[refraksi #32]

Rasanya baru kemarin aku menggendong Frey dan meninabobokan di lenganku agar bayi ini bisa tenang saat ibunya harus kerja di akhir pekan. Ya, memang Mona sesekali membawa Frey ke kantor karena menurutnya sudah dalam rencananya bahwa jatah libur digunakan untuk quality time bersama anak. Meski terkadang fokus Mona benar-benar tercurah pada pekerjaan dan memomong Frey adalah tugas kami bergantian, kami sama sekali nggak keberatan. Apalagi aku, aku benar-benar merasa sangat bahagia saat menghabiskan waktu bersama Frey. Dan sekarang, bocah yang baru saja lancar berjalan ini sudah nyaris ingin berlari ke sana kemari menghindari tangkapan orang-orang sambil tertawa kencang.

Rasanya baru kemarin aku bisa tidur nyaman di dalam pelukan erat sahabat mungil yang melingkarkan tangannya di perutku. Dalam setiap elusan dan tepukannya di punggung membuat tidurku jauh lebih nyenyak dan aku tak merasa sendirian saat menghadapi malam-malam terburuk dalam kehidupanku. Ritme dengkur halusnya yang teratur nyaris seperti obat tidur yang mampu melarutkanku ke alam mimpi sepertinya. Dan sekarang, gadis berambut ombre hijau ungu ini tengah berbaring meringkuk menahan mual, terlihat pucat dan pelipisnya dihinggapi keringat sebesar biji jagung.

"Syukur banget lah ya, lo udah resign, Kem," Mona bersuara—ibu Frey yang meskipun berada di dekat Kemi, matanya tak lekat dari putri semata wayangnya yang tertatih mengejar Dion, keponakan Saga yang malah berlari kencang sambil terbahak—"Kehamilan lo bakal bener-bener ngerusak rencana yang udah susah payah gue susun. Jelas... ritme kerja gue bakal berantakan. Ckckck."

Sekuat tenaga Kemi bangkit dari pembaringan dan tangannya lincah mendorong sisi kepala Mona. Kalau kata Saga itu namanya ditoyor. "Lo ngomong gitu nggak ingat diri, Mon? Lo kerja ama siapa? Laki gue. Gue bisa lho minta dia buat mecat lo."

Mona mengibas tangan. "Nggak mungkin," selanya dengan raut wajah mengejek. "Kerjaan gue jauh lebih berharga daripada ambekan lo. Tanya aja King."

Kemi meberengut, "Pap, ini Mona dipecat aja bisa, nggak?!" serunya saat melihat Pak King—suami Kemi sekaligus atas kami di kantor—memasuki ruangan sambil menggandeng Tara, puterinya yang berusia delapan tahun. Sepertinya mereka berdua baru selesai berenang.

"Kenapa memangnya?" tanya Pak King tenang. Tara melepaskan pegangan dan ikut dalam pusaran kejar-kejaran bersama Dion dan Frey. Membuatku tersenyum setiap kali tawa mereka berkumandang.

"Dia lho ngatain Mama, katanya syukur udah resign, kalau enggak bakal ngacauin kerjaan dia!" tuduh Kemi lengkap dengan pelototan.

"Oh, kalau begitu, Mona benar."

"Pap?!" Kemi melempar bantal sofa ke arah suaminya. "Kok jadi belain Mona sih, yang istri siapa coba?"

Kami hanya bisa menahan tawa saat menyaksikan Kemi yang setelah bicara lalu buru-buru berlari ke kamar mandi, memuntahkan apa pun isi perutnya. Kasihan sekali kondisinya, kehamilan benar-benar membuatnya tak berdaya. Tampaknya ucapan Mona dulu benar-benar berbuah pembalasan. Kemi tampak jauh lebih kepayahan dibanding Mona.

Sekembalinya dari toilet, kukira pertengkaran itu mereda, namun ternyata Kemi masih misuh-misuh, "Ini yang lagi hamil siapa? Kenapa nggak dibelain coba?"

Pak King menghela napas, perlahan ia duduk dan Kemi langsung menyurukkan kepala ke pangkuan suaminya. Pemandangan yang membuatku iri tentu saja. Sementara Mona dan Saga memutar bola mata.

"Saya ini pengusaha, bukan badan amal, Kemilau!" Saga langsung ngakak, sedang aku hanya bisa meringis. "Saya nggak akan melakukan sesuatu yang membuat rugi perusahaan, dan memecat Mona adalah salah satu tindakan yang termasuk dalam kategori itu."

"Apa gue bilang?" Cengiran lebar Mona membuat Kemi makin gondok.

"Jadi, Papa lebih milih Mona daripada Mama?!" jeritnya drama.

King Arga hanya berdeham. "Untuk urusan pekerjaan, kamu tahu jawabannya, Kemilau. Satu dari sepuluh, saya lebih memilih memecat kamu dan mempertahankan Mona."

Kali ini kami benar-benar tak bisa lagi bungkam. Ramai tawa pecah gara-gara kelakuan sahabatku yang mengadukan Mona pada suaminya. Dan syukurnya... akhirnya Kemi juga ikut tertawa hingga terpingkal-pingkal. Sebelah tangannya lagi-lagi menoyor kepala Mona di sela kekehan.

Aku tersenyum sendiri melihat pemandangan di depanku. Bagaimanapun... tawa mereka benar-benar menular, dan sedikit bagian di hatiku rasanya iri menyaksikan kedekatan sahabatku dengan pasangan atau anak mereka.

Sementara... hanya aku yang rasanya masih di sini-sini saja. Ugh!

"Rasanya pundak gue jauh lebih ringan sekarang, Lan." Suara Saga di samping membuatku menoleh. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya. "Kayak... tugas buat jagain kalian itu udah selesai."

"Ah... Ga," lirihku. "Terima kasih banget, lho. Emang bener, aku juga senang banget ngelihat mereka kayak gini. Aku bahagia, Ga... bahagia."

"Gue tahu, Lan," bisiknya. "Gue senang... karena lo juga bahagia."

"Kamu juga harus bahagia, Ga, seperti ini," ucapku pelan, yang Saga angguki.

Seingatku, perempuan terakhir yang Saga bawa saat syukuran Frey sudah menjadi kenangan. Alasan Saga... cewek itu selalu cemburu dengan sikap dan perhatian Saga pada kami bertiga. Dan Saga meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Hingga sekarang, sahabatku ini masih betah sendiri. Belum ada wanita yang mampu membuatnya tergugah untuk menjalin hubungan serius. Dan kesendiriannya itu dijawab dengan peningkatan kariernya yang sangat pesat. Posisi Saga sekarang sudah setara dengan Mona. Sebuah pencapaian luar biasa.

Saga meninggalkanku sendiri untuk menghentikan langkah Dion yang susah payah Frey kejar. Dan dia... laki-laki yang lain meraih Frey dan membawanya dalam gendongan agar bisa segera menyusul Dion dalam dekapan Omnya.

"Laki-laki harus ngalah dong, Yon. Masa cewek ngejar-ngejar gini dicuekin. Enak tahu, Yon, kalau cewek yang ngejar. Soalnya... kalau cowok yang ngejar kudu mati-matian baru ada hasilnya."

Aku terkesiap mendengar kata-kata terakhirnya.

"Woooh... Om Ical curhat," jerit Kemi sambil tertawa ngakak. Kemudian Ical melirikku dengan tawanya yang khas, dan aku hanya bisa geleng-geleng kepala seraya tersenyum.

Ical beranjak mendekatiku setelah mengembalikan Frey pada Mona. "Jam berapa mau jalan ke bandara?" tanyaku saat dia sudah selesai mengucek rambutku.

"Sepuluh menit lagi, gimana?" tanyanya balik. Kujawab dengan anggukan pelan. "Kita pamit dulu, ya."

Kami berpamitan pada pemilik rumah yang masih saja sibuk menggodai Ical dan aku. Saat aku hanya bisa tersenyum kikuk, Ical malah dengan santainya tertawa riang. Dasar!

"Frey, salim dulu sama Mama Lanti," ujar Mona. "Mama Lanti mau pulang duluan bareng Omnya." Bocah mungil itu mengulurkan tangan yang kusambut dengan kegemasan. Kucium pipinya bolak-balik hingga ia menjerit kesal. Terhadap Dion, bocah itu sudah mengangkat tangan untuk tos, namun aku tetap memilih memeluknya dengan erat. Dan seperti Frey, Dion akhirnya ikut teriak karena dekapanku.

"Ih... gemes!" cubitku di pipi Dion.

"Nanti kita bikin sendiri, Lan," seloroh Ical kalem, yang membuat seluruh ruangan langsung heboh dengan teriakan. Membuat wajahku rasanya seperti kepiting rebus dan lagi-lagi adegan pamit ini jauh lebih heboh daripada sebelumnya saat aku harus berpamitan dan memeluk sahabatku satu persatu.

"Gue senang banget," bisik Kemi.

"Apa pun yang bikin lo bahagia, Lan, lakuin." Kali ini Mona yang bersuara saat aku mencium pipinya.

"Bahagia terus, Lan, biar gue juga tenang." Ucapan itu terdengar saat aku memeluk Saga.

Lagi-lagi kesemuanya kujawab dengan anggukan kecil. Tanpa ada aba-aba, Ical meraih tanganku dan menggenggam erat. Lagi-lagi sorakan heboh terdengar di belakang saat kami meninggalkan rumah dan menuju mobil yang sudah terparkir di depan. Supir King menyerahkan kunci yang dijawab Ical dengan terima kasih.

Ical mengendarai mobilnya dengan kecepatan lebih dari biasanya, dan itu sedikit banyak membuatku khawatir. "Jadi telat, ya? Harusnya tadi kamu nggak perlu ikut ngejenguk Kemi. Aku bisa numpang Saga atau Mona. Aku jadi nggak enak, nih."

"Nggak papa kok, Lan, masih kekejar ini," jawabnya sambil melirik jam di pergelangan tangan.

Ya... memang hari ini adalah waktunya Ical mengantar Eyang dan orang tua Echa ke bandara. Kami sepakat untuk bertemu di bandara, sementara orang tua Ical dan Echa yang mengantar langsung dengan mobil mereka. Eyang dan orang tua Echa harus kembali ke Yogya setelah menghabiskan waktu seminggu liburan di Jakarta. Ritual yang tetap terpelihara paling tidak setiap enam bulan seperti yang Ical ceritakan. Setiap kali kedatangan keluarga besar Ical dan sambutan mereka terhadapku, membuatku benar-benar seolah bukan orang asing di antara mereka.

Aku ingat benar, pertama kali Ical membawaku ke rumahnya. Kegugupanku benar-benar bisa dia rasakan dari remasan tanganku berulang.

"Santai aja, Lan, mereka baik kok."

"Tapi, aku tetep gugup, Cal," balasku.

"Oh, harus," jawabnya santai. "Mereka pasti akan kepo luar biasa sama kamu. Mereka akan meneliti kamu dari ujung kepala sampai ujung kaki."

"Hah?" Lalu Ical tertawa keras. "Ih!"

"Iya, benar," lanjutnya di sela tawa. "Kamu bayangin aja, aku sempat menjadi cucu satu-satunya sebelum Echa lahir. Nyaris dua belas tahun hidup mereka hanya ada aku. Eyang, Mama Papa, Om dan Tante, bagi mereka... aku adalah dunianya. Dan... jelas mereka akan sangat tertarik dengan kehidupanku, apalagi urusan siapa cewek yang kugandeng ini."

"Aduh!" Mukaku rasanya memanas, dan aku menghentikan langkah.

Ical tertawa lagi. "Nggak papa, nggak papa. Ada aku kok, kalau kamu ntar nggak bisa jawab pas mereka tanya, aku yang bakal jawab. Aku nggak akan biarin kamu nggak nyaman bertemu mereka," ujarnya menenangkan.

Dan ternyata... ketidaknyamanan itu tidak terbukti. Kehangatan dan penerimaan mereka terhadapku membuat semuanya meluluh dan sangat mudah untuk membaur bahkan bagiku yang nggak terlalu bisa banyak omong ini. Mereka memperlakukanku bukan seperti tamu, namun benar-benar seperti anggota keluarga.

"Sudah kubilang, kamu layak untuk hal ini, kan?" bisik Ical saat aku berpamitan untuk pulang dan eyangnya mencium pipi dan memelukku erat.

"Ehm... makasih, ya," ucapku tulus. Ical membalasnya dengan mengucek rambutku gemas dan dia sendiri yang kemudian merapikannya agar tidak menghalangi pandanganku.

Dan baru kali ini aku memutuskan untuk ikut mengantar keluarganya ke bandara, sesuatu yang disambut dengan pekikan semangat Echa dan senyum Ical. Rasanya benar-benar sepadan.

Teriakan Echa kembali menggema saat kami menepi dan aku membuka kaca. Saking bersemnagatnya, ia menghambur dan membuka handel pintu, menyuruhku turun dan membiarkan Ical terus ke parkiran. Aku bergegas melangkah menemui keluarga Ical dan mencium tangan Eyang, punggungku mendapat tepukan halus. Persis seperti pertama kalinya aku bertemu dengan mereka. Rasanya... hangat dan luar biasa melegakan.

"Eyang, maaf terlambat. Tadi jenguk teman dulu," ujarku.

"Nggak papa, Nak. Kamu sempatin ke sini aja Eyang udah senang." Senyum beliau terkembang.

Aku jadi ikut tersenyum. "Harus ikut pulang ya, Eyang. Kenapa nggak di Jakarta aja, sih?"

Eyang tertawa. "Ya harus... kan giliran adiknya Mama Ical ini buat ditemenin," beliau tertawa, "lagian Mama Ical kan sudah ada kamu yang sering nemenin."

Aku tersipu mendengar kata-kata beliau. Memang sejak kutahu keluarga Ical memiliki usaha restoran dan kegemaran mamanya adalah mencoba menu-menu baru sebelum dipasarkan, maka dengan senang hati aku menemani beliau bereksperimen. Hingga nyaris setiap akhir pekan aku menghabiskan waktu bersama beliau, apalagi sejak Kemi keluar dari rumah karena menikah dan aku pindah ke kontrakan yang lebih kecil dan searah dengan rumah Ical. Suatu kegiatan yang menurutku benar-benar membahagiakan.

"Gampang, nanti kita ke Yogya aja kalau kamu kangen Eyang, Lan," sahut Ical yang sudah tiba di sampingku. "Ouch! Eyang? Apa-apaan sih pake mukul Ical?"

Eyang mendelik ke arah Ical. "Jangan coba-coba bawa Lanti ke Yogya."

Aku terkesiap. "Lho kenapa?" tanya Ical. Mukanya kelihatan bingung.

"Kamu sama orang tuamu dulu yang harus datang ke rumah orang tuanya Lanti. Minta baik-baik. Baru ajak anak gadis orang ke luar kota! Bawa cucu menantu buat Eyang."

"Wah... wah... wah...." Baru kali ini kulihat Ical kehabisan kata-kata. Sementara orang-orang di sekitar kami seluruhnya tertawa. Sebagian malah menimpali dengan ledekan. Dan itu sukses membuat mukaku merah padam.

Saat lambaian tanganku masih mengiringi mereka yang memutuskan untuk masuk ke ruang tunggu sekarang, supaya tidak perlu bergegas mengejar pesawat... apalagi Eyang tidak bisa berjalan cepat, mataku menemukan sosok yang familier. Gerakan tanganku terhenti. Bisa kurasakan Ical merangkul bahuku lebih erat. Samar-samar kudengar panggilan menaiki pesawat tujuan Padang. Kuanggukan kepala untuk bersopan santun, dan kemudian sosok itu membalas dengan anggukan juga... lalu berlalu tanpa menoleh lagi.

Aku menghela napas, rasa nelangsa yang dulu hadir setiap kali aku melihatnya kini rasanya sudah biasa saja. Rangkulan tangan Ical di bahu menyadarkanku, dan aku melempar senyum karena gerakan tangannya yang lagi-lagi mengucek rambutku. Rasanya menenangkan dan hangat dan... dipercaya. Ini luar biasa. Gestur seperti ini yang selalu mengingatkanku pada Ical, pada hal-hal sederhana yang dia lakukan demi bisa membuatku nyaman.

Ah... kadang kita memang hanya memerlukan sesuatu yang sederhana dalam hidup. Sesuatu yang membuat kita nggak bisa berhenti bersyukur. Sesuatu yang membuat kita kuat untuk meneruskan kehidupan.

Seperti Ical dan cintanya yang sederhana, namun selalu manis dan membuatku tersenyum lega dalam diamku.

"Hayo... mikirin apa?" tegurnya.

"Eh?"

"Eh apa? Eh... mau nggak Lanti dilamar sama Ical? Kalau mau, kapan?" ujarnya. Alisnya naik turun menggodaku. Dan refleks aku menekap mulut menahan tawa.

"Besok kamu urus cuti, Nak. Kita sekeluarga akan ke rumah Nak Lanti di Kalimantan." Papa Ical mendekati kami. "Tolong kasih tahu Mama Abahnya, ya, Lan... kalau kami sekeluarga bakal datang," lanjut beliau saat menoleh padaku.

Aku mengerjap menahan mata yang memanas oleh rasa haru.

"Aku sudah bilang kan tadi di rumah Kemi, sekarang giliran kita buat bikin anak selucu Frey, Dion dan Tara," bisiknya. "Aku mau tiga, lho, Lan. Nggak enak banget jadi anak tunggal soalnya."

Aku menutup muka. Dan Ical akhirnya memelukku erat untuk menutupi isakan tangis haru yang tak bisa kutahan lagi.

Mungkin memang jalanku yang berliku, tapi inilah refraksiku, di mana gelombangku menyimpang dari arahnya semula. Dan dari kesemuanya... yang penting, aku bisa berdiri dengan penuh rasa syukur dan bahagia yang membuncah di dada.


Note: 

Selamat berakhir pekan dan terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mau menemani Lanti menemukan apa yang dia cari. Karena sejatinya, kadang kala hal-hal sederhana itu jauh lebih berarti dan bisa kita miliki daripada hal berkilau yang jauh dari jangkauan. 

Terima kasih untuk segala vote dan komennya, saya sangat mengapresiasi meski tak bisa membalas satu persatu. Dan izinkan saya berhahahihi sebentar sebelum kita berlari lagi bersama Adipati Sagala. Lol.

Dan ngomong-ngomong soal Saga... frequently ask question yang saya terima adalah: Apakah ada beneran sosok Saga itu?

Di sini saya jawab: Saga terinspirasi dari sahabat saya sekarang yang jauh di mata. Yang meski terbentang jarak, tapi nggak pernah mengurangi kehadirannya untuk kami semua (baca: kami adalah cewek-cewek manja yang setiap kali ada masalah atau apa pun selalu lari ke dia dan dia akan menyediakan telinganya sepenuh hati untuk mendengarkan cuapan kami, meski itu jam dua pagi. Lol).

Sampai jumpa lagi, Gaes. I love u, all.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top