Chapter 28

Lucu sekali bagaimana kejadian yang menimpaku Rabu pagi itu, di lapangan Redville High, agak mirip dengan kejadian di minggu-minggu pertamaku berada di sini.

Aku sedang berjalan menyeberangi lapangan dari mobilku menuju lobi—Claire tidak pergi bersamaku belakangan ini karena dia dijemput cowok barunya Jake Reed—ketika tahu-tahu aku mendapati diriku tertarik mundur ke belakang.

"Apa—" aku melepaskan diri untuk melihat siapa yang baru saja menarik ranselku, dan benar saja. "—yang kau lakukan?!"

"Salah jalan." Ethan berkata pendek sambil menarikku lagi, kali ini lenganku. "Mobilku, sekarang."

"Ethan, pengumuman kelulusan—"

"—keluar hari ini. Aku tahu." sambungnya datar, "Aku dan kau sama-sama lulus. Nggak akan ada pengaruhnya membolos sehari saja."

"Tunggu... aku lulus?"

Ethan terhenti, mendesah. "Ya. Kau lulus. Aku, kau, teman-temanmu, teman-temanku, semua lulus. Aku dapat bocoran dari ayahku semalam, jadi... hore."

Aku masih agak terpana dengan fakta baru ini, bahwa kami semua lulus, hingga hampir-hampir lupa bahwa Ethan sedang menyeretku ke mobilnya sekarang, "H-hei, aku belum mengiyakan! Mau ke mana kita?"

Ethan menekan kunci hingga Ford Rangernya berbunyi bip-bip pelan dan dia berjalan mengitari mobil, "Mempersiapkan pesta ulang tahun kejutan untuk Rose."

Mungkin aku menghabiskan sekitar lima belas menit berikutnya marah-marah pada Ethan. Dia tidak memberitahuku bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Rose, dan aku bahkan tidak mampu memikirkan hadiah yang tepat untuk anak itu. Jadi, di tengah-tengah kepanikanku, aku menyuruhnya menepi sebentar di satu-satunya toko serba ada yang sudah buka, membeli balon, pita-pita, dan perlengkapan pesta lainnya. Kemudian kami mampir ke toko kue dan membeli satu kue bernuansa ungu muda dan pink dengan hiasan kastil kecil dan danau cantik.

Kami ngebut ke St. Carollus dan tiba di sana sekitar pukul sebelas, yang berarti kami hanya memiliki satu jam waktu untuk mempersiapkan segalanya—dibantu Suster Frida dan dua suster lain—di halaman belakang sebelum jam pelajaran berakhir dan Rose kembali dari kelasnya.

Ketika persiapan akhirnya selesai, balon-balon sudah ditiup, pita-pita sudah dinaikkan, spanduk buatan tangan para suster sudah dipasang di latar belakang, kue-nya sudah dikeluarkan, serta meja dan kursi sudah ditata dengan cantik di tengah halaman, dan kami semua banjir keringat, bel tanda usai kelas berbunyi di kejauhan dan tak butuh waktu lama untuk mendengar celotehan dan langkah-langkah anak-anak yang berlarian kembali ke asrama.

Aku dan Ethan mengajak teman-teman Rose—termasuk Kevin—untuk bersiap-siap di halaman belakang, sementara Suster Frida menggiring Rose yang matanya ditutup saputangan. Begitu Rose tiba di depan kami semua, Suster Frida membuka penutup matanya dan kami semua meneriakkan "Selamat Ulang Tahun!" sekeras-kerasnya sementara Ethan dan para suster meledakkan konfeti-konfeti ke udara.

Reaksi Rose tidak ada duanya. Pertama-tama dia terperangah, lalu ekpresinya perlahan mencair dan senyuman terlebar dan paling bahagia yang pernah kulihat dari anak itu menghiasi wajahnya. Dia memeluk suster Frida, lalu dia melihat Ethan dan aku. Dia berlari menuju Ethan, dan Ethan menangkapnya lalu memutar-mutarnya di udara.

"Kau di sini!" Rose berseru gembira. Dia memeluk leher Ethan sangat erat dan Ethan berpura-pura sesak napas.

"Tentu saja aku di sini! Dan ini semua ide Maddy."

Aku, yang sedari tadi berdiri diam karena terenyuh dengan adegan peluk-pelukan Rose dan Ethan itu, tersentak kaget dan mengerjap, "Eh?"

"Yang benar?! Trims, Maddy!" Rose turun dari gendongan Ethan dan berlari menubrukku untuk memeluk kakiku. Aku berlutut dan balas memeluknya.

"Tepatnya, kami semua yang merencanakannya, benar kan anak-anak?!" seruku pada Kevin dan yang lainnya.

Mereka semua berteriak mengiyakan hingga telingaku sakit.

"Kuenya! Rose, ayo tiup lilinnya supaya kita bisa potong kuenya!" kata salah satu anak yang berdiri paling dekat dengan meja kue.

"Ayo Rose, nanti cokelat di kuenya keburu meleleh." Suster Frida menggandeng Rose menuju kue dan kemudian semuanya menyanyikan lagu ulang tahun. Aku memerhatikan bagaimana Ethan membantu Rose meniup lilin dengan menggendongnya sedikit, karena meja dan kuenya lebih tinggi dari Rose. Untuk pertama kalinya aku melihat tawa lebar yang tersungging di wajah Ethan, menunjukkan ekspresi lembut cowok itu yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Ketika Ethan mendongakkan wajahnya dan mata kami bertemu, aku buru-buru mengalihkan pandangan.

Pestanya berlangsung meriah. Seluruh penghuni asrama yang penasaran—beberapa berumur lebih tua dari Rose—mengintip dari balik pagar halaman dan memutuskan untuk bergabung. Para suster sampai harus memesan beberapa loyang pizza tambahan karena kuenya tidak cukup.

Kemudian pestanya entah bagaimana berubah menjadi semacam arena permainan anak-anak. Rose mengajakku memainkan nyaris semuanya; limbo, berburu harta karun, rebutan kursi, lompat tali, perompak buta, dan dansa balon. Aku bahkan kebagian undian berdansa balon dengan Kevin—dan aku harus berlutut selama melakukannya—dan ketika balonnya pecah dan kami jadi berpelukan, Rose menggembungkan pipinya sebal.

"Hadiah!" seorang anak tiba-tiba berseru ketika melihat salah seorang suster membawa setumpuk besar kado-kado yang dibungkus kertas warna-warni dan segera saja permainan bubar dan semua anak menyerbu tumpukan tersebut. Aku, yang baru pertama kali melihat hal semacam ini di pesta ulang tahun anak-anak, mengernyit bingung.

"Bukankah seharusnya hanya Rose yang mendapatkan kado?" aku bertanya pada Ethan yang berdiri di sebelahku. Kami menyaksikan Suster Frida membagi-bagikan kado pada tiap anak yang mengerumuninya.

"Di sini semua anak mendapat hadiah tiap kali ada yang berulang tahun. Seperti Natal sepanjang tahun, walaupun kadonya sederhana." Ethan terkekeh pelan, "Hanya saja biasanya yang berulang tahun boleh meminta kado ekstra."

"Apa yang diminta Rose?"

"Entahlah," Ethan mengangkat bahu, "...dia belum mengatakannya."

Tepat setelah Ethan mengatakan itu, aku melihat Rose membisiki sesuatu kepada Suster Frida, yang hanya bereaksi dengan tampak agak terkejut kemudian ragu-ragu sejenak. Tanpa menunggu jawaban Suster Frida, Rose melesat ke arah kami dan tertawa sangat lebar, "Sudah kuputuskan!"

Ethan menatapnya bingung, "Apanya?"

"Hadiah tambahanku!" gadis cilik itu menatap kami berdua bergantian, "Menjadi perancang pernikahan!"

"Oh...?" Ethan berlutut hingga matanya sejajar dengan mata Rose, "Mengapa perancang pernikahan?"

"Karena aku akan memimpin upacaranya." Rose mengangkat dagunya angkuh, "Aku akan jadi pendeta!"

"Seorang putri bisa beralih profesi menjadi pendeta?" aku mengangkat alisku, menggodanya, "Kalau begitu siapa yang akan kaunikahkan?"

"Kalian." katanya.

Tenggorokanku serasa tersumpal.

Sembari meraih sehelai serbet dari meja makan dan mengambil tiara plastik dari kepalanya sendiri, Rose menarik lenganku hingga aku ikut berlutut, "Nah, sekarang kau pakai ini. Cepat, upacaranya sudah mau mulai!"

Aku hanya mampu ternganga menerima tiara mainan dan serbet di tanganku. Aku tidak berani memandang Ethan, tetapi dapat kurasakan dia bergerak mendekat ke sebelahku.

"Turuti saja." bisiknya, dan aku berani bersumpah dia mengatakannya sambil mengulum senyum.

Setelah itu Rose langsung sibuk menyuruh teman-temannya untuk menyusun kursi hingga menghadap kami dan duduk di sana. Para suster menyaksikan kami sambil memasang tampang bersimpati campur geli di barisan belakang. Kemudian, menyadari aku masih belum mengenakan tiara dan serbetku, Rose cemberut.

"Para tamu sudah datang dan kau belum siap?!" omelnya dengan suara nyaring, "Ethan, tolong pakaikan tudungnya!"

Ethan, yang kini sudah berdiri berhadap-hadapan denganku hanya mampu menatapku sambil mati-matian menahan tawa. Dia membantuku melebarkan serbet di atas kepalaku dan memasangkan tiara untuk menjepit serbetnya agar tidak merosot jatuh.

"Ethan," gumamku dari sudut mulutku, "...jika kau memberitahu soal ini pada siapapun di sekolah, aku bersumpah..."

"Apa? Bukankah ini keren? Membolos untuk menikah?"potongnya, gagal menahan cengiran.

Terdengar dehaman dari arah samping kami. Entah sejak kapan Rose sudah berdiri di atas kursi lipat yang diseretnya ke dekat kami hingga tingginya nyaris sama dengan kami, "Kalian sudah siap? Semuanya sudah siap? Tolong tenang."

"Tentu, Ma'am." Ethan masih memandangiku tiaraku dengan geli.

"Hari ini kita berkumpul untuk merayakan pernikahan dua temanku, Ethan dan Maddy-Chloe... Ethan, maukah kau menyebutkan gelar lengkapmu?"

"Uh... aku nggak hapal." Ethan menatapku meminta bantuan, "Kau saja yang bacakan, My Lady."

Para suster bersuit-suit dan telingaku seolah korslet mendengarkan kata-katanya barusan, "Apa kau bercanda?"

Rose memutar bola mata, "Ayo dong... semuanya sudah kepingin bersulang dan berdansa!"

"Ada dansanya juga?" salah seorang suster menyeletuk dari arah belakang, membuat yang lainnya terkekeh-kekeh.

"Maddy..." Rose membujuk, "Ayo bacakan gelarnya...!"

"Oke-oke... baik!" aku menghela napas, "Ethan, maksudku... hmm... Raja Ethan uh... North D. Dodson...?"

"North D.?" ulang Ethan, "Jangan bilang dari Northern Do—".

"Dan gelarmu tolong." perintah Rose padaku, memotong protes Ethan.

"Ng... sebentar... oh." aku teringat, "Ratu Maddy-Chloe Rupert Madison... oh, diamlah!" aku—yang juga gagal berusaha tidak tersenyum—meninju bahu Ethan yang tampaknya sudah tak sanggup lagi memasang ekspresi serius.

"Apakah kalian berdua bersedia menjadi pasangan Raja dan Ratu, walaupun naga-naga menyerang kastil, wabah penyakit merajalela, kekeringan melanda... dan harta kalian terkuras demi rakyat jelata?"

"Apa itu semacam pantun?" Kevin menyeletuk dari kursinya, membuat Rose kebakaran.

"Kevin!" omel beberapa anak cewek di barisan depan.

"Maaf..."

Kemudian Rose kembali pada kami, "Nah. Sampai mana? Oh iya. Nah, kalian bersedia nggak?"

"Katakan ya!" seru para suster dari bagian belakang penonton.

Aku dan Ethan saling berpandangan.

"Kurasa nggak masalah?" aku mengangkat bahu, diikuti Ethan.

"Yeah." dia nyengir, menunduk menatapku dengan binar yang belum pernah kulihat di matanya. "Aku sih bersedia saja."

Aku benar-benar risih mendapati jantungku mendadak berdetak lima kali lebih cepat saat Ethan mengatakannya.

"Kalau begitu dengan ini aku, Putri Rose-Charlotte Florian Brooke, menyatakan bahwa kalian berdua sah menjadi pasangan Raja dan Ratu kerajaan Carollus."

Seluruh penonton termasuk para suster bertepuk, bersuit-suit dan menyoraki kami, "Selamat!"

"Sekarang kau boleh mencium pengantin wanitanya." kata Rose pada Ethan, yang membuatku kontan merasakan gejala awal serangan jantung. Suitan dan sorakan dari penonton makin riuh.

"Cium! Cium! Cium!"

"Serius nih?" Ethan menatapku jahil dengan sepasang mata biru pucatnya, lalu meminta pendapat para suster. "Bagaimana dengan anak-anak?"

Para suster malah berdecak dan mengeluh.

"Oh, sudahlah... memangnya kau pikir kami sekolot apa?" Suster Frida melambaikan tangannya, "Cepat segel cinta kalian dengan ciuman suci!"

Seluruh suster yang lain terbahak-bahak. Aku menoleh kembali kepada Ethan, yang memasang ekspresi bertanya, "Well?"

Tetapi aku tidak menjawab. Mungkin ini tindakan yang paling tidak akan diduga diriku yang masih transparan, karena aku yang sekarang malah meraih kedua pipi Ethan dan berjinjit untuk mencium bibir cowok itu. Ya, aku sendiri tak percaya aku nekat melakukannya.

Hanya sekitar lima detik. Tetapi reaksinya luar biasa. Para suster semakin heboh bersorak-sorak, sementara para penonton ada yang meledek dengan menyanyikan "Raja dan Ratu berada di bawah pohon, B-E-R-C-I-U-M-A-N..." sementara anak-anak yang lebih kecil menutupi mata dan menyerukan "Iiih!" keras-keras.

Rose menatap kami dengan kedua pipi merona.

Dan Ethan hanya mematung memandangiku dengan ekspresi tak terbaca.

Sementara aku? Aku harus menstabilkan detak jantungku terlebih dahulu agar bisa berdiri tegak kembali.

Pestanya kemudian berlanjut dengan acara membuka kado. Ketika anak-anak akhirnya sudah puas bermain, kue-kue sudah dilahap habis, dan matahari di atas kami sudah tidak lagi seterik tadi, aku—masih dengan tiara dan serbetku karena Rose melarangku mencopotnya—ikut membantu para suster membersihkan peralatan pesta, dan membawakan meja-meja dan kursi-kursi ke gudang yang tidak terlalu jauh dari halaman belakang. Dan ketika kulihat Ethan ikut membantu membawakan barang-barang, jantungku langsung bertingkah abnormal lagi. Kupikir Rose akan menempeli Ethan terus sepanjang pesta, namun rupanya Rose sedang asyik bermain ular tangga yang baru didapatnya bersama Kevin dan beberapa anak lainnya.

"Terima kasih banyak. Kalian dua dari seribu remaja yang rela membolos demi menyelenggarakan pesta ulang tahun seorang anak yatim piatu." Suster Frida mengantar kami berdua ke luar, setelah sekali lagi mengucapkan selamat ulang tahun pada Rose dan berjanji akan datang lagi minggu depan. Harus kuakui aku sedikit berkaca-kaca ketika Rose memelukku dengan sangat erat dan menggumamkan terima kasih di telingaku dan menatapku dengan sorot sayang. Entahlah, kurasa mungkin aku tidak menduga bahwa Rose dapat menatap orang lain dengan cara seperti itu selain kepada Ethan.

"Sama-sama. Kami semua bersenang-senang." kata Ethan. Suster Frida tersenyum.

"Dia menjadi semakin baik. Rose. Minggu lalu ada pasangan yang berkunjung. Mereka bertemu dengan Rose, dan sikapnya sangat manis." Suster Frida menutul-nutul matanya dengan saputangan, "Belum pernah kulihat Rose bersikap semanis itu sebelumnya. Kurasa dia berubah karena kalian."

Mataku berkaca-kaca lagi. Lalu kurasakan Ethan melingkarkan lengannya di pundakku.

"Kurasa kehadiran Maddy sedikit-banyak membantuku, Suster." katanya, sementara aku kembali harus menenangkan jantungku yang berdentum-dentum tak keruanan di bawah rongga dadaku, "Jadi kurasa habis ini aku harus mentraktirnya es krim."

Suster Frida menggenggam kedua tanganku, "Terima kasih, kau sudah seperti malaikat."

Setelah akhirnya kami berpamitan dengan Suster Frida, aku dan Ethan berjalan menyeberangi halaman depan St. Carollus. Dan sekadar catatan, lengan Ethan masih merangkul pundakku bahkan hingga kami mencapai trotoar. Namun alih-alih menyeberang jalan menuju tempat mobilnya terparkir, Ethan mengajakku menyusuri trotoar dan membelok mengitari gedung menuju ke belakangnya. Dari situ kami agak menuruni pekarangan panti asuhan yang agak menurun, dan setibanya di batas pekarangan St. Carollus yang dipagari, Ethan menggamit jemariku dan menuntunku menerobos celah di pagar.

Lapangan tua itu sama dengan yang terakhir kali kuingat. Salah satu tiang dan ring basketnya yang berkarat masih berdiri di sisinya, sementara seluruh pemukaan lapangan tertutupi dedaunan kering. Angin sejuk berhembus menerbangkan dedaunan dan mengacak-acak rambutku. Aku merasakan Ethan melepaskan genggamannya dari tanganku.

"Musim gugur." gumamku seraya merapatkan jaket, "Cepat sekali."

"Yeah." aku mendengar Ethan menyahut dari sebelahku. Suaranya terdengar begitu dekat, "Terlalu cepat."

Aku mengerjap, "Apakah kau memikirkan hal yang sama denganku?"

Ethan melirikku.

"Hulu itu." ujar kami berbarengan. Kami saling mendengus geli, mengagumi kekompakan kami yang tak terduga.

"Ini aneh." Ethan berjalan ke tengah lapangan dan berseru ke udara, sementara angin membuat rambut Bettencourt-nya sedikit kacau, "Kau. Wajahmu. Namamu..."

Aku memutar bola mata jengkel, "Kita sudah membicarakan ini sebelumnya."

Ethan terkekeh, "Aku nggak akan menuntutmu karena kesamaan-kesamaan itu."

Aku mengangkat alisku sangsi, "Oh yeah?"

Aku mengamati cowok itu berdiri membelakangiku persis di tengah lapangan. Kedua tangannya berada di saku celana. Kakinya sibuk menendangi dedaunan kering.

"Aku justru akan menuntutmu karena... perbedaan-perbedaanmu."

Aku tertawa bingung, "Apa?"

Ethan berbalik perlahan menghadapku. Lalu dia mulai melangkah, "Matematikamu payah."

"Sori?" protesku.

"Nggak bisa olahraga. Sembrono dalam berkendara."

"Hei, aku suka lari! Dan aku nggak—"

"Mengecat rambut... mengataiku tuli..."

"A-aku melakukannya karena—"

"Menyukai cokelat Mars Bars..."

"Tunggu." kataku, "Chloe Winchester nggak suka Mars Bars?"

Ethan akhirnya berhenti melangkah. Ujung-ujung sepatunya kini sudah menyentuh ujung-ujung sepatuku. Dan aku harus agak mendongak sedikit untuk dapat menatap matanya. Dan jantungku kembali tak keruanan saking dekatnya kami berdiri berhadap-hadapan saat ini.

"Dan kau akan menuntutku karena menyukai cokelat itu?" tanyaku, kehilangan fokus akibat sepasang mata biru pucat yang menghujamku sedemikian rupa. Ethan menyunggingkan senyum miringnya yang khas.

"Juga karena telah menciumku."

"Oke, itu..." aku terkekeh gugup, "...karena Rose memintanya. Untuk... chemistry..."

"Tapi kau nggak harus melakukannya." cowok itu mengangkat bahunya enteng.

"Tapi kau sama sekali nggak kelihatan keberatan tadi." kataku jengkel.

"Nggak kelihatan keberatan?" Ethan menaikkan alis tinggi.

"Apa? Kau juga mau 'menuntutku' untuk sesuatu yang bahkan tidak berusaha kau hindari?"

"Hindari apanya?"

"Keharusan berciuman denganku!"

"Kenapa pula aku menghindarinya?"

Aku jadi merasa semakin tolol, "Karena aku bukan Chloe Winchester!"

Ethan mengeluarkan kedua lengannya dari saku celana, tampak puas menggodaku.

"Memang bukan." sahutnya sederhana.

"Dikatakan oleh cowok yang menganggapku mirip ceweknya yang sudah meninggal dan berpura-pura pacaran dengannya demi memancing emosi adik laki-laki ceweknya itu." sindirku panjang lebar.

"Itu... bukan sepenuhnya alasanku."

"Lalu apa? Apa lagi?" tanyaku putus asa. Aku benar-benar sudah kehilangan kesabaran sekarang. Aku memperhatikan Ethan tengah memandangiku. Matanya menelusuri wajahku. Belum pernah ada cowok yang menelusuri wajahku sebelumnya, seolah-olah dia sedang mencari sesuatu di sana. Dan belum pernah pula ada cowok berdiri sedekat ini selama melakukannya, hingga hembusan napasnya yang hangat terasa di pipiku.

"Kurasa, awalnya aku ingin melakukan hal-hal yang dulu nggak bisa kulakukan bersama Chloe Winchester... denganmu." ungkapnya, "Wajah dan namamu hanya semacam pemicunya. Lalu entah sejak kapan, aku bahkan tidak peduli lagi soal semua itu."

Butuh sedikit waktu untuk mencerna perkataan Ethan. Dan mencerna maksud perkataannya cukup sulit dilakukan ketika sepasang mata biru pucat itu masih menghujamku seperti laser, membuatku kehilangan konsentrasi.

"Semakin dipicu dengan bagaimana Rose menatapmu tadi." tambah cowok itu, senyumnya makin lebar, "Harus kuakui, aku kagum."

Kemudian senyuman Ethan perlahan memudar dan dia menatapku lurus. Tak ada sorot jahil di matanya. Belum pernah aku melihatnya dengan ekspresi seperti itu. Ekspresi serius yang entah bagaimana membuatku bertanya-tanya, apakah ini Ethan Dodson yang sama?

"Chloe." dia berkata pelan, "Aku minta maaf. Untuk semuanya."

Selama beberapa saat, tak ada yang berkata-kata. Aku masih terlalu syok dengan seluruh perkataan Ethan, sementara Ethan hanya diam menanti reaksiku.

'Chloe'. Dia memanggilku Chloe.

"Nggak punya sesuatu untuk dikatakan?" dia mengangkat sebelah alis. Lagi-lagi itu. Nada itu. Nada menyebalkan yang sama dengan yang digunakannya saat menanyaiku, 'Nggak lulus kursus mengemudi?'

"Permintaan maaf diterima." ujarku setelah akhirnya menemukan suaraku kembali, "Dan aku nggak tahu aku mempunyai pengaruh sebesar itu kepada Rose."

"Kita ini orang-orang berpengaruh. Kita bahkan sudah jadi Raja dan Ratu resmi wilayah ini." kata Ethan sok serius.

"Benar." gumamku, merasakan ujung-ujung sepatuku semakin menempel pada ujung-ujung sepatu Ethan dan merasakan aroma cowok itu menerpa hidungku, seperti campuran antara bau samar aftershave dan wangi maskulin khasnya yang sulit kudeskripsikan, "Raja dan Ratu yang berkuasa..."

"Chloe?" Ethan memotongku.

"Yeah?"

"Diamlah." tangan Ethan perlahan meraih pinggangku, "Aku mati-matian menahan diriku sejak tadi karena ada anak-anak dan para suster."

"Oke." gumamku patuh.

Ethan nyengir. Dan kami tak sanggup lagi mengoceh lebih banyak ketika akhirnya aku berjinjit dan bibir-bibir kami bertemu. Tetapi tidak seperti tadi, kali ini tidak ada penonton. Tidak ada yang menyoraki dan bersuit-suit. Tidak ada serbet dan tiara. Yang ada hanya aku, Ethan, dan angin yang berhembus begitu kencang sehingga membuat kami berdua terhuyung-huyung di tengah lapangan.

Kami berdua tertawa-tawa ketika terpaksa berhenti sejenak karena angin yang memporak-porandakan dedaunan dan rambut kami. Ethan menarikku ke sudut lapangan, dekat pepohonan yang anginnya tidak seheboh tadi, dan aku menciumnya lagi. Dan berbeda dengan di pesta tadi, kali ini Ethan membalas ciumanku. Dengan sungguh-sungguh. Maksudku, lengan-lengannya melingkari pinggangku dengan sangat erat sampai rasanya aku separuh terangkat. Dengan cara yang entah bagaimana mengingatkanku ketika dia mengangkat Rose agar gadis itu dapat meniup lilin di puncak kue ulang tahunnya. Hanya saja sensasinya seratus kali lipat lebih menyenangkan.

"Mm... ngomong-ngomong..." ujarku kepayahan di sela-sela ciuman kami. Aku menyukai bagaimana wajah Ethan yang sedikit merona tampak agak jengkel karena kuhentikan, "...aku lebih suka panggilan 'Maddy'."

"Maddy, kalau begitu." Ethan menyahut parau dan kembali menciumku. Ya. Ethan Dodson dan Mad-Madison. Si Tukang Bikin Onar dan Si Tukang Rusak Mobil. Raja dan Ratu baru St. Carollus. Atau apapun julukan yang diberikan orang-orang kepada kami.

"Dan..." aku menjauhkan wajahku lagi, membuat Ethan terpaksa berhenti lagi, "...bagaimana dengan traktiran es krimnya?"

"Segera, Ratu Maddy-Chloe Rupert Madison." sahutnya sebelum menyunggingkan cengiran khasnya yang dulu kubenci, tetapi bagiku saat ini membuatnya seratus kali lipat lebih keren. Aku tergelak karena Ethan ternyata mengingat gelarku, namun cowok itu membungkamku lagi dengan ciumannya. 

🍁

Akhirnya Ethan minta maaf.
Akhirnya.
*meleleh*

Berikutnya adalah chapter terakhir.
Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top