[refraksi #23]

Note: Selamat malam jumat :)

"Woy! Tunggu! Ahelaaah! Sial bener gue pake sepatu ginian tadi! Woooy! Kaki gue pendek jangan cepet-cepet napa!"

Rentetan kata-kata yang kadang disertai sumpah serapah dari mulut Kemi tetap tak membuat kami memelankan langkah. Aku dan Saga nyaris setengah berlari di sepanjang koridor rumah sakit yang akhir-akhir ini rasanya sering sekali kami kunjungi.

"Woy! Kalian kira kalian tuh dokternya?!" Kami berhenti dan langsung menoleh gara-gara bentakan Kemi. Gadis bertubuh mungil itu melesat dan lengannya dengan lincah meninju Saga. "Kalian terbang ke sana juga nggak akan ngaruh banyak sama Mona! Jalan biasa aja bisa, kan?" omelnya lagi.

"Tapi, Kem...," sergahku.

"Biar Rania dan timnya yang ngerjain semuanya, kita cukup tenang dan berdoa," potongnya. Matanya memelototi kami berdua.

"Oke," tukas Saga. "Kali ini bocah ngawur ini ada benarnya." Kulihat lelaki di sampingku ini menyeka keringat yang turun di sisi pelipisnya. "Kita cuma bisa nunggu di depan ruang operasi, nggak bisa ngapa-ngapain juga." Kemi masih menatap kami berdua dengan pandangan jengkel.

Setelah kami menerima kabar bahwa Mona mengalami kontraksi dan dibawa ke rumah sakit, Saga menyetir seperti orang kesetanan membawa kami ke sini.

"Tapi, kan? Siapa tahu dengan kita di sana Mona bisa lebih tenang. Kita bisa aja jadi dukungan buat dia," lirihku, sengaja menghindari kontak mata dengan Kemi yang memanyunkan mulut.

"Mona tuh udah panik banget sama rencana persalinan yang meleset dari dugaan. Jangan bikin dia makin histeris gara-gara kita yang lari-lari ikutan khawatir. Kita banyakin berdoa, pasang muka tenang, ok?" Rambut ombrenya bergoyang seiring langkah Kemi, menuntun kami menuju ruang perawatan Mona. Informasi yang Kemi dapat dari kakaknya, kemungkinan akan dilakukan operasi pada sahabatku itu.

Sesampainya kami di sana, ada Danu yang menggenggam erat tangan Mona. Sahabatku itu pucat pasi sekaligus ketakutan dan berulangkali ditenangkan termasuk oleh Rania, kakak Kemi yang berprofesi sebagai dokter kandungan.

Dan di sisi sebelah ranjang yang nggak ditempati Danu... ada Kemi yang tiba-tiba setelah masuk langsung menubruk Mona, lalu menangis nggak karu-karuan, bahkan jauh lebih kencang dari Mona.

"Tenang ya, Mon, tenang. Lo bakal oke, kok. Iya, kan, Ran? Nggak bakal mati kok, kayaknya...," ucapnya sambil tersedu-sedu. Yang ditenangkan malah makin histeris.

"Ketimbang gue, gue lebih takut anak ini kenapa-napa, Kem," lirih Mona.

Gadis berambut perak metalik itu menoleh ke arah kakaknya dan membuka mulut, "Ehm... Ran, terakhir kali lo meriksa-meriksa Mona, anaknya oke kan? Kakinya juga ada, kan? Kepalanya gimana, kagak ketuker kan ya, kepalanya dua terus kakinya cuma satu?"

Refleks kami semua memekik. Bahkan Danu.

"Apa saya perlu mengamankan dia sebelum membuat kekacauan yang lebih besar?" Suara King yang menyusul datang dan menunjuk tepat di hidung Kemi membuat gadis itu terpaksa menengadah dan menyingkir dari hadapan Mona. "Nggak cukup kamu gila di depan saya aja, Kemilau? Temanmu mau melahirkan itu."

Di sampingku, Saga menepuk jidat dan memutar bola mata. "Udah gue bilang, kalau kata-kata Kemi mendadak lebih waras itu nggak mungkin banget," bisiknya.

Mau nggak mau, aku mendengus menyamarkan tawa.

Dasar!

[refraksi]

Aku nggak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu, tapi setelah melihat sahabatku ini, aku tahu bahwa kebahagiaan atas kelahiran baru ini bukan main-main. Seringkali melihat senyumnya saat berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sempurna benar-benar nggak ada apa-apanya dengan apa yang terpancar di wajah Mona saat ini. Melihatnya menggendong dan berkali-kali menunduk untuk menciumi saat menggendong Frey adalah sebuah pemandangan yang cukup membuatku meneteskan air mata. Haru.

Tapi, sekaligus baper.

Rasanya seluruh kebahagiaan di dunia ini sudah dia peroleh.

Dan itu benar-benar membuatku iri setengah mati.

"Kepengen juga?" Suara Ical membuyarkan lamunanku. Aku hanya menjawabnya sambil tersenyum.

Tadi siang, aku memutuskan menerima tawaran Ical untuk menemaniku datang ke acara syukuran Mona hari ini. Mau bagaimana lagi, Kemi dengan sombongnya berkata bahwa dia enggan memberiku tumpangan hari ini. Dan Saga... sahabat lelakiku itu tiba-tiba datang ke acara Mona dengan menggandeng seorang perempuan yang baru kali ini kami lihat. Saga hanya mengedipkan mata dan aku mengangguk, sementara Kemi sukses mendapat jeweran King karena terus-terusan mengintili Saga dan tanpa segan memandangi gadis di sisi sahabatku itu. Aku juga penasaran, tapi Kemi tak penah bisa menahan rasa kepo sebaik aku.

"Cantik banget," desahku. Menatap Frey yang meringkuk dan berpindah dalam gendongan Danu kali ini. Bayi itu tertidur lelap dan sepertinya tak merasa terganggu harus diedarkan ke sana kemari.

"Iya, jelas jadi rebutan nih kalau udah gede," balas Ical. "Pentolan gank kalian bakal cewek nih, jagoan kayak emaknya ya, Lan?"

Aku mengangguk lagi, lalu menerima secangkir es buah yang Ical bawakan. "Thanks."

"Selanjutnya siapa? Kemi?" tanya Ical.

Aku menjawab dengan mengangkat bahu. "Mungkin, beberapa waktu yang lalu Pak Arga resmi melamar. Tapi, aku belum mendengar kapan rencana pernikahan mereka."

"Kemi bilang, dia masih betah kerja soalnya. Kalau nikah, dipaksa resign."

Aku terkekeh. Memang seingatku, Kemi misuh-misuh saat Arga memintanya berhenti bekerja. Karena menurut Arga, keberadaan Kemi bisa membangkrutkan sebuah perusahaan. Dan itu lagi-lagi membuat mereka perang debat hingga kami harus menyingkir dengan menutup telinga.

"Iya, jadi ibu rumah tangga. Bukan Kemi banget," balasku.

"Seharusnya Kemi senang, tinggal duduk manis di rumah ongkang-angking nggak perlu mikirin promosi juga atau karier yang mandeg gitu-gitu aja. Tinggal nguras ATM Pak Arga aja."

"Oh... itu sudah dia lakuin sejak sekarang, sih. Kami nyaris pingsan saat tahu harga sepatu terbarunya," ucapku. "Tapi, di balik itu... nggak sedikit perjuangan dan pengorbanan Kemi untuk meyakinkan keluarga, Cal. Kurasa itu sepadan."

Ical menggaruk kepala, gumamannya membenarkan ucapanku.

Nggak seorang pun di luar kami berempat tahu bagaimana perjuangan Kemi hingga bisa diterima dengan baik oleh Tara, anak King. Dan bagaimana cara Kemi meyakinkan orang tuanya tentang status King yang memiliki anak di luar nikah. Belum lagi rasa minder gadis itu yang kadang membuat sesuatu yang awalnya bukan masalah, menjadi pertengkaran tanpa ujung di antara mereka. Kami saja sampai lelah melihat mereka berdua yang selalu berdebat dan jauh dari kata damai.

Aku masih melamunkan beberapa hal dengan Ical yang bersenandung pelan di sampingku. Mataku beredar mengikuti bayi mungil di pelukan Mona yang kini diedarkan ke keluarga Danu yang jauh-jauh datang dari Surabaya.

Rasanya... benar-benar menenangkan. Mengingat terakhir kali interaksi keluarga Danu dan Mona yang kusaksikan dengan mata kepala sendiri membuat Saga naik pitam dan menghajar Danu habis-habisan.

Tapi, tiba-tiba ketenangan itu dirusak oleh langkah kaki berat yang khas di telingaku.

Aku menutup mata.

Dalam pejaman pun, aku bahkan mampu mengenali jejak langkah ini.

Kuhela napas sebisaku. Rasanya benar-benar seperti memaksakan menarik udara dari sekitar. Rasa berat dan sesak yang diiringi dengan kesusahan menelan ludah.

Aku mengerjap.

Sosok itu dengan langkah lebarnya langsung mendatangi Mona dan memeluknya seerat yang dimungkinkan. Beberapa saat kemudian, Frey berpindah tangan dan kini berada dalam gendongan kekarnya. Lelaki itu menunduk dan jemarinya membelai lembut hidung Frey, sesekali menunduk memberikan ciuman.

Aku membeku.

"Lan?" Aku nyaris hanya setengah memperhatikan saat panggilan Saga terdengar. Aku menoleh, lalu menelan ludah. Saga meremas bahuku pelan. "It's okay," ucapnya lagi. Gadis yang tangannya berada dalam gandengan Saga menatapku penasaran.

Aku menutup mata lagi, perlu beberapa detik untuk membuka. Saat itu, aku menemukan Ical yang balas menatapku dengan pandangan menyelidik. Dahinya berkerut dalam. Sepersekian detik, dia ikut menoleh ke arah mataku berlari tanpa bisa kutahan.

Aku menahan napas.

Ical mengembuskan napas.

Saat itulah, orang yang kami tatap bersama mengangkat kepala.

Tenggorokanku tersekat saat matanya menemukan mataku. Kami mengerjap bersamaan.

"Bang Kaio," ucapku pelan. Tapi, aku tahu dia jelas mengerti apa yang barusan kukatakan.

Aku. Memanggil. Namanya.

Bayi dalam pelukannya masih tertidur pulas saat kakiku melangkah tanpa bisa kukendalikan. Pelan, aku mengikis jarak. Bang Kaio mematung di tempat.

Hingga tinggal dua meter lagi jarak di antara kami, seorang perempuan berambut pendek dan berkulit kecokelatan nyaris sama gelapnya dengan kulit lelaki ini membuatku terhenti. Sebelah ketiaknya bertumpu pada kruk dan terlihat bersusah payah menyeret kakinya. Lalu, tangan gadis itu bergelayut di lengan Bang Kaio. "Sorry, lama. Antre toilet tadi," ucapnya.

Aku terkesiap.

"Lanti?" panggil Bang Kaio.

Gadis itu menoleh, dan aku memekik saat menemukan bekas luka goresan memanjang yang melintang di pipinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top