Empat hari

.
.
.
.
.
.
.

Dia yang membuat janji, nyatanya dia yang tak datang. Padahal Kaisar sudah menunggu hingga hari mulai gelap. Apa terjadi sesuatu? Atau dia lupa? Pikir Kaisar. Kenapa juga harus berharap lebih? Bukankah Zidan bilang Luna mendekatinya hanya karena dia kaya? Otak Kaisar meracau sendiri. Luna pasti benar-benar lupa dengan janjinya sendiri. Atau bahkan kemungkinan dia memang sengaja melakukan ini untuk mempermalukannya.

"Mas.." Panggil seseorang sambil menjinjing dua buah payung karena hari memang sudah mulai mendung.

"APA?!" Sentak Kaisar. Saat itu, dia benar-benar marah pada Luna. Tak seharusnya dia mempermainkan perasaannya seperti ini.

"Mas Kaisar di cari Bapak.." Pelayan pria itu sempat mengerjap sebab sentakkan Kaisar tadi. Memang tak seperti biasanya Kaisar kasar seperti itu.

"Ah.." Dia bangkit hendak pergi meninggalkan taman tempat janjian itu. "Maaf Pak," Ungkapnya setelah berhasil kembali mengontrol emosinya.

Dia akhirnya kembali ke rumah tanpa hasil apapun. Dalam hati, Kaisar tentu menyimpan dendam. Apalagi Zidan pernah mengatakan hal buruk tentang Luna. Tentu saja dia berjanji pada dirinya sendiri mulai hari itu, tak akan pernah mau berhubungan dengan Luna lagi. Bisa dipastikan Kaisar akan menghindari Luna kedepannya.

💕💕💕

Lalu..

Memangnya apa yang terjadi pada Luna?

Saat membuat janji dengan Kaisar tadi, Luna melupakan hari kecelakaan Abang Eky. Padahal sebelumnya dia berharap bisa menyelamatkan Eky dari maut. Nyatanya sia-sia saja.

Awalnya dalam ingatan Luna, kecelakaan itu terjadi ketika Eky bekerja di malam hari. Tapi kali ini, Eky kecelakaan ketika hendak menjemputnya pulang dari sekolah karena dia katanya memiliki pekerjaan baru. Dari yang tadinya hendak memberi kejutan pada sang adik, akhirnya malah mengakhiri nyawanya sendiri. Lagi-lagi, Luna merasa menjadi penyebab kematian orang lain. Meski tak langsung.

Apa memang ini benar-benar takdir?

"Kalau aku gak minta Abang pindah kerja, Abang masih hidup kan Bu sekarang?" Tanya Luna ketika mereka mengunjungi kuburan Eky di hari ketiga kematiannya.

Entah adat apa yang tengah Luna jalani. Setiap pagi, katanya harus menyiramkan air doa di atas kuburan Eky. Bahkan setiap malam, di tujuh hari setelah kematian Eky, selalu ada acara doa bersama di rumahnya. Sebenarnya cukup merepotkan karena harus mempersiapkan sajian makanan ringan tamu dan para ustadz yang datang. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengeluh. Setidaknya ini tanda cinta untuk anak sulung tercinta yang bisa dibilang sudah sukses mengabdikan hidupnya untuk keluarga.

"Orang bilang, sebelum kita dilahirkan ke bumi dan ditiupkan ke alam rahim, ada dialog antara kita dengan Tuhan." Ungkap Ibu selagi menaburkan serpihan bunga mawar merah yang tadi ia petik di depan rumah. Entah ini pertanda baik atau bagaimana, namun pohon mawar di rumah Luna mendadak tumbuh subur. setiap malam merekah sempurna seolah tau, Ibu akan selalu memetik untuk ditaburkan di atas kuburan sang anak.

"Diantara obrolan kita dengan Tuhan itu, salah satu diantaranya adalah perjanjian. Atau yang kita sebut sebagai takdir. Tuhan memberi batas waktu tertentu dan kita sebenarnya sudah menyanggupinya sejak awal." Tambah Ibu yang masih setia didengarkan oleh Luna.

"Usia itu adalah perjanjian hamba dengan Tuhan. Artinya tidak ada satu makhluk pun yang jadi penyebab berakhirnya usia seseorang kalau bukan karena kontraknya dengan Tuhan memang sudah berakhir." Ibu bangkit meski pandangannya masih tak bisa lepas dari gundukan tanah yang masih merah itu.

Penjelasan Ibu sedikit banyak membuat tekad Luna untuk menyelamatkan Kaisar memudar. Benarkah se-saklek itu? Andai kemarin saat menggenggam tangan kakaknya yang sudah kaku itu membuat Luna bisa mengulang waktu, sepertinya Luna akan terus berusaha meski gagal berkali-kali. Sayang, Bang Eky bukan Kaisar. Entah apa yang membuat mayat Kaisar di masa depan memiliki kekuatan seperti itu. Bukankah Tuhan memberi Luna kesempatan untuk memperbaiki semua? Mungkin artinya Tuhan memang ingin Luna merubahnya?

"Gak ada yang bisa merubah perjanjian itu Bu?" Tanya Luna.

"Ada.."

"Apa? Siapa?"

"Tuhan.." Jawab ibu sambil tersenyum tenang.

"Caranya?"

"Dengan do'a.. Artinya kita harus membujuk Tuhan supaya bisa merubahnya." Ibu mengusap bahu Luna kemudian mendekap tangannya untuk berjalan bersama meninggalkan pemakaman itu.

"Lun.. Semasa hidup, Abang kamu sudah berjuang untuk kita. Bahkan memastikan kamu belajar di tempat bagus, merelakan sekolahnya sendiri dan hanya berpikir untuk bekerja saat Bapak sakit empat tahun lalu. Dia udah kayak cinta sejati ibu yang gak bisa digantikan siapapun. Eky anak baik. Gak pernah mengeluh, bahkan sayang banget sama kamu." Ucapan ibu kembali membuat tangisan Luna mengucur deras meski sesekali diiringi senyuman pedih.

"Dia akan mendapat tempat yang bagus dari Tuhan. Ibu yakin." Pangkas ibu yang masih menggandeng tangan Luna saat berjalan berdampingan menuju gerbang ke luar pemakaman.

"Ya Bu.." Luna mengangguk lalu menghapus air matanya berusaha kuat seperti ibunya.

Maaf Bang, aku gak bisa cegah kecelakaan itu..
Luna ~

💕💕💕

Sudah empat hari Luna tak terlihat batang hidungnya sejak mengajak Kaisar bertemu di taman waktu itu. Sebenarnya Kaisar setiap hari berharap bertemu meski masih kesal. Makin lama tak ada kamar, nyatanya makin penasaran. Dengan segala pertimbangan yang matang, Kaisar mencoba bertanya pada Zidan. Namun, jawaban Zidan..

"Kenapa? Lu suka sama dia?" Tanyanya dengan pandangan curiga. Reaksi Zidan yang seperti itu membuat Kaisar salah tingkah. Entah alasan apa yang harus dia buat, Kaisar belum mempersiapkan sejak awal.

"Nanya doang gue." Ujar Kaisar yang lalu kembali fokus pada bukunya.

"Bukannya dia mainin Lo waktu itu? Lu bilang dia ngajak ketemuan tapi gak datang kan? Lu kok masih nanyain dia? Gila lu yah? Mau mau aja dimainin cewek matre." Celetuk Zidan yang malah semakin memojokkan Luna. Entah apa maksudnya, namun sepertinya Zidan tak rela Kaisar lebih dekat dengan Luna.

Kaisar enggan menanggapi. Sudahlah. Jika Zidan tak tau Luna kemana selama empat hari ini, tak seharusnya malah terkesan marah-marah seperti itu. Kaisar pun tak paham dengan sikap Zidan.

Setelah terdiam beberapa saat, Kaisar menutup bukunya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Zidan yang masih duduk di bangkunya.

Kaisar melenggang ke arah toilet. Setidaknya ia tak ingin mendengar kelanjutannya. Zidan pasti tidak akan berhenti menjelek-jelekkan Luna jika sudah seperti itu. Padahal kemungkinan dia hanya melihat dari perspektifnya saja seolah menghakimi. Meski begitu, Kaisar enggan mendebat.

"... Ke rumah Luna.." Sekilas ternyata di toilet ada Kiran yang sepertinya sedang berbincang dengan temannya yang lain soal Luna.

"Iya.. Gue ikut.." Ujar temannya yang lain.

"Luna kenapa?" Kaisar menahan seolah meminta penjelasan dari Karin.

"Apa?" Tanya Karin.

"Luna." Kaisar memperjelas.

"Abangnya meninggal. Kecelakaan. Lu gak tau?" Tanya Karin heran. Seketika Kaisar merasa bersalah karena telah berpikir yang tidak-tidak. "Padahal Zidan tau kok. Kenapa lu gak tau?" Tambah Karin lagi. Ucapan Karin terakhir membuat Kaisar makin tak habis pikir.

Jadi, maksud Zidan apa?! Gumam Kaisar dalam hati.

Gak bisa! Dia harus langsung bertanya.

Kaisar meninggalkan Karin yang terlihat makin kebingungan. Ada apa dengan kedua sahabat dekat itu? Mereka sedang memperebutkan Luna? Pikirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top