[ refraksi #10]

Tiga bulan sudah berlalu sejak kejadian malam itu. Kalau boleh bersyukur, satu-satunya hal baik yang terjadi adalah sahabat-sahabatku nggak pernah memaksaku untuk bercerita. Mereka seolah mengerti, bahwa aku memang nggak kepingin ditanya.

Tapi, aku paham gestur mereka seolah bertanya: apakah aku baik-baik saja?

Nggak. Aku nggak baik-baik saja. Tapi, sebisa mungkin nggak menunjukkan di depan mereka.

Aku makan. Aku bekerja seperti biasa. Hanya... agak kesusahan tidur saja.

Karena...

Aku masih suka menangis saat malam tiba.

Aku masih suka merindukan sesuatu yang... aku nggak tahu itu apa.

Dan aku masih merasakan perih di dadaku... entah penyebabnya apa.

Saking banyaknya hal yang berkecamuk, aku sampai nggak bisa membedakan, mana yang harus kupikirkan, mana yang harus kulakukan, dan mana yang harus kubiarkan.

Semuanya... bercampur aduk.

Adalah sakit, ketika aku menyadari otakku yang tak pernah ingin beristirahat memikirkan dia. Kelu lidahku setiap kali menyebut namanya di dalam hati.

Tapi, mau bagaimana lagi? Aku sudah berjanji akan mengurus perasaanku sendiri. Aku masih ingat, malam itu... dengan suara bergetar kukatakan bahwa ini perasaanku. Ini urusanku. Tapi, ternyata... mengurusi perasaan sendiri itu adalah sesuatu yang mustahil dilakukan. Perasaan itu seperti sebuah organ di luar kendali tubuh ini, namun mampu memberikan efek luar biasa.

Apakah perasaan itu seperti parasit?

Aku menghela napas. Mataku masih kerap memanas setiap kali hal ini terjadi. Perlu berapa malam lagi bayang-bayangmu menguasai, Bang?

Bahkan dalam jarak sejauh ini, tanap komunikasi, kenapa dirimu masih selalu memporak-porandakan hati?

Aku memejam. Merasakan air mata yang turun perlahan.

Beruntungnya, aku masih bisa menahan semua ini hingga malam tiba. Sejak Mona pindah, aku dan Kemi menempati kamar masing-masing. Meski nggak jarang Mona bertandang dan menginap di sini kalau suaminya sedang dinas ke luar kota.

Masalahnya, setiap kali melihat Mona... sesuatu itu datang begitu saja.

Nggak bisa kuhindari, jantungku berdenyut nyeri lagi.

Banyak yang bilang, semua orang bisa saja menyatakan perasaan. Namun, terkadang lupa menyiapkan hati untuk jawabannya. Bisa saja bahagia, tapi nggak sedikit pula yang menjadi bencana.

Tapi, aku benar-benar nggak setuju sama hal itu.

Dari awal, aku sudah menata hati, selalu membisikkan bahwa aku nggak mungkin memiliki dia, nggak bakal memiliki kisah di antara kami. Nggak mungkin mengubah aku dan dia menjadi kita. Dan sejuta pencegahan lainnya. Tapi, seperti tadi, hati dan perasaan memiliki maunya sendiri.

Ah... kenapa harus sesakit ini lagi, Tuhan?

Kenapa ini harus menjadi sesuatu yang nyaris nggak bisa kutanggung?

Aku menghela napas. Kunyalakan laptop dan secara otomatis tanganku mengetik wildlife photography di kolom pencarian.

Bebas.

Lepas.

Semua foto itu meneriakkan kebebasan.

Lagi, mataku mengerjap dan sebutir air mata jatuh ke jemariku. Kututup laptop tanpa mematikannya.

Aku menerawang. Apa jatuh cinta semenyakitkan itu, Tuhan?

Kalau memang begini, kenapa Kau ciptakan cinta?

Kenapa harus Kau berikan rasa yang tiada seorang pun bisa menanggungnya?

Kenapa kau ciptakan cinta tak berbalas?

Apa yang kau inginkan, Tuhan?

Aku memijit sisi pelipisku, berharap kantuk segera menyerang. Aku benar-benar butuh tidur. Concealar tak mampu lagi menyamarkan lingkaran gelap yang mengelilingi mataku.

"Lantiii... martabak, nih."

Suara Kemi membuat mataku terbuka. "Makan aja, Kem. Aku masih kenyang."

Rambut berpotongan bob yang baru diwarnai orange itu menyembul. Aku menunjukkan mata yang kelopaknya berkedip perlahan. Tanda aku mengantuk.

"Laaan," panggilnya.

"Hm."

"Gue bawa martabaknya ke kamar lo, nih." Kepalaku langsung berdenyut. "Ga, Saga. Kita makan di kamar Lanti, yuk."

Aku menghela napas berkali-kali. Suara langkah kaki Saga jelas terdengar di telingaku. Sisi kasur yang nggak kutempati terasa bergerak.

"Lan? Tidur?" panggilnya.

"Ngantuk."

"Kita makan di sini, ya?" tanya Kemi. Kujawab dengan deheman.

Aku merasa sudah terlalu lama menahan pejaman mata. Kedua orang itu nggak juga bersuara. Bahkan tak terdengar bunyi mereka menyantap martabak.

Perlahan, kuputuskan untuk mengintip. Kutemukan bahwa Saga menyandarkan kepala di kepala tempat tidur, sementara Kemi duduk sambil memeluk bantal.

"Lan, kalau memang nggak bisa tidur, kenapa harus berpura-pura?" lirih Kemi.

Sontak aku membuka mata. Kutemukan dua tatapan yang rasanya menghunjam ke dadaku. Nggak tahu kenapa, aku merasa lebih baik mereka nggak di sini.

Kenapa?

Kenapa harus di sini.

Tinggalkan saja aku sendiri.

Seperti biasanya.

Biarkan aku, biarkan saja.

Keheningan menyertai kami. Napas Saga terasa nyaring di telinga. Tangannya sibuk memainkan rubik tiga kali tiga. Dalam sekejap, kotak-kotak itu berubah sewarna. Di detik lain, kembali acak.

Aku menghela napas. Kupejamkan lagi mata. Berharap mereka berlalu dari sini.

"Gue minta maaf, Lan," ucap Saga. Mataku langsung terbuka. "Gara-gara kita, lo jadi gini."

"Tapi, beneran deh, kita sama sekali nggak bermaksud buruk, Lan," ucap Kemi. "Gue hanya pengen lo... punya kesempatan.

"Stop, Kem!"

"Nggak, Lan, dengerin gue dulu. Gue yang punya ide gila itu. Bikin lo terjebak di sana dan...argh, maafin gue, Lan. Kalau gue tahu bakal begitu kejadiannya, dan lo jadi begini, gue beneran menyesal."

Hatiku langsung nyeri.

Telingaku rasanya bising.

Benakku seolah diisi hal-hal baru yang berkecamuk. Berlomba ingin keluar duluan.

Sudah, Kem, please, jangan dibahas, ya.

"Gue benar-benar nggak bisa lihat lo kayak gini. Gue... nyesal, Lan."

Aku masih terdiam.

"Lo tahu, belakangan ini kita ngebiarin lo kayak gini. Kita nggak maksa lo cerita. Kita biarin lo nenangin diri. Kita tahu, lo butuh waktu, Rilanti," ujar Kemi. Dilepaskannya guling untuk meraih kepalaku, agar bersandar pada bahunya. Kurasakan rangkulan tangan mungilnya di punggungku, menepuk pelan.

Kemi menangis. Isakannya terdengar nyaring di telingaku.

Dan, aku masih saja terdiam.

"Tapi, gue benar-benar nggak tahan lagi ngelihat lo begini, Lan."

"Aku nggak apa-apa."

"Justru karena lo nggak apa-apa. Lo nggak ngapa-ngapain itu yang bikin kita semua galau, Lan," potong Saga. "Lo... diam. Lo nggak hidup. Lo mengunci diri sendiri di dalam cangkang. Lo menghindari semua orang. Lo tenggelam sama diri dan pikiran lo. Gue nggak suka ngelihat lo begitu! Lo nyaris kayak robot. Nggak ada kehidupan!"

Aku menoleh. Napas Saga memburu.

"Lanti, please, jangan begini, ya." Suara itu membuatku menoleh. Mona melempar tasnya dan bergabung naik ke ranjang. "Maafin gue yang udah ngedorong lo ke depan hidung Abang gue," bisiknya seraya memelukku.

"Lan, please...."

"Aku nggak papa." Tangis kedua sahabatku membuat sudut mataku panas.

"Kalau lo emang nggak papa. Sudah cukup sampai di sini. Lo harus melanjutkan hidup, Lan! Susun rencana lo, demi masa depan lo!" ucap Mona. "Lupakan Bang Kaio. Mungkin dia bukan orang yang tepat buat lo. Meskipun dia kakak gue, gue nggak suka dia bikin lo begini, Lan. Tapi gue juga nggak bisa nyalahin dia. Gue nggak bisa memaksa dia. Ngerti kan maksud gue?" ucapnya. Nadanya seperti putus asa.

"Aku nggak papa," ucapku lagi.

Saga menghembuskan napas. Kemi merintih di sisiku.

"Yang gue mau, lo balik lagi kayak dulu. Lo ceria lagi. Kembali kayak Lanti yang dulu kami kenal. Lanti yang positive thinking, Lanti yang selalu membuat kami menyingkirkan hal-hal buruk dan percaya kalau masih ada hal baik. Lanti yang bahagia dan membuat kami ikut bahagia."

Aku menoleh ke arah Mona. Sebutir air mata lolos dari mataku. Rasanya sudah kebas mataku mengeluarkan cairan itu. Aku menghela napas beberapa kali.

"Aku baik-baik aja, Mon," ucapku getir. "Dan jangan nyalahin Abang kamu atas apa yang terjadi. Perasaan itu memang nggak bisa dipaksakan, Mon. Aku paham itu."

Aku terngiang ucapan Saga barusan. Hampa. Kosong. Seperti robot.

Andai saja aku robot yang nggak memiliki perasaan. Tentunya semuanya nggak akan sesakit ini kan?

"Apa pun, Lan... apa pun pilihan lo. Lo mau ngelupain Abang gue, nganggep dia berengsek. Gue nggak akan marah. Asal lo jangan kayak gini."

"Bener, lo mau sendiri dulu, atau lo mau nyari orang baru. It's okay. Tapi, nggak kayak gini," ucap Saga lagi.

"Aku nggak tahu," bisikku. "Aku nggak ngerti apa yang terjadi sama diriku." Akhirnya, pertahananku jebol sudah. Tangisan yang kutahan hingga mataku memanas keluar bersama jeritan.

"Lantiii...." gumam Mona dan Kemi. AKu merasa badanku semakin dipeluk erat. Ada rasa nyaman yang lama tak kurasakan. Meski napasku sesak, rasa-rasanya... malam ini terasa lebih ringan untuk ditarik.

"Lo nggak pernah sendirian, Lan. Ada gue, ada Mona, ada Saga. Please, Lan, jangan begini terus, ya."

"Berusahalah demi kita, Lan. Jalan lo masih panjang," ucap Saga. "Bang Kaio hanya satu dari sekian orang yang mengisi cerita hidup lo. Seperti yang lain, ada yang datang. Ada yang pergi. Kita harus berusaha, tapi... kita juga harus merelakan jika suatu saat mereka pergi."

"Iya, Lan. Benar. Meskipun gue pengin banget lo jadi keluarga gue, tapi... gue lebih pengin lagi lo bahagia. Sama siapa pun itu, Lan. Jadi, please... wake up... move on demi kita.

"Mon," lirihku. Mona mengangguk. Tangannya menyisiri rambutku. "Aku juga sudah berusaha melupakan ini, menyingkirkan rasa ini. Menganggap banyak orang lain yang bisa aku dapatkan. Berkata berkali-kali bahwa aku pantas mendapatkan seseorang. Bahwa dia, bukan siapa-siapa. Tapi... nyatanya, setiap saat otakku masih terus memikirkan dia. Hanya dia." Aku tersedak tangisan.
Aku harus gimana, Mon?" ujarku sambil mengguncang tangannya.


Note:

Please, jangan judging Lanti sebagai orang yang lemah. Nggak bisa move on. Gitu aja galau berkepanjangan. Karena sesungguhnya, luka bagi orang introvert itu membekas dalam. Kalau orang ekstrovert atau ambivert bisa menyembunyikan dalam tawa, mencari pengalihan, bercerita, menumpahkan isi hati. Tapi, orang introvert nggak demikian... Huhuhu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top