Feel

Jiraiya tersenyum mendengar dua orang karyawannya bersahutan tidak mau kalah. Naruto dan Sasuke -karyawan baru- yang tengah adu mulut tidak mau mengalah membahas hal tidak penting sepagi ini. Mereka sedang berdebat siapa cepat dia dapat pada formulir pendaftaran gratis sebuah ajang pencarian bakat dari sebuah agensi modeling terkenal seantero Konoha. Sharingan Agensi.

Naruto memberenggut keluar dari gudang lalu melempar keranjang belanjaan ke sembarang tempat. Jiraiya hanya memelototinya saja. Sasuke menyusul, tersenyum tipis menuju meja kasir.

"Ini untukmu," Sasuke mengulurkan secarik kertas lux berwarna hijau cerah di depan wajah Naruto. Naruto bergeming, tidak bersuara. Melihat tidak minat pada apa yang disodorkan bocah raven.

Menghela nafas panjang dan lelah, Jiraiya berdiri lalu keluar dari Rashengan setelah bergumam 'aku pulang' pada dua pemuda yang tidak menjawabnya.

Dua orang itu masih bergeming, mereka asyik menyelami dimensi masing-masing. Sasuke menggoyangkan tangan, berniat menggoda Naruto dengan formulir itu.

"Tidak mau??" tanya Sasuke menyeringai kecil.

Naruto mendelik tidak suka.

"Kau benar tidak mau?" sekali lagi Sasuke mencoba menggoda Naruto.

"Kau pikir siapa tadi yang ngotot ingin formulirnya?" seru Naruto sedikit frustasi. Jika Sasuke hanya ingin main-main saja dia akan membunuh bocah sok ini sekarang juga.

"Aku tidak menginginkannya," Sasuke menyimpan formulir itu di meja Naruto lalu berjalan keluar Rashengan.

"Huh, dasar tukang moody." gerutu pemuda pirang ini.

Naruto mengambil, membaca, lalu membolak balikkan formulir itu sambil menopang dagu dengan satu tangannya.

"Hey, aku ada ide!" tiba-tiba dia berseru pada dirinya sendiri. Dia menyeringai lebar.

.
.

Hujan deras, pukul sembilan malam.

Flat Naruto ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi sangat pas letak ruangan-ruangannya dan cara Naruto menata barangnya sangat apik. Sasuke tidak mau mengakui kalau sebenarnya ternyata dia menyukai tinggal di rumah ini.

"Giliranku tidur di futon," Naruto keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambut, lalu duduk di kursi tempat dia makan bersama Sasuke sudah hampir satu minggu ini.

Setelah menyetujui untuk tinggal di rumah ini, Sasuke mengusulkan dia akan tidur di futon selama dia menumpang pada Naruto. Namun dengan baik hatinya, Naruto memberi usulan tidur mereka gantian antara di futon dan di ranjang. Setiap hari mereka bergiliran tidur. Kali ini giliran Naruto yang tidur di futon dan Sasuke di ranjangnya.

"Hn," Sasuke sudah melangkah masuk kamar mandi saat menyadari sesuatu. "futonnya----"

Untuk sesaat Naruto menghentikan acara menyeruput teh susunya. Tampak berpikir.

"Heeee.." Naruto menyemburkan minumannya ke meja.

Mereka berhambur ke balkon. Futonnya basah kuyup, lupa di angkat. Sasuke meminta maaf, Naruto tidak masalah sebenarnya. Mungkin malam ini dia akan menumpuk semua selimut dan bed cover untuk dijadikan alas tidur.

Setuju dengan idenya, pemuda pirang itu melangkah menuju lemari penyimpanan alat-alat tidur. Mengeluarkan semua dan mulai menyusun benda-benda itu di lantai di bawah ranjang. Sasuke hanya mengamati gerak-gerik Naruto tanpa membantu.

Beres. Naruto tinggal menarik bantal dari atas kasur, bersiap tidur.

Tiba-tiba tangan pucat Sasuke mencekalnya.

"Biar aku saja," Sasuke menarik tangan Naruto hingga berdiri.

"E-eh, ada apa, Sasuke?"

"Aku saja yang tidur di situ." Sasuke menunjuk tumpukan selimutnya.

.

Konoha memasuki musim penghujan sekarang ini, hujan deras disertai angin dingin yang menusuk biasanya berlangsung lama. Bisa hingga seharian atau tamat dari siang dan masih gerimis di pagi berikutnya.

Ada untungnya memiliki flat kecil dengan penghangat ruangan normal, angin dingin tidak akan terlalu banyak berkeliaran di sekitarmu dan ruangan akan cepat hangat karena alat itu. Kecuali jendela yang terbuka dengan sendirinya dan sulit untuk ditutup kembali.

Selimut yang harusnya menghalangi angin menerpa tubuhnya, tersingkap karena tiupan angin dari jendela. Hanya ini yang tersisa, lainnya sudah digunakan untuk menjadi alas tidur.

Naruto yang menuruti ide Sasuke untuk tidur di ranjang, terbangun, sedikit menggigil sambil berusaha menutup jendela  dengan satu tangannya. Dia saja yang tidur diatas kasur tebal, dan memakai selimut, kedinginan. Apa kabar Sasuke yang tidur seadanya di bawah ranjang?

Naruto melongokan kepala kebawah. Sasuke tidur meringkuk tanpa selimut, kedua tangannya diapit kaki untuk mencegah angin menerpa. Kasian sekali.

Tidak tega dengan pemandangan dibawahnya itu, Naruto segera bangkit lalu membangunkan remaja yang masih tertidur.

"Teme, bangun!" suara serak Naruto terdistraksi gemuruh hujan dan petir yang menyusul.

"Oi, teme!" sekali lagi Naruto memanggil, Sasuke masih tidur.

Naruto mengguncang tubuh temannya itu sedikit keras sambil memanggil namanya.

"Sasuke, bangun!"

Tiba-tiba tangan Sasuke menepis tangan Naruto, sambil berdecak remaja tanggung itu bangkit lalu duduk di atas tumpukan selimut.

"Apa?" suara Sasuke sama-sama terdengar serak. Efek bangun tidur.

"Hujannya tidak berhenti, anginnya kencang. Dingin sekali. kau kedinginan, Sasuke?"

Sasuke mencerna perkataan Naruto, matanya yang masih terasa berkunang-kunang menangkap hal yang sama pada sepasang iris safir didepannya ini. Naruto berkata seraya masih mengantuk.

"Kalau kau kedinginan, ambil saja selimut ini." Sasuke menarik satu selimut yang paling tebal yang tadi jadi alas tidurnya.

Naruto tuan rumahnya, jadi dia yang lebih berhak memakai barang-barang yang ada di tempat tinggalnya.

Naruto menerima selimut itu sambil menyengir, lalu menguap. Sasuke kembali berbaring.

"Baiklah, ayo!" Naruto mulai memajat ranjangnya. "Sasuke?" Si pirang menengokan kepala. "eh, kenapa masih disana? Sasuke?"

Sasuke menulikan pendengaran, dia kembali menutup mata dan bersiap tidur saat dirasanya tangan Naruto menariknya hingga dia terbangun.

"Dobe, apa-apaan kau ini?" sungguh Sasuke masih mengantuk, dia harus bangun pagi-pagi besok, belum lagi angin dingin yang tidak dapat dihindarinya malam ini. Kenapa Naruto harus menambah dengan mengganggu tidurnya?

"Sasuke, ayo tidur!"

"Aku sudah mau tidur,"

Naruto membuka mata, tersadar. Ia ingat, dia belum mengatakan niatnya pada Sasuke.

"Oh, apa aku lupa mengatakannya, teme?"

Sasuke berdecak sebal. Jelas saja, kalau sudah tidak mungkin Sasuke kesal begini.

"Apa?" Sasuke mengusap-usap tangan, menghalau dingin.

"Tidur disini denganku!" kata Naruto. "Ayo, cepat, Sasuke!"

Sasuke masih mengerjapkan mata, masih berat. Ngantuk. Dingin dan bingung bukan kombinasi yang tepat rupanya. Naruto malah mengomel tidak jelas. Dia juga mengulurkan tangan.

"Cepat, bawa saja semua selimutnya. Malam ini dingin sekali,"

Sasuke masih ingin banyak bertanya, namun suara jendela yang menjeblak terbuka menyadarkannya. Angin bertiup sangat kencang. Dingin kembali berhembus keseluruh ruangan kamar, meneror penghuninya dengan janji kebekuan jika hanya berdiam pasrah.

Menggeleng pelan entah untuk apa, Sasuke akhirnya beranjak dari tumpukan selimut, menarik satu yang paling atas lalu menutup jendela sebelum naik ke atas ranjang untuk melanjutkan tidur malam ini.

Naruto tersenyum, matanya tertutup sebelah. Memeluk guling, diapun kembali berbaring menelungkup dengan selimut tebal diatasnya. Sasuke ikut merebah, matanya yang sudah terbuka malah sulit untuk kembali dipejamkan. Dia malah menengok kesamping, kepala pirang tiba-tiba memutar memerlihatkan wajah familier yang belakangan sering mengganggu tidurnya. Dalam nyata maupun mimpi. Sasuke menyamping menatap wajah bergaris bak kumis kucing itu dengan leluasa. Bahkan dalam tidurnya Naruto tersenyum.

Sasuke ingin tidur namun sulit.

Wajah damai didepannya terlalu menarik daripada diabaikan.

Diluar kesadarannya, Sasuke mengangkat tangan. Mengusap pipi bergaris itu secara mengambang. Dalam hati Sasuke berdoa, semoga malam masih panjang dan semoga hujan tidak berhenti.

.
.
.

"Oi, teme, aku tidak pernah melihatmu main ponsel lagi. Kau tidak membawanya?"

Hari Senin kembali dengan segera. Suasana riuh orang-orang lalu lalang tidak dihiraukan dua orang yang sedang berjalan kaki menuju tempat favoritnya. Rashengan.

Pagi ini, walau cuaca cerah dan udara cukup bersahabat namun angin masih bertiup kencang sesekali. Meniup liar syal yang dililit kencang, atau menerbangkan bubuk bunga, daun, dan debu hingga ke mata. Membuatnya kelilipan.

Sasuke mengedikan bahu, udara lembab berhembus dari celah bibir tipisnya. Kedua tangan memasuki kantong celana, berjalan teratur menendang kerikil dengan sikap enggan. Disebelahnya, Naruto, sama-sama berjalan santai dengan syal hijau melilit ketat dilehernya, bibirnya sama-sama meniupkan udara lembab. Wajah bantalnya masih sedikit terlihat.

"Kenapa? Rusak?" suara yang sama kembali keluar. Sasuke hanya menanggapi seadanya. Mengangguk lemah, mengiyakan.

"Chk, kau jorok, Sasu-chan." Naruto menghentikan langkahnya. "ayo, kita beli yang baru." senyum Naruto seketika mengembang persis adonan roti yang berhasil di oven. Hangat mengembang. Manis dan legit.

Sasuke memandang wajah orang yang lebih tua darinya itu dengan pandangan sulit. Dia tidak mengerti dimana letak pesona Naruto yang berhasil menjeratnya dalam tumpukan dosa. Sasuke belum tahu, apakah menyukai seseorang itu akan menambah dosanya atau tidak. Lagipula dia juga belum tahu, perasaan apa yang dia rasakan ini kepada Naruto.

"Tenang saja, kalau hanya sebatang ponsel tidak akan sampai menguras tabunganku." Naruto sekarang tertawa lebar, lebih hangat dari roti mengembang siap saji yang baru diangkat dari oven. Sasuke tercenung menatapnya.

Kepada siapapun yang ada diatas sana, Kamisama, apapun bentukannya. Sasuke mengadu, kenapa dia menjerumuskan perasaannya pada seseorang yang dulu pernah jadi bahan cemoohannya. Dia ingin menyalahkan orang didepannya ini atas apa yang terjadi pada hatinya. Namun dia kembali tidak tahu apakah homoseksual itu menular?

"Ayo, teme, jangan diam saja." Naruto mengulurkan tangan, sama seperti mengulur hati yang sudah tertambat jauh padanya. Dia hanya kurang peka dan tanggap. "hei, hei, kenapa jadi kau yang menarik tanganku? Oi, teme, jangan cepat-cepat!" tergopoh, Naruto mengikuti langkah cepat nan lebar ala Sasuke.

Kalau dilihat dari percepatan langkah dan embusan nafas Sasuke, dihitung dari berapa kali dia melirik Naruto penuh minat, atau ditaksir dari besaran dia membulatkan mata saat bersirobok pandang dengan mata biru jernih dibelakangnya. Naruto yakin, bukan ponsel baru seperti yang dijanjikan yang membuat mata onyks itu seperti berbinar diluar kebiasaan.

Ini lebih dari itu.

Sekalipun tanpa suara, sekalipun tak terungkap.

Naruto hanya terlalu mengerti dari mana datangnya cengkeraman kuat yang tidak berniat menyakiti sama sekali itu, atau binar onyks yang menyala dalam gelapnya ego si anak raven. Naruto benar-benar menyadari, namun tak ingin menyadarkan. Biarkan keadaan yang membangunkannya, atau biar dirinya sendiri yang mengenyahkan rasa asing dalam dirinya sendiri. Atau memeliharanya, hingga mereka bisa bersama.

Sasuke berhenti didepan taman dipinggir kota. Konoha memang bukan kota yang terlalu besar, tapi kalau hanya sekedar taman bermain untuk anak dan taman untuk bersantai para remaja atau dewasa dikala senggang, tentu saja Konoha memilikinya.

Masih menggenggam tangan yang sedikit besar dari miliknya itu, Sasuke menatap jauh kedalam taman kosong. Tentu saja, masih pagi di hari senin, tamannya masih kosong.

"Sasuke, kenapa kesini?" Naruto mengayun tangan mereka, tidak berani melepas. Ini terlalu langka menurutnya.

Baru setelah itu, Sasuke melepas tautan tangan mereka lalu melangkah maju masuk ke area taman itu. Duduk disalah satu bangkunya dan melambaikan tangan.

"Sini," katanya pada Naruto.

Mengeratkan ransel, Naruto menuruti Sasuke. Masuk ke taman lalu duduk disebelah Sasuke.

"Ada apa?" tidak perlu basa-basi. Mereka sesama lelaki, umur tidak masalah, dan status tidak usah dibicarakan. Kenapa harus berteka-teki. Naruto ingin to the point.

"Bisakah kita libur hari ini?" tanya Sasuke pelan, matanya tidak berani menatap langsung pada Naruto yang malah tertawa di balik syal yang menutupi mulutnya.

"Chk, dobe," Sasuke tersinggung.

"Pfft, memang hari ini aku berniat libur kok," Naruto menggeser duduknya, menjauh dari Sasuke. "kau tidak dengar, aku mengajakmu membeli ponsel tadi, ingat?"

Sasuke tidak menjawab, hanya menoleh sebentar lalu tersenyum teramat tipis dan mendesah lega.

"Syukurlah," gumamnya.

"Kau capek, ya." harusnya pertanyaan itu bisa dijawab dengan banyak hal. Mengangguk, menggeleng, menjawab 'iya' atau 'tidak', atau mendengus. Apapun itu yang jelas menanggapi, tapi Sasuke terlanjur menganggap pertanyaan itu dalam bentuk sebuah perhatian dari seseorang yang sangat spesial, jadi dia tidak menyiapkan apapun sebagai tanggapan untuk pertanyaan yang satu itu selain senyuman ambigu dari bibirnya.

"Maafkan aku, harusnya aku tidak membiarkanmu ikut bekerja di Rashengan." Naruto menundukan kepalanya, menyesal. Sedikit.

Sasuke mendongak. Tidak suka pada wajah muram Naruto. Tidak cocok pikirnya.

"Bagaimanapun juga, kau hanya anak kecil, Sasuke." kali ini Naruto menarik syal hijau yang seperti mencekiknya walau dipasang longgar. "Akulah orang dewasanya, aku yang harus disalahkan karena tidak becus mengurusmu."

Sasuke melakukan hal yang sama, menarik lepas syal hitam yang melilit dileher putihnya. Rasanya ada sesak yang mengganjal tiba-tiba.

Naruto menoleh, mendapati Sasuke tengah menatapnya dengan pandangan 'aku baik-baik saja', namun tidak dapat mengurangi rasa bersalah Naruto.

Akhirnya Sasuke tersenyum, tidak mau berlama-lama dengan wajah muram yang tidak cocok untuk Naruto. Sasuke menggamit tangan dingin Naruto. Jadi hangat. Kembali tersenyum. Jadi tenang.

"Tidak apa-apa," Sasuke merasa asam lambung segera naik. Diusianya yang hanya tujuh belas tahun ini, dia ingin membantu menenangkan perasaan seseorang yang disukainya.

Tunggu!

Disukainya?

Sejak kapan?

Jangan bodoh, jangan pula berpikir pintar. Perasaan itu ada dengan sendirinya, jangan mengada-ada. Jangan bercanda. Sasuke sedang merasakannya saat ini, kalian saja yang terlalu naif. Menganggap hati sesama lelaki tidak dapat saling mengait.

~

Naruto tidak langsung menyerahkan ponsel baru yang dibelinya untuk Sasuke. Dia malah menyerahkan sehelai kertas pada anak remaja itu. Makan malam sedikit terabaikan. Flat-nya kembali dingin diguyur air hujan dari luar.

"Apa ini?" Sasuke melirik tajam. Mulutnya masih sibuk dengan kuah miso.

Naruto nyengir kuda, menggaruk belakang kepalanya walau tidak gatal.

"Itu surat panggilan." jawabnya.

Sasuke menghentikan makan malamnya sesaat. Minum air hangat dan menoleh pada lelaki yang lebih dewasa yang duduk disamping kirinya.

"Panggilan?" seingat Sasuke dia sudah tidak bersekolah, tidak mengikuti klub atau komunitas apapun yang ada di kota ini, dan yang pasti tidak pernah melakukan kejahatan yang mengharuskan dirinya mendapat: surat panggilan?

"Hu'um," Naruto mengangkat mangkuk yang masih tersisa makan malam miliknya. Tidak di habiskan. Kenyang mendadak.

Sasuke bergerak mengikuti Naruto yang sekarang sudah keluar meja makan lalu beranjak ke dapur. Mencuci mangkuk bagiannya. Lalu giliran Sasuke mencuci mangkuk.

"Panggilan tahap awal, kalau berhasil kau akan dipanggil kembali untuk tahap selanjutnya. Katanya hanya ada tiga tahap." pemuda pirang itu mengelap tangan basahnya lalu kembali duduk di kursi bekasnya.

Sasuke berwajah datar. Tidak mengerti. Ikut menyusul duduk lagi di kursi makan.

"Aku tidak mengerti."

Naruto menggeleng, lalu berdiri berjalan meninggalkan Sasuke di meja makan. Kali ini Naruto menuju meja kerjanya, meraih ransel, dan mengeluarkan kotak ponsel baru. Untuk Sasuke.

"Ini untukmu," Naruto tidak buru-buru menjawab ketidak mengertian Sasuke, dia malah memberikan ponsel itu.

"Bisakah kau jelaskan dulu, dobe!" Sasuke sedikit jengah, dia tidak mau bersabar kali ini.

"Oh, oke." senyum Naruto mengembang. "Besok aku akan mengantarmu ke Sharingan Agensi---"

"Bukan, bukan, bukan yang itu. Kau belum menjelaskan tentang surat panggilannya, kau ingat? Panggilan apa yang kau maksud? Dari siapa? Untuk apa? Aku tidak mengerti, dan untuk apa kita ke Sa--Saring--- apapun itu besok?"

Kali ini Naruto malah tergelak tawa, hingga memegang perutnya.

"Aku lupa," katanya. "kejutan Sasuke," Naruto menghampiri, "kau ingat formulir yang kita perebutkan tempo hari?" Naruto duduk berhadapan dengan Sasuke.

"Aku mendaftarkan namamu!"

Sasuke belum angkat suara meski Naruto menjedanya beberapa detik.

"Dan kau berhasil, namamu masuk kedalam lima puluh orang yang beruntung yang dipanggil untuk menjalani audisi awal." Naruto menyudahi, memandangi Sasuke dengan tatapan 'kau mengerti kan, teme'. Tapi tidak di gubris.

Sasuke menatap Naruto menembus manik biru dihadapannya itu dengan intens berharap menemukan sesuatu yang akan membuatnya mengerti pada apa yang sedang dibicarakan pemuda pirang ini.

Nihil. Nothing, tak ada apapun dalam iris biru jernih itu selain binar cemerlang seperti biasanya.

Sasuke membuang nafas. Tiba-tiba ingat pada formulir yang pernah diperebutkan tempo hari dengan Naruto.

Dia mengerti sekarang. Dia paham betul tentang formulir yang dimaksud Naruto, dia tahu benar kemana pembicaraan ini akan sampai. Dia tahu. Dia mengerti. Tapi Sasuke tidak mau. Naruto mau apa?

"Aku tidak mau!" Sasuke bersidekap dingin, bukan pada udara yang bertiup. Tapi lebih pada sikapnya menghadapi hal ini.

"Eh?"

"Aku tidak mau, kau ini apa-apaan, dobe?" bibir tipis berdesis, kakinya menedang kaki-kaki meja dibawahnya. Kesal.

"Lho, bukannya bagus?" alis pirang mengernyit. "kau sendiri yang bilang kau ingin ikut ajang itu. Aku hanya sekedar membantu, Sasuke. Dan lihat, kau berhasil. Kau akan masuk seleksi berikutnya."

Sasuke berdiri, menatap tajam pada Naruto.

"Aku. Tidak. Mau."

Remaja labil itu berjingkat pergi dari ruang makan. Ke kamar tidur.

Naruto mendengus kasar, masih tidak mengerti pada sifat Sasuke yang sering berubah-ubah. Naruto mengikuti.

"Ha-ah," Naruto duduk di atas ranjang memandangi Sasuke yang duduk gusar di kursi kerja. Bocah itu mengeraskan rahang, mengatupkan bibir tipisnya. Tidak mau berpaling dari kaca jendela. Gerimis.

"Meski begitu, kau tetap harus pergi besok." Naruto tidak menggubris sikap bebal Sasuke.

Sasuke diam, menggariskan bibir.

Kepala raven penuh dengan pikiran kacau, Sasuke berpikir keras mengapa Naruto mendafrarkan dirinya pada ajang sialan itu. Tebakannya berkata bahwa Naruto sudah bosan di repotkan olehnya. Kini dia disingkirkan secara terhormat. Hatinya menyelus.

Sasuke berdecak sebal.

"Aku tetap akan mengantarmu ke Sharingan Agensi besok, oke."

Mendengar itu, Sasuke berdiri dengan cepat. Sigap ia menanggapi:

"Oke!" Sasuke menggerung kasar. Melompat kecil ke atas ranjang, berbaring. Memunggungi Naruto.

Naruto melongo tak percaya, berteman dengan Sasuke seperti berteman dengan lampu lalu lintas. Cepat sekali berubahnya. Diapun hanya tersenyum kecil lalu ikut berbaring di samping Sasuke. Memunggungi.

Sejak hari itu, mereka memutuskan untuk menyudahi tidur bergantian di futon dan ranjang. Entah siapa yang mulai merasa nyaman dengan keadaan begitu. Sekarang mereka tidur satu ranjang setiap malam.

"Selamat tidur, Sasuke."

"Hn,"

.

..

...

....

.....

~

~

~

Bersambung,

Aw, bersambung lagi  aww.. Vote dan komennya, kritik dan saran juga boleh.. Terima kasih~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top