[refraksi #24]

Note: Mona dan Kemi pindah lapak ya, Gaes. Kalian bisa menemukannya di aplikasi Dreame/Innovel dengan judul yang sama. Jangan misuh-misuh, mereka berdua udah jamuran di lapak ini nyaris 3 tahun. Oke? Selamat membaca dan menikmati weekend :)


Kali ini, aku benar-benar memahami istilah yang sering disebut-sebut orang dalam situasi yang enggak menyenangkan. Mempertahankan kewarasan.

Aku nggak pernah menyangka bahwa mempertahankan kewarasan dan tetap bersikap normal adalah salah satu hal yang paling sulit untuk dilakukan, di saat yang sama rasanya aku kepingin menjadi sejenak hilang ingatan, hilang perasaan atau bahkan gila.

Nggak gila.

Nggak boleh gila.

Sekarang ini, rasanya jauh berkali-kali lipat lebih buruk daripada harus memasang poker face dan tampang sabar saat aku ditanyai 'kapan nikah?' di setiap acara pernikahan kerabat yang aku hadiri.

Rasa sakitnya mendekati pun tidak. Ugh!

Kuhela napas, kali ini keberadaan Saga hanya bisa mengawasiku dari sudut matanya. Aku langsung peka bahwa siapa pun gadis yang Saga bawa saat ini sangat penasaran dengan tingkah lelaki yang terus-menerus menatapku meski berusaha menyamarkan. Dan aku cukup yakin, itu mengganggunya.

Tentu saja, gadis mana yang bisa tahan jika lelaki yang mengajakmu jalan justru menghabiskan waktu menatap perempuan lain. Meskipun pada hal ini, tatapan Saga benar-benar bertujuan untuk mencegahku melakukan hal-hal yang akan kusesali nanti. Mencegahku berbuat hal yang tidak masuk akal seperti melemparkan diri ke arah Bang Kaio dan memborbardir dengan berbagai pertanyaan. Atau yang paling sederhana, meninggalkan acara Mona bertingkah seperti anak-anak ngambek.

Kuperingatkan Saga dalam diam tentang keberadaan gadis di sisinya. Saga mengangguk mafhum, dan gadis itu sekali lagi memandangiku dengan tatapan tajam. Seperti masalah saat ini tak cukup banyak saja untukku mempertahankan kewarasan.

Aku hanya bisa menahan napas saat mendengar lagi-lagi hembusan napas kencang berasal dari Ical. Persis sejak aku melangkah mendekati orang yang sama-sama kami tatap, dia bungkam. Nggak terdengar sedikit pun ocehan ramai yang biasanya sulit dihentikan dari mulutnya.

Aku benar-benar merasa bersalah.

Tapi, aku juga benar-benar nggak tahu harus bicara apa.

Saat ini, aku justru harus mengendalikan air mata yang nyaris menggenang setiap kali ekor mataku menemukan gadis itu menggamit lengan Bang Kaio.

Rasanya benar-benar menyesakkan dan aku benar-benar ingin menyingkir dari sini. Sekarang juga!

Tepat saat aku memutuskan untuk berpamitan, remasan Kemi yang cukup kuat menyentakku. Kepalanya menggeleng. "Bertahan sebentar demi Mona," ujarnya. "Lo bisa ngadepin ini, Lan," lanjutnya lagi. "

Aku hanya menjawab dengan anggukan ragu.

Tentu saja, Kemi nggak akan membiarkan pulang sekarang. Meski sesulit apa pun, aku benar-benar harus berusaha seakan tidak terjadi apa-apa demi Mona. Berkali-kali Kemi menyodorkan makanan, yang kutolak dengan halus. Setengah jam kemudian, setelah acara inti baru saja berakhir, hanya tinggal ramah tamah di antara keluarga, Kemi menghampiri Mona. Kudengar dia beralasan kram perut dan harus pulang lebih cepat dan Saga ikut-ikutan harus mengantar pulang gadis yang ia bawa.

Mona menatap kami bertiga, dan helaan napasnya semakin membuat dadaku sesak.

Aku cukup terkejut saat Mona menarikku dalam pelukannya cukup lama. Tepukkan pelannya di punggung justru menambah tenggorokanku tersekat. Dia sama sekali nggak berkata apa-apa dan hanya menyuruh Ical yang mendekat ke arah kami untuk mengantarkanku pulang dengan selamat. Diiringi tatapan Bang Kaio, kami berlalu dari rumah Mona. Mobil King dan sepeda motor Saga sudah tak terlihat lagi.

Perjalanan pulang kali ini benar-benar menyesakkan. Ical lagi-lagi tak berkata apa-apa sejak menyetir dari rumah Mona. Hanya sekali mengomentari tingkah pengemudi yang menyalip tiba-tiba di depan kami. Itu pun dengan kata-kata penuh makian yang baru kali ini kudengar dari mulutnya. Dan ini... benar-benar membuatku nggak nyaman.

"Eum... Cal," panggilku saat kami tiba di depan rumah kontrakanku.

"Ya?" jawabnya. Kata pertama yang Ical ucapkan tanpa memandang wajahku, dia menatap jauh ke depan.

Aku menjawabnya beberap kali mengerjapkan mata, mengusir air mata yang hampir meluruh. "Mmm... terima kasih dan... maaf," cetusku.

Ical menoleh. Dan aku jelas tahu bahwa dia susah payah menyunggingkan senyum. "Nggak ada yang perlu dimaafkan, Lanti," lirihnya. "Karena memang sejak awal, kamu nggak pernah janjiin apa-apa sama aku."

Aku terkesiap. Tapi, kemudian tetap memilih diam. Aku benar-benar tak tahu bagaimana harus bicara.

"Cal, please," gumamku. "Maaf."

Ical terdiam lama. Sunyi melingkupi kami berdua. Hanya deru pendingin mobil yang sesekali terdengar nyaring di telinga.

"Aku bahkan nggak berhak marah, Lan," ucapnya. Kali ini dia menatapku, dan aku... menemukan pandangan terluka di matanya.

"C-cal, aku...aku," ucapku terbata.

"Apa pun itu, ini tentang perasaan kamu, Lan. Dan jelas terlihat kalau kalian memiliki sesuatu yang belum terselesaikan," bisiknya. Pandangannya menatap ke depan. Tangannya mengetuk setiran dalam irama lambat.

"Tapi... kita?" tanyaku menggantung. "Ki-kita gimana?"

Ical menghela napas beberapa kali. "Lan... aku... benar-benar nggak tahu harus bersikap gimana," ujarnya. Matanya menatap mataku yang mengembun. Menahan sesuatu yang mendesak keluar. "Aku benar-benar nggak tahu gimana caranya menghadapi orang yang belum 'selesai'," lirihnya, nyaris menyerupai bisikan. "Rasanya nggak benar buatku untuk memaksakan sesuatu yang dari awal memang nggak pernah ada, kan?"

Aku membeku. Setetes air mata turun tanpa bisa kucegah lagi. Rasanya lebih baik melihatnya marah daripada mendengar ucapannya yang terbata.

"Maaf," gumamku setelah kami terdiam lagi. "Aku benar-benar nggak mau kamu—"

"Saat ini aku memang nggak baik-baik saja, Lan," potongnya. "Tapi, aku mencoba berdamai dengan itu, okay? Jadi, kumohon banget turun sekarang, aku benar-benar nggak mau ngelihat kamu nangis. Itu bikin aku sedih," ungkapnya.

"Cal...," aku memanggilnya di sela isakan. "Kita masih bisa tetep temenan kan?"

Ical menutup matanya. Jawaban yang kutunggu tak kunjung ada meski aku sudah menahan diri untuk tetap di sini selama nyaris setengah jam.

Kuputuskan untuk meraih handel pintu dan keluar dari mobil Ical. Kukuatkan hati untuk berjalan tanpa membalikkan badan. Kudengar derum pelan di belakang. Yang kuinginkan hanya satu, Ical pulang dengan selamat sampai rumah.

Kutarik napas yang semakin menyesakkan. Setiap helaan seperti dibebani ribuan ton beban. Hal yang paling kuinginkan saat ini hanyalah membenamkan kepala di bantal dan membiarkan tangis yang dari tadi susah payah kutahan.

Tergesa, aku mencari kunci rumah dan nyaris saja berhasil memutar lubang kunci saat pintu menjeblak terbuka dan tubuhku tertarik begitu saja masuk ke dalam. Aku tersentak, saat tubuh mungil Kemi menghambur memelukku erat dan tersedu keras. "Sabar ya, Lan," isaknya kencang.

Sesaat kemudian, tangan lebar melingkupi kepala kami berdua. "Kita nggak akan biarin lo menjalani ini sendirian, Lan," lirih Saga. "Nggak lagi."

Aku bisa mendengar teriakanku teredam dalam pelukan mereka.

[refraksi]

Rasanya haus sekali.

Denyut di pelipisku sangat terasa saat aku membuka mata. Kuraba pipi dan kelopak mataku, masih menyisakan sedikit panas. Jelas ini efek menangis tak berkesudahan hingga akhirnya aku tertidur kelelahan.

Kulirik penunjuk waktu di meja tempat dulu Mona menyimpan agendanya. Pukul setengah dua pagi.

Pelan-pelan kuturunkan lengan Kemi yang melingkari perutku. Dia bergolak sejenak, kemudian melanjutkan tidur dengan membelakangiku. Mencoba menguatkan diri, aku turun untuk mengambil minuman dan menemukan Saga yang tertidur meringkuk seperti kedinginan di sofa ruang tamu.

Rasa bersalah langsung menyergapku sekali lagi.

Kuputuskan untuk berbalik ke kamar dan mengambil selimut. Kuhamparkan di atas tubuh sahabatku hingga menutupi kakinya. Gerakan pelanku ternyata membuat Saga membuka mata, "Lan?" tanyanya.

"Haus," jawabku.

Saga mengucek mata dan mengubah posisi saat aku kembali dari dapur dengan segelas air. Kuteguk pelan untuk merasakan sejuknya mengaliri kerongkonganku yang terasa tersekat.

"Kemi tidur?" tanyanya.

Aku menjawab dengan anggukan.

Saga membiarkanku meneguk hingga gelas tinggal berisi setengah. Berkali-kali ia menguap dan memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di sofa.

"Tidur lagi, Ga," ucapku.

Saga menghela napas. "Lo gimana?" tanyanya. Aku cukup tahu maksud pertanyaan Saga, dan aku hanya menjawab dengan gelengan. "Apa yang lo rasain?" ulangnya lagi. Saga menepuk space kosong sofa, menyuruhku berpindah ke sisinya. Sisi tangannya menarik kepalaku agar bertumpu di bahunya.

"Aku nggak tahu, Ga," ungkapku. Saga masih menunggu lanjutan kata-kataku. Tangannya mengelus pelan rambutku. "Aku cuma... sesak." Nyaris terdengar lagi isak yang setengah mati kutahan.

"Ssst... nggak papa, nggak papa," bisiknya. "Nggak papa nangis, Lan."

"Aku ngerepotin banget ya, Ga," ucapku, lebih sebagai pernyataan.

"Saudara itu saling ngerepotin, Lan. Dan buat gue lo udah jadi saudara," jawabnya.

Kami terdiam lagi. Cukup lama kali ini.

"Aku menyedihkan banget, kan, Ga?"

Tangan Saga berhenti mengelus rambutku. Badannya menegak, yang membuatku melakukan hal serupa. Lama dia menatapku, kemudian Saga tersenyum. "Nggak ada yang salah sama lo, Lan," ujarnya. "Lo nggak menyedihkan hanya karena jatuh cinta."

"Ugh."

"Lo sudah tahu risikonya menyukai Kaio, dan mau kayak gimanapun, lo tetap begitu. Itu nggak menyedihkan, Lan. Itu namanya perasaan. Hati," jelasnya. "Meski kadang logika kita kepingin sebaliknya, hati selalu punya maunya sendiri kan, Lan?"

Aku mengangguk dan tergugu. Isakan lagi-lagi lolos dari bibirku. "Aku sudah nyoba, Ga. Nyoba untuk nggak gini. Bener."

"Gue percaya, Lan," tukasnya. "Lo cuma butuh waktu, oke? Lo bakal baik-baik aja. Ada kita. Ada gue, Kemi sama Mona. Lo bakal tetap baik-baik aja," ulangnya.

Aku nggak tahu, tapi kali ini rasanya lebih berbeda dibanding saat Bang Kaio meninggalkanku dulu. Mungkin karena dulu aku hanya terpaku pada perasaanku dan sekarang... saat melihat seseorang di samping Bang Kaio, benar-benar membuatku patah hati. Tapi, sekaligus menyadarkanku... bahwa aku nggak seharusnya terus begini. Dan kata-kata sahabatku benar-benar membuatku berpikir ulang. Meski sakit, perasaan ini harus kukubur dalam-dalam.

"Menyedihkan banget, karena aku pikir hanya perasaanku yang tak berbalas. Tapi, ternyata... aku lupa Bang Kaio punya perasaan juga. Dan itu untuk orang lain, Ga. Aku lupa mempersiapkan kemungkinan itu," ungkapku jujur.

"Hm?"

Kuhela napas berkali-kali. Entahlah... rasanya lebih melegakan karena bisa mengakui ini. Meski beban rasa bersalah pada Ical juga tak bisa dipandang sebelah mata, tapi... aku tahu yang lebih membuatku sesak adalah saat aku menyadari bahwa Bang Kaio memiliki orang lain.

"Aku nggak bakal kayak dulu kok, Ga," janjiku. "Aku kaget tadi."

"It's okay, Lan."

Saga menguap. Jam dinding sudah berdentang empat kali.

"Semua akan lekas membaik," ucapku, lebih seperti berharap. "Tolong sampaikan sama Mona, Ga. Aku tahu dia pasti nggak henti-hentinya ngirim pesan, kan?"

Saga tertawa pelan. "Iya, dia ngekhawatirin lo, Lan. Gue bilang lo hanya perlu waktu. Semuanya akan membaik lagi."

Pernah merasa ditimpa masalah, namun ketika masalah itu belum selesai tapi pundak terasa lebih ringan. Iya, seperti itu rasanya.

Aku tahu, masalah ini hanya soal waktu. Aku hanya harus memberi lebih banyak waktu pada diriku. Pada hatiku yang selama ini selalu memupuk harapan, meniadakan kemungkinan buruk dan berharap banyak. Pada benakku yang selalu menyimpan kenangan-kenangan. Pada pikiranku yang selalu terbawa perasaan. Iya, aku hanya butuh waktu. Untuk menghadapi dan menyelesaikan satu persatu. Yang jelas... bukan tempatku lagi mengharapkan posisi yang sudah diisi perempuan lain.

"Thanks, Ga," bisikku.

"Take your time, Lan. Tidur dulu sana."

Kuhembuskan napas dan menyelimuti lagi Saga yang kembali berbaring. Napasnya nyaris teratur tanda Saga nyaris terlelap. Kulihat wajahnya yang kelelahan dan kantung matanya yang menebal. Berkali-kali kuingatkan pada diriku sendiri, bahwa aku harus cepat berdamai dengan perasaan ini. Aku tak ingin merepotkan sahabat-sahabatku lebih jauh.

Kuputuskan mematikan lampu dan memasang lampu tidur sebelum beranjak kembali ke kamar.

Dan di saat itulah terdengar ketukan pintu. Aku terkesiap.

Lima detik kemudian berubah menjadi gedoran.

"Ga?" panggilku, mengguncangkan badannya. Saga langsung waspada.

Gedoran itu terdengar lagi. Saga menyalakan lampu hingga ruangan kembali terang benderang.

"Maling?" tanyanya. Dahinya mengerut.

Aku menggeleng.

"Maling mana ada ngetuk sih, Lan?" ucapnya. Lalu berdiri dan membuka pintu.

Aku spontan menjerit saat sesosok tubuh besar itu melewati Saga begitu saja dan lengan kokohnya memerangkapku kuat dalam pelukan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top