[refraksi #26]

Note: Akutu kalo nemu komen atau inbox yang isinya: lanjut kak, kapan update kak, jangan lama-lama kak dan sejenisnya, akutu auto nyanyi: Aku bukan bonekamu, bisa kau suruh-suruh dengaaan seenak maumu... #yousingyoulose LOL


Ini sudah hampir seminggu dan aku benar-benar mulai merasa gerah dengan sikap Kemi dan Saga. Mereka berdua seolah tak pernah mau membiarkanku sendirian. Setiap pulang kerja, Saga sudah siap mengantarku dan tetap bertahan menemani di kontrakan hingga Kemi diantar King. Sahabat mungilku itu juga sudah memindahkan bantal dan guling ke kamarku, benar-benar tak mau kembali ke kasurnya sendiri.

Meski sejak kejadian hari itu aku belum bercerita sedikit pun kepada mereka berdua dan untungnya nggak ada satu pun yang mendesakku untuk bicara. Mereka hanya menemaniku menghabiskan waktu, mengajakku bicara banyak hal yang tidak ada kaitannya atau kadang Saga memboyong peralatan game-nya dan asyik memainkan sementara aku membaca buku di sofa sebelahnya.

"Ga." Kuputuskan memanggil Saga dari tadi memilih rebahan di sofa ruang tamu. Rasa bersalah makin melingkupiku karena tahu persis bahwa Saga cukup kelelahan. Bolak-balik mengantarku ke kontrakan sementara rumahnya beda arah. Dan menurutku, Kak Anya yang baru keluar dari rumah sakit juga sangat perlu perhatian.

Dia bangkit dari posisinya dan duduk menghadapku, "Ya, Lan?"

Kuremas tangan beberapa kali sebelum mengutarakan. "Hmm... sepertinya apa yang kalian lakuin ini benar-benar berlebihan, Ga."

"Nemenin lo gini, maksudnya?" jawabnya langsung. Memang kepekaan Saga nggak pernah bisa kupungkiri.

Sebelum aku menjawab, pintu rumah terbuka dan Kemi datang dengan membawa dua kotak pizza. "Haaai, kalian lapar kan? Lapar dong? Biar gue berasa jadi pahlawan bawain beginian. Ini pake duit gue lho, by the way. Bukan duit King. Jadi, kalian harusnya terharu sih," cerocosnya.

"Sini, Kem, duduk," panggil Saga.

Kemi mengangkat alis, dan sepertinya menyadari bahwa raut wajah kami cukup serius.

"Kenapa? Ada apa?" tanyanya dengan raut wajah cemas. "Dia ke sini lagi?" cecarnya beralih pada Saga. Saga menggeleng sebagai jawaban.

Aku meringis. "Nggak gitu juga kok, Kem."

"Terus?"

"Lanti bilang, tindakan kita berlebihan, Kem."

"Berlebihan di mananya? Yang berlebihan apanya, sih?" tanya kelihatan seperti orang bingung dan memerlukan pencerahan.

Saga mengedikkan dagu kepadaku. "Ya... gini, Kem. Aku benar-benar nggak kepingin ngerepotin kalian. Kalian seperti harus menjagaku dua puluh empat jam," ucapku pelan.

Gadis berambut ombre warna keperakan itu menggerak-gerakan kepalanya. Jemari mungilnya mengetuk sisi pipinya. Matanya mengerjap berganti-ganti menatap aku dan Saga.

"Kita nggak pernah ngerasa direpotin, Lan," ucap Saga.

"Tapi, Ga. Kak Anya juga butuh perhatian kamu. Kemi juga harus membagi waktu antara keperluannya dan aku," ucapku. "Belum lagi kamu harus bolak-balik nganter. Terus Kemi juga harus balik cepat, padahal jelas-jelas harus mengurusi Tara dan Dion juga kan?"

Kemi menghela napas. Kepalanya ia baringkan di bahu Saga.

"Dan... aku... aku bisa kok, aku beneran nggak papa," lanjutku. "Nggak kayak dulu," tambahku cepat.

Saga mengelus kepala Kemi. Entah kenapa rasanya damai sekali melihat mereka seperti ini. Aku mencoba menyunggingkan senyum terbaik yang kubisa.

"Oke," kata Saga. "Bagi gue, nggak pernah ada yang namanya repot soal kalian bertiga, Lan. Kedudukan kalian setara sama Kak Anya bagi gue. Dan saat menurut gue, lo butuh kita, kita bakal tetap ada sama lo."

"Persis seperti kalau gue juga butuh lo, Lan," sambung Kemi. "Lo pasti juga ngelakuin hal yang sama kan?"

Aku berpindah posisi ke samping Saga, dan ikut menyandarkan kepalaku di bahunya. Saga merangkul kami berdua. "Tapi, aku benar-benar nggak papa. Ehm... maksudku, nggak terlalu mengkhawatirkan seperti sebelumnya."

Lama kami bertiga terdiam. Saga mengelus sisi kepalaku pelan.

"Mona nyaris nge-chat gue tiap jam, Lan," lirih Kemi. "Cuma buat mastiin lo baik-baik aja. Andai kata nggak ada Freya, jelas tu anak sudah terbang kemari misuh-misuh nyusun rencana biar lo nggak merasa nelangsa," tambahnya.

"Aku tahu," jawabku. Kepedulian teman-temanku benar-benar juara.

"Lan, gini, kita sama sekali nggak keberatan nemenin lo. Tapi, kalau memang lo ngerasa lebih enak sendiri ya gue nggak papa. Cuma kalau lo butuh bantuan kita, ngomong," ucapnya. "Bisa?"

Aku mengembuskan napas. "Kuusahain, Ga."

"Gue juga seneng-seneng aja nemenin lo bengong, Lan. Salah satu keahlian gue kan ngerjain sesuatu yang nggak pakai mikir."

Untuk pertama kalinya aku bisa terkekeh dan geleng-geleng kepala karena ucapan Kemi. Dari sini, jelas aku bisa memahami kenapa King bisa bertahan dengan kehadiran Kemi yang ajaib, karena memang dia adalah penghidup suasana. Nggak lengkap banget rasanya kalau nggak ada Kemi. Memang beda jauh denganku yang mungkin kehadirannya dianggap biasa saja, tapi penerimaan dan kepedulian mereka terhadapku selama ini seharusnya sudah cukup untuk membuatku baik-baik saja.

Memang akan selalu ada hal-hal yang nggak sesuai dengan apa yang diinginkan, namun hal baik kadang juga nggak kita sadari karena terlalu fokus meratapi. Ah... begitu mungkin. Peristiwa ini benar-benar menyadarkanku bahwa aku nggak akan pernah sendirian, dan mereka akan menemaniku melewati ini. Rasanya lebih lega.

"Ah... senang rasanya, Lan," ucap Kemi tiba-tiba. Kepalanya menegak dari bahu Saga dan memutar badannya menghadap kami berdua. "Lo nggak seterpuruk dulu, kan. Paling nggak, rasanya lebih stabil sekarang. Iya, kan, Ga?"

"Iya, banget."

Rasanya...setelah kuhembuskan napas lega, aku bisa tersenyum tulus untuk pertama kalinya. "Makanya," jawabku. "Kalian jangan terlalu kayak gini. Kalian juga perlu waktu buat ngurusin orang-orang di sekitar kalian. Rasanya memang nggak nyaman, kuakui... tapi aku bisa berdamai dengan ini semua. Nanti juga membaik lagi."

"Ah... Lanti udah makin dewasa," seru Kemi. Membuat aku dan Saga terkekeh. "Ngomong-ngomong, gue minta maaf, Lan. Soal nyodor-nyodorin Ical ke lo. Sekarang beban lo malah nambah, ya, gara-gara sikap Ical? Dia ngejutekin lo nggak di kantor?"

Aku menghela napas berat. "So far... pas ketemu paling cuma ngangguk gitu doang, sih. Tapi nggak yang merengut gimana-gimana."

"Nggak papa, Faisal butuh waktu," ujar Saga. "Kalau memang nanti dia mau berteman lagi, ya oke. Kalau dia memilih menjauh, ya mau gimana lagi?"

"Iya, ngga ada yang bisa kulakuin, Ga, soal Ical. Dia baik banget, makanya aku merasa bersalah karena nggak tegas dari awal, terkesan ngasih harapan padahal aku sendiri belum yakin," keluhku. "Eh, ngomong-ngomong, Ga. Cewek yang kemaren kamu ajak tuh siapa?"

Ganti Saga terkesiap.

[refraksi]

Banyak penyesuaian pekerjaan yang harus dilakukan di kantor karena Mona sedang cuti. Bagaimanapun, selama ini kehadiran Mona sangat vital bagi kami. Dan karena itulah, hari-hari berikutnya tuntutan pekerjaan cukup berat dan mampu membuatku menyibukkan diri hingga tak sempat memikirkan hal-hal yang mengganggu. Sampai di rumah, beberes dan mandi sebentar, kuambil buku dan nggak lama terlelap. Entah kenapa mungkin aku benar-benar sudah dalam tahap merelakan, mimpi-mimpi buruk nggak terlalu menggangguku seperti dulu. Hanya kadang kalau terbangun dan mulai memikirkan kejadian yang membuatku nelangsa, cukup dengan memandangi Kemi yang pulas dalam tidurnya membuatku tersadar dan memilih menutup mata kembali untuk melanjutkan tidur.

Memang masih sulit dan berat, tapi... untuk mereka yang benar-benar peduli dan menyayangiku rasanya kerja keras untuk 'benar-benar menjadi baik-baik saja' layak dilakukan. Bukan sekadar pura-pura baik, maksudku.

Aku berpikir untuk menyegarkan diri sendiri sejenak. Kuputuskan ke pantry untuk membuat kopi agar masih bisa tahan untuk menyelesaikan pekerjaan Kemi yang terbengkalai karena mendapat telepon bahwa Tara demam akibat kebanyakan main di kolam renang bareng Dion. Meski sebenarnya bukan pekerjaan urgent, tapi lebih baik aku pulang ke rumah dalam kondisi selelah-lelahnya.

Namun, begitu aku kembali dari pantry dan membawa secangkir kopi, kutemukan sebuah plastik yang diletakkan di mejaku. Kukerutkan kening dan entah kenapa dadaku mulai berdebar cepat. Kubuka bungkusan dan menemukan wadah tahan panas yang berembun. Di atasnya ada kertas notes yang ditulisi tangan: Teman yang baik juga nggak mau membiarkan temannya melewatkan makan malam. Makan selalu bisa menjaga kewarasan.

Refleks aku menekap mulut karena cengiran lebar hadir tanpa bisa kucegah berbarengan dengan rasa lega yang luar biasa. Kuputuskan meraih gagang telpon dan menekan nomor sambungan ke kubikelnya.

"Halo?"

"Tadi ngantor naik apa?" tanyaku.

"Eh? Lanti?" tanyanya. Aku tetap diam menunggu jawaban. "Naik motor, sih... kenapa?" jawabnya seperti tak yakin.

Aku menarik napas berkali-kali sebelum menjawab. "Eum... ada bawa helm lebih nggak?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top