Terjadi lagi..
.
.
.
.
.
.
Luna membuka mata ketika sedang menonton tv berada di apartemennya bersama Zidan. Seolah tersadar, Luna sempat terhenyak kemudian ingatan tentang kesehariannya setelah memutuskan untuk tidak membuat Zidan berhenti di pertigaan jalan malam itu sehingga melewatkannya untuk bertemu dengan Kaisar.
Ya.
Ini sudah benar. Kaisar selamat karena tidak bertemu dengannya. Baiklah. Sesuai janjinya di awal, Luna akan mengurus perceraiannya dengan Zidan lalu akan menemui Kaisar nanti.
Entah kemana harus mencari Kaisar, Luna akan berusaha keras meski harus ke Australia.
Drrrt
Drrrt
Drrrt
Zidan Call..
Luna menghela napas panjang seolah mencari kekuatan lebih dari sana. Berbicara dengan Zidan itu melelahkan. Namun meski enggan, Luna tetap menjawab panggilan itu.
"Apa?" Tanya Luna.
"Gue di rumah sakit." Tanpa aba-aba, Zidan malah memberi kabar mengejutkan.
Deg!
"Kenapa?" Tanya Luna.
"Lo bisa ke sini?"
"Kenapa? Eyang sakit lagi?" Luna tetap ingin tau alasannya.
"Bukan." Ucapan Zidan sempat terjeda. "Kesini aja dulu." Sambungnya lagi dengan napas berat.
Ucapan yang bagai perintah itu membuat Luna tak bisa menolak. Dia pun penasaran apa yang terjadi di rumah sakit sana. Luna bahkan tak peduli apa yang ia kenakan saat itu, dan langsung pergi begitu saja. Saat hendak keluar pun, Luna memakai sandal berwarna sama namun dengan model yang berbeda. Ia sama sekali tak menyadarinya.
💕💕💕
Sampai di rumah sakit, Luna bergegas turun dari taxi sambil sesekali melihat ponsel untuk memastikan pesan dari Zidan mengenai lokasi dimana dia berada. Dia sempat bertanya pada perawat beberapa kali hingga akhirnya ia melihat Zidan tengah duduk menunduk di ruang tunggu koridor sebuah kamar rawat inap.
"Dan..?" Luna tak lagi memakai panggilan Mas lagi karena ia pikir mereka akan segera berpisah. Untuk apa memangnya Luna memakai panggilan itu? Bahkan setelah delapan tahun pun, tak berguna sama sekali. Memanggilnya seperti itu hanya mengingatkan rasa sesal dan malunya selama delapan tahun terakhir.
Zidan mendongak melihat ke arah datangnya Luna. Dia terlihat kebingungan dengan mata merah. Sepertinya sudah menangis. Tapi kenapa? Apa yang dia tangisi sampai seperti itu? Zidan benar-benar terlihat kacau sekarang.
"Lun.." Zidan memelas memanggil nama Luna berharap ia melangkah lebih dekat.
"Apa? Ada apa?" Luna berusaha bertanya dengan lembut meski dalam hati benar-benar tidak sabar.
"Kaisar.." Ungkap Zidan selagi menunjuk ke dalam sebuah ruangan.
Deg!
Bukan!
Itu bukan kamar mayat kok. Luna langsung memastikan ruangan apa di sana. Meski berat, Luna tetap ingin memastikan. Benarkah yang kini terbujur kaku itu memang Kaisar? Mereka bahkan sudah menutupinya dengan kain putih.
Gak mungkin! Luna bahkan tidak pernah menemuinya malam itu. Kenapa dia masih saja mati seperti ini?
Perlahan tapi pasti, Luna menyibak kain putih yang menutupi wajah Kaisar itu dan kenyataan pahit lagi-lagi harus ditelan.
Aggh...
Kenapa?
Padahal Luna sama sekali tidak menemuinya. Benar-benar tidak menemuinya kan? Dia bahkan sama sekali tidak menyentuh Kaisar begitu kembali dari masa lalu. Ayolah.. Siapa yang bisa menjelaskan?!
Isak tangis Luna membuat Zidan mendekat. Meski bingung kenapa Luna terlihat se-sakit itu, namun Zidan siap menjelaskan semuanya.
"Seminggu lalu, gue ketemu sama dia setelah dia balik dari Jerman.." Zidan mulai menjelaskan. Bukankah Australia? Kenapa sekarang Jerman? Pikir Luna yang tentu mana bisa bertanya dalam keadaan seperti itu. "Gue gak bisa nutupin kalau kita memang sudah menikah." Zidan bahkan menunduk semakin dalam tanpa berani memandang wajah Kaisar yang sempat dibuka oleh Luna. "Dia kayaknya bener-bener kecewa sama gue." Tambahnya lagi.
"Beberapa hari lalu gue cari dia ke rumahnya. Ternyata dia lagi make sambil nyayat-nyayat tangannya sendiri. Dan yang bikin gue nyesel, kenapa gue malah pergi setelah itu. Besoknya gue dapet kabar kalau dia dibawa ke rumah sakit karena gak sadar-sadar. Dia nyiksa diri karena tau kita nikah." Penjelasan Zidan terdengar putus-putus karena berkali-kali ia mencoba mengendalikan perasaannya sendiri.
"Kenapa lu gak bilang kalau kita mau cerai?" Ujar Luna dingin. Tatapan tajamnya malah membuat Zidan tak berkutik dan hanya menunduk.
"Maaf.. Gue sempat egois karena mikir gak mau cerai." Jawab Zidan jujur
Plakkk!!!
Tanpa ragu, Luna menampar Zidan dengan seluruh kekuatannya. Gila! Dia bilang gak mau cerai? Setelah mengabaikannya selama delapan tahun? Bajingan!
"Harusnya Lo bilang!" Sentak Luna. "Kalau mau egois kenapa gak dari dulu? Hah?! Kalau gini caranya, Lo cuma mau nyakitin Kaisar!" Luna jelas melihat Zidan dengan cara menjijikan seperti itu. Tentu saja. Jika lagi-lagi Kaisar meninggal gara-gara dirinya, bukankah perjalanan waktu itu tak ada gunanya?
"Gue juga gak tau jadinya malah kayak gini.." Ucapan Zidan hanya terdengar seperti alasan. Benar-benar dangkal.
"Lo udah hubungin keluarganya?" Tanya Luna mulai memikirkan solusi. Sepertinya dia memutuskan untuk kembali ke masa lalu. Lagi. Bukankah Luna akan mencari cara meski harus kembali seratus kali?
"Udah.."
"Jemput mereka. Sana!" Titah Luna berharap Zidan menurut dan segera pergi meninggalkannya berdua saja dengan Kaisar.
Dengan bodohnya, Zidan menurut tanpa banyak bicara. Dia pergi bagai terhipnotis oleh ucapan Luna. Baguslah. Luna ingin mencobanya sekali lagi. Ia harap bisa merubah masalalunya. Kali ini perubahannya harus signifikan tentu saja. Setidaknya dia akan mulai menghargai hubungannya dengan Kaisar. Dengan begitu bukankah ceritanya akan berbeda?
Luna perlahan menggenggam tangan Kaisar dengan lembut. Menelungkup ya erat, kemudian memejamkan mata.
Tolong..
Kali ini, jangan biarkan dia mati seperti ini.
Entah pada siapa harapan itu ia langitkan. Yang penting, siapa pun yang mendengar, Luna harap dia mengabulkannya.
💕💕💕
Luna membuka matanya dan sadar ketika tengah berjalan di koridor kelas sendirian. Ah.. Dia benar-benar kembali. Pikirnya. Tapi situasi seperti apa yang akan ia hadapi sekarang? Apa ini sudah melewati satu tahun?
Brakkkkkkk!!!!
Deg!
Tiba-tiba sebuah bola basket melayang tepat di hadapannya lalu memecahkan kaca jendela kelas di samping.
"Si..." Luna langsung menoleh ke arah sumber lemparan itu. Hampir saja dia marah karena terkejut. Namun begitu melihat yang melempar itu Kaisar, amarah Luna menguap begitu saja. Benar. Di depan lantai sana ada sebuah genangan air licin berwarna biru sepertinya bekas praktek ilmiah. Kaisar menyelamatkannya meski harus memecahkan kaca kelas. Dia langsung melengos meninggalkan timnya setelah melempar bola itu.
Tunggu! Jangan pergi! Luna harus berterima kasih. Jangan lewatkan ini lagi jika tidak mau menyesal.
"Kaisar!!" Panggil Luna selagi membuntutinya dengan langkah cepat. Menyusul Kaisar butuh effort yang cukup keras. Bahkan untuk sekedar mengimbangi saja.
"Makasih.." Luna menghadang Kaisar dengan senyuman mengembang.
"Makasih?" Tanya Kaisar heran.
"Lo gak mau gue kepeleset kan? Makannya lempar bola basket itu." Ungkap Luna percaya diri. Kaisar tentu saja terkekeh. Luna selalu berpikir semaunya.
"Gue nahan serangan Zidan. Bola itu gak sengaja kelempar ke sana." Jawab Kaisar seolah memang punya alasan kuat untuk melakukannya. Tentu itu membuat Luna malu sendiri.
"Ah.." Bingung harus jawab apa, Luna hanya bisa tersenyum tipis selagi menggaruk tengkuknya. Kaisar sekilas tersenyum juga melihat Luna yang kebingungan. Sepertinya tebakan Luna tak sepenuhnya salah. Hanya saja, entah alasan apa yang membuat Kaisar terkesan menghindar.
"Eh.." Luna kembali menghadang ketika Kaisar hendak pergi lagi. "Pulang sekolah gue tunggu di taman komplek depan perumahan Lo. Yah?" Ungkap Luna yang kemudian hanya membuat Kaisar melongo tanpa menjawab apapun. "Gue tunggu!" Tambah Luna kemudian kabur karena enggan mendapat penolakan.
"Kencan?" Gumam Kaisar sambil senyum-senyum sendiri.
💕💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top