Chapter 9

"Hindari pink, Ethan adalah cowok luar biasa keren yang—menurut pengamatanku—suka warna gelap. Jadi kusarankan loose blouse kotak-kotak hitam yang di sana dan boots keren itu." gumam Claire sambil memicing-micingkan matanya.

Aku, Claire dan Leanna sedang berada di butik keempat yang kami kunjungi sepanjang siang ini. Claire berkeras memilihkanku pakaian 'yang pantas' untuk kencanku sore ini. Kami terpaksa mengajak Leanna karena Claire keceplosan soal rencana kami belanja baju hari ini. Untunglah dia nggak keceplosan untuk kepentingan apa kami belanja baju.

Sementara Leanna berada agak jauh dari rak baju tempat kami berdiri, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memprotes.

"Kenapa aku harus mati-matian berdandan cuma demi Ethan?" gerutuku sambil memandangi bayanganku di cermin dan berputar-putar di tempat mengikuti suruhan Claire seperti orang bodoh. Pramuniaga yang sedari tadi setia mengambilkan baju-baju yang dipilihkan Claire untukku hanya senyam-senyum.

"Cuma demi Ethan?!" bisik Claire syok, "Astaga, Klo! Jelas-jelas si keren itu naksir kau! Sudah pasti kau harus membuatnya bertekuk lutut! Strategi paling sederhana, penampilan." jawabnya sambil menyorongkan blouse beserta boots yang baru dirampasnya dari etalase dan menjejalkannya ke tanganku, lalu mendorongku masuk ke kamar pas.

"Claire, ini baju kesebelas yang sudah dicoba Chloe." aku bisa mendengar Leanna berbicara kepada Claire dengan nada putus asa, "Katakan saja yang mana yang harus dia beli!"

"Oh ya ampun, jam berapa ini?" Claire mendadak teringat.

"Tiga lewat sepuluh. Memang kenapa?" jawab Leanna. Mendengar itu aku terburu-buru keluar kamar pas.

"Beli saja yang ini!" Claire menyambar boots dan blouse di tanganku, "Klo, tunggu aku di mobil sementara aku membayarnya!"

Setelah selesai berbelanja dan mengantarkan Leanna ke rumahnya, dan menjelaskan alasan paling masuk akal untuk meyakinkan cewek itu mengapa kami berdua harus pulang sebelum jam empat, aku ngebut hingga rumah lalu memarkir Nissanku asal-asalan.

"Hai Mom, Dad!" aku dan Claire menyapa berbarengan ketika menghambur memasuki ruang tamu. Aku bisa menangkap Dad dan Mom yang saling bertukar pandang bingung dari sudut mataku ketika kami melesat melewati ruang depan menuju tangga. Mereka belum pernah melihatku dan Claire yang grasak-grusuk berdua, kami belum pernah seakrab ini sebelumnya, dan pemandangan seperti kami yang menaiki tangga dengan ribut lalu masuk kamar sampai membanting pintu hingga menutup tentu saja adalah hal yang langka.

Claire menggelar seperangkat alat-alat make up-nya di meja kamarku dan mati-matian berusaha mendandaniku. Karena aku terus-terusan memprotes, dia berjanji meriasku seminimalis mungkin. Tetapi dia menyempatkan memberi ikal kecil-kecil pada ujung-ujung rambutku yang menurutku tindakan berlebihan.

Setelah berganti pakaian, Claire meminjamkan tas wol rajutan hitam miliknya kepadaku untuk dipakai dan kami terburu-buru menuju mobil.

"Dah, Mom, Dad!" sapa kami saat mendesing melewati mereka lagi seperti angin puyuh.

Claire mengantarku ke Birch's End dan menurunkanku di ujung jalan. Kami tiba pukul empat lebih dua menit.

"Ingat pesanku. Jangan makan sesuatu yang mengandung bawang, atau pasta, atau apapun yang bikin mulutmu belepotan dan banyak-banyaklah senyum."

Aku menghela napas dan menggumamkan, "Roger." padanya dengan setengah tidak fokus sebelum turun dari mobil. Kenapa aku segugup ini?!

"Sukses ya!" Claire melongokkan kepalanya dari jendela dan memundurkan Nissan-ku.

Aku berjalan menyusuri Birch's End, yang merupakan pertokoan di tepian danau, dan mencari-cari Wendy's di deretan rumah makan. Hingga aku menemukan tulisan merahnya yang besar-besar di atas salah satu pintu toko. Mataku juga menangkap sosok yang tak asing sedang bersandar pada Ford Ranger hitam persis di seberang toko.

Ethan—sialnya—tampak keren walau hanya mengenakan jaket kulit hitam, kaus print hijau tua, jins, dan sneakers. Cowok itu sedang sibuk menendangi kerikil, kedua tangannya berada di saku celana.

Aku menghampirinya.

"Aku belum terlalu terlambat kan?"

Ethan terlonjak sedikit mendengarku. Dia mendongak dari kerikilnya.

"Kau datang." ujarnya.

Aku mengernyit. Dia pikir aku nggak akan datang?

Untuk sesaat, mata biru pucatnya menelitiku dari atas ke bawah.

"Wah, kita kayak bakal menghadiri pemakaman..." komentarnya melihat pakaianku yang juga serba gelap.

Kubunuh kau, Claire!

"Apa aku harus pulang dan menggantinya dengan sweater kasmir pink milik Claire atau semacamnya?" tawarku asal.

"Nggak perlu. Aku puas dengan apa yang kulihat."

Selama sepersekian detik aku hanya berdiri terpaku mencerna kata-kata Ethan, lalu segalanya mencuat ke permukaan. Malu, gugup, dan salah tingkah, "Eh... trims?"

Ethan hanya tersenyum singkat sambil masih menatapku, membuatku makin merasa bingung.

Apakah ini salah satu tipu dayanya? Apa dia berniat mengerjaiku lagi? Apa aku terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa dia baru saja memujiku? Astaga, kenapa reaksiku berlebihan begini?

Kami sama-sama terdiam selama beberapa saat. Aku berdeham kecil. Ethan kemudian tersadar dari dunianya, dan membukakan pintu penumpang mobil untukku.

"Eh? Bukankah kita mau makan di Wendy's?" tanyaku linglung. Ethan menggeleng.

"Tahan dulu perutmu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat nggak jauh dari Redville." ujarnya.

Pikiranku langsung menjadi liar. Suatu tempat? Keluar Redville? Lalu diturunkan di pinggir hutan dan ditinggalkan begitu saja?

Tampaknya Ethan dapat membaca pikiranku, karena begitu melihat tampangku yang panik, alisnya naik dan cengiran jahilnya mengembang, "Tenang saja, aku nggak akan macam-macam."

Kata-kata Ethan sejujurnya malah menambah kecurigaanku. Namun toh aku masuk juga ke dalam truknya. Sekilas aku melirik goresan pada pintu mobil, kemudian mendengus.

"Apa?" tanya Ethan setelah duduk di belakang kemudi dan menyalakan mesin.

"Kalau kupikir-pikir aku ini bodoh sekali. Kan nggak mungkin aku meninggalkan goresan separah itu jika hanya membenturkan pintu mobilku ke pintumu. No way." sindirku.

"Masih mendendam soal itu?"

"Oh, itu sulit dilupakan. Apalagi kau menuduhku nggak lulus tes mengemudi."

"Sudahlah." Ethan tergelak, "Ini saatnya gencatan senjata."

Perjalanan 'keluar Redville' bersama Ethan yang semula kupikir bakal jadi musibah atau bencana atau cobaan terberat dalam hidupku, tak terbukti. Ethan jago sekali membuatku berceloteh sepanjang perjalanan melewati jalan tol. Dan ini sesungguhnya menyiksa. Bagaimana pendapat Chuck jika tahu aku mulai terbiasa mengobrol dengan orang-yang-pernah-membuat-temannya-nyaris-kehilangan-kaki?

Selama beberapa menit kami terdiam, menikmati keheningan seusai mengobrol. Aku hanya memandang keluar jendela mobil, menghitung garis-garis putih teratur di tengah jalan seperti orang terhipnotis.

"Maddy?" suara berat Ethan membuyarkan hitunganku.

"Hm?" sahutku tanpa berpaling dari jalanan.

"Keberatankah kau jika kita terus seperti ini selama beberapa minggu ke depan?"

Awalnya kalimat Ethan terdengar seperti pertanyaan biasa. Namun setelah beberapa detik mencerna pertanyaan Ethan dengan lebih baik, mulutku otomatis membuka.

"Apa? Pergi denganmu tiap Sabtu?"

Aku berusaha sebisa mungkin tidak memikirkan kata berawalan 'K' itu, dan sepertinya itu tindakan tepat. Karena aku meneliti wajah Ethan dan ekspresinya tetap serius dan tenang. Tahu kan? Bukan ekspresi malu-malu yang mungkin muncul saat cowok menanyai cewek yang ditaksirnya untuk pergi dengannya. Atau mungkin Ethan memang tidak punya ekspresi semacam itu?

"Kurang lebih begitu." sahut Ethan.

Aku berpikir sejenak, "Tahu-tahu merekrutku untuk pergi denganmu tiap Sabtu? Aku bahkan nggak tahu kau akan mengajakku ke mana sekarang dan apakah ini—"

"Apa?" Ethan nyengir menantikan kalimatku yang tergantung, "Kencan?"

Ugh. Keluar juga kata itu.

Ethan memandangiku dari sudut matanya. Lagi-lagi aku merasakan sensasi aneh itu, seperti seolah-olah mata biru pucatnya itu sedang mengebor isi kepalaku.

Akhirnya aku menjawab.

"Tergantung apa dan seberapa baiknya tempat yang akan kau tuju sampai harus membawaku segala."

Dia mengangguk.

"Tantangan diterima."

🍁

Panti asuhan.

Aku nggak mempersiapkan diri untuk hal sedramatis ini.

Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Ethan bakal membawaku ke sebuah panti asuhan. Dari sekian banyak kemungkinan, ini benar-benar di luar imajinasiku. Tak terduga. Liar sama sekali.

Ketika aku menyuarakan keterkejutanku, cowok itu hanya tersenyum sambil terus berjalan, "Kau pikir aku bakal membawamu ke mana? Gua kelelawar?"

"Lebih parah." aku masih bengong memandangi bangunan di hadapanku, "Aku tadinya berpikir kau bakal membiusku dan membuangku di tengah hutan."

Ethan terkekeh, kemudian kami tiba di pintu utama gedung itu.

"Ini panti asuhan St. Carollus, kau lihat gedung tua abu-abu itu? Itu gerejanya. Dan gedung berbata merah ini sekolahnya. Tiap minggu aku selalu ke sini, menemui seseorang. Kau akan segera bertemu dengannya."

Aku hanya bisa menelan semua informasi aneh dan mengejutkan ini bulat-bulat. Mungkin tidak akan terlalu aneh jika Seth yang mengajakku ke panti asuhan. Namun, pada kenyataannya, ini adalah seseorang bermata biru dingin, rambut hitam gondrong, dan memiliki sejuta sifat misterius dengan pemikiran yang tidak bisa ditebak.

"Jadi, apa kau mau bengong saja di sini atau ikut masuk?" Ethan menyejajarkan matanya dengan mataku, menyadarkanku. Ekspresinya jengkel. Sangat-sangat mengingatkanku padanya di hari pertamaku di Redville, saat insiden goresan di pintu truk itu.

"Maddy?" panggil Ethan lagi.

"Oh. Ayo masuk."

Kami masuk ke dalam aula utama gedung itu. Ruangan besar itu kosong. Lantainya beralaskan karpet cokelat pucat, di hadapan kami terdapat tangga besar menuju lantai dua, di kiri-kanan kami berjejer beberapa pintu yang saling berhadapan. Dari salah satu pintunya keluar seorang wanita dengan jubah panjang dan penutup kepala, tersenyum pada kami.

"Suster Frida." sapa Ethan. Suster Frida menghampiriku dan Ethan.

"Oh, kejutan menyenangkan!" katanya sambil menatapku, kemudian pandangannya beralih pada Ethan. Senyumannya berubah menjadi cengiran jahil. Aku tidak tahu seorang suster bisa nyengir seperti itu, "Jadi, siapakah gerangan gadis manis ini?"

"Dia temanku, Maddy." jawab Ethan.

Aku mengulurkan tangan buru-buru, "Chloe Madison, senang bertemu denganmu."

"Panggil saja aku Frida." Suster Frida balas menjabat tanganku, "Rose kebetulan baru selesai mengerjakan PR. Perlu kupanggilkan?"

"Yeah, please." Ethan mengangguk, "Aku ingin mengenalkannya pada Maddy."

Suster Frida meninggalkan ruangan.

Kemudian Ethan berbalik badan. Menghadapiku.

"Aku tahu kau pasti punya banyak pertanyaan."

"Meletup-letup di kepalaku." timpalku setuju. Sebelum aku sempat membuka mulut lagi untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu pada Ethan, pintu yang tadi dimasuki Suster Frida menjeblak terbuka.

"Kau datang!" suara nyaring dan ceria yang jelas bukan milik Suster Frida terdengar. Seorang gadis cilik menghambur ke arah Ethan. Ethan berlutut, menyambut pelukan gadis itu. Pipinya yang menyembul dari balik bahu Ethan merona bahagia.

Rose gadis yang sangat manis. Kuperkirakan umurnya sekitar enam atau tujuh tahun. Rambutnya ikal keemasan tertimpa cahaya matahari dari jendela, wajahnya ceria dan senyumnya meluluhkan hati. Gadis cilik itu mengenakan terusan bunga-bunga kuning selutut dan sepatu mary-jane putih.

"Aku bilang pada Lu, Taylor, dan Amy kau pasti datang!" Rose melepas pelukannya lalu memandang Ethan berbinar-binar.

"Di sinilah aku." Ethan tersenyum pada Rose. Senyum yang membuatku terhenyak. Itu bukanlah senyum miringnya yang biasa dia tunjukkan padaku. Itu adalah senyum paling tulus yang pernah kulihat pada wajah seorang Ethan Dodson. Dan mata biru itu tidak lagi menyorotkan kesan cuek dan dingin seperti biasanya. Itu adalah sorot hangat dan penuh kasih sayang.

Seandainya aku jadi Rose, aku pasti sudah teronggok menjadi genangan di lantai karenanya.

"Ke mana gitarmu?" suara ceria Rose menarikku kembali ke bumi.

"Sepertinya hari ini aku nggak bisa main untukmu, malaikat." jelas Ethan,"Hari ini aku ingin mengenalkanmu pada seseorang."

Rose mendongak menatapku. Ekspresinya berubah. Rasanya aku bisa menebak kenapa.

"Um, hai Rose." aku mengulurkan tangan, tersenyum.

Rose menatapku dingin, "Siapa kau?"

Ethan membaca situasi dan segera menjelaskan, "Dia temanku. Namanya Chloe Madison, tapi aku memanggilnya Maddy."

"Oh." kata Rose, lalu dia kembali berbicara pada Ethan tanpa menyambut tanganku. Ouch. "Nah, ayo kita ke studio-ku. Ada yang ingin kuperlihatkan padamu."

"Mm..." Ethan ragu-ragu. Aku memberi isyarat mata dan menggeleng samar padanya, namun Ethan berpura-pura dungu dan malah bertanya. "Apa Maddy boleh ikut?"

Seperti dugaanku, Rose tampak tak acuh, "Terserah."

Dengan tidak enak hati, aku mengikuti Rose dan Ethan menaiki tangga ke lantai dua. Rose berbelok ke kanan, menuju pintu kelima di lorong dan membukanya.

Kamar itu seperti kamar idaman gadis berumur tujuh tahun pada umumnya. Waktu kecil aku selalu menginginkan kamar ala putri-putri begini. Tumpukan boneka di sudut, lemari baju, ranjang bertirai renda dan meja rias mini. Namun di salah satu sisi dindingnya dipenuhi gambar dan lukisan berwarna-warni, ditempel rapi hingga ke langit-langit. Pemandangan yang mengagumkan sekali.

"Wow." desahku otomatis, "Aku nggak tahu kau seorang seniman."

Rose tampak puas melihat reaksiku.

"Jadi mana karya barumu, seniman kecil?" kata Ethan. Rose mengambil kertas gambar dari atas ranjangnya, lalu menunjukkannya.

"Aku, kau, dan rumah baru kita. Kita akan tinggal di situ nanti." jelas Rose dengan tawa cerah.

Aku mengintip kertas gambar itu dan melihat seorang gadis kecil dengan rambut keriting di puncak kepalanya sedang berdiri bersama seseorang berambut hitam yang membawa gitar di punggung. Mereka berdua bergandengan tangan di depan sebuah rumah besar dengan latar belakang pepohonan cemara dan danau besar dengan angsa-angsa putih berenang di atasnya.

"Wah..." mata biru pucat Ethan melebar, "...ini..."

Dapat kulihat cowok itu kehilangan kata-kata, sebagai gantinya dia malah memandangku, penuh arti. Tetapi aku terlalu sibuk tercengang menghadapi gambar Rose yang selevel pelukis amatir.

"Gambarmu luar biasa, Rose." pujiku terkesima, "Kau benar-benar berbakat."

Untuk pertama kalinya, Rose menatapku dengan matanya yang bulat dan tersenyum.

"Trims." katanya cerah.

🍁

Pertemuan pertama Chloe dengan Rose.

Ethan, rupanya, punya sisi uwu :}

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top