergi jauh. Jauh sekali...

Bahkan pemuda itu yang meminta Roni untuk menjaga Nara.

Roni kehabisan akal untuk membuat Nara berpaling kepada dirinya. Semua perhatian, kasih sayang, kelembutan, dan kebaikan telah ia curahkan kepada wanita itu tapi semua pemberiannya tidak mendapatkan balasan apa-apa selain rasa sakit.

Kali ini Nara benar-benar parah dan telah memberikan rasa lelah luar biasa kepadanya. Wanita itu melukai dirinya sampai dilarikan ke rumah sakit, kini di sinilah Roni berada. Menunggu Nara membuka matanya kembali.

Tangan Roni meraih ponselnya di nakas dan menelepon temannya juga yang telah sukses menjadi psikolog. Lama-lama bukan hanya Nara yang butuh pemulihan mentalnya, Roni juga butuh supaya ia tak semakin terpuruk ke rasa penyesalan yang berujung membuatnya lelah.

Halo, ada apa, Ron?” Suara teman kuliahnya dulu membangkitkan Roni dari pikirannya yang melelahkan.

“Besok kamu kosong nggak?” tanya Roni, matanya menatap ke luar jendela, lebih tepatnya pada tetesan air dari langit. Bahkan, langit bisa lelah menahan air yang sangat banyak, apalagi Roni yang hanya manusia biasa? Ia juga kadang tak tahan untuk tidak menahan air mata, menyalurkan rasa sakitnya.

Siang sih. Emangnya ada apa?

“Aku mau konsultasi ke kamu.”

Boleh kok. Jam dua, di kafe dekat kampus kita dulu.

“Sip. Kebetulan besok aku cuti.”

Udah ya, masih ada klien.

“Oke.”

Roni meletakkan kepala di atas tempat tidur, ia tahu posisi tidurnya sekarang bisa menyebabkan lehernya sakit, tapi apakah ia peduli?

Perlahan-lahan matanya menutup, mengantarkannya ke alam mimpi.

***

Roni menatap sekelilingnya. Ini bukannya sekolah gue dulu ya? batinnya.

Kakinya menelusuri setiap sudut sekolahnya. Masih sama seperti dulu. Keramaian dan gelak tawa siswa-siswi masih persis seperti yang diingatnya. Tapi... ia dianggap tidak ada.

“Hai, Roni.” Roni terkejut, sosok yang memanggilnya adalah orang yang paling dirindukannya dan yang membuat Nara tidak pernah membuka hatinya untuk siapa pun.

“Deeka?” Tiba-tiba Deeka memijat bahu Roni sambil tersenyum lebar.

“Ngapain sih, Deeka? Aneh banget lo.” Roni menurunkan tangan Deeka dari bahunya.

Deeka memiringkan kepalanya. “Lho? Bukannya lo capek karena jagain Nara?” tanya Deeka.

Roni menunduk, pertanyaan Deeka begitu menusuk. Ia tahu, Deeka pasti kecewa dengan dirinya. Lingkungan sekolah berubah menjadi ruangan putih berbentuk kubus, tidak ada apa pun di sana kecuali lampu yang tergantung di langit-langit.

“Kalau lo capek, lo boleh kok cari cewek lain,” ucap Deeka. Akhirnya Roni berani menatap Deeka yang tersenyum kecut.

“Terus siapa yang jaga Nara?” tanya Roni.

“Ya anak-anak kalian,” jawab Deeka santai.

Ruangan putih berganti menjadi kamar Nara, wanita itu menangis dan menusuk pergelangan tangan kirinya dengan beling. “Semuanya ninggalin aku. Deeka... Roni... padahal aku udah mempercayai Roni, dia cowok yang baik. Ternyata nggak!”

Nara menjambak rambutnya. Roni merasa tersakiti, ia berlari supaya bisa mengobati luka di tangan dan menenangkan Nara tanpa perlu meminum obat tidur. Namun... ketika akan memegang tangan Nara, ia seperti memegang angin.

Sekali dicoba tak bisa. Dua kali. Tiga kali. Tetap saja Roni tak bisa memegang tangan wanita itu.

“Gimana, Ron?” Deeka berdiri di sebelah Roni, membuat bulu kuduk pria itu berdiri.

Roni menangis. Jangankan melihat, membayangkan Nara dalam kondisi terpuruk saja Roni sudah sakit. Tak terbayang olehnya nanti Nara menghilangkan kepercayaan yang selalu dijaganya bertahun-tahun. Apalagi Roni tak sanggup membayangkan Nara meregang nyawa karena dirinya.

“Gue nggak akan meninggalkan Nara.” Ia semakin lelah ditimpa penyesalan yang besar karena pilihannya meninggalkan Nara.

“Oke. Lo juga nggak boleh jaga Nara sendirian, masih ada orang yang bisa lo minta pertolongannya. Gue balik dulu.” Perlahan-lahan tubuh Deeka bercahaya lalu menghilang menjadi butiran-butiran halus.

***

“Ayah capek, ya?” tanya Deera. Roni terbangun dari tidurnya dan mengangkat kepala.

“Sedikit.” Roni berdiri dan membasuh wajahnya di kamar mandi, ia mengingat percakapannya dengan Deeka tadi malam.

“Tolong jagain bunda, ya. Kita bersama-sama bikin bunda pulih dari depresinya,” ucap Roni.

Deera mengangguk. “Oke.”

THE END

Rasanya udah lama nggak publish cerita. Maaf ya kalau agak aneh dan sifat karakternya berbeda dengan yang aslinya. Ini aku buat secara spontan, untuk meramaikan giveaway yang diadakan kak Asyifashi. Semoga nggak mengecewakan :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top