[refraksi #4]

Dari dulu, aku paham kalau aku termasuk golongan orang yang kehadirannya bagai rerumputan. Ada, namun tak diperhatikan. Nyata, namun tak menyita perhatian. Aku itu pelengkap. Aku itu hanya bala bantuan.

Dengan kata lain, aku itu nggak kelihatan.

Bukan salah Bang Kaio kalau dia lebih menyukai wanita seperti Kemi yang jelas-jelas mampu memberi warna berbeda dalam hidupnya. Kemi yang hidup, seru dan tentu saja nggak membosankan. Bukan sepertiku yang hadirnya hanya karena kebetulan. Ada disyukuri, nggak ada juga nggak dicari.

Huft!

"Udah makan, Lan?"

Aku menengok ke arah suara, menemukan Kemi yang baru keluar dari kamar mandi. Bathrobe hotel tampak kedodoran membalut tubuhnya. Masih handukan. Di sela-selanya mencuat rambut berwarna ungu metalik, warna ngejreng yang Kemi pilih sebelum kami pergi kondangan.

Ah... andai aku sepercaya diri itu....

"Udah sih, Kem. Makan roti. Kamu?"

"Udah makan nasi goreng tadi sore sama King."

"Oh... terus, ntar malam mau jalan ke mana?"

Kemi menghempaskan badan di kasur. Tangannya masih mengusap rambutnya yang basah. Matanya mengerjap sesekali, lalu menguap.

"Nggak mau ke mana-mana. Ngantuk. Capek banget gue." Kemi menguap lagi.

"Oh, gitu." Berarti malam ini aku punya teman. Biasanya, Kemi selalu menghabiskan waktu jalan-jalan sama King Arga.

Entahlah, mungkin aku yang lagi sensitif. Rasa-rasanya, lebih baik Kemi jalan saja daripada di kamar. Kadang, kalau lagi bete, lebih baik sendirian dan berdiam diri saja. Malas ngajak ngobrol atau menyahuti perkataan. Huh... segitu parahnya aku kalau lagi badmood.

"Kalau mau nitip makanan, bilang aja. Cowok-cowok pada mau jalan."

"Siapa?"

"King, Saga sama Bang Kai. Nggak tahu ke mana. Besok kan kita sudah balik Jakarta. Mungkin mereka mau nikmatin Padang kali."

"Danu nggak ikutan?"

Kemi mengernyitkan dahi, seolah pertanyaanku aneh saja. "Ya enggaklah, Lan! Ngapain dia ngekorin cowok-cowok. Mending dia tunggang-tunggangan sama Mona. Cih!"

"Astaga, Kemi!"

Lalu, gadis itu tertawa. Kemudian beranjak ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, dia sudah keluar dan berganti celana pendek dan baju kaus tipis lengan pendek.

"Jadi, lo gimana?" tanyanya, membuatku bingung.

"Apa yang gimana?"

Kemi berdecak. "Laaan... gue emang lemot, cuek, tapi bukan berarti gue nggak peduli."

"Hm?"

"Lo kepikiran soal omongan Bang Kai tadi sore kan?" tembaknya.

"Hng... yang mana?"

"Udah deh, Lan, sama gue ini. Ngomong aja. Curhat gitu."

"Kok kamu bisa mikir gitu, Kem?"

Kemi mendesah. Lalu meluruskan kaki dan berbaring menyamping. Menghadapku.

"Gue... awalnya nggak kepikiran sih, lo kan tahu gue nggak peka. Tapi, Saga ngasih tahu gue. Lo tahu kan gimana Saga?"

Ugh! Saga ini terlalu peka sama perasaan teman sendiri. Kadang, sebal juga. Tapi, kusadar dia begitu karena perhatian.

"Ya... nggak gimana-gimana juga sih, Kem. Abis dengar, ya udah. Mau gimana lagi coba?"

Kemi menghela napas berulangkali. Kayak capek banget melihatku. Entahlah, apa mungkin aku salah jawab.

"Maksud gue gini, Lan. Omongan Bang Kaio nggak usah terlalu dipikirinlah, sampai lo males makan gitu. Lagian... tipe dia kayak gue, bukan berarti dia nggak suka yang kayak lo kan?"

Aku membenamkan kepala di bantal. "Udahlah, Kem. Males bahas itu," ujarku menghindar.

"Gue cuma nggak mau lo bete kayak gini. Termasuk ke gue. Gue nggak tahu apa-apa, lo cuekin, Lan!"

Aku menurunkan bantal, menyadari apa yang sesorean ini kulakukan sama Kemi. Dia masuk kamar, aku pura-pura baca buku. Dia berbaring menghadap ke arahku, aku sibuk memainkan ponsel. Dia nawarin pergi cari makan, aku bilang kenyang. Nggak... aku nggak marah sama Kemi, cuma lagi nggak pengin saja ke mana-mana. Paham kan? Ada kalanya pengin sendiri saja, diam, nggak ngapa-ngapain.

"Aku nggak cuek. Cuma lagi capek aja, Kem!"

"Itu karena lo mikirin omongan Bang Kai, Lan. Udah ngaku aja. Saga juga udah ngasih tahu gue kok!" tembaknya.

Aku menghela napas. "Terserah deh, Kem."

"Woi, Lan, gue bukan cowok lo. Jangan lo jawab terserah-terserah gitu dong. Itu kan trademark cewek buat ke cowok!"

Mau nggak mau aku akhirnya terkekeh gara-gara Kemi. Nah... yang begini nih, mungkin orang seperti Kemi yang selalu bisa membuat orang lain tertawa menjadi tipe ideal Bang Kai.

"Gue senang, lo udah ketawa, Lan," ujarnya. Pandangannya menerawang. "Gue kasih tahu ya, Lan, tiap orang boleh punya tipe ideal. Pada akhirnya rasa nyaman dan sayang bisa bikin segalanya berkompromi, kok."

Aku mengerjap. Tumben bijak?

"Gue belajar banyak dari King, Lan. Kesabarannya, penerimaannya. Termasuk soal Tara, anaknya. Nggak semua yang gue pengin bisa gue dapatkan. King juga gitu. Dia ngaku kok, dia nggak ngerti kenapa bisa suka sama gue. Jauh banget gue dari tipe ibunya Tara. Tapi, toh... bisa aja saling menerima."

Aku terhenyak sesaat, karena Kemi tuh jarang bicara begini. Memang kulihat, sejak bersama King, ada hal-hal yang berubah dalam dirinya. Pola pikirnya terutama. Mungkin Kemi menyesuaikan lingkungan. Apalagi King, kekasihnya itu, sudah memiliki satu orang putri. Nggak bisa Kemi masuk begitu saja ke kehidupan King dengan melenggang bebas seperti layaknya dua orang baru nikah dan memulai semuanya bersama. Ada Tara di antara mereka, yang menurutku... membuat pikiran Kemi sekarang jauh lebih dewasa.

"King bilang, gue emang badung, keras kepala, banyak alasan, demen adu argumen. Tapi, sekarang ini kalau dibilangin sama dia dengan penjelasan yang bisa gue nalar, ya... gue nurut. Itu yang bikin King bertahan sama gue. Karena dia bilang susah nyari cewek nurut, kalau cewek pintar mah banyak."

"Hm...."

"Yang ketemu sesuai tipe aja bisa bubar jalan kan, Lan?"

Aku mengangguk. "Terus, maksudnya apa ngomong begini?" tanyaku sesaat sebelum Kemi menarik selimutnya hingga ke dagu.

"Gue cuma mau bilang, kalau emang lo suka, perjuangin. Gue dukung. Kalau nggak, ya udah cari yang lain. Jangan bengong hanya gara-gara dia bilang tipenya kayak gue."

Aku mendesah lagi.

"Kenapa, Lan?" tanya Kemi.

"Jujur, Kem. Kadang aku iri sama kalian. Mona sama Danu memulainya dengan saling suka. Kamu? Kamu dikejar sama Arga. Sedang aku?"

Kemi turun dari kasurnya, kemudian beranjak ke sisiku. "Geser, Lan," ucapnya. "Kisah tiap orang beda-beda, Lan. Mungkin lo yang harus berjuang duluan, nggak ada yang salah sama itu kan?"

"Tapi, Kem...," aku menggantung pertanyaan, bisa kurasakan Kemi menunggu, "...kalau ternyata memang nggak ada kesempatan gimana?"

"Bikinlah. Kesempatan ada karena dibikin, tahu!"

"Kalau—"

"Kalau nggak jadi juga sama Bang Kai? Ya udah sih, nggak papa. Berarti ada orang lain yang lebih cocok buat lo kan? Eh... Lan, lo pernah denger pepatah beginian nggak?"

"Apa?"

"Kalau lo nggak berakhir sama orang yang sering lo sebut dalam doa, bisa jadi lo akhirnya bersama orang yang selalu nyebut nama lo dalam doa dia."

"Kok? Kok? Tumben?" tanyaku di sela kekehan.

Entah kenapa hatiku juga rasanya lebih ringan. Penjajahan Kemi nggak lagi terasa kayak gangguan. Dengan suka rela aku bergeser untuk memberinya tempat. Terus, lengan Kemi yang kurus mungil memeluk pinggangku erat. Napasnya mulai teratur. Aku menepuk-nepuk pelan kepalanya yang masih bersinar jelas di dalam gelap akibat rambutnya.

"Gue nyontek di Google, kok. Tapi... gue tulus ngucapinnya," bisiknya.

Nggak terasa, air matakumeleleh karena ucapannya. 


Note:

Ngerti kan kenapa King bisa suka sama Kemi? Karena pada dasarnya Kemi itu pedulian banget jadi orang. Makanya pas dia berantem sama bokap atau kakak tirinya, dia pasti nangis hebat, dia nggak suka ngelukain orang soalnya. Cuma... cara dia ngomong aja seenaknya. Hahaha...   


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top