Chapter 4

Aku masih belum bisa melupakan hari pertamaku di Redville High yang agak mengesankan. Soal Seth, tentu saja. Aku belum pernah bertemu cowok sebaik—dan setampan—itu di SMA sebelumnya. Dia benar-benar seperti Ketua Murid sejati yang selama ini tergambar di film-film. Populer, banyak teman, aktif di berbagai kegiatan—aku tahu tentang hal ini dari laporan Leanna—dan digandrungi cewek-cewek. Oh, dan bonusnya, dia juga kaya raya.

Tapi belum pernah aku melihat Ketua Murid yang seramah ini.

"Chloe, kau baik-baik saja?" suara Seth membuyarkan lamunanku. Kami duduk sebelahan lagi di kelas Biologi keesokan paginya.

Kan? Harus kujelaskan lagi seberapa ramah-nya dia?

"Yeah." sahutku sambil menoleh menatapnya, aku mengangkat alis, "Malahan kau yang telihat pucat. Apa kau sakit?"

Wajah Seth memang agak pucat dari biasanya. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Ditambah perawakannya yang agak kurus menambah kecurigaanku. Aku bertanya pelan, "Apa kau ngobat?"

"Ouch, Chloe." katanya sambil memegang dadanya dengan ekspresi kesakitan yang berlebihan lalu nyengir padaku, "Apa aku kelihatan seperti pemakai? Itu konyol. Aku nggak akan mau memenuhi hidungku dengan serbuk."

"Tapi tampangmu seperti orang habis sembuh dari sakit berat, padahal kemarin kau kelihatan sehat-sehat saja."

Seth memandangiku agak keheranan, "Kau mengkhawatirkanku?"

Aku menyadari aku terlalu banyak bicara, "Sori. Biasanya aku nggak sebawel ini..."

"Nggak apa!" Seth buru-buru menggeleng dengan alis naik menggoda, "Senang mengetahui ada cewek yang benar-benar memperhatikanku."

"Seth, kau membuat Miss Madison kehilangan konsentrasi pada pelajaranku." potong Mr. Blake dari depan kelas sambil mengamati raut wajahku. Seorang cowok yang duduk di ujung kelas bersiul. Seth berpura-pura tersipu.

"Sori Sir." katanya tanpa nada menyesal.

Aku menelan ludah gugup, mendadak merasakan wajahku memanas.

🍁

"Dia bilang begitu?" Leanna merespon ceritaku tentang Seth di kelas Biologi dengan antusiasme tinggi, "Jangan percaya kalau dia baru kali ini diperhatikan oleh cewek..."

"Yeah. Omong kosong besar." gumamku setuju sambil memasukkan bukuku ke dalam loker. Akhirnya aku hapal nomor kombinasinya. "Ngomong-ngomong dia sepertinya sedang sakit, mukanya pucat dan ada lingkaran hitam di bawah matanya."

"Dia memang selalu kelihatan seperti itu." suara berat seseorang tiba-tiba terdengar. Aku dan Lee tersentak kaget. Mata biru pucat Ethan Dodson menyambutku saat aku menutup pintu loker.

"Halo lagi. Masih ingat goresan di pintu mobilku?" Ethan menunduk menatapku dengan senyum miring dinginnya. Perutku kembali serasa diaduk-aduk dan kepalaku mendadak mendidih.

"Cukup, Ethan. Inisiasi anak baru sudah nggak zaman." Leanna menyelamatkanku.

Ethan mengangkat sebelah alisnya, membuatnya semakin terlihat sinis dan mengesalkan, lalu berkata dengan dinginnya, "Early Burgundy dan Mad-Madison rupanya bersahabat?"

"Ayahmu bilang goresan itu sudah ada sejak setahun lalu. Itu bukan karenaku." kataku memberanikan diri balas menatap Ethan, "Dan apa urusanmu menguping pembicaraan kami?"

Cowok itu seperti menahan tawa.

"Menguping? Apakah kalian punya topik yang begitu luar biasa sehingga aku harus repot-repot menguping? Lokermu persis di sebelah lokerku." ralatnya. Aku memandang Leanna syok. Aku mengambil beberapa buku dari dalam lokerku demi menutupi rasa maluku. Ethan bersandar di lokernya, masih terus memperhatikan gerak-gerikku.

"Ayo, Chloe. Kau harus ke kelas Matematika." Leanna menyelamatkanku dari pandangan Ethan yang—lagi-lagi—menusuk.

🍁

Sejauh ini, kelas Sejarah adalah kelas favoritku di Redville. Karena di kelas itu aku bisa bersama Leanna, Chuck, dan Seth berbarengan.

Dan kelas Matematika adalah kelas yang bakal kubenci seumur hidup karena di samping aku benci subjeknya, aku harus menghabiskan dua jam pelajaran... bersama Ethan.

Hari ini kelas berpindah ke laboratorium yang memiliki meja dan kursi panjang kapasitas dua orang. Mr. Taylor menyuruh kami duduk berpasangan untuk mencoba memecahkan beberapa soal kuis dengan mendiskusikannya bersama partner kami.

Cowok itu muncul lima menit setelah bel masuk berbunyi. Sementara semua anak sudah kebagian pasangan, aku masih duduk sendirian, dengan kursi kosong di sebelahku. Aku sungguh sangat berharap seseorang, siapapun, mengajakku bicara sebelum ketakutanku terwujud.

Dan benar saja.

Mata biru pucat Ethan menyapu seisi kelas sebelum akhirnya dia benar-benar menatapku, yang duduk gelisah di sebelah kursi kosong. Dan sekejap saja senyuman liciknya itu mengembang puas. Mr. Taylor menyuruh Ethan agar tidak membuang-buang waktunya dengan memerhatikan seisi kelas untuk mencari kursi di mana dia bisa duduk karena satu-satunya kursi kosong yang tersisa adalah kursi di sebelahku.

Ethan menggabrukkan ranselnya di depanku dengan berisik dan duduk, setelah sebelumnya bergumam sekilas, "Halo lagi."

Aku berdeham jengkel, "Singkirkan ranselmu. Menutupi catatanku."

Ethan berpura-pura kaget dan buru-buru memindahkan ranselnya dengan gaya berlebihan, "Uups... sori, Madison. Aku agak grogi mengetahui harus duduk bersebelahan denganmu. Ini pasti akan jadi kelas kesukaanku! Oh, tapi hati-hati, jangan sampai kau menggores barang-barangku."

Ethan mendengus pelan menanggapi leluconnya sendiri. Sambil bersungut-sungut dalam hati, aku berusaha berkonsentrasi pada penjelasan Mr. Taylor di depan kelas.

Selama sisa pelajaran, cowok itu tidak lagi berbicara. Kami mengerjakan soal kuis kami dalam diam, kebayakan diselesaikan oleh Ethan. Tangannya sibuk mencorat-coret catatan dengan berisik, sementara aku, aku kebanyakan membuat coretan-coretan hampa di buku tulisku.

"Miss Madison?" Mr. Taylor tiba-tiba memanggilku.

"Um... ya, Sir?"

"Apa di sekolahmu yang lama kau sudah mempelajari bab ini?"

Aku mematung. Aku punya ingatan pendek jika itu tentang hal-hal yang kubenci.

"Sepertinya begitu..." gumamku sama sekali tak terdengar meyakinkan.

"Kuharap kau bisa menjawab soal nomor lima."

Ini pasti kiamat. Aku bahkan tak tahu apa soal nomor lima! Aku terus menunduk menatap catatanku yang kosong, pelipisku dibanjiri keringat. Mulutku kering, aku tak tahu harus menjawab apa.

"Madison?" Mr. Taylor lagi-lagi memanggilku. Aku ingin menangis.

Kemudian, ujung pensil mekanik milik Ethan mengetuk punggung tanganku. Cowok itu menggeser catatannya hingga tulisannya yang sengaja dibuat besar-besar dapat kubaca. Gerakannya pelan dan samar sehingga nggak ada yang menyadarinya selain aku.

"Ng... minus tiga koma dua?" aku membaca. Tepat setelah itu bel akhir pelajaran berbunyi. Aku bernapas lega.

"Benar sekali. Kuharap kau bisa lebih cepat. Dan jangan lupa tugas kalian untuk Rabu depan."

Baru saja aku hendak mengucapkan terima kasih pada Ethan, dia sudah menghilang dari kursinya. Aku hanya bisa melihat rambut hitamnya yang mencuat di tengah kepala murid-murid lain melewati pintu kelas.

🍁

"Awalnya kukira dia sengaja menyodorkan jawaban salah agar bisa mempermalukanku di hadapan seisi kelas." ujarku masih takjub dengan apa yang baru saja kualami. Topiknya adalah Ethan Dodson, si manusia keren-tapi-nyebelin yang telah menolongku di kelas Matematika.

"Mungkin itu memang niatnya." Chuck menanyaiku sambil mengunyah kentang gorengnya heboh. Dia kelihatan seperti belum makan berhari-hari.

"Tapi buktinya itu jawaban yang benar." celetuk Claire yang baru kembali dari antrean makanan dan bergabung bersamaku, Chuck, Leanna, dan Seth di kantin. Ralat, dia pasti akan duduk bergabung bersamaku jika Seth di sebelahku walaupun dia satu-satunya junior di antara kami, "Dia keren juga, Klo." tambahnya.

"Dia memang nggak bisa ditebak..." Leanna menimpali, "...jujur saja, waktu kelas satu dia pernah membantuku di kelas Kimia walaupun nggak berhenti mengataiku Early Burgundy."

"Tukang pamer kemampuan..." cibir Chuck.

"Ethan memang dari dulu otak encer. Dia juga bertanggung jawab. Jangan lupa dia mantan ketua tim basket sebelum akhirnya memutuskan gabung band sekolah." Seth berpendapat, kemudian menambahkan sambil tertawa kecil, "Dia pernah mengalahkanku di beberapa kuis... sayangnya dia nggak terlalu peduli pada hal-hal akademis. Kupikir dia terlalu santai."

"Sepertinya kau tahu banyak tentang Ethan, Seth." Claire lagi-lagi menyeletuk tidak sopan, "Apa kau berteman dengannya?"

Seketika seisi meja jadi hening. Aku memperhatikan Chuck dan Leanna yang saling berpandangan, sementara Seth berhenti mengunyah. Aku langsung teringat percakapanku dan Seth tentang Ethan pada hari pertamaku di sini.

"Tebakanku benar ya?" Claire bertanya antusias pada Seth.

"Claire" aku mengingatkan, "Sebaiknya kau—"

"Santai saja, Chloe." gumam Seth, "Bukan masalah besar."

"Tuh, kan!" Claire nyengir senang, "Jadi kalian memang berteman?"

"Dulu." Chuck memotong pedas, "Tapi sekarang nggak lagi, siapa pula yang kepingin punya teman yang nyaris membuatmu mati—"

"Chuck!" Leanna memelototinya kesal.

Aku terperangah.

"Mati...?" ulangku, ngeri salah dengar.

"Bicaramu keterlaluan." Seth menatap Chuck tajam.

"Uh, sori saja... tapi itulah kenyataannya." Chuck mengangkat bahu, keras kepala.

"Astaga, memangnya apa yang pernah dia lakukan padamu?" tanya Claire pada Seth, terlihat tidak sabar membongkar-bongkar privasi orang seperti yang biasa dilakukannya.

"Jangan pedulikan, Claire. Dia hidup dengan gosip sebagai makanan utama..."

"Gosip?" Claire memprotes kata-kataku, "Klo, jika kau ingin berteman baik dengan seseorang kau harus tahu segala sesuatu tentangnya! Bagaimana Seth? Kau keberatan? Nggak? Baiklah, kalau begitu jelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi."

Chuck bengong memperhatikan Claire dari atas kentang gorengnya dengan pandangan takjub sekaligus heran, sementara Leanna melayangkan pandangan lihat-kelakuan-adikmu padaku.

Seth menyerah, "Dia pernah membuat kami berdua masuk UGD karena menyetir dalam keadaan mabuk. Nggak separah kedengarannya."

"Ha-ha. Dan itu benar-benar kejadian yang nggak parah, Seth. Sungguh nggak parah kan nyaris membuat kaki temanmu dipotong?"

Aku terperangah mendengar kalimat Chuck barusan.

"Ethan pernah hampir membuat kakimu dipotong?" Claire menyuarakan pertanyaanku seraya menekap mulut.

"Itu kecelakaan, Chuck." kali ini Seth memandang Chuck kesal, "Lagipula ternyata keadaan kakiku nggak separah itu hingga harus diamputasi. Dia hanya teledor. Siapa saja bisa teledor."

"Yah untung dia hanya teledor." ledek Chuck pedas. Seth memutuskan untuk tidak menggubris Chuck yang semakin lama semakin sinis dan ganti menatapku.

"Waktu itu kami pulang dari pesta, mobilku di bengkel dan dia berkeras mengantarku dan bilang padaku bahwa dia masih sanggup menyetir. Dia bilang dia kepingin menemui kakakku. Kejadiannya begitu cepat. Tiba-tiba saja mobil oleng dan kami menubruk pohon besar. Kepalaku berdarah. Kakiku terjepit dan aku nggak bisa ke mana-mana, bahkan menolong Ethan yang pingsan."

Kami semua mendengarkan cerita Seth penuh perhatian. Bahkan Chuck dan Claire yang sedari tadi gemar memotong omongan Seth kali ini bungkam.

"Beberapa hari kami dirawat di rumah sakit. Aku sempat syok ketika dokter mengatakan bahwa kakiku harus diamputasi jika kondisinya nggak menunjukkan perkembangan. Untung analisanya nggak terbukti. Setelah aku keluar rumah sakit, Ethan nggak masuk sekolah berhari-hari. Beberapa kali aku mengunjunginya dan bilang padanya bahwa aku sama sekali nggak merasa dendam, dan kakakku juga nggak membencinya atau apa... namun dia malah mengatakan sesuatu—"

"'Ayahmu menderita karenaku. Kau sebaiknya nggak usah bersikap terlalu baik.'" Chuck meneruskan kalimat Seth sambil mendengus, "Aku ikut denganmu saat kau menjenguk Ethan, ingat? Aku nggak akan pernah lupa kata-kata sialannya."

Leanna mendesah, "Sejak saat itu Ethan nggak pernah lagi berbicara dengan kami. Saat aku membelamu di loker tadi, itu pertama kalinya aku berbicara lagi dengan Ethan setelah kurang lebih dua tahun berperang dingin."

"Wow..." Claire ikutan mendesah, matanya membulat bergairah, kebiasaannya saat menerima berita baru yang mencengangkan.

"Ethan berubah jadi ekstra-nyebelin sampai sekarang. Sejujurnya kami mencoba memperbaiki hubungan kami dengannya tapi... dialah yang memutuskan untuk menjauh dari kami, jadi yah...." Chuck menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan menghela napas berat, "Aku setuju dengan Ethan, kau terlalu baik, Seth."

🍁

An ugly truth :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top