Regret

Hai, assalamu'alaikum..
Konnichiwa...

Akhirnya, setelah sekian lama hiatus, saya akan kembali menulis lagi dalam waktu dekat ini, Insyaallah.
Jadi, untuk sekadar pemanasan, saya menulis fanfic ini.

Oh, ya. Fanfic ini terinspirasi dari lanjutan film Rurouni Kenshin: The Legend Ends, ya? Habisnya, saya selalu dibikin baper pas ending-nya sama couple favorit saya sepanjang masa ini 😍😍😘😘 lebih baper, bahkan ketika saya nonton anime atau baca manga-nya dulu 😂😂😂

==================================

“Aku ingin terus hidup seperti ini,” ucapnya. Daun momiji merah yang baru saja dipungutnya dari tanah itu pun sudah berpindah ke tanganku.

Setelah pertempuran terakhir dengan Shishio, aku rasa kini Kenshin akan benar-benar kembali selamanya di dojo ini. Keinginannya untuk hidup damai tanpa peperangan mungkin akan segera terwujud. Aku juga, tidak ingin dia terlibat lagi dalam pertempuran demi pertempuran yang sepertinya tidak akan pernah habis. Pun, harus melihatnya kembali menjadi Battosai dan pulang dengan tubuh penuh luka-luka. Aku lebih suka dia berada di sini, dari pada aku harus selalu merasa was-was, apakah dia akan kembali dalam keadaan hidup-hidup atau tidak dari sebuah pertempuran.

Aku beranjak dari dudukku dan mendekatinya, melihat lebih dekat punggungnya yang kadang kala terlihat kesepian. “Ya, teruslah hidup seperti ini... di era baru ini.”

Hidup dengan damai. Era perdamaian telah lahir. Era di mana para samurai sudah menanggalkan pedang-pedang mereka.

Kenshin berbalik, menghadapku. “Kaoru-dono, maukah kau hidup bersamaku di era baru ini?”

Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari kedua bibirnya membuat perutku seakan dipenuhi ribuan kupu-kupu terbang. Membuatku sesak sekaligus berdesir.

“Eh?” Apa maksud pertanyaannya?

Kenshin hanya memberikan senyuman manis saat aku gelagapan dengan pertanyaannya. Ah, sebenarnya aku ingin memastikan apakah yang dia maksud hidup bersama adalah sebuah pernikahan? Atau hal yang lainnya? Aku benar-benar tidak ingin berspekulasi terlalu jauh.
*
*
*
Kenshin sama sekali tidak memberiku banyak penjelasan. Pertanyaan ambigunya itu terus berputar-putar di kepalaku. Membuat sudut bibirku dengan mudah tertarik ke atas saat kembali memikirkannya. Wajahku terasa menghangat tiap berprasangka bahwa Kenshin baru saja melamarku.

Bahkan Yahiko yang melihatku sedang tersenyum-senyum sendiri dengan senang hati menggodaku.

“Kau seperti gadis yang sedang kasmaran saja, Kaoru,” ejek Yahiko sambil mengambil duduk tepat di sebelahku. “Kenapa? Apa Kenshin baru saja menyatakan cinta kepadamu? Atau dia melamarmu?”

“Eh?” Aku terkejut. Bagaimana bisa Yahiko menebak dengan benar? Apa aku memang bertingkah aneh, seperti yang dikatakannya: sedang kasmaran.

Yahiko justru malah tertawa, menyadari aku yang malah salah tingkah dengan ucapannya. “Sebentar. Biar kutebak. Jika dilihat dari sifat Kenshin, kau pasti baru saja dilamar olehnya, kan?”

Aku merasa wajahku semakin memanas dan menjalar ke kedua daun telingaku. Aku merasa seperti udang rebus saat ini. Yahiko semakin mengencangkan suara tawanya. Kesal, aku langsung memukul kepalanya dengan bokken yang dia bawa.

Yahiko mengaduh. Mengumpat dan menyumpahiku. Dasar, bocah.

“Sebenarnya, hari ini Kenshin memintaku untuk hidup bersamanya,” ucapku lirih ketika Yahiko sudah selesai dengan umpatannya.

“Benar, kan, Kenshin melamarmu,” balas bocah yang sudah kuanggap seperti adik sendiri itu dengan terkekeh.

Aku tidak ingin berharap terlalu jauh bahwa itu adalah sebuah lamaran untuk pernikahan. Bisa saja, maksud Kenshin adalah bukan hanya untuk hidup denganku, tapi juga dengan yang lainnya. Dengan Sanosuke, Yahiko, juga Megumi.

“Kenapa wajahmu malah terlihat ragu-ragu seperti itu, Kaoru? Kau seharusnya senang, kan? Kenshin benar-benar menyukaimu sampai mengajakmu menikah.”

Yahiko benar. Harusnya aku senang. Aku mencoba tersenyum, walaupun sedikit sudut hatiku terasa meragu.

“Wah, kalau begitu sebentar lagi pasti akan ada pesta pernikahan di dojo ini,” kata Yahiko bersemangat.

“Eh? Pernikahan?” Megumi tiba-tiba saja muncul dari dalam dan bergabung bersama kami di teras. “Siapa? Siapa yang akan menikah?”

Yahiko menunjukku dengan ujung dagunya dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Siapa lagi dua orang yang sedang kasmaran di dojo ini selain Kaoru dan Kenshin?”

Seketika Megumi ikut antusias. Senja ini, yang kudengar hanya suara ocehan mereka berdua soal pernikahan dan menggodaku. Aku hanya mampu tersenyum sesekali dan menanggapinya. Namun, entah kenapa, seperti ada sesuatu yang masih kuragukan.
*
*
*
Apa yang sebenarnya membuatku ragu dan merasa gelisah seperti sekarang? Seharusnya aku—seperti kata Yahiko, senang, bukan? Bahwa Kenshin mengajakku untuk hidup bersama. Itu adalah mimpi semua gadis; ada seorang laki-laki yang menginginkannya, apalagi jika laki-laki itu adalah orang yang dicintainya. Namun, perasaan itu sungguh tidak bisa kuhindari.

Bahkan ketika seperti saat ini, aku dan Kenshin hanya duduk berdua sambil menikmati udara malam musim gugur yang terasa semakin dingin. Tidak banyak kata yang keluar dari mulut Kenshin, hanya obrolan ringan seperti biasa di antara kami. Akan tetapi, sesekali aku melihatnya tiba-tiba merenung dan mengelus bekas luka di pipinya meski hanya sekejap.

Bekas luka itu. Kenapa harus ada bekas luka berbentuk silang di pipi kirinya itu? Apa cerita di baliknya hingga membuat Kenshin terkadang terlihat begitu menyedihkan? Mata yang selalu berbinar ceria itu, tiba-tiba terlihat sayu seakan ada sebuah beban di sana.

Aku ingin tahu. Aku ingin lebih mengenal Kenshin dengan segala masa lalunya.

Tanpa sadar, kujulurkan tangan kananku untuk menyentuh bekas luka itu. Kenshin terlihat terkejut karena tiba-tiba kulitku menyentuh pipi kirinya seperti sebuah sengatan. Dia memandangku lama, membiarkanku mengelus-elus bekas luka itu. Aku melihat ada sebuah penyesalan di kedua manik mata itu.

“Bekas luka ini... pasti bukan bekas luka biasa. Bagaimana kau mendapatkannya?” tanyaku.

Kenshin meraih tanganku yang berada di pipinya. Jemarinya begitu erat menggenggam. “Kau sudah pernah menanyakan hal ini saat pertama kali kita bertemu. Ingat?”

Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat momen saat pertama kali kami bertemu. Namun, aku benar-benar lupa pernah menanyakan hal itu kepadanya.

Aku menggeleng pelan. “Apa jawabanmu saat itu?”

Kenshin menarik kembali jemarinya. Dia menghela napas sebentar. Ada keraguan yang aku lihat dari ekspresi yang dia tunjukkan. Mungkin saja dia sedang menimbang-nimbang apakah harus menceritakan hal itu kepadaku atau tidak.

Setelah beberapa saat, Kenshin kemudian berdiri dan beranjak dari tempat dia duduk. “Maaf, Kaoru-dono. Aku membutuhkan waktu untuk menceritakan semuanya kepadamu.”

“Tidak apa-apa jika kau tidak ingin menceritakannya. Mungkin kau belum siap. Akan tetapi, aku harap kau mau membagi sedikit saja penderitaan yang kau dapat itu denganku, Kenshin.”

Aku berusaha untuk mengerti dirinya. Mungkin penderitaan ini sudah lama dia simpan sendiri dan tidak pernah dia buka untuk orang lain. Mungkin cerita di balik bekas luka itu memang begitu kelam untuknya.
*
*
*
Sudah seminggu sejak malam itu. Kenshin masih seperti biasa, terlihat ceria dengan senyum manisnya. Dengan sikap seperti itu, tidak akan ada yang menyangka bahwa dahulu dia adalah Battosai sang pembantai. Tidak akan ada yang menyangka pula bahwa Kenshin masih menyimpan sebuah penderitaan.

Terkadang aku merutuki diriku sendiri. Kenapa aku bertanya tentang bekas luka itu kepadanya. Aku merasa diriku ini sangat jahat karena kembali mengorek luka di masa lalunya. Mungkin saat ini Kenshin sudah mulai melupakannya, tapi karena aku yang bertanya, membuat dia teringat luka itu. Lihatlah, akhir-akhir ini Kenshin lebih banyak termenung saat sedang sendirian.

Daun momiji kering berwarna merah emas yang diberikan Kenshin tempo hari masih kusimpan apik. Menjadi rutinitasku selama beberapa hari ini untuk memandangi sehelai daun ini ketika hendak tidur. Seperti halnya malam ini, aku masih memegang erat tangkai momiji dan melihatnya di bawah lentera. Bias cahaya yang terpendar dari lentera memantul ke permukaan daunnya, membuatnya memiliki kesan tersendiri.

“Kaoru-dono, apa kau sudah tidur?” Aku sedikit terkejut saat mendengar suara Kenshin memanggil dari luar kamar. “Bisa kita berbicara sebentar?”

Aku bergegas bangkit dan menggeser pintu kamarku. Di sana sudah berdiri Kenshin dengan senyum manis seperti biasa. Kemudian dia mengajakku keluar, duduk di teras dojo seperti sebelumnya.

Aku menantikannya. Apa yang ingin Kenshin bicarakan denganku. Apakah tentang bekas luka itu?

Setelah beberapa menit terdiam, Kenshin akhirnya mau bicara. Dia memejamkan mata dan mengambil beberapa napas dalam sebelum berkata.

“Ini...” dia kembali mengelus bekas lukanya. “...adalah hukuman bagiku.”

Napasku seketika tercekat. Hukuman? Hukuman seperti apa yang dia maksud?

“Hukuman agar aku selalu dibayangi penyesalan masa lalu.” Kenshin menambahkan. “Luka ini dibuat dua orang. Seorang samurai muda yang aku bunuh, dan seorang lagi...”

Kenshin menghentikan ucapannya. Terlihat dia begitu berat untuk menyebutkan seseorang yang dia maksud itu. Aku meraih jemari Kenshin dan menggenggamnya. Berusaha memberi sebuah kekuatan bahwa dia tidak harus memikul sebuah penderitaan sendiri.

“Tomoe...” ucapnya lirih. “Wanita yang kucintai. Dia... istriku yang kubunuh dengan tanganku.”

Pengakuan Kenshin benar-benar tidak bisa membuatku berkata-kata lagi. Aku bahkan baru mengetahui bahwa Kenshin pernah menikah. Tampak sebulir air mata luruh dari sudut matanya. Baru kali ini aku melihat Kenshin begitu rapuh dan menderita. Sudah berapa lama dia menanggung penderitaan semacam ini sendirian?

“Tomoe memintaku untuk berhenti menjadi battosai. Saat itu aku masih sangat muda. Yang ada di kepalaku hanya membunuh. Agar bisa menghentikanku, dia mengorbankan dirinya untuk mati di tanganku. Tomoe ingin agar aku terus mengingat rasa sakit kehilangan orang yang dicintai dan memberiku luka ini.”

Aku tidak bisa melakukan apapun lagi. Laki-laki ini, begitu banyak luka yang mampir ke tubuhnya, semuanya mampu sembuh dengan sendirinya. Namun, tidak dengan luka di pipi kirinya itu. Luka yang sepertinya tidak akan sembuh meski waktu lama berlalu.

Kurapatkan tubuhku ke Kenshin. Dengan gerakan lambat, aku berusaha memeluknya untuk berbagi sebuah kehangatan.

“Kau pasti sudah sangat menderita selama ini. Jadi, izinkan aku untuk juga bisa berbagi deritamu.” Aku berbisik tepat di telinganya.

“Terima kasih, Kaoru-dono,” ucapnya seraya membalas erat pelukanku hingga aku menjadi kesulitan bernapas. Namun, walaupun begitu ini benar terasa membahagiakan bagiku. Aku menjadi lebih memahami Kenshin bahwa ada sisi lain dirinya yang begitu rapuh dan butuh tempat untuk bersandar.

Malam ini, kami habiskan bersama. Berusaha menyelami perasaan masing-masing. Membebaskan segala hal yang masih terbelenggu di hati kami. Melepaskan rasa ragu yang sempat aku rasakan. Laki-laki ini, ingin kuhabiskan sisa seluruh umurku untuk hidup bersamanya.
*
*
*
Pagi ini, Kenshin tampak rapi dengan kimono merah dan hakama putih miliknya. Membuat seisi dojo bertanya-tanya, ke manakah dia akan pergi sepagi ini. Kenshin bahkan meminta Yahiko menggantikannya mencuci baju untuk beberapa hari.

“Kau mau pergi ke mana, Kenshin?” tanya Yahiko yang selalu terobsesi menjadi seperti Kenshin.

Kenshin hanya tersenyum, kemudian mengalihkan perhatiannya kepadaku yang sedang mulai menyiapkan kelas dojo hari ini. “Kaoru-dono, apa kau bisa ikut denganku?”

“Eh? Ke mana” Aku terkejut karena tiba-tiba saja Kenshin mengajakku pergi.

“Kyoto, ke makam Tomoe. Paling tidak aku harus memperkenalkanmu padanya sebelum kita menikah, kan?”

Tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk setuju. Aku tidak ingin ada sebuah rahasia lagi di antara kami. Walaupun aku sedikit cemburu, sebab aku bukanlah wanita pertama untuknya. Bahwa sebelum aku, Kenshin pernah begitu mencintai wanita lain. Namun, aku ingin menjadi wanita terakhirnya. Wanita yang selalu berada di sisinya, memberikan dukungannya. Wanita yang akan menghabiskan masa tua bersamanya. Aku ingin hidup dengannya.

*Fin*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top