[refraksi #30]

Note: Selamat membaca, Gaes. Sehat-sehat selalu :) Kalau mau misuh-misuh, kolom komentar dipersilakan, wkwkwkwk

"Kamu beneran nggak usah mikirin apa kata Echa, Lan."

Ini hari Jumat, dan itu artinya ucapan Echa yang Ical maksud sudah berlangsung empat hari yang lalu. Selama beberapa hari belakangan ini aku benar-benar nggak tahu bagaimana caranya menanggapi dan syukurnya Ical juga nggak membahasnya. Tapi, malam ini... di saat weekend sudah di depan mata, Ical menyinggung perkara ini saat mengantarku pulang.

"Eum... anu, Cal—"

"Nggak papa," potongnya. "Aku ngerti banget kok, Lan. Kamu—bukan, aku juga—belum siap. Bukan karena aku nggak kepingin kamu kenalan sama keluargaku, tapi mengingat hubungan kita juga belum bisa disebut gimana-gimana kan? Aku paham kok soal itu, makanya kubilang kamu nggak perlu mikirin kata-kata Echa. Dan beneran, aku nggak mau kebebanan soal ini."

"Tapi, kamu bakalan—"

"Ditanya-tanya? Ah... sudah biasa kok, Lan. Mereka toh juga nggak bakal mencoret aku dari Kartu Keluarga kalau kali ini nggak bawa siapa-siapa ke rumah. Aku nggak papa, dan aku maunya ini nggak jadi beban pikiran kamu. Oke?"

"Eum... makasih, ya, Cal, dan maaf banget kalau ini malah bikin kamu gimana gitu."

Ical menghela napas. "Harusnya aku yang minta maaf dong, Echa emang suka nyablak. Yah... nggak jauh beda sih sama aku, Lan. Tapi, everything will be okay. Take your time."

Tanpa setahu Ical, aku memang sempat meminta pendapat pada Kemi dan Saga soal ini. Meskipun Ical tidak meminta secara langsung, ya, tapi kupikir aku harus menyiapkan jawaban seandainya Ical mengemukakan hal yang sama. Namun, syukurnya Ical juga mengambil keputusan yang nyaris mirip dengan yang kupikirkan. Yah... meskipun Kemi menyemangatiku untuk ketemu dengan alasan yah... ketemu aja dulu, soal nanti pikirin nanti, tapi Saga ada di pihakku. Saga bilang, jangan melangkah terlalu jauh untuk sesuatu yang nggak diyakini. Apalagi, di masa sekarang yang namanya cowok bawa cewek ke rumah itu pasti ada imbasnya kalau sesuatu yang nggak lancar terjadi di masa depan. Saga juga bilang, dia nggak mempermasalahkan seandainya aku dan Ical memang benar-benar menjalin hubungan. Tapi, soal diperkenalkan pada orang tua itu sudah lain levelnya. Ada tanggung jawab moral dan itu sebaiknya dilakukan saat semuanya sudah jelas.

"Kita bukan lagi anak SMA yang bawa pacar ke rumah, Lan," ujarnya tadi malam. "Yang paling-paling kalau nggak diajak lagi, orang tua hanya menduga bahwa kita putus karena nggak cocok. Beda dengan usia sekarang. Nggak semudah itu datang berkenalan dan kemudian pergi tanpa pesan."

"Iya," jawabku tadi malam. Dan Kemi mendenguskan napas gara-gara kalah suara.

[refraksi]

Ini hari Sabtu dan untuk memenuhi janji minggu lalu, Saga menemaniku berbelanja di supermarket. Dia mau minta masakin sesuatu yang agak berat—request gulai ayam katanya—makanya pagi-pagi kami ke sini untuk melengkapi bahan. Setelah selesai berbelanja, kami memutuskan untuk singgah di foodcourt buat mengisi perut yang keroncongan. Saga bilang nggak sanggup untuk menunggu gulai ayam sementara naga di perut sudah mengamuk. Biarlah gulai ayam untuk nanti malam saja.

Setelah makan, Saga mengajakku pulang karena dia punya janji untuk menemani Dion berenang nanti sore. Kami berjalan menuju pintu keluar terdekat dengan tempat Saga memarkir mobilnya.

Aku masih mengingat-ingat di dalam kepalaku tentang bahan-bahan yang kuperlukan dan apakah semua sudah kami beli. Kukeluarkan catatan kecil dan kucontreng satu persatu. Yah... kalau memang nanti ada yang ketinggalan, paling aku beli di warung terdekat.

"Rilanti!"

Refleks aku menghentikan langkah dan menoleh karena suara itu.

Sejenak aku mematung melihat siapa yang memanggil namaku. Ada rasa nggak nyaman yang tiba-tiba datang hingga kurasakan tanganku menjadi dingin. Ugh!

Aku melihatnya bergegas mendekati posisi kami secepat yang dia bisa. Nyaris tersaruk karena kecepatan yang dilakukannya. Dan semakin menipis jarak kami, denyut nyeri di dadaku semakin terasa.

"Ga," lirihku pelan. Saga sudah dalam posisi menjejeriku, mengingat di kedua belah tangannya penuh dengan belanjaan. Dipindahkannya semua belanjaan ke satu sisi dan sebelah tangannya meremas bahuku, mengirim sinyal menguatkan.

"Nggak papa, ada gue, oke?"

"Rilanti!" Panggilan itu kembali dan jarak kami tinggal dua meter. Gelenyar tak nyaman merambat ke perutku.

"I-iya?" tanyaku terbata. Tarikan napasku memberat.

"Rilanti, kan?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Bisa kita bicara?" Gemetar menjalar di tanganku yang Saga remas. Putaran ibu jarinya di punggung tangan berusaha menenangkanku.

Aku menghela napas sekali lagi. Aku nggak mungkin salah mengenali. Bekas luka yang dalam dan memanjang dari pipi hingga dagunya membuatku tak mungkin lupa. Satu sisi kakinya disangga kruk. Dia... orang yang Kaio sebut ingin dilindungi seumur hidupnya. Dan itu menimbulkan sensasi nelangsa yang mati-matian kusembunyikan.

"Oh...ehm—" Aku menatap Saga.

"Tolong beri aku waktu," kali ini dengan nada meminta. "Please!" Saga menghela napas. Dan aku hanya bisa mengangguk pelan. "Just two of us," lanjutnya lagi seraya menatapku dan Saga bergantian.

Saga mendesah, dia menatapku sesaat dan kemudian berkata pelan. "Gue tunggu di parkiran. Kalau butuh sesuatu langsung hubungi. Take your time, nggak usah buru-buru."

Aku mengangguk dan membiarkan Saga berbalik arah. Sejenak, hingga Saga tak nampak lagi aku kembali menghadapnya. "Mau bicara apa?" tanyaku pelan. Aku bahkan merasakan suaraku nyaris dingin. Berkebalikan dengan mataku yang memanas.

"Bisa kita cari tempat yang nyaman?" tawarnya. Kemudian tanpa menunggu jawabanku, dengan langkah tertatih dia memasuki coffee shop terdekat. Aku memelankan jalan untuk mengimbanginya.

"Biar saya yang pesan," ujarku sambil menyilakan dia duduk mengambil tempat dan bergegas menuju antrean. Kupilih menu paling netral yang biasanya disukai semua orang. Aku benar-benar tidak berniat menanyai pesanannya, karena semakin sering kudengar dia bicara, rasanya dadaku semakin sesak saja. Kubawa dua cup kopi panas ke tempat di mana dia duduk.

"Kita belum berkenalan secara pantas," ujarnya, membuatku mengangguk meski aku sudah tahu jelas namanya. Nyeri seperti mencelus lagi-lagi menyerang dadaku. "Aku Telaga Mentari. Kau bisa memanggilku Ela."

"Oke."

"Rilanti...," kemudian dia mendesah, "kau tahu... aku mengenal namamu sejak lama," ujarnya. "Sejak fotomu dijadikan wallpaper ponsel Kai.

"Hah?" Aku benar-benar terkejut dan gagal menyembunyikannya. Mataku mengerjap berulang kali dan telingaku kutegakkan. "Apa saya salah dengar?"

Perempuan di depanku menggeleng cepat. "Tidak. Kaio menggunakan fotomu di ponselnya. Kau tahu, aku teman Kaio," lanjutnya.

Ada rasa tak biasa yang sama-sama kami berdua sadari saat dia mengucapkan kata 'teman'. Dan aku setengah mati mengabaikan itu. Entah kenapa aku merasa penekanan pada kata teman membuatku sangat tidak nyaman dalam pembicaraan ini. Aku benar-benar ingin menyudahi saja. Mataku memejam, kusesap perlahan kopi yang tadi kupilih karena serangan nyeri di kepala rasanya mulai melanda.

"Kau tahu situs yang menerbitkan seluruh foto terkenal di dunia? Nah... itulah tempat kami bekerja. Sejak Kai masuk dan menjadi karyawan tetap, aku adalah partner-nya." Jemarinya mengetuk permukaan meja, lalu menyesap kopi hitam yang kupilih untuknya. Mata kami beradu, mau tak mau kuakui bahwa perempuan ini memiliki kecantikan eksotis yang tak terperi. Dia... elegan... berkelas dan tatapannya mampu mengintimidasi siapa pun. "Kau tahu kalau Kai adalah fotoragfer terbaik yang kami miliki? Sepanjang kariernya, dia hanya memotret hewan buas dan adalah sebuah kejutan saat aku tahu dia menyimpan foto lain. Foto seorang gadis. Kau."

Aku langsung merasa kesusahan menelan ludah. Ini benar-benar membuatku merasa lelah. Godaan untuk segera menghubungi Saga sangat kuat sekarang. Tolong, hentikan!

"Bisa dipersingkat, maksud dan tujuan Mbak Ela mengajak saya bicara?" tanyaku pelan. Aku nyaris tak bisa menyembunyikan kegugupan dalam suaraku, namun perempuan di depanku terkesiap. Kemudian mengambil napas beberapa kali .

"Kai bertemu denganmu sejak ia memutuskan kembali ke Indonesia setelah tiga tahun merantau. Seingatku, Kai pulang karena mengkhawatirkan adik kesayangannya yang memutuskan keluar dari apartemen yang ia belikan. Kai... takut, adiknya yang tak pandai berteman tiba-tiba berkata bahwa ingin serumah dengan teman-temannya. Kai sangat khawatir dengan orang-orang yang disebut adiknya teman, ia takut kalau Mona hanya dimanfaatkan," aku tersentak, "dan di sanalah kalian bertemu."

Aku merasa tak perlu menanggapi apa-apa karena memang begitulah awal cerita pertemuan kami. Aku teringat momen di mana Mona memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan yang aku dan Kemi sewa. Aku mendesah mengingat lagi bagaimana Bang Kaio selalu bertanya apa yang adiknya atau kami butuhkan agar bisa hidup nyaman di kontrakan. Dan nggak sedikit pun dia mengeluh saat Kemi dengan isengnya berkata dia ingin pindah ke rumah yang lebih besar di komplek mewah yang sekarang kami tinggali. Bang Kaio setuju dan membantu kami pindahan lalu kemudian menemukan fakta bahwa sewa rumah sudah dibayar penuh untuk tiga tahun ke depan. Aku dan Kemi hanya melongo iri waktu itu, namun tak urung merasa senang. Dari situ, aku benar-benar mengagumi dan kepingin memiliki seorang kakak yang sama perhatiannya dengan kakaknya Mona.

"Sepulangnya dari Indonesia, untuk pertama aku melihat sosok Kai yang berbeda. Di satu sisi dia semakin bersemangat, foto-foto yang dia hasilkan semakin mencengangkan. Paul—atasan kami tentu saja senang luar biasa. Dia seperti menemukan muse kata Paul. Tapi, Kai juga lebih sering melamun. Dan saat dia bercerita merindukan seseorang, aku benar-benar terkejut."

Jantungku berdetak cepat saat kami bertemu pandang. Bang Kaio? Merindukan aku?

"Rasanya aku hancur mengetahui orang yang kucintai ternyata memiliki perasaan terhadap gadis lain." Matanya menatapku sayu, dan entah kenapa aku bisa merasakan apa yang sebenarnya dia tanggung seorang diri. Rasa yang sudah terlalu akrab buatku, sejak aku menganggap bahwa hanya aku yang menyukai Bang Kaio. "Aku memaksanya untuk membawaku dalam perburuan foto, dan yah... seperti yang kau lihat, tindakan gegabahku membuat kami berdua nyaris mati."

Aku tak mengerti kenapa kengerian yang belum pernah kurasakan tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku membayangkan sosok Bang Kaio yang terluka. Aku menekap mulut. Tenggorokanku tersekat.

"Sejak itulah semua berubah. Kai merasa bertanggung jawab atasku, dan awalnya aku menikmatinya." Dia meringis. "Tapi, lama-lama aku menyadari sorot matanya yang menderita setiap kali menatap fotomu di ponselnya. Dia menutupinya dengan baik, bekerja seperti biasa, tapi hasil foto-fotonya kehilangan nyawa." Aku mendesah. "Sejak itu, aku sadar posisiku dan aku menghilang dari hadapannya. Kai terus mencari namun tak pernah menemukanku."

Air mata yang sudah kutahan susah payah akhirnya tak bisa lagi dibendung. Butiran dingin itu menuruni pipiku. Kuseka dan kucegah sebisa mungkin isakan yang hendak lolos dari mulutku.

"Sekembalinya aku, kupikir semua sudah berangsur membaik. Namun... hanya aku yang ternyata bergerak. Kai... dia tinggal di titik itu. Hingga saat ini," bisiknya lirih. Dia lagi-lagi menatapku. Dan aku hanya bisa membalasnya dari sela jari yang menutupi wajahku.

"Selamatkan dia, Lanti. Bantu dia memaafkan dirinya sendiri," ujarnya seraya berdiri.

"Tapi... tapi, Mbak Ela, Bang Kaio bilang ingin menjaga Mbak," suaraku berubah jadi desisan, "seumur hidup."

Dia kemudian terkekeh. "Sudah sejak lama aku tahu, bukan seperti ini cara kerja cinta, Lanti. Aku sudah merelakannya saat aku kembali ke hadapannya. Namun, dia seperti orang yang konyol yang terperangkap dalam kebodohannya sendiri. Dia berpikir adalah tanggung jawabnya atas segala yang terjadi padaku. Dan sekarang... dia tak akan pernah berani menemuimu karena beranggapan kerusakan yang dia timbulkan padamu cukup besar." Kemudian dia berdiri dan mencondongkan badan ke arahku. Dengan cepat ia mengecup pipi kiriku. "Rilanti, dengarkan aku. Hanya kamu yang bisa membuatnya menyadari ketololannya itu." Air mataku semakin menderas. "Dan melihat reaksimu ini...," dia berdecak, "kupikir benar sekali bahwa kalian berdua memiliki kesamaan. Kalian berdua memang membutuhkan satu sama lain."

"Mbak Ela," rintihku.

"Kau tahu? Jangan pernah hidup bersama orang yang tidak bisa hidup tanpamu, tapi hiduplah bersama orang yang tanpanya kau tak bisa hidup. Sampai jumpa," ujarnya lalu melambaikan benda yang kukenali sebagai buku paspor.

Tertatih dia menuju pintu coffee shop dan aku masih membeku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top