Chapter 29 (END)

Redville, akhir pekan pertama di musim panas, beberapa bulan kemudian.

"Aku suka potongan rambutmu." pujiku pada Ethan. Kami sedang berdiri bersebelah-sebelahan sambil menyandar pada Ford Rangernya yang terparkir di pelataran kantor jaga Montane Park. Langit di atas kami menjanjikan; cerah tak berawan. Angin hanya berhembus sesekali, membuat gantungan di atas pintu kantor jaga bergemerincing. Aku baru saja menyapa ibu Ethan, Gina, di ruang kerjanya di dalam. Dia sangat bersemangat dengan agendaku dan Ethan hari ini.

"Aku sudah mengambil terlalu banyak jatah izinku, kurasa nggak adil kalau kali ini aku menelepon karyawanku Mark untuk menggantikanku, lagi-lagi. Hari ini sepupunya menikah!" keluh Gina padaku sekitar lima menit yang lalu.

Ethan mengatakan padaku kalau dia dan ibunya sudah sering ke hulu, dan pengalaman mendaki ini sudah tak asing lagi bagi mereka, tetapi tetap saja aku belum pernah mendaki bersama wanita itu.

"Kau sudah mengatakannya kira-kira lima kali sejak pagi tadi." cowok itu menghela napas jengkel. Aku hanya nyengir. Aku memang agak sedih dia memutuskan memangkas rambut ala Bettencourtnya menjadi hanya sebatas leher, walaupun masih dalam kategori 'gondrong' bagi Rose. Tetapi efek bagi wajahnya sungguh mengesankan. Dia jadi terlihat lebih segar. Dan tentu saja, makin keren.

Kemarin tepatnya kunjungan pertama kami ke St. Carollus pada liburan musim panas. Semenjak berkuliah di U of A, aku tinggal di asrama kampusku di Arizona dan hanya berkunjung ke Redville dua atau tiga kali sebulan. Begitupun Ethan. Dengan serangkaian kegiatannya di klub basket kampus, tugas-tugas kuliah, kerja sambilannya di restoran dekat kampus, dan jadwal latihan dengan Northern Dollars, sulit sekali mencocokan waktu yang pas ke Redville untuk mengunjungi Rose sekaligus mewujudkan cita-citaku kira-kira sejak setengah tahun yang lalu. Menemukan hulu perairan itu.

Oh, ngomong-ngomong Ethan sekampus denganku. Dia mengambil jurusan Matematika, tentu saja. Aku hampir-hampir tidak percaya dia melakukan riset kecil tentang U of A setelah percakapan kami di telepon dulu. Nyatanya dia tidak lupa ketika saat itu kubilang aku memiliki ketertarikan personal dengan kampus itu karena letaknya dekat rumahku yang dulu. Di akhir pekan pertama kami berkuliah di sana, Ethan bilang dia ingin melihat rumah lamaku, maka kami berkendara ke sana. Aku menunjukkan rumah itu—yang sekarang sudah ditempati orang lain dan garasinya sedikit dirombak—dan cowok itu tampak... sedikit terkesima. Masih segar di ingatanku percakapanku dengannya di dalam mobil, sekembalinya kami dari rumah lamaku ke asrama kampus...

"Kau baik-baik saja?" tanyaku padanya waktu itu, menyadari Ethan sedari tadi menyopir dalam diam. Ethan menyunggingkan senyum sekilas.

"Hanya sedang mengira-ngira seperti apa kehidupanmu yang dulu, di sini." jawabnya, "Kau, sebagai dirimu sendiri. Tanpa ada orang membanding-bandingkanmu dengan seorang cewek yang katanya mirip denganmu walaupun kau sama sekali nggak pernah ketemu dengannya karena dia sudah meninggal. Dan kau dipaksa menghadapi dua cowok merepotkan ini. Yang satu bersikeras kau reinkarnasi cewek itu, dan yang satu berusaha mendekatimu karena dia yakin kau mantan pacarnya yang menyamar."

Aku terbahak mendengar ocehan Ethan, sementara cowok itu hanya mengulum senyum, "Aku nggak pernah mendengar orang lain menyimpulkan kehidupan baruku sejenius itu! Jadi kau pikir aku menyamar?"

"Kau pikir aku sedungu apa?"

Aku tertawa lagi. Kemudian kami melewati jembatan besar yang dibangun untuk melintasi sungai, aku buru-buru menurunkan jendela mobil.

"Oh, ini mirip perjalanan napak tilas." aku menghirup udara dalam-dalam, "Dulu setiap hari aku naik bus melewati jembatan ini menuju sekolah. Dan jembatan ini jadi semacam saksi bisu hal-hal tidak terlupakan yang terjadi dalam bus. Yang jelek dan yang baik. Mulai dari penindasan hingga drama. Aku senang kita sekarang di kota ini."

Ethan tiba-tiba menepikan Ford Rangernya dan mematikan mesin. Kami berhenti di bahu jalan, ujung jembatan hanya tinggal beberapa meter di depan kami. Lalu Ethan bertanya, "Jadi... itu berarti kau membenci kehidupanmu di Redville?"

Aku memperhatikan pemandangan di luar. Hawanya panas dan langitnya amat cerah menyilaukan, persis seperti kesukaan Claire. Tetapi aku tidak bisa menyangkal aku merindukan tempat ini.

"Sempat. Tapi kemudian kau dan Rose muncul. Dan keadaan jadi nggak seburuk pada awalnya." aku mengakui.

Tiba-tiba aku merasakan mobil bergoyang, dan Ethan tahu-tahu sudah menyelip di antara perseneling dan berpindah ke kursiku. Sambil menyunggingkan cengiran nakal, cowok itu memposisikan dirinya hingga berhadap-hadapan denganku. Lutut-lututnya menjepit lutut-lututku dan kedua tangan cowok itu mencengkeram sandaran kursiku. Kemudian satu tangannya menurunkan sandaran jok sangat rendah hingga praktisnya dia menindihku saat itu dan aku tidak bisa terkikik lebih jauh karena dia lalu mulai menciumiku.

Kembali ke saat ini di Montane Park, tempat kami berdiri menunggu beberapa personil lainnya untuk bergabung di kegiatan mendaki kami. Tak lama, kami mendengar derak kerikil ketika sebuah mobil memasuki pelataran parkir. Aku buru-buru menegakkan diri ketika dari dalam mobil keluar tiga orang favoritku.

"CHLOE!" Leanna praktisnya menjeritkan namaku ketika dia melompat turun dari kursi belakang mobil dan kami saling berpelukan dan memekik-mekik kangen seperti orang norak. Dari sudut mataku kulihat Ethan meringis mendengar jeritan kami.

"Senang melihatmu." aku melihat Ethan mengangguk pada cowok yang keluar dari kursi pengemudi. Cowok imut berambut sewarna daun maple kering yang nyaris tak kukenali. Cowok itu menyalami Ethan sambil tersenyum. Ketika melihat senyumannya, barulah aku menyadari sepenuhnya siapa dia.

"Seth?!" aku melongo menatapnya. Pasalnya dia terlihat sangat berbeda dengan potongan rambut cepak—tidak ada rambut semi-medium belah tengah yang dulu membuatnya terlihat sangat imut—dan tampak... sangat sehat. Tubuhnya kini sedikit lebih atletis, tidak sekurus dulu.

"Chloe!" dia menyambut pelukanku sambil tersenyum lebar, "Wow, aku nggak sadar aku ternyata merindukanmu!"

"Yeah, kita semua merindukan pasangan yang nggak terpisahkan jarak." nada sarat sindiran yang berasal dari Chuck—yang masih tampak memesona dengan rambut ikal pirangnya yang sedikit lebih panjang dan bentuk rahangnya yang semakin tegas—melangkah keluar dari kursi pengemudi dan ganti memelukku, dan berhigh-five dengan Ethan, "Whoa, dude. Kau makin tinggi. Jika bibiku di New York melihatmu sekarang, dia bakal histeris."

Ethan mengernyit, "Histeris?"

"Karena cowok setinggi dan secakep dirimu tersia-sia di jurusan Matematika di Arizona. Dia agen pencari model."

Kami semua terbahak-bahak, kecuali Ethan yang menanggapinya dengan santai, "Jika itu berarti aku mesti berjalan di catwalk dengan celana dalam saja, berkutat dengan Matematika merupakan pilihan yang sangat tepat."

"Tapi serius, aku iri pada kalian." Chuck menatapku dan Ethan bergantian. "Kalian kuliah di tempat yang sama. Sementara Leanna menolak sekampus denganku dan memutuskan mengikuti suara hatinya!"

"Yeah, dan suara hatinya hanya berjarak dua jam perjalanan dari asramamu." balas Leanna seraya mengecup pipi Chuck, "Abaikan saja dia, kami masih bisa ketemu tiap akhir pekan."

"Jadi..." Seth menatap Chuck dan Ethan bersemangat, "...siap untuk menaklukkan hulu, seperti dulu sering kita lakukan?"

"Aku terlahir siap!" Chuck menghirup udara dalam-dalam, "Oh... aku merindukan aroma ini. Jadi semua sudah kumpul? Kita naik sekarang?"

"Masih ada satu personil lagi." ujarku seraya menunjuk ke arah gadis yang baru saja keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah kami sambil melambai-lambai bersemangat.

"Claire?" Leanna terang-terangan mengernyit padanya, "Aku nggak tahu kau suka mendaki."

"Oh, Lee... kau nggak tahu bagaimana pengaruh Dad padaku sejak kakak perempuan tersayangku pergi ke Arizona." dia melirikku penuh arti.

Aku memang sudah beberapa bulan tidak bertemu dengannya hingga kemarin, saat aku pulang ke rumah. Dan tampaknya pertumbuhan Claire tidak hanya mencakup fisik, tetapi juga aura dan kecantikannya. Dia terlihat semakin mirip model. Langsing dan kecoklatan. Dan rambut pirang bergelombangnya semakin terlihat mengesankan. Dan memang benar. Claire sudah berubah dari cheerleader yang hobi menggosip soal cowok, menjadi cewek seksi yang gemar olahraga hanya dalam kurun waktu kurang dari setahun. Oh, dia masih tergabung di cheerleader, sebagai kapten tim pula. Dan cowok-cowok—tentu saja—memujanya. Praktisnya, Claire seperti Seth Winchester versi cewek di Redville High sekarang.

"Oh, hai Seth. Bagaimana Yale?" sapa Claire. Dan aku tidak akan salah mengenali itu; senyuman maut ala Claire! Dia melakukannya lagi, persis seperti kali pertama dia kukenalkan pada Seth, tetapi kali ini efeknya jauh lebih dahsyat dan jauh lebih mengena... bila dinilai dari bagaimana reaksi Seth.

"Hei, Claire. Yale baik-baik saja." Seth balas tersenyum.

"Kau tampak berbeda." Leanna memperhatikan Claire dari atas ke bawah. Tidak ada lagi rok mini dan polo shirt pas badan, hari ini Claire sepenuhnya dalam mode siap-gerak, dengan jaket, celana olahraga, dan sepatu mendaki.

"Yeah, kau sangat berbeda." Chuck mengangguk-angguk setuju, membuat Leanna memutar bola mata sebal.

"Berbeda yang bagus atau yang jelek, nih?" Claire memancing. Aku dan Leanna bertukar pandangan.

"Jika menilai dari keputusanmu mencampakkan Jake Reed, aku harus bilang itu perubahan yang bagus." Seth menimpali.

"Tunggu, kau putus dengan Jake?" ulangku tak percaya, "Sejak kapan? Mengapa aku nggak tahu apa-apa soal ini?"

"Yeah, dan mengapa pula kau tahu soal ini, Seth?" Leanna memandang Seth syok campur curiga.

Kali ini giliran Seth dan Claire yang saling bertukar pandang. Aku baru akan membuka mulut ketika Ethan muncul dari belakangku dan membagi-bagikan gelang kuning terang kepada kami.

"Nih, pakai." katanya. Claire meneliti gelang itu dengan ekspresi heran.

"'Montane Park Hikers'? Kupikir aku hanya perlu gelang semacam ini jika nonton konser." katanya dengan nada bertanya.

Ethan mendengus, "Justru kau lebih memerlukannya saat mendaki. Maksudku, akan lebih memudahkan identifikasinya jika mayatmu ditemukan tergeletak di dasar jurang atau terkoyak-koyak beruang."

"Hebat! Betapa mencerahkan dan motivatif." Claire mengangkat alis sinis dan mengenakan gelangnya, diiringi cengiran Leanna.

Jika diriku yang sekarang memberitahu diriku setengah tahun yang lalu, bahwa pada musim panas pertama setelah kelulusan aku akan menghabiskan akhir pekanku bersama Ethan, Seth, Leanna, Chuck, dan Claire bersama-sama, lagi-lagi aku yang dulu bakal pingsan karena syok. Bukan karena melihat diriku menjelajah ke masa lalu—duh—tetapi karena kenyataannya memang... sulit dipercaya. Aku menatap punggung-punggung mereka sekarang, Chuck dan Leanna berjalan paling depan, diikuti Claire dan Seth—yang entah sejak kapan terlihat sangat akrab dan begitu menikmati obrolan mereka—sementara aku dan Ethan berada paling belakang.

Aku tidak percaya kami berhasil melewatinya, segala drama yang terjadi semasa kami berada di Redville High. Seolah ada yang menekan tombol stop dan putar ulang pada kehidupan kami setelah upacara kelulusan. Tetapi aku tidak berharap terlalu muluk, karena ayah Seth, Will Winchester, masih menolak bicara dengan Ethan ketika kami semua bertemu di upacara kelulusan. Walaupun itu tidak mempengaruhi sikap Nicole padanya. Dia bahkan mengundangku dan Ethan untuk makan malam di rumahnya kapan-kapan jika kami ada waktu.

"Klo..." Claire tiba-tiba saja menggamit lenganku, "Perairan yang kau bicarakan ini... seberapa jauh?"

"Well, sekitar setengah jam lagi." sahutku, "Tetapi kita akan ke hulu. Dan menurut Ethan masih sekitar dua jam lagi."

"Apakah kata-kata cowokmu itu betul?"

"Yang mana?"

"Beruang." Claire mengisiku, tetapi aku tahu Seth mendengarnya karena cowok itu mengulum senyum, "Aku nggak mau sebentar-sebentar harus terlonjak setiap ada semak-semak bergerak."

"Memang ada." jelasku, "Hanya saja di bagian lain hutan ini, dan bagian itu dipagari. Bukan termasuk jalur pendakian."

"Tetapi kudengar beberapa kali kasus pembobolan pagar oleh binatang buas." Seth menimpali dengan mimik serius, "Memang belum ada kasus kematian, tetapi kurasa tetap saja..."

Claire menoleh menatapku ngeri, "Klo!"

"Trims, Seth. Kau sangat membantu." sindirku sementara cowok itu tertawa-tawa. Claire memandang Seth tak percaya.

"Kau mengerjaiku!"

"Ekspresimu nggak ada duanya." Seth mengangkat bahu.

Aku sedang asyik menonton keduanya bertengkar ketika mendadak merasakan ranselku ditarik dari belakang. Ethan. Kebiasaan lama yang sulit hilang.

"Melupakan seseorang?" dia mengangkat alis tanpa memandangku. Nadanya terdengar cuek ketika mengatakannya seolah-olah itu hanya pertanyaan sambil lalu, tetapi aku tahu dia jengkel.

"Kau agak lain hari ini." komentarku.

"Karena potongan rambutku?" tanyanya datar.

"Hei." aku menahannya, "Kau tahu aku nggak mempan dengan kesinisanmu. Jadi, ada apa?"

Ethan berhenti. Dia menghela napas dan menoleh ke arah Seth dan yang lainnya. Mereka tidak menyadari kami berhenti, maka kami agak tertinggal di belakang, "Aku hanya nggak menyangka kau akan mengajak mereka."

Aku mengerjap bingung, "Bukankah aku mengatakannya padamu?"

"Yeah, tetapi aku nggak pernah bilang setuju."

Aku mengernyit. Sikap Ethan membuatku bingung, "Jadi... kau sebetulnya nggak setuju dengan rencana ini, tetapi kau membuatku berpikir nggak ada masalah?"

"Well, masalahnya..." Ethan merapatkan bibirnya, "...kupikir kau tahu bahwa ini semacam, yah..." dia menggaruk tengkuknya, "...tentang... kita. Berdua. Bukan mereka."

Aku terenyak mendengar perkataan Ethan. Aku sudah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang buruk, kupikir Ethan masih belum terbiasa bersama Seth setelah segala drama itu... tetapi ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang...

"Romantis." gumamku takjub.

"Hah?" Ethan mengernyit.

Aku memandanginya dengan pandangan baru, "Aku nggak pernah tahu kau cowok yang romantis."

Ethan menggaruk hidungnya, tampak kesal sekaligus menggemaskan. Dia tidak pernah melakukan itu kecuali sedang gelisah atau salah tingkah.

"Kita kompak banget." komentarku lagi seraya mengulum senyum, memperhatikan telinga Ethan yang agak memerah.

"Apa?" dia bertanya bingung.

Aku meraih tangannya dan mengaitkan jemariku di antara jemarinya. Kami berjalan kembali, "Lucu nggak? Kau pernah bilang dulu kau selalu ke sana bersama Seth dan Chuck..." tanyaku pada Ethan, "...jadi kupikir ini semacam hal penting...untuk kalian."

Ethan berhenti lagi. Dia menatapku dengan ekspresi tak percaya, "Oh."

Aku meringis meminta maaf, "Yeah, sori. Kayaknya aku mengacau. Karena sebetulnya aku juga kepingin mendaki berdua saja denganmu."

"Oh, sialan..." Ethan menyisiri rambutnya dengan jari, terkekeh frustasi. "Kita akan cari waktu lain."

"Atau kita bisa ke hilir." usulku sementara kami berjalan kembali.

Ethan tampaknya agak kurang menyukai ideku, "Nggak sebagus hulu."

"Atau... kita bisa menemui Rose."

Kami berhenti lagi. Ethan menatapku. Aku kesulitan menerka apa yang ada dipikirannya setiap kali dia menatapku seperti itu. Matanya yang biru pucat menghujamku begitu dalam, menyesatkanku tiap kali.

"Rose." Ethan masih tak melepaskan tatapannya, "Kau benar."

"Dan kerajaan St. Carollus." tambahku bangga, "Dan, well... lapangan basket tua itu."

"Kau tahu?" Ethan merangkulku dan kami berjalan lagi karena Claire sudah ribut menyuruh kami agar lebih cepat, "Kita berdua punya segudang hal untuk dilakukan di Redville."

"Banyak. Tetapi untuk hari ini, nikmati saja." pintaku.

Ethan nyengir lebar.

"Tentu, Ratu Maddy-Chloe."

🍁 THE END 🍁

Shout out untuk segelintir pembaca yang sudah menyempatkan waktunya untuk membaca cerita ini. Tiap vote dan tiap komentarmu berarti. Every single one of them.

Sampai di sini dulu kisah Chloe Madison a.k.a. Maddy dan kawan-kawan. Baca Writer's Note juga kalo kamu mau liat Ethan dan Seth di bayanganku, dan cuap-cuap penulis yang tidak penting-penting amat wkwk

Last but not least, terima kasih sudah berkunjung di Redville!

Much love,
Ash

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top