Chapter 9

Tobio memasuki rumahnya, setelah sebelumnya tadi mengucap salam seperti biasa. Dia duduk di undakan untuk melepas sepatu miliknya, dia baru saja pulang setelah mengantar Hinata dan jujur dia sangat lelah sekarang.

Ingin rasanya ia segera mandi dan makan malam setelah tidur sepuasnya sampai besok.

"Ah Tobio, tumben pulang telat?" Seorang wanita cantik menyembulkan kepalanya dari ruang tamu.

Tobio melirik Ibunya dan mengangguk kecil, "Aku mengantar Hinata tadi"

Wajah wanita itu berseri, mungkin karena tahu putranya itu sudah tak canggung lagi saat bersama tunangannya sendiri.

"Souka? Memangnya Shouki-chan darimana?" Tanya Nyonya Kageyama kembali.

"Entah lah" Dan setelah itu, setter Karasuno itu pun menaiki tangga menuju kamarnya.

Pintu bercat cokelat di buka menampakkan isi kamar yang nampak rapi, dia menghela nafas lalu mengambil handuk miliknya dan segera memasuki kamar mandinya.

****

Meja makan keluarga Kageyama terasa hening, hanya suara sumpit yang beradu dengan mangkuk nasi lah yang menjadi satu-satunya suara di meja makan kala itu.

Tobio meletakkan sumpitnya di mangkuk dan mengatupkan dua tangannya.

"Terima kasih makanannya" Ujarnya pelan, baru saja tubuhnya akan berdiri suara berat sang Ayah menginterupsinya untuk tetap duduk di kursinya.

Tanpa banyak protes dirinya kembali duduk, menatap dua orangtuanya yang tiba-tiba saja ingin membicarakan sesuatu di meja makan.

Biasanya mereka akan memilih ruang tengah seraya menonton televisi agar terkesan santai dalam berbicara bersama.

"Ada apa Ayah?"

"To the point saja, Tobio apakah kau sudah menerima Shouki sepenuhnya? Atau kau hanya menganggapnya sebatas teman?" Pertanyaan Tuan Kageyama itu membuat pemuda dengan iris blueberry itu terdiam sejenak.

Dagunya berkerut menandakan bahwa dirinya sedang berpikir. Sebenarnya dia menerima saja kehadiran Hinata dalam hidupnya, lagipula Hinata tak banyak menuntut seperti gadis kebanyakan. Dia lebih kalem dan bisa di katakan mandiri untuk gadis seumurannya.

Walaupun Tobio sendiri yakin jika gadis kalem dan mandiri di dunia ada banyak dan Hinata adalah salah satunya.

Kadang mereka bertengkar, ya hanya karena alasan sepele. Seperti Tobio yang terlalu kasar saat menariknya ataupun Tobio yang selalu menyuruh Hinata ini itu.

"Jika kau masih keberatan maka Ayah tak akan membahas hal ini la-"

"Aku tak keberatan dengan dirinya, justru aku merasa senang karena dirinya" Jawaban itu keluar begitu saja dari mulut Tobio, dia bahkan tak memikirkan kata-kata itu sebelumnya dan hanya mengatakan apa yang hatinya mau.

Ah, kenapa ia tak seperti biasanya? Kenapa dia lebih lembut jika berkaitan dengan si surai orange itu?

Dia biasanya tak begitu peduli dengan orang lain, hanya ingin menjadi yang terbaik dalam bola volly dan menjadi atlit nasional.

Tak heran dirinya kadang di cap egois karena tak mau mendengarkan orang lain dan melakukan sesukanya.

Karena itu lah dia di sebut Ousama.

Walau panggilan itu sudah dia buang jauh-jauh darinya, entah kenapa dia merasa masih menjadi dirinya yang egois.

Ironi?

Tentu saja.

Dia hanya melihat dari satu sisi, dia belum pernah melihat dari sisi lain tentang dirinya maka dari itu dia menyebutnya Ironi.

"Benarkah?" Nyonya Kageyama bertanya dengan nada senang. Dari wajahnya saja sudah terlihat bahwa wanita paruh baya itu nampak senang atas jawaban putranya.

Tobio mengangguk sekali guna menanggapi, dia kembali menatap Ayahnya.

"Memang kenapa Ayah bertanya begitu?"

Sang Kepala Keluarga menggeleng dengan sebuah senyum tipis, "Kalau begitu jaga Hinata baik-baik, jangan pernah tinggalkan dirinya"

Tobio yakin jika pendengaran tak bermasalah, dia bisa merasakan bahwa Ayahnya seakan menekan nama Hinata kan? Dan juga kenapa Ayahnya mengganti nama panggilannya pada Hinata? Maksudnya bukan kah sebelumnya beliau memanggilnya dengan nama Shouki? Kenapa sekarang berubah?

Tapi meskipun begitu, Tobio tetap mengangguk mengatakan secara tak langsung bahwa ia akan melaksanakan perintah itu dari sang Ayah.

"Meskipun Hinata menyembunyikan sesuatu yang sangat penting bagimu? Kau akan tetap bersamanya kan? Ayah tahu kau bukan laki-laki brengsek yang akan meninggalkan begitu saja seseorang yang sedang terpuruk" Tambah Tuan Kageyama kembali, kali ini dia sedikit memberikan tatapan sinis pada putranya.

Tobio untuk sejenak terdiam kembali, apa maksud Ayahnya tentang menyembunyikan sesuatu?

"Kau bimbang? Atau ka-"

"Tidak! Seperti ucapanku tadi, aku akan tetap bersama Hinata walaupun dia menyembunyikan sesuatu dariku. Aku akan menunggunya untuk percaya denganku hingga dia menceritakan sendiri rahasia apa itu" Ujar Tobio dengan nada tegas.

Iris biru navy itu berkilat penuh keyakinan membuat Ayahnya tersentak kecil. Beliau menunduk seraya tersenyum miring.

"Bagus lah, memang tak salah Ayah menjodohkanmu dengan Shouki" Dan setelah itu Tuan Kageyama berdiri dari tempatnya. Beliau menepuk pelan pundak putranya sebelum berjalan menuju ruang tengah.

Nyonya Kageyama pun beranjak dari meja, wanita itu tersenyum hangat pada Tobio dan membereskan peralatan makan ke wastafel.

"Jaga dia ya Tobio"

***

Kageyama memasuki kamarnya, langkah kaki miliknya membawa dirinya ke balkon. Tempat favoritnya untuk melihat pemandangan malam.

Iris sewarna buah blueberry menatap ke atas, dimana sekumpulan bintang-bintang menampakkan dirinya bersama sang bulan. Menghiasi langit kotak Miyagi yang terkesan tenang.

Pikirannya melayang, memikirkan percakapannya tadi dengan sang Ayah. Tentang kemungkinan terburuk sampai kemungkinan lainnya, tapi semuanya tetap nihil. Dia tak bisa menangkap maksud apapun dari ucapan sang Ayah.

Menyerah oleh pikirannya sendiri, ponsel miliknya ia keluarkan. Membuka lockscreen ponsel dan menuju menu kontak.

Pandangannya tertuju pada nama kontak paling atas, jarinya menekan menu panggil dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

Nada sambung terdengar, Kageyama membuang nafasnya mencoba membuat dirinya nampak biasa.

"Halo, Kageyama-kun"

Panggilan diterima, suara halus menyusup masuk indra pendengarnya. Tanpa sadar Kageyama menahan nafas.

"Malam Hinata"

"Malam juga Kageyama-kun, ada apa menelponku malam-malam begini?"

Kageyama kembali terdiam, sebenarnya tujuannya menelpon Hinata hanya ingin mendengar suara si surai orange itu.

Konyol memang.

"Mmhh.. Tidak ada alasan khusus"

Suara di seberang terdengar seperti tawaan kecil. Kageyama yakin Hinata sedang menertawakan dirinya saat ini walau Hinata menjauhkan ponselnya.

"Begitu kah? "

"Sedang apa?"

Pemuda itu duduk di kursi, pandangannya masih menerawang ke atas menatap ke langit malam.

"Hanya duduk di balkon saja kebetulan baru selesai mengerjakan tugas"

"Sudah makan?"

"Eh? Belum sih. Okaa-san dan Otou-san tadi sore pergi"

"Mau ku traktir?"

"Ahaha tak usah Kageyama-kun"

Kageyama memutar bola matanya malas, dengan segera ia mengambil jaket serta dompet miliknya. Kaki jenjangnya berjalan keluar kamar dan berjalan menuruni tangga menuju lantai dasar.

"Tunggu aku"

Dan setelah itu sambungan terputus, Kageyama segera pamit pada kedua orang tuanya dan berjalan menuju rumah Hinata. Berniat mengajaknya makan.

Tak butuh waktu lama, pemuda jangkung itu sampai di depan rumah dengan plat nama Hinata. Dia menekan bel menunggu sejenak sampai pintu depan terbuka dan menampakkan si surai orange yang nampaknya sudah siap.

Hinata memakai Kimono berwarna putih dengan corak bunga sakura berwarna merah muda. Kaki mungilnya mengenakan sandal kayu khas jaman dulu. Rambut panjang orange miliknya tergulung ke atas dengan menyisakan beberapa anak rambut di sisian wajahnya, membuatnya nampak lebih cantik dari biasanya.

Kageyama berdehem, tak sadar jika dirinya sudah cukup lama terpaku oleh penampilan Hinata malam ini.

"Ayo berangkat" Tangan mungil di genggam dengan lembut, keduanya berjalan berdampingan menuju halte bus yang tak jauh dari rumah Hinata.

Kebetulan ada sebuah bus yang sedang berhenti di halte tersebut sehingga mereka tak perlu menunggu lagi.

Hinata masuk terlebih dahulu di ikuti Kageyama di belakangnya, mereka segera memilih tempat duduk yang masih tersedia.

Tak ada percakapan di sana, ada sekitar 5-6 orang yang ada disana bersama mereka. Salah satunya adalah seorang nenek yang duduk di hadapan keduanya.

"Kau cantik sekali nak" Puji sang nenek pada Hinata. Si surai orange tersenyum manis.

Dia membungkuk sedikit, "Terima kasih Obaa-san"

Manik senja miliknya kemudian bergulir menatap Kageyama yang ada di sebelah Hinata. Sebuah senyum kecil terlukis di wajah berkeriput nya.

"Kau beruntung mendapatkan dirinya, semoga hubungan kalian awet ya" Kageyama mengangguk dengan wajah datar.

"Terima kasih"

Bus berhenti dan ini adalah pemberhentian keduanya. Setelah berpamitan pada nenek tersebut, mereka segera turun.

Kageyama mengajak Hinata memasuki sebuah kedai yakiniku yang tak begitu ramai.

Keduanya memilih untuk duduk di bagian tengah, beruntungnya setiap kursi bersekat dan berpintu.

"Kageyama-kun? Memang tak masalah kita makan disini?" Tanya Hinata dengan nada sungkan. Iris madunya menatap sekitar dengan tak nyaman.

"Tak apa" Jawaban singkat dari Kageyama membuat Hinata tak lagi berkomentar, dia lebih memilih menu daging yang ada di buku menu.

"Tolong yang nomor 2 dan 5. Kageyama-kun kau ingin apa?" Hinata menutup buku menunya dan memandang Kageyama yang ada di hadapannya.

"Ocha hangat saja" Pesan Kageyama yang mana membuat Hinata semakin keheranan.

"Kageyama-kun tak makan?" Tanya Hinata khawatir, dia bahkan tanpa sadar mengigit bibir bawahnya.

Kageyama menggeleng, lalu tak lama pelayan tersebut mengulang kembali pesanannya. Merasa tak ada tambahan pelayan tersebut undur diri untuk menyiapkan pesanan.

"Kenapa Kageyama-kun mengajakku kesini sementara Kageyama-kun sendiri tidak makan" Cibir Hinata seraya bersedekap dada, pandangannya memandang sinis Kageyama yang sedang memainkan ponselnya.

Iris biru navy naik ke atas dan menatapnya sejenak, sebuah senyum tipis tersungging.

"Tak apa, lagipula aku sudah makan"

"Kageyama-kun!"

Ponsel kini tergeletak di meja, Kageyama tertawa kecil. Satu tangannya ia gunakan untuk menopang dagunya dengan pandangan yang tertuju pada si surai orange.

"Kenapa? Hanya sekali-kali, tak apa" Ujar Kageyama enteng.

Hinata baru saja akan membalas, namun pesanannya sudah keburu datang. Pelayan menaruh senampan daging pesanan Hinata dan ocha milik Kageyama.

Kageyama menyalakan alat pemanggang, membantu Hinata memanggang daging yang ada.

Satu mangkuk terisi nasi hangat di ambil Hinata. Tangan kanannya memegang sumpit dan mengambil daging yang ada kemudian menaruhnya di atas grill pemanggang.

Suara khas daging yang di letakkan di atas grill serta aromanya membuat nafsu makan Hinata semakin bertambah.

Setelah memastikan daging itu makan, dia mencelupkannya ke saus dan meniupnya sejenak.

"Ittadakimasu"

Satu potong masuk ke mulutnya, dibarengi oleh sumpitan nasi putih hangat.

"Enak!" Matanya berbinar, membuat Kageyama terkekeh.

"Kau suka?"

Hinata mengangguk antusias, dia kembali menaruh daging di atas grill di bantu oleh Kageyama.

Ah, sepertinya makan malam Hinata hari ini sangat menyenangkan.

"Bagaimana lukamu?" Tanya Kageyama tiba-tiba.

"Hm?" Dia menaruh mangkuknya dan memperlihatkan perban yang baru tadi sore di balut Kageyama.

"Sudah agak mendingan, mungkin 2-3 hari akan kulepas. Ngomong-ngomong terima kasih Kageyama-kun dan juga maaf sudah merepotkanmu"

Kepalanya tertunduk kecil, menandakan dia benar-benar bersalah. Namun tak lama ia dapat merasakan telapak tangan ada di atas kepalanya.

"Sudah kubilang kan tak apa. Sudah lanjutkan makanmu"

Dan saat itu pula Hinata tak bisa menahan senyumnya, dengan wajah di hiasi rona merah dia mengangguk semangat dan mulai menyuapkan dirinya sendiri dengan daging yang telah matang.

Kadang juga ada perbincangan hangat di antara keduanya agak tak terlalu canggung. Keduanya benar-benar menikmati malam itu bersama di sebuah kedai yakiniku.









Kamis, 27 Agustus 2020
Jawa Timur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top